Guru Ngaji
Guru

Guru Ngaji
Dizaman kini, disaat guru ngaji banyak yang berubah menjadi penyambung kepentingan daripada penyambung nilai kehidupan, aku merindukan disaat ngaji dulu.
Ngaji adalah kegiatan utama setelah magrib, karena ditelevisi belum ada sinetron, yang ada berita dengan wajah anchor yang kaku rata tanpa rasa. Mending ngaji bisa ketemu temen dulu belum ada sosdmed, bisa godain temen sekarang istilahnya mungkin bullying, bisa cekikikan dibelakang mesjid menunggu guru ngajinya datang, istilah kerennya habgout gitu dan sebagian senior kakak yang ngaji bisa saling menggoda lawan jenis, dulu belum ada menggoda sesama jenis. Dan dulu guru ngaji sangat fenomenal, asli dari Jawa dari pesantren katanya, menikah dengan wanita dikampung kami dan menetap. Profesi guru ngaji bukanlah yang utama, bila siang pak Imam kami itu bekerja dipabrik dan setelah magrib menjadi guru ngaji sebagai ladang pahala, karna kami tak ada dipungut bayaran.
Aku masih sedikit meyakini bahwa tidak ada ustadz sekarang, siang malam on terus, mengajar itu jadi ladang kerja. Walaupun... Itu benar atau tidak. Ustadz sekarang punya mobil, rumah mewah bukan dari hasil mengajar, aku coba meyakini itu hadiah dari Tuhan, yang bisa langsung jadi hanya semalam.
Sore itu menjelang magrib, aku mendengar teriakan keras dari tetangga sebelah diiring isakan lirih seorang anak kecil, aku mencoba bersabar, sabar ukuranku, hanya seujung kuku, dengan hanya menggunakan daster, kulongok kedalam rumah tetangga tersebut.
Seorang anak lelaki kecil berdiri disudut ruangan dengan peci kebesaran yang miring, tangan memegang buku iqra, mulutnya komat kamit, dan....dia berdiri dengan kaki sebelah, sebelahnya dilipat, dan sosok lain yang lebih kecil terisak dengan wajah ketakutan dan penuh air mata, duduk dihadapan sesosok lelaki dewasa dengan sorban putih tinggi lengkap dengan gamis putih yang tebal menantang teriknya matahari senja ini.
Ini ngaji atau drama tangis dan bentakan?
Mataku menatap dengan menantang, mulutku terkunci tapi dengan tatapanku itu ingin disampaikan, dahulu kala ada seorang guru ngaji yang sangat tegas tanpa mengeluarkan suara auman dan tak seorang dari anak didiknya yang ratusan mengeluarkan airmata tapi mampu memahami sholat dan Alquran dalam hidup sehari hari, menjadi penambah nilai nilai pribadinya.
Kamu masih muda denga.busana kebesaranmu itu dan hanya mengajar ngaji dua calon imam 10 dan 15 tahun lagi, suaramu menggema keras dilorong pemukiman rumah yang sempit dan rusak kedamaian karena suara hinaanmu, dimana rasa mengajarmu?
Kamu itu mau ngajar ngaji atau ngejar gaji?
Mungkin tatapanku yang mampu bicara akhirnya suara ustadz itu mereda dan pintu rumah tersebut ditutup
Dan drama sore itu berakhir...besok aku akan duduk manis didepan rumah tetangga tersebut bila guru.ngaji itu datang hanya mau sampaikan, ngaji itu bukan sehari dua hari tapi sepanjang hidup, bila kamu rusak cara mengaji, kamu merusak bukan hanya segenerasi tapi sezamanya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.