DYAS, Namaku: Dyas Dewanto

DYAS, Namaku: Dyas Dewanto

                                                 DYAS

                      Namaku :  Dyas Dewanto

 

Bagian Satu

 

Dyas

 

“Diseka dulu ya ibu,” tanya suster Anik kepadaku  “Bagaimana tidurnya semalam? Nyenyak ?”  

 

“Baik Nik,” jawabku dalam hati.

 

Anik mulai melakukan tugas rutinnya pagi ini. Dimulai dengan memandikan aku. Tepatnya menyeka tubuhku. Bagian pertama yang ia bersihkan adalah wajahku. Nah di bagian wajah ini, aku mulai merasakan sensasi halus saat Anik menyekaku. Sebelumnya, aku tak pernah merasakan apa-apa. Baal.

 

 Anik menyeka wajahku dengan sangat pelan. Sensasi sentuhan handuk ke kulit wajahku berpindah-pindah. Kadang Anik seperti menghindari  sesuatu.  Entah apa yang dihindari, aku tak tahu. Di seputaran hidung misalnya, Anik tak pernah menyentuhnya. Ah aku mulai mereka-reka di hidungku mungkin dipasangi sebuah alat karena hidungku seperti terganjal sesuatu.

 

 Sambil menyeka Anik mulai mendendangkan lagu. Suara Anik kadang timbul tenggelam kudengar. Bila pas di dekat telingaku, suaranya agak terdengar jelas. Dan menghilang, mungkin saat ia menjauh dariku.

 

“Mohon maaf bu Dyas, saya membersihkan payudara ibu ya,” kata Anik lagi.

           

           Sama dengan wajahku, Anik melakukannya dengan pelan. Dua gunung payudaraku diwaslap dengan gerakan pelan memutar, didahului dari bagian dada tengah menuju ke atas payudara lalu melingkar ke dekat ketiak, bagian bawah payudara, dan berakhir di bagian tengah lagi. Anik melakukan gerakan yang sama untuk masing-masing payudaraku.

 

            “Payudaranya bagus ya…? Gede  !” kata Anik entah ke siapa. Mm.. aku tak tahu di ruangan ini ada siapa lagi selain aku dan Aniek.

 

Aku tersenyum dalam hati untuk Anik. Terima kasih ya Nik sudah memuji buah dadaku. Pujian itu adalah pujian kesekian ribu kali untuk payudaraku.   Selalu terbersit rasa bangga, bahagia dan getir, setiap kali aku berkaca dan memandangi bagian tubuhku itu. Bagaimana tidak, rupiah demi rupiah aku kumpulkan dari hasil  ‘ngamen’ untuk operasi payudara di Bangkok, Thailand. Dulu.

 

Puzzle-puzzle tentang Thailand seketika buyar ketika kudengar ada langkah ke arah ranjangku. “Apa kabar sayang ?”  katanya. Sammy mencium keningku. Sammy kekasihku.

 

“Suster Anik apa kabar hari ini ?”

 

“Baik pak Sammy.”

 

“Tuh kan panggilnya bapak lagi. Panggil Mas dong. Saya kan masih muda,” kata Sammy sambil sedikit tertawa.

 

Aku tak mencium bau parfum Sammy. Padahal saat mencium keningku tadi, badan Sammy hanya beberapa centimeter dari hidungku. Aku mereka-reka lagi : Sammy tak memakai parfum kesayangannya. Atau hidungku yang tak mampu mengendus bau parfumnya.  Ah.. aku rindu bau parfum itu. Pelan-pelan gambar logo parfum YSL La Nuit De L’Homme terlintas. Suasana Plaza Senayan. Gambar lilin. Hanya potongan gambar. Tak utuh. 

 

 Sammy, hm.. bagaimana wajahnya hari ini ? Aku rindu melihat wajah mulusnya. Rindu dipeluk dan bermanja-manja di dada bidangnya. Tapi aku tak mampu menyentuhnya, apalagi memeluknya.

 

“Bangun sayang… Yuk bangun ! Kamu sudah lama lho tidur,” Sammy membisikkan kalimat itu lagi. Setiap hari, ia membisikkan kalimat itu. Entah sudah berapa kali.s

 

                                                                 -0-

Anik

 

Sudah seminggu ini aku ditugaskan di ruangan VVIP Melati 78. Entah karena pertimbangan apa, suster kepala memintaku khusus merawat bu Dyas. Sejak hari pertama bu Dyas dirawat di rumah sakit ini, hanya aku dan suster Retno lah yang boleh masuk ke kamar ini. Jadwal kami diatur sedemikian rupa agar kami bergantian tugas jaga pagi dan malam.

 

Suster kepala sudah wanti-wanti bahwa setiap hari kamar  harus bersih, rapi dan wangi. Sejak hari pertama pula, aku dapat informasi dari bagian administrasi bahwa yang menempati ruangn adalah seorang selebriti.

 

            “Tolong kerjasama dengan security lantai ya sus. Yang menjeguk bu Dyas hanya orang-orang tertentu. Saya juga sudah bilang ke bagian security, wartawan tidak boleh masuk sama sekali,” bu Andriani, suster kepala menegaskan waktu itu.

 

            Kalau ditanya apa enaknya merawat pasian yang kondisinya sedang koma, aku tak bisa menjawab. Bagiku tugas merawat pasien dengan kondisi apapun, sama saja. Mengganti sprei, menyeka, memasang infus, memasang dan mengganti kateter, semuanya sama. Ah, pekerjaan rutin! Yang berbeda, ketika merawat pasien koma adalah aku tak bisa berkomunikasi dua arah dengan pasien. Lha bagimana bisa mengobrol bila pasien hanya tampak tidur tanpa bisa merespon apapun.

 

            Bosan ? Tidak juga. Banyak tugas rutin yang harus kulakukan. Pagi hari, aku harus memandikan pasien. Biasanya aku cukup menyeka seluruh badan. Jam 11.00 biasanya ada kunjungan dokter.  

 

Setelah itu menyiapkan cairan makanan yang harus kumasukkan lewat alat khusus yang dipasang di hidung pasien. Mengganti dan memasang kembali kateter.  Biasanya tugas rutin tersebut bisa sampai jam 14.00. Itu pun ada interval aku bisa ngobrol sebentar dengan suster lain di receptionist lantai.

 

Oya khusus untuk bu Dyas, aku mendapat amanat dari dokter Handoyo, dokter spesialis syaraf  untuk sering mengajak bu Dyas mengobrol.

 

“Terserah suster  mau ngobrol tentang apa dengan bu Dyas, yang penting beliau sering-sering diajak ngobrol.  Yang perlu ingat, tidak ada pesan dan berita negatif ya ,” pesan dokter Handoyo kepadaku dan suster Retno.

 

            Alhasil, aku jadi suster cerewet saat merawat bu Dyas. Setiap pagi, terutama saat menyeka badannya, aku seperti penyiar berita yang menginformasikan semua peristiwa. Pertama-tama merasa lucu karena aku seperti orang gila yang bicara sendiri. Apalagi pas kehabisan bahan obrolan, hm,..bingung mau bercerita apa.

           

Seringnya aku bercerita tentang perjalananku dari rumah ke rumah sakit. Aku naik motor sendiri, diantar Cipto pacarku, atau naik ojol. Ditangisi oleh keponakanku saat mau berangkat bekerja oun, kadang kuceritakan ke bu Dyas. Detail.

 

Ohya bila aku sudah kehabisan cerita, aku bernyanyi saja. Suka-suka sie lagunya.  Seringnya lagu-lagu BCL, penyanyi kesayanganku. Tinggal buka di youtube, kupilih lagu apa, dan tara…nyanyi deh aku bareng BCL.

 

Eh tapi aku pernah malu lho. Gara-gara keasyikan menyanyi, aku sampai tak mendengar pak Sammy masuk ke kamar. Kebayang betapa malunya apalagi saat itu aku sedang  goyang bareng Via Valent.

 

Ohya pak Sammy ini, kata teman-teman yang bertugas di receptionist adalah pacar bu Dyas. Ha..ha aku sempat ditertawakan oleh mereka gara-gara aku tak pernah tahu gossip-gosip terbaru pada selebritis Indonesia.

 

                                                  -0-

 

Sammy

 

Di rumah sakit, jam 08.00 aku menemui dokter Handoyo, spesialis syaraf yang menangani Dyas. Ini adalah pertemuan ketiga sejak Dyas dirawat paska kecekaan tunggal  kami di jalan tol. Sehari setelah Dyas masuk ke ruang perawatan, pihak rumah sakit memintaku untuk banyak berdiskusi dengan dokter Handoyo.

 

“Benturan keras di kepala menyebabkan bu Dyas mengalami kondisi Minimally Responsive State,” jelas dokter Handoyo waktu itu.

 

Aku membisu. Bayangan kepala Dyas penuh dengan darah saat berada di ruang UGD di sebuah rumah sakit dekat Purwakarta, masih sering terlintas di kepalaku.

 

“Akan sampai berapa lama dok?” tanyaku.  

 

“Pertanyaan ini sangat sulit saya jawab. Aktivitas otak bu Dyas minim. Kesadarannya akan kembali tapi secara bertahap. Seberapa cepat ?  Kita tidak pernah tahu. Bisa beberapa minggu, beberapa bulan, bahkan bertahun.”

 

“Untuk kasus yang mirip Dyas, biasanya berapa lama bisa sadar  dok?” tanyaku mengejar.

 

  Dokter Handoyo menggeleng pelan. “Mohon maaf, saya tidak berani berjanji dan berandai-andai Pak Sammy. Saya cuma bisa sarankan, kalau pas bezuk, ajak keluarga atau orang –orang yang dekat dengan bu Dyas.”

 

Hari ini  dokter Handoyo menjelaskan bahwa respon Dyas masih pasif meskipun sudah seminggu dirawat. “Didoakan saja pak. Semoga ada mukjizat untuk bu Dyas,” katanya singkat.   

 

“Banyak diajak ngobrol tentang hal-hal yang menyenangkan pak Sammy.  Bu Dyas masih mendengar kok. Cuma kondisinya menyebabkan beliau belum bisa merespons.”

 

 Aku merespon penjelasan dokter dengan senyum tipis. Bergegas kutinggalkan ruangan praktek dokter itu dan menuju lantai atas, dimana Dyas dirawat.

 

Kucium kening Dyas begitu aku sampai di kamarnya. Selang masih ada di hidungnya. Beberapa peralatan kedokteran yang entah apa namanya masih menempel di kening dan kepalanya. Jujur seminggu di rumah sakit, wajah kekasihnya itu tampak lebih bersih, meskipun pucat.

 

Peristiwa kecelakaan kami seminggu lalu kadang masih  membuat bulu kudukku berdiri. Bagaimana bisa, mobil melaju dengan kecepatan 140 km, oleng, lalu menabrak pembatas jalan, tapi tak membuat tubuhku lecet sama sekali. Dyas hanya luka di kepala meskipun agak parah namun selauruh badannya tidak mengalami luka yang berarti.

 

                                                  -0-

** bersambung

   

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.