TRAVEL TIME TUNNING : PESONA SANG RATU WILWATIKTA

TRAVEL TIME TUNNING : PESONA SANG RATU WILWATIKTA
Aku masih berdiri di sebuah hamparan sawah padi yang mulai menguning. Disebuah petak tanah, bersebelahan dengan tempatku berdiri. Terlihat beberapa pria yang sedang sibuk mencetak batu bata. Ada yang menggali tanah, mengaduk tanah kemudian dicampur air dan beberapa orang kebagian mencetaknya menjadi kotak-kotak berukuran besar.
Aku perhatikan, ukuran batu bata tidak lazimnya sebagaimana yang aku ketahui. Panjangnya seukuran penggaris yang biasanya aku pakai sewaktu sekolah dulu. Sedangkan motif ditengah-tengahnya dibentuk melingkar dan ada yang setengah lingkaran. Sangat berbeda dengan batu bata yang biasa dibuat eyang kakungku.
Beberapa wanita berdatangan sambil membawa sebuah kendi minuman dan menggendong rinjing anyaman bambu. Mendekat kepada para pria dan mengeluarkan isinya. Tampaknya menyajikan hidangan untuk suami-suami mereka yang sedang bekerja.
Ada yang aneh dimataku. Pakaian para wanita tersebut seperti difilm-film kolosal yang pernah aku tonton di televisi. Aku dan eyang kakung memang sangat demen dengan tontonan acara TV bertema sejarah.
Ibu-ibu tersebut memakai jarik dan kemben, rambut hitam legamnya yang kemilau disanggul miring kekiri tanpa tusuk konde atau disebut Gelung kekendon.Yaitu model gaya rambut wanita rakyat Majapahit yang pernah aku baca dibeberapa buku sejarah milik eyang kakung. Juga terdapat Tilaka atau tanda didahi, juga Sekartaji atau hiasan bunga pada telinga.
Sedangkan pakaian para pria tersebut sangat sederhana, hanya memakai cawat atau celana pendek dan ditutupi satu kain berbunga-bunga yang dikencangkan diperut dengan menggunakan kain tipis atau linen.
Meskipun mereka tanpa memakai alas kaki, tidak ada rasa cemlekit saat melewati bebatuan dipinggiran sawah. Ataupun kakinya terasa panas saat berjalan melintasi sepanjang jalan persawahan dibawah terik panas matahari yang menyengat.
“Mbok…wedang secang e sueger," ucap seorang pria yang dibagian tubuh atasnya tidak tertutup selembar kain.
“Suwun pak ne…monggo disekecak aken maleh dahar e (Jawa ; Makasih pak, silahkan diteruskan makannya),” jawab wanita bersanggul miring tersebut.
Aku masih berdiri kebingungan, seingatku aku tadi sedang berada dibagian sisi belakang Pendopo Agung Trowulan.
Aku sedang gowes pagi, karena hari ini adalah hari Minggu bertepatan dengan libur kuliah. Setelah berkeliling Trowulan, aku berniat istirahat di pendopo Trowulan setelah menikmati semangkuk mie godok panas diwarung sebelah. Udara disekitar pendopo sangat sejuk bersama iringan angin yang berhembus mesra dikulitku.
Sambil melegakan perutku yang kekenyangan, aku berkeliling melihat relief-relief indah yang terukir pada dinding pagar tembok disisi belakang Pendopo Agung Trowulan. Relief tersebut menggambarkan sosok “Raja Putri” atau Ratu wanita yang sedang berkuasa di Majapahit yaitu ibunda Ratu Tribuana Wijayatunggadewi. Selain itu juga menggambarkan sosok Mahapatihnya yang termashur di kerajaan adidaya kala itu. Ketika pengangkatannya sebagai Mahapatih Amangku Bhumi ,Gajah Mada mengucapkan sumpah palapa dengan disaksikan sang ibunda ratu. Sumpah sang Mahapatih yang tersohor tersebut diikrarkan bahwa beliau tidak akan merasakan kenikmatan duniawi sebelum berhasil mempersatukan Nusantara dibawah naungan Majapahit.
Saat aku masih kecil, eyang kakungku selalu bercerita tentang dua sosok tersebut. Beliau sangat meneladani kehebatan seorang ratu perempuan terhebat di Majapahit. Sosok wanita pionir dalam usaha perluasan Majapahit. Sosok perempuan pemberani dan tidak enggan turun kemedan perang meskipun beliau adalah seorang ratu. Oleh karena itulah aku diberinama Tunggadewi , mungkin orang tuaku dan eyangku sangat terinspirasi dari kepribadian sang ratu.
Begitu pula cerita eyang kakung tentang sosok Mahapatih Amangku Bhumi yaitu Gajah Mada. Beliau seorang panglima perang, seorang menteri besar di kerajaan Majapahit yang mengantarkan kerajaan pada puncak kejayaannya. Gajah mada berperan besar dalam kesuksesan era ratu Tribuana Tunggadewi, berlanjut era Raja Hayam Wuruk. Karena pada era Tribuana Tunggadewi ini ekspansi besar-besaran Majapahit dimulai.
Saat aku berdiri tepat didepan relief sosok ibunda Ratu Tribuana Tunggadewi, tanganku dengan spontanitas mengelus wajah dan mahkota yang dikenakan. Relief sang ratu menggambarkan sedang duduk diatas kereta yang sangat mewah. Dengan ditarik oleh seekor binatang gajah yang sangat kuat.
Aku teringat cerita eyang kakung bahwa seorang wanita harus tetap menjadikan dirinya hebat, kudu pinter, kudu berani, kudu seneng ngangsu kaweruh, bijaksana, tidak boleh minder dengan kehebatan laki-laki. Seorang wanita juga bisa menjadi pemimpin hebat seperti ibunda Ratu penguasa ketiga kerajaan Majapahit.
Entah tiba-tiba ada kekuatan hebat yang membuat aku seakan melesat ke sebuah perpindahan dimensi. Dan sekarang aku sadar sedang bediri disebuah zaman yang selalu aku baca dibuku-buku sejarah milik eyang kakung.
“Mbok ono opo toh kok dalane rame?.”
Seorang anak kecil perempuan yang sedang bermain tanah lempung diarea pembuatan batu bata sedang bertanya kepada seorang perempuan bersanggul miring kiri tadi.
“Wehhh…kok kowe jek takon toh Nduk, Yang Mulia Kanjeng Ratu Ayu Kencono Ungu lagi lewat iring-iringan,” jawab wanita yang dipanggilnya mbok oleh anak kecil tersebut.
“Wahh kulo kepengen mersani kewan Gajah lewat mbok(Saya pengen lihat hewan gajah bu),” jawab si anak kecil dengan suara merdu dari mulutnya yang mungil.
Akupun berjalan mendekat ketempat keluarga itu sedang berkumpul. Dengan tatapan ragu, karena aku khawatir jika mereka akan curiga melihat aku yang berpakain tidak sama dengan mereka.
Sepanjang jalan disisi pematang sawah, terlihat hilir mudik laki-laki maupun wanita berpakaian yang sama seperti wanita bersanggul miring kiri yang ada dihadapanku saat ini.
“Ngapunten bu…nyuwun sewu bade tangglet." Akupun memberanikan diri mulai berbicara, sambil menundukkan badanku.
Mereka semua yang sedang sibuk bekerja mencetak batu bata, terlihat aneh pandangannya ke aku. Wanita bergelung miring kiri memperlihatkan tatapan yang sama.
“Ngapunten bu, pak…saya bade tangglet, ini desa apa namanya? Saya sedang kesasar kemari.”
Akupun tetap menjaga cara bicara dan sikapku agar sopan terhadap orang yang lebih tua. Begitulah dhawuh eyang kakung kepadaku.
“Ngapunten…mbak yu mau kemana? Ini kan Majapahit," jawab wanita bersanggul miring kekiri lagi.
Semburat wajahnya, memperlihatkan kecantikan alami wanita Jawa. Apalagi nada bicaranya sangat kalem sambil menundukkan tubuhnya saat berbicara.
Aku sangat terkejut mendengar jawaban beliau. Apakah ini semua mimpi atau khayalanku semata?. Saat ini aku benar-benar menginjakkan kakiku di bumi Wilwatikta yang tersohor kebesarannya.
Saat aku membaca buku-buku sejarah Majapahit milik eyang kakung, aku selalu membayangkan sedang berdiri ditengah-tengah perkampungan Majapahit. Sambil membayangkan suasana kehidupan masyarakatnya kala itu. Aku cubit pergelangan tanganku, meyakinkan jika saat ini aku memang tersadar dan tidak dikuasai alam mimpi.
“Saya enggak tahu mau kemana bu, saya dari kota, bingung tiba-tiba nyasar dipersawahan ini”.
“Dari kota mana Mbak yu? Apa diluar wilayah Majapahit?."
Wanita itu seakan curiga kepadaku, sambil melihat model pakaianku.
Aku sedang mengenakan celana sporty dan kaos lengan panjang berwarna hitam, juga bersepatu olah raga berwarna putih.
“Bukan dari kerajaan mana-mana bu…saya dari kota modern, saya dari masa depan, 800 tahun kemudian sesudah ada kerajaan Majapahit."
Aku bersusah payah merangkai kalimat, agar apa yang aku jelaskan bisa dipahami mereka. Agak aneh memang dengan penjelasanku. Terbukti dengan raut wajah mereka kebingungan saat mendengarkannya.
“Mbok bingung Mbak yu, ngapunten…mboten paham maksude jenengan."
“Ayo mbok, bali disek…Mbak yu diajak kerumah wae…kanjeng Ratu Kencono Ungu sediluk engkas bade rawuh iring-iringan, ayo siap-siap."
Seorang pria yang sedari tadi mendengarkan perbincangan kami sambil mencetak bata, tiba-tiba menyahut kepada perempuan bersanggul miring yang tidak lain adalah istrinya.
“Monggo Mbak yu, derek kami…nanti aja penjelasane dirumah," pinta wanita bersanggul miring kepadaku.
Akupun mengikuti permintaan mereka. Karena tidak ada pilihan lain lagi. Daripada aku bingung harus kemana dan bagaimana. Dari perbincangan kami saat menyusuri sepanjang jalan persawahan. Aku baru mengetahui nama wanita bersanggul miring tersebut adalah Mbok Manik.
“Mbak yu asma ne sinten?"
“Nama saya Tunggadewi mbok,” jawabku, dan aku mulai menyesuaikan untuk memanggil beliau dengan sebutan Mbok.
Saat mendengar jawabanku, mbok Manik menghentikan langkahnya dan memandang kearahku. Ada ekspresi ketakutan diwajahnya.
“Namanya sama dengan Yang Mulia Ratu? Apa njenengan masih saudaranya Gusti Ratu?” terdengar nada bicaranya sedikit gemetar.
“Jangan takut Mbok, saya tidak ada kaitannya dengan keluarga kerajaan…saya benar-benar kesasar kesini, saya orang lain, saya rakyat biasa."
Raut wajah mbok Manik pun kembali sumringah, mendengar aku menjelaskan bersungguh-sungguh meyakinkan beliau.
“Perkenalkan nama saya Dewi Ayu Mbak yu."
Tiba-tiba anak kecil yang sedari tadi sibuk dengan mainan yang dibuatnya dari tanah lempung menyahut. Sambil menelungkupkan tangannya didada.
Aku salut dengan sikapnya yang sopan saat mempekenalkan dirinya. Akupun tersenyum, begitupula dengan mbok Manik.
“Wahh namanya cantik sekali, lagi bawa mainan apa itu?”
“Ini celengan terakota Mbak yu….tadi dibuatin Romo disawah." Suara merdu dan lucunya membuatku gemes.
Pakaiannya mengingatkan aku saat dulu masih duduk dibangku TK. Aku sering mengikuti kegiatan karnaval. Dan kostum anak-anak perempuan rata-rata memakai kemben, dengan gelung rambut mengerucut di ubun-ubun menyerupai candi. Jika dalam buku sejarah, gelung model tersebut dinamakan gelung cacandyan. Terselip juga bunga anggrek ditelinganya.
Dewi Ayu kecil menggandeng tanganku kegirangan. Dia terlihat ingin mencari perhatianku, entah kenapa. Padahal sebelumnya kami tidak pernah mengenal sekalipun.
Kamipun terhenti disebuah sisi jalan perkampungan yang masih terhampar dari tanah. Tidak beraspal ataupun paving seperti dikampung-kampung saat ini. Sepanjang sisi jalan masih banyak ditumbuhi pepohonan yang rimbun. Tanaman buah-buahan, umbi-umbian, cabe. Dan pohon palem terlihat mengisi area kebun-kebun yang berada diarea perkampungan ini. Berderet juga pohon yang tidak asing bagiku, eyang pernah menunjukkan saat kami sedang berjalan-jalan. Pohon Maja yang terkenal dan menjadi cikal bakal terbentuknya nama Majapahit.
Aku baru tersadar jika kami sudah hampir berjalan setengah jam dari sawah tempat suami Mbok Manik membuat batu bata. Area pertanian tegalan tampaknya terpisah dari lingkungan hunian di masyarakat dan fungsinya untuk pertanian saja. Sama seperti kehidupan jaman modern sekarang ini.
Seorang pria yang sedang menarik cikar berisi tumpukan gabah, menghentikan laju roda cikarnya. Kemudian turun dan berdiri disamping geladak cikar yang terbuat dari kayu. Pria tanpa baju atasan dan memakai udeng dikepala, tampak bersiap-siap mengambil sikap penghormatan.
Sejenak kemudian, mbok Manik memberikan isyarat kepadaku agar menghentikan langkah kami.
“Mbak yu…kalau Yang Mulia Ratu Kencono Ungu rawuh (jawa ; datang) …jenengan bersikap seperti kawula Majapahit ya,” jelas Mbok Manik dengan sikapnya yang kalem.
Aku pun mengangguk saja, entah bagaimana sikap yang harus aku tunjukkan agar seperti para kawula Majapahit. Aku bingung. Jalan satu-satunya adalah mengikuti gerak-gerik mbok Manik agar tidak salah langkah.
Terdengar gemuruh iring-iringan dijalanan kampung dihadapan kami. Dari posisi kami berdiri dengan sikap menunduk dan menelangkupkan kedua telapak tangan didada, terdengar suara para prajurit pengiring memberikan isyarat kepada para kawula agar memberikan sikap penghormatan kepada sang Ratu yang sedang rawuh.
Aku pun mulai melihat iring-iringan barisan para prajurit kerajaan. Mereka terlihat sangat gagah perkasa dan berbadan tegap. Wajah-wajah yang menunjukkan keberanian sebagai seorang prajurit dan pasukan pengawal raja.
Aku semakin deg-degan, hatiku gemetar karena sebentar lagi aku akan menyaksikan langsung wajah Gusti Ratu Kencono Ungu yang sudah sedari tadi disebut-sebut, saat kami masih berada disawah.
Sambil meredam gemuruh hatiku, aku berniat memperhatikan gaya busana para prajurit tersebut. Bagian kepalanya rata-rata bergelung cacandyan, mengenakan Suweng, Kalung, Kilatbahu, Gelangkana, Binggel, Sinjang, Sabuk dan Gamparan. Bagian bawah memakai cawat atau celana pendek dan ditutupi satu kain berbunga-bunga yang dikencangkan diperut dengan menggunakan kain tipis atau linen. Gaya busana laki-laki Majapahit dalam buku-buku sejarah yang pernah aku baca disebut Bhusana Gagampang Putra.
Di kanan dan kiri para prajurit, sangat jelas memegang senjata tombak dan perisai.
Setelah deretan para prajurit didepan berlalu, terlihat jelas seorang wanita yang sangat cantik parasnya duduk diatas sebuah singgasana kereta mewah, dengan tunggangan seekor Gajah. Keelokan wajahnya menunjukkan sinar kewibawaannya dan kebijaksanaannya sebagai seorang pemimpin kerajaan.
Aku pun menundukkan tubuh dan wajah dengan menelungkupkan kedua telapak tangan di dahi, serta memberikan sikap penghormatan sebagaimana yang dilakukan mbok Manik. Aku mengerti jika wanita berparas ayu rupawan yang sedang duduk diatas singgasana kereta itu adalah Gusti Ratu Kencono Ungu.
Aku tidak ingin melewatkan momen bersejarah dalam hidupku ini. Sambil menunduk, aku tetap mencurahkan perhatian kedua mataku kearah sang Ratu. Pesona senyumannya yang indah memancarkan rasa kedamaian dan keramah tamahan kepada para kawulanya. Seakan menunjukkan ulasan sapaan satu per satu kepada setiap orang yang dilewatinya. Dan tidak ingin melewatkan satu pun.
Ageman yang beliau kenakan sangat jelas menandai kebesarannya sebagai seorang ratu penguasa Majapahit.
Mataku pun beralih, memperhatikan seorang pria tinggi, besar, gagah perkasa dan menunggangi seekor Gajah. Tetapi beliau berjalan lebih depan dari singgasana kereta sang Ratu.
Hatiku semakin berdebar kencang. Badanku terasa gemetar entah kenapa. Sikapnya yang tegas dan berani menunjukkan bahwa dialah pimpinan tertinggi para prajurit kerajaan tersebut. Hati kecilku bertanya-tanya sendiri, apakah pria gagah perkasa yang sedang memimpin barisan prajurit Bhayangkara (pengawal raja) adalah sang Mahapatih, yang menjadi “Pahlawan Pemersatu Nusantara” ? Apakah pria tinggi besar itu adalah Gajah Mada yang sangat terkenal seantero Nusantara dengan sumpah palapanya?
Barisan iring-iringan sang Ratu Kencono Ungu tiba-tiba berhenti tepat didepan kami. Mbok Manik yang berdiri dibelakang suaminya terlihat grogi. Mungkin hatinya sama dengan yang aku rasakan. Aku pun mulai cemas, aku takut jika pakaianku yang sangat berbeda dengan para kawula wanita Majapahit, akan ketahuan para pejabat tinggi kerajaan tersebut. Sedangkan aku sendiri yang memakai kerudung.
Mbok Manik melirik kearahku, kami terdiam dan berdiri menunduk terpaku. Aku tahu jika Mbok Manik mengkhawatirkan pakaianku. Si kecil Dewi Ayu berkali-kali mendongakkan wajah mungilnya kearah ibunya juga ke arahku. Entah apa yang dipikirkan si kecil Dewi Ayu.
“Mbak yu…Sang Patih turun dari lenggahnya,” bisik si kecil Dewi ayu kepadaku.
Mbok Manik memberikan isyarat telunjuk jarinya dimulut, si kecil Dewi Ayu pun terdiam dan kembali menunduk sambil menelungkupkan kedua telapak tangannya didahi.
Terdengar langkah kaki semakin mendekat. Suasana terlihat senyap, tidak ada satupun yang berbicara. Aku semakin gemetar. Aku hanya bisa menerima konsekuensi jika memang ketahuan berbeda. Aku harus tetap menjaga rasa sopan santun dan berani bertanggung jawab serta berprinsip kejujuran jika memang ketahuan sang patih gagah perkasa itu.
“Pangapunten Mbok,” terdengar suara tegas, namun ramah sedang menyapa mbok Manik.
“Injih Gusti Patih…sendiko dawuh," jawab Mbok Manik
“Mbok...saget paring perso ingsun…sinten Mbak yu engkang sebelahan kalian panjenengan meniko? (jawa : Bu, bisa diberitahu saya, siapa orang disebelah anda?)” jelas Pria gagah perkasa yang aku lihat samar-samar dari mataku yang menunduk.
Apa yang aku khawatirkan memang benar. Pria gagah perkasa yang aku sebut-sebut sendiri adalah patih Gajah Mada sedang bertanya kepada mbok Manik perihal keberadaanku.
“Nyuwun pangapunten Gusti Patih….meniko asmanipun Tunggadewi. Saking kuto…sakmeniko klintu jalan…nyasar engkang tegalan Wilwatikta (Mohon maaf Gusti Patih, Dia bernama Tunggadewi. Dari kota…sekarang sedang keliru jalan…nyasar di persawahan Majapahit)."
Mbok Manik terdengar geragapan menjawab pertanyaan yang disebut Gusti Patih.
Aku yakin jika sang patih tersebut sedang memperhatikanku, tetapi aku tidak berani untuk mengangkat wajahku dan menatapnya. Mungkin beliau terkejut mendengar namaku seperti nama salah satu Ratu penguasa Majapahit.
“Pangapunten Mbok….meniko Mbak yu tasek sederek an kalian panjenengan? (Mohon maaf Bu…apakah orang ini masih saudara kamu?)…Busana Angger benten sanget kalian kawula Wilwatikta (pakaian orang ini sangat berbeda dengan masyarakat Majapahit)."
“Mboten Gusti Patih…Pangapunten, kulo enggal kepanggeh Mbak yu meniko dateng tegalan nembeh sakmeniko….Angger kadose bingung, kulo bade nyemanggak aken engkang gubuk kulo (Tidak Gusti Patih…Mohon maaf, saya juga baru menemui orang ini di persawahan, orang ini sepertinya bingung, saya berniat mempersilahkan dia kerumah)."
Sang Gusti Patih terdiam. Beliau berusaha membuat Mbok Manik tenang dan tidak ketakutan.
Jika diperkenankan, aku ingin langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan sang patih tersebut. Aku tidak ingin membuat Mbok Manik dipersalahkan karena hendak mengajakku kerumahnya. Tetapi aku bingung harus memulai darimana, aku juga tidak ingin menyela pembicaraan sang Patih dengan Mbok Manik. Eyang kakung selalu mengajarkan agar kita tidak menyela begitu saja saat orang lain sedang berbicara.
“Mbak yu..asma Tunggadewi, Pangapunten." Aku terkejut mendengar sapaan sang patih kepadaku.
Aku masih menundukkan wajah sambil menelungkupkan kedua tangan didahi. Aku tidak tahu antara perasaan takut atau bahagia, karena saat ini aku sedang diajak berbicara dengan pejabat tersohor di bumi Majapahit.
“Injih Gusti." Aku pun menjawab pelan. Tenggorokanku seakan mendadak parau, mungkin efek kegugupanku.
“Nyuwon perso ingsun, sinten sejatine panjenengan….? Dateng engkang pundi? Wilayah kerajaan nopo? Wonten urusan menopo dibumi Wilwatikta? Nopo panjenengan telik sandi utusan kerajaan seberang ? (Minta tolong beritahu saya, siapa sesunggunya kamu?Datang darimana? Wilayah kerajaan mana? Ada kepentingan apa di Majapahit? Apakah kamu mata-mata perintah kerajaan seberang?)”
Sang Patih mendadak memberondongku dengan deretan pertanyaan yang membuatku bingung harus mulai menjawab darimana. Aku pun mulai mengangkat wajahku pelan-pelan. Aku mulai terlihat jelas dengan sosok wajah sang Gusti Patih.
Jika dalam pewayangan terdapat sosok Bima yang tinggi besar juga gagah perkasa. Maka berdiri dihadapanku inilah penggambaran sosok tersebut. Didepan dadanya mengenakan lapis logam (karambalangan) berhias timbul dari emas. Bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dan intan berlian. Sungguh perawakan yang sempurna, dengan cara bicara yang tajam dan tegas. Bagi seorang yang pertama kali melihat sosok beliau, pasti sangat mengesankan.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan tersebut, sang Gusti Patih dipanggil oleh sang Ratu. Sang Patih kemudian memberikan isyarat prajurit Bhayangkaranya, jika sang Ratu hendak turun dari lenggahan singgasana keretanya. Sang Ratu ingin menyapa para kawulanya.
Raut wajah mbok Manik berubah menjadi sumringah seketika. Aku tahu jika mbok Manik hatinya lega, karena aku tidak jadi diintrogasi sang Patih.
“Mbak yu…Kanjeng Ratu sangat cantik….aku ingin ageman seperti Kanjeng Ratu agar terlihat cantik.” Bisikan celoteh si kecil Dewi Ayu kepadaku, sambil menarik-narik bajuku.
Aku tersenyum gemes dan mengangguk, Dewi ayu yang masih kecil dan polos saja mengakui kecantikan sang Ratu Kencono Ungu, apalagi aku.
“Pangapunten Yang Mulia Ratu Kencono Ungu, mugio pinaringan Rahayu Sagung Dumadi,"
Terdengar sambutan penghormatan dari para kawulo Majapahit satu per satu.
“Mugi Yang Mulia Ratu Jayawisnuwardhani pinaringan wilujeng."
Akupun mendengar mereka saling menyambut sang Ratu penuh kegembiraan. Bahkan doa-doa dilanjutkan untuk sang Ratu dari para kawulanya.
Sang Komandan pasukan Bhayangkara yaitu sang Patih mulai membuka sambutannya dihadapan kami. Beliau mengatakan jika sang Ratu bermaksud menyampaikan beberapa perihal penting dikampung ini. Dan kami semua dimohon untuk serius memperhatikan dawuh sang Ratu Kencono Ungu.
Sebenarnya aku sedikit mengerti dengan bahasa yang dipakai para pejabat elit Majapahit tersebut. Jika memakai bahasa kromo inggil aku masih bisa mengerti dan paham. Tetapi ada beberapa kalimat yang menggunakan bahasa jawa kuno yang aku sangat-sangat tidak tahu maksudnya. Apakah bahasa yang mereka pergunakan itu adalah bahasa Jawa kawi ataukah bahasa Sansekerta? Jika ada eyang kakung disini mungkin aku bisa menanyakan langsung, tetapi aku harus bertanya kepada siapa? Lamunanku dibuyarkan oleh suara si kecil Dewi ayu lagi.
“Mbak yu…Gusti Mahapatih Gajah Mada itu sangat gagah perkasa ya…aku takut tadi sewaktu berdiri disini."
Aku pun mengangguk dan mengiyakan ucapannya. Kini aku baru yakin bahwa Gusti Patih yang tadi memberondongku dengan pertanyaan tidak lain adalah Mahapatih Amangku Bhumi Gajah Mada.
Ya Tuhan, apakah ini mimpi? Aku yang selama ini hanya membaca cerita Gajah Mada dibuku-buku sejarah atau majalah anaka-anak saat masih kecil. Saat ini bisa melihat langsung bahkan berbicara langsung dengan beliau. Aku jadi terharu dan teringat eyang kakung.
Jika yang sedang berdiri didepan kami adalah Mahapatih Gajah Mada, lantas apakah Kanjeng Ratu yang sedang berdiri disebelahnya dengan didampingi para dayang-dayang cantik adalah sang Raja Putri Tribuana Wijayatunggadewi? Sedari tadi aku belum mendengar para kawula Majapahit menyebut nama tersebut. Yang aku dengar mereka selalu memanggil sang Ratu dengan Yang Mulia Ratu Kencono Ungu.
Tetapi, aku barusan juga mendengar para kawula saat memeberikan penghormatan sang Ratu dengan panggilan Jayawisnuwardhani. Aku baru teringat dan ngeh jika memang ibunda Ratu Tribuana Tunggadewi memiliki nama Abisheka Jayawisnuwardhani. Aku bertambah yakin jika sang Ratu yang sedang berdiri memulai sambutannya itu adalah ibunda Ratu Tribuana Tunggadewi, yang menjadi inspirasi keluargaku saat memberiku nama. Aku semakin terharu dengan momen ini, aku bertambah teringat eyang kakung akan semua ceritanya mengenai kedua sosok pejabat elit Majapahit itu.
Butiran air mataku tiba-tiba terasa membasahi pipiku. Entah air mata kebahagiaan ataukah ketakutan karena bisa jadi setelah ini, sang Patih Gajah Mada akan mengintrogasi aku lagi.
Aku mulai berusaha memperhatikan apa yang Sang Ratu Kencono Ungu haturkan saat ini. Aku mulai berkonsentrasi mendengarkan. Mataku tidak berhenti memandangi pesona wajahnya yang cantik rupawan, pesona kewibawaannya juga selalu terpancar. Mungkin sosok inilah penggambaran kecantikan alami dari putri-putri kerajaan Jawa.
Kecantikan sang Ratu juga tersirat dari busana yang dikenakan. Seperti dibuku-buku sejarah yang aku baca, jika setiap kerajaan Nusantara memiliki pakaian yang menandai kebesaran raja dan keelokan paras permaisuri. Pakaian ini disebut Adhimukhyabhusana. Pakaian raja dan permaisuri memiliki perbedaan nama. Untuk yang dikenakan oleh raja disebut Mahabhusana Rajakaputran Wilwatiktapura. Sedangkan pakaian yang dikenakan permaisuri kerajaan Majapahit disebut Mahabhusana Rajakaputrian Wilwatiktapura, yang terdiri dari Makuta, Sumping, Kundala, Karah, Kalung, ýUpawita, Udarabandha, Uncal, Katibandha, Kilatbahu, Gelangkana, Kalpika, Binggel, Nupura, Sampet, Wastra, Kampuh, Sinjang, Sabuk, Sasampur dan Gamparan.
Sang ratu mulai memberikan sambutan yang intinya bisa aku pahami sedikit-sedikit, karena aku belum sepenuhnya mengerti bahasa Jawa kuno yang mereka gunakan sehari-hari.
“Wahai para kawulo Majapahit engkang katresnan sedoyo…saya haturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya. Karena berkat kalian semua, sektor pertanian di bumi Wilwatikta semakin hari semakin maju. Hasil pertanian semakin tahun semakin melimpah. Kesuburan tanah Wilwatikta yang Gemah Ripah Loh Jinawi, harus kita iringi dengan rasa syukur yang tidak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bumi Wilwatikta yang terletak diwilayah dataran rendah yang luas, adanya aliran beberapa sungai dan terdapat gunung berapi adalah faktor yang mendukung perkembangan kesuburan tanah Wilwatikta. Sehingga sangat cocok untuk kegiatan pertanian segala jenis tanaman. Kegiatan pertanian bisa menjadi sektor utama pemasukan kerajaan. Saat ini tanaman unggulan sektor pertanian kita adalah Padi. Semakin tahun hasil panen padi semakin berlimpah ruah dan semakin bagus kualitasnya. Oleh karena itu, saya sebagai sang Ratu sangat mendukung kegiatan pertanian bisa dikembangkan sebaik mungkin.
Kegiatan pertanian yang selama ini menjadi andalan perekonomian kita adalah pertanian basah yang dilakukan di tanah persawahan atau pertanian sawah. Sebagaimana para kawula persani bahwa pertanian sawah ini memerlukan air dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, sebagai langkah pengembangan pertanian sawah ini kami selaku pejabat kerajaan memberikan perhatian khusus untuk penyediaan pengairan di sawah-sawah. Kami akan semakin meningkatkan pembangunan kanal-kanal, tanggul sungai, pembuatan waduk, dam dan lain-lain. Sebagai upaya memberikan pengairan yang cukup untuk sektor pertanian basah yang sudah berjalan.
Terima kasih banyak kepada para kawula ku semuanya, mari kita bersama-sama gotong royong, meningkatkan perekonomian masyarakat kerajaan kita. Gemah Ripah Loh Jinawi, toto Tentrem Kerto Raharjo…Rahayu."
Ratu Kencono Ungu mengakhiri sambutannya dengan diiringi senyum lembut kepada para kawulanya. Sangat jelas menampakkan seorang Ratu yang penuh dengan keramah-tamahan.
Sang Ratu kemudian bergegas menuju singgasana keretanya diiringi para dayang-dayang cantik. Menyusul kemudian sang Patih berpamitan kepada para kawula yang masih berdiri berjejer di sisi-sisi jalanan berdebu. Aku pun segera mengangkat wajahku, tidak ingin ketinggalan menyaksikan pemandangan iring-iringan sang Ratu beserta pasukannya.
Tanpa tersadar saat aku tenggelam dalam keriuhan deru kereta sang Ratu, sekelebat wajah sang Patih menoleh ke arahku, menatap dengan sorot matanya yang tajam. Aku pun tersentak. Ada rasa ketakutan bercampur grogi. Apakah sorot mata sang Patih seakan menunjukkan jika urusannya denganku belum selesai ?
Mbok Manik menepuk pundakku, membuyarkan segala lamunan ku terhadap wajah sang Patih. Mbok Manik mengajakku untuk bergegas pulang kerumahnya. Suaminya menyuruh kami untuk berangkat terlebih dahulu, beliau masih mampir ladang untuk memanen beberapa singkong.
Aku pun sampai disebuah pelataran. Didepanku berdiri sebuah bangunan yang ukurannya tidak terlalu besar. Kerangka rumah tersusun dari bahan kayu, berdinding anyaman bambu dan berlantai batu bata. Atap joglo terhampar dari genteng dan berhias ukel disisi kanan kiri. Sangat artistik sekali meskipun sederhana.
Dibagian sisi luar juga terdapat dua buah bangunan, tetapi lebih kecil ukurannya. Nampaknya adalah Pawon (Dapur), karena nampak beberapa gerabah terbuat dari tanah liat tersusun berderet diatas sebuah dipan kayu. Seperti : tempayan, periuk, kendil, kuali, anglo dan kekep.
Mbok Manik mempersilahkan aku untuk mencuci tangan dan kakiku di sebuah pancuran air didalam sebuah gentong. Seperti itulah tradisi masyarakat sebelum masuk kedalam area rumah, setahuku disebut Padusan.
Mbok Manik mempersilahkan aku untuk mandi kemudian beristirahat. Rasa gerah dan keringat ditubuhku sudah sedari tadi aku tahan. Karena setiap gowes aku selalu mengayuh sepeda dengan kecepatan seperti hendak lomba saja. Sehingga tidak heran jika bajuku selalu nampak basah seperti mandi keringat.
“Ganti bajunya sudah tak siapin di dalam ya Mbak yu,"
Terdengar sahutan mbok Manik dari arah dapur, saat aku sedang mengambil air disebuah sumur Jobong. Sumur melingkar yang terbuat dari bahan tanah liat atau terakota. Disisi nya terletak sebuah jambangan air yang terbuat dari tanah liat juga.
“Inggeh Mbok,” jawabku singkat.
Meskipun aku tidak tahu pakaian model seperti apa yang sedang disiapkan mbok Manik untukku.
Hari sudah semakin gelap saat aku dipanggil si kecil Dewi Ayu mengetuk pintu kamar tempatku beristirahat. Rupanya Dewi Ayu hendak memberikan sebuah obor kecil untuk penerangan dikamar yang aku tempati.
“Mbak yu…disuruh simbok ke pendopo bale depan, dahar rumiyen (makan dulu)."
Setelah ku taruh obor kecil diatas sebuah meja kayu, aku mengikuti arah Dewi Ayu menuju bale yang dikatakannya. Suasana diluar sangat gelap, hanya cahaya temaram dari beberapa obor disudut-sudut kayu yang menerangi sekeliling pelataran rumah Mbok Manik. Kakiku sedikit ngilu karena berkali-kali menginjak bebatuan kali yang tertata di pelataran depan kamar, sepertinya berfungsi sebagai lantai.
Mbok Manik tersenyum menyambutku disebuah bale, pendopo kecil menyerupai gazebo. Sepertinya mbok Manik tersenyum melihat penampilanku yang mungkin aneh mengenakan bajunya. Aku memakai pakaian kebaya berlengan panjang dengan bawahan kain jarik yang diwiru bagian tengahnya. Sedangkan selendang nya sengaja aku pakai sebagai kerudung. Persisi dandanan ku saat mengikuti karnaval kabupaten dengan dandanan ala-ala Rusmini.
“Mbak yu sudah mirip kawulo Wilwatikta dengan busana begini….ayu banget."
Kemebul nasi yang masih hangat, khas aroma nasi yang dimasak dengan cara tradisional, membuat perutku semakin kemrucuk. Skul Dinyun atau nasi yang ditanak dalam periuk dan skul liwet atau nasi yang ditanak dengan pengliwetan. Dengan lauk ikan gereh yang dikeringkan, serta dilengkapi dudutan yaitu sejenis sayur kangkung yang memanennya dengan cara didudut atau dicabut. Semua wadah untuk makan, baik piring, mangkuk dan tempat air atau kendi terbuat dari gerabah.
Angin malam yang bersemilir lembut, merasuk perlahan kedalam pori-pori kulitku. Aku masih terdiam menikmati heningnya santap malam ini. Seperti inilah keseharian para kawula Majapahit. Penuh kesederhanaan, lingkungan sekitar masih asri, dan semua hidangan pun alami. Tidak tercampur bahan kimia pengawet makanan seperti jaman moden.
Aku baru teringat jika kami hanya bertiga, suami mbok Manik tidak terlihat.
“Mbok…bapak kemana? Kenapa gak ikut makan?”
“Oalah Mbak yu…bapak memang jarang dirumah jika ada tugas. Bapak abdi dalem istana."
Aku tesentak dalam kunyahan nasi dimulutku.
“Abdi dalem istana???." Aku masih bertanya-tanya.
“Istana Wilwatikta toh mbak yu, Bapak kebagian tugas mengirim kayu-kayu bakar ke istana, dan waktu di tegalan tadi bapak mendapat tugas membuat batu bata untuk kebutuhan istana," jelas mbok Manik sambil sibuk memilihi tulang ikan gereh dalam piring gerabahnya.
Akupun terdiam dan larut dalam berbagai angan sebuah istana megah. Istana yang tersohor seantero Nusantara, hingga beratus-ratus tahun keadidayaannya masih terpatri dalam setiap angan para generasinya. Rasa penasaranku terhadap kehidupan sosial masyarakat Majapahit semakin memuncak.
“Mbak yu…sejatine jenengan dari kota mana toh? Punya tujuan kemana? Si mbok jadi cemas kalau-kalau para prajurit Wilwatikta tahu ada orang asing dalam wilayahnya. Mbok seneng mbak yu bisa tinggal disini, tapi identitas Mbak yu pasti dipertanyakan sama para petinggi istana."
Aku bingung harus memulai bercerita darimana.
“Saya…dari jaman modern mbok….jaman delapan ratus tahun dari Majapahit…jaman dimana semua kehidupan sudah modern, peralatan canggih, kendaraan canggih, jaman sudah bersatunya Nusantara menjadi negara Indonesia mbok.”
Mbok Manik semakin bingung dengan penjelasanku, tetapi aku mengerti jika ia tidak mempermasalahkan darimana aku. Ia nampak mencemaskan jika keberadaanku menjadi kecurigaan para pejabat istana.
“Mbok bingung Mbak yu…yoweslah…monggo wedang secang e disruput rumiyen."
Wedang secang berwarna kemerahan yang disajikan dalam gelas tempurung kelapa ini sangat nikmat. Rupanya minuman ini sudah tersaji semenjak jaman Majapahit. Wedang secang terkenal sebagai minuman khas dari daerah Trowulan Mojokerto, berbahan utama dari kayu secang.
Malam pun larut, aku teringat dengan ponsel yang berada di saku celanaku. Entah sudah pukul berapa malam ini. Tetapi rasa kantuk belum juga mendera. Salah satu ponselku tidak aktif, mungkin karena kehabisan baterai. Untung saja satunya lagi masih hidup, meskipun tidak ada sinyal.
Suara jangkrik bersahutan diperkebunan sebelah, terdengar semakin kencang. Aku rebahkan tubuhku disebuah dipan kayu beralas jerami, namun ditutup dengan bentangan kain. Udara dingin semakin menusuk kulitku disela-sela kebaya yang aku kenakan. Lambaian api semakin mendayu-dayu dari penerangan obor. Nuansa kehidupan pedesaan masih sangat kental sekali. Entah Mbok Manik dan si kecil Dewi ayu tidur dimana. Aku menawarkan mereka untuk tidur bareng dikamar ini, tetapi mereka menolaknya.
Disisi meja tersaji sebuah gerabah kecil, setelah aku amati rupanya berisi pinang dan kawan-kawannya yaitu daun sirih dan limau. Tadi sebelum aku berangkat ke kamar, mbok Manik mempersiapkan katanya untukku. Saat pertama datang tadi, sebenarnya mbok Manik sudah menyuguhkannya untukku, begitu pula sebelum menyantap makan malam tadi. Aku jadi paham jika mengunyah pinang merupakan suatu kegiatan yang biasa di jaman Majapahit. Bisa dikatakan sebagai pencuci mulut.
Terdengar ada yang mengetuk pintu kayu kamarku. Aku masih terdiam, siapa malam-malam begini hendak menemuiku. Aku takut untuk membukanya. Cukup lama juga ketukan itu. Aku masih enggan untuk beranjak membukanya.
“Mbak yu."
Suara lirih mbok Manik membuatku tenang, dan membuat aku bergegas untuk membukanya.
Terlihat mbok Manik sudah berdiri didepan pintu, dengan kemben yang tertutup sehela kain selendang dibahunya. Mataku tertuju pada sosok pria disampingnya, berpakain sederhana seperti para kawula pria Majapahit umumnya, dengan udeng dikepala. Berbadan tinggi dan besar, sorot mata tajam tetapi tidak asing bagiku.
“Ada apa mbok?."
Aku melihat ekspresi mbok Manik hanya terdiam menunduk.
“Pangapunten Mbak yu…Gusti Patih ingin bertemu."
Aku terkejut, apakah yang dimaksud Gusti Patih adalah pria disebelahnya? Apakah yang dimaksud si mbok Manik adalah pria itu patih Gajah Mada?
“Gusti Patih?.” Aku masih kebingungan.
“Sakmeniko…Gusti Patih Gajah Mada Mbak yu.”
Rupanya dugaanku benar, sang Patih maha fenomenal di Nusantara itu memang sengaja memakai ageman layaknya rakyat biasa. Mungkin begitulah caranya, agar kehadirannya saat sedang bertugas telik sandi tidak dikenali para kawula Majapahit.
“Pangapunten Mbak yu….Yang Mulia Ratu Kencono Ungu menghaturkan kehadiran panjenengan di istana!." Pria berudeng itu kemudian mengambil alih pembicaraan.
“Saya ?." Aku terkejut mendengar kabar itu, sambil menunjuk jemariku kearah wajahku.
“Ngapunten…tapi….saya…." Aku berusaha untuk meminta penjelasan kenapa aku diharuskan pergi ke istana.
“Sampun mbantah…Mbak yu haturkan penjelasan sewaktu di istana saja," jelas sang Patih dengan suara pelan dan lirih namun tetap tegas.
Akupun tidak bisa lagi menolak, wajah cemas mbok Manik semakin terlihat. Tetapi beliau tidak sanggup menghalangi sang Patih membawaku pergi ke istana.
Sambil memakai sehelai kain selendang yang aku kenakan sebagai kerudung, dan tak lupa tas slempangku sengaja aku bawa.
Aku berjalan beriringan dengan pria gagah perkasa itu. Aku menunduk sambil tidak henti-hentinya mataku mencari tahu sosoknya dari dekat. Penampilan yang sangat berbeda sekali dengan tadi siang yang aku lihat saat konvoi bersama sang Ratu.
Kami hanya berjalan kaki menyusuri sepanjang jalan dengan berselimut gelap malam yang hening. Tidak ada gemerlap lampu penerangan jalan seperti diperkotaan tempatku tinggal. Disini hanya nampak rimbun pepohonan menjulang tinggi di sisi kanan kiri jalan yang masih bertanah hitam kelam.
Tidak ada perbincangan apapun diantara kami. Suasana hening. Aku hanya menunduk sambil tanganku memainkan tas slempang kecilku yang tergantung di bahu kiri. Tidak ada satu pun prajurit lainnya yang mengiringi perjalanan kami. Bahkan tampaknya beberapa kawula yang sedang mondar-mandir membawa keranjang berisi macam-macam hasil bumi yang akan dibawa ke pasar, tidak sedikitpun mengenali sosok patih yang menyamar berpakaian sebagaimana rakyat biasa.
Kami hampir memasuki wilayah istana. Gerbang utama menuju istana (komplek istana) terletak disisi utara tembok, dalam bentuk gerbang agung dengan pintu-pintu besar yang terbuat dari besi berukir. Terlihat para Jajaro ( barisan pasukan pagar penjaga) bersikap tegap dengan bersenjata tombak ditangannya. Di depan gerbang utara terdapat bangunan panjang tempat pertemuan tahunan pejabat negara, pasar dan persimpangan yang disucikan.
Memasuki kompleks memalui gerbang utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan-bangunan suci agama. Dan disisi barat lapangan ini terdapat paviliun yang dikelilingi oleh kanal dan kolam tempat orang-orang mandi. Di ujung selatan alun-alun terdapat berbagai rumah yang dibangun di teras dengan teras. Rumah-rumah ini adalah tempat tinggal para pelayan istana. Gerbang lain mengarah ke lapangan ketiga yang penuh dengan bangunan dan aula besar. Gedung ini adalah ruang tunggu tamu yang akan menghadap raja.
Kami pun sampai disebuah bangunan megah, dikelilingi dinding bata merah tinggi dan tebal. Dua orang kemit (petugas piket jaga) yang masing-masing memegang tombak memberikan hormat kepada sang Patih.
Komplek istana raja terletak di sisi timur alun-alun ini, dalam bentuk beberapa paviliun-paviliun yang dibangun diatas platform batu bata berukir, dengan tiang kayu besar diukir dengan sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen tanah liat.
Aku masih terkagum-kagum dengan kemegahan bangunan istana ini. Istana Wilwatikta yang tersohor kemegahannya di pulau Jawa bahkan negeri seberang. Sang Patih menyuruhku menunggu di balairung, sementara beliau entah hendak pergi kemana. Aku pun sendiri disini. Sebuah balai yang luas dengan tiang-tiang kayu berdiri kokoh seolah-olah sedang memandangiku yang hendak diintrogasi sang penguasa.
“Sugeng dalu, sliramu paring asma Tunggadewi?”
Suara merdu nan kalem datang dari sesosok perempuan cantik, bermahkota persis sama dengan wanita yang tadi siang menyapa para kawulanya di seberang tegalan. Aku sadar jika beliau adalah sang Ratu Kencono Ungu. Wajahnya nampak sumringah dan tidak ada tanda-tanda sedikitpun penuh curiga.
“Injih Kanjeng Ratu." Aku pun memberikan hormat dengan sikap mengapurancang (menangkupkan kedua belah telapak tangan).
Sesaat kemudian sang Patih Amangkubhumi kembali memasuki balairung ini. Beliau sudah berganti ageman sebagaimana yang dikenakan sehari-hari sebagai seorang Mahapatih. Sorot matanya tertuju langsung padaku. Serasa tidak kuasa untuk membalas tatapan sang Mahapatih dengan pesonanya.
Dengan isyarat kedua tangannnya, kanjeng Ratu memerintahkan para dayang-dayang untuk meninggalkan kami semua di balairung.
“Apakah sliramu telik sandi kerajaan seberang Mbak yu?." Sang Patih dengan suara penuh ketegasan memulai menyelidik padaku.
“Kejujuran sliramu akan memudahkan dan mempercepat introgasi kami," tambah sang Ratu.
Aku tidak pernah sedikitpun terpikirkan akan menghadapi situasi ini. Aku dihadapkan langsung dengan dua sosok penting di istana Wilwatikta. Sejak kecil dua sosok itu hanya terukir dalam anganku saja, setiap eyang kakung bercerita perihal sebuah kerajaan yang termashur di Nusantara.
“Saya hanya orang biasa Kanjeng Ratu, saya hanya kesasar di wilayah ini," jawabku, sambil sibuk pikiranku merangkai deretan kalimat untuk bisa dipahami beliau berdua.
“Bagaimana bisa sampai di Wilwatikta Patih? bukankah penjagaan negeri amatlah ketat tiap sudut gerbang wilayah kita!." Sang Ratu seakan meminta pertanggung jawaban kepada Patihnya sebagai pemimpin pengamanan wilayah kerajaan.
“Pangapunten Yang Mulia Ratu, setiap sudut gerbang dan para jajaro, juga para kemit sudah hamba pertanyakan satu demi satu. Tak satupun mereka melihat kedatangan Mbak yu Tunggadewi ini," jawab Sang Patih dengan penuh ketegasan dalam setiap kalimat yang diucapkannya.
“Dari mana asalmu?." Sang Ratu bertanya lagi kepadaku.
“Saya berasal dari Kota Mojokerto, lebih tepatnya saya datang dari jaman modern Kanjeng Ratu."
“Mojokerto ?Jaman Modern?."
“Inggeh…jaman modern adalah jaman dimana kehidupan masyarakat sudah semakin canggih, perkembangan teknologi sangatlah pesat, bahkan ilmu pengetahuan juga sudah semakin luas. Kehidupan delapan ratus tahun kemudian semenjak Wilwatikta berdiri."
Sang Ratu dan sang Patih saling berpandangan. Sepertinya ada sesuatu yang membuat beliau masih belum lega dengan jawabanku.
“Ngapunten…bisa Mbak yu ceritakan dari awal, sehingga bisa sampai di bumi Wilwatikta ini?."
Suara sang Patih memang sekali ucap menggelegar dan tegas, tetapi dari tatapan matanya sangat jelas tersirat rasa tepo seliro kepada sesama, apalagi menghadapi perempuan seperti aku.
Aku memberanikan diri mulai bercerita apa adanya, mulai dari bersepeda gowes, hingga beristirahat di pendopo Agung Trowulan dan melihat-lihat relief pada dinding tembok yang menggambarkan kedua tokoh tersebut.
Sebenarnya aku masih ingin bertanya sesuatu kepada sang Ratu, tetapi aku masih menyimpannya terlebih dahulu dalam pikiran. Aku belum berani berbicara banyak dengan beliau.
Sang Patih memberondongku dengan berbagai pertanyaan lagi dan memintaku untuk memberikan bukti bahwa aku memang hadir dari jaman modern delapan ratus tahun kemudian. Sebuah tas kecil yang menggantung dibahu mulai aku buka, salah satu handphone ku, untung saja masih hidup. Setidaknya bisa membantuku memberikan bukti kepada dua sosok pejabat Majapahit tersebut.
Aku buka menu galeri berisi foto-foto ku, foto-foto perkotaan Mojokerto yang sering aku potret saat sedang jalan-jalan. Dan aku mulai menunjukkan kepada mereka pelan-pelan.
“Pangapunten Kanjeng Ratu, ini namanya handphone. Alat komunikasi di jaman modern. Dengan alat ini kita bisa saling mengetahui kabar satu sama lain dengan lebih cepat. Bisa saling bertegur sapa meskipun saling berjauhan, berbeda desa, kota, kabupaten bahkan negara. Alat ini juga bisa mengabadikan momen-momen penting kita. Jika pada jaman Kanjeng Ratu, penggambaran seseorang dilakukan dengan pembuatan patung arca. Tetapi pada jaman modern kami, salah satunya cukup dengan menggunakan alat ini saja."
“Monggo Kanjeng Ratu, kalian Gusti Patih saget mersani (bisa melihat) gambar-gambar kehidupan modern disini," tambahku kemudian.
Aku pun mempesilahkan beliau berdua untuk melihat-lihat koleksi foto-fotoku. Patih gagah pekasa itu pun mendekat padaku, mengulurkan tangannya untuk meraih handphoneku. Kemudian Sang Ratu menyusul mendekat padaku.
Aroma semerbak khas putri kedaton, tercium lembut dalam helaian saraf indra penciumanku. Dari jarak dekat seperti ini, terlihat jelas kecantikan wajah Sang Ratu yang sesunggunya. Tidak ada polesan make up menor seperti jaman modern. Kecantikan alami sang putri kedaton, khas kencantikan wanita Jawa. Aroma bedak mangir, tidak ketinggalan mengiringi setiap gerakan tubuh Sang Ratu.
Satu per satu aku menjelaskan foto-foto suasana ramainya kehidupan jaman modern. Apa saja kendaraan dijaman modern seperti motor, mobil, kereta api, pesawat. Bagaimana menjulangnya gedung-gedung perkantoran dan mall dipusat-pusat kota. Peralatan rumah tangga dijaman modern, bahkan teknologi mekanisasi pertanian dengan peralatan yang sudah canggih. Model pakaian terkini baik untuk pria maupun wanita. Penjelasanku sangat panjang, hingga tak terasa aku hampir satu jam memberikan ulasan itu.
Sang Ratu dan Mahapatih masih terdiam, belum menunjukkan reaksi apapun. Hatiku sudah cukup deg-degan, jika saja apa yang aku sampaikan masih belum bisa membuat beliau berdua percaya. Aku tidak tahu lagi harus memberikan bukti apalagi. Jika saja handphoneku satunya bisa menyala, mungkin akan aku praktekkan untuk menelpon dihadapan beliau yang terhormat.
Kanjeng Ratu memandangiku cukup lama, raut wajah ketenangan dan tidak gegabah dalam setiap tindakan. Menggambarkan bahwa beliau memang sosok Ratu yang bijaksana dalam menghadapi setiap permasalahan.
“Mahapatih….apa pendapat panjenengan terhadap penjelasan Tunggadewi?."
Mendengar pertanyaan sang Ratu, Mahapatih mulai menata sikap untuk menyatakan segala pikiran dan pendapatnya.
“Hamba menghaturkan hormat, jika semua yang disampaikan Tunggadewi memang hal yang benar dan jujur. Mohon ijinkan Tunggadewi memberikan bukti selanjutnya yang bisa hamba lebih percayai jika berasal dari jaman modern. Pangapunten, Hamba masih membutuhkan beberapa bukti lagi Yang Mulia, agar Hamba bisa memberikan urun rembug keputusan panjenengan. Hamba tidak sanggup memutuskan serta merta waktu sekarang."
Sang Ratu mengangguk, apa yang dijelaskan Mahapatih andalannya memang masuk akal. Sebagai seorang pimpinan, butuh waktu untuk berpikir, melihat bukti-bukti lebih banyak serta mempertimbangkan matang-matang dalam setiap pengambilan keputusan.
“Mahapatih! Aku perintahkan Tunggadewi sementara tinggal disini, siapkan tempat yang tidak jauh dari istanaku! Agar setiap hari aku bisa menemuinya! Siapkan kebutuhannya baik-baik! Jika ingin keluar istana, aku minta Mahapatih sendiri yang mengawal! Jangan sebarkan siapa jati diri Tunggadewi kepada siapapun dilingkungan istana ini! jika ada apa-apa langsung bisa menemuiku sendiri!" jelas Sang Ratu dengan nada suara yang tegas.
“Tunggadewi ! Untuk sementara sliramu tinggal disini, kami masih membutuhkan beberapa bukti lagi agar kami bisa percaya…bagaimanapun semua ini demi ketentraman Wilwatikta, kami tidak ingin negeri ini dalam ancaman pihak asing. Mudah-mudahan sliramu bisa mengerti keputusan kami."
Penjelasan sang Ratu yang santun, tidak sanggup aku sangkal sedikitpun. Keluhuran tutur kata dan sikapnya, menggambarkan jika benar semua yang pernah aku baca, Nusantara memiliki leluhur yang berbudaya adi luhung, berbudi luhur dalam setiap tindak tanduk.
Dan aku masih kaget jika aku harus tinggal di istana untuk beberapa hari. Apalagi langsung dalam pengawasan Sang Ratu Kencono Ungu, juga dalam pengawalan langsung oleh sang Mahapatih.
Dengan pendampingan Patih Gajah Mada, aku menuju lokasi dimana aku diberi tempat tinggal. Sebuah bangunan mungil, berdinding kayu dan anyaman bambu. Nampak bersih dan rapi halamannya.
“Sebagaimana perintah Yang Mulia, sliramu diijinkan tinggal disini. Segala kebutuhanmu sudah ada didalam, setiap hari para abdi dalem akan mengirimimu makanan. Para kemit berdiri tegak menjaga tempat ini. jika ada apa-apa kamu bisa menyuruh mereka untuk memanggilku."
Baru kali ini aku melihat Mahapatih itu berbicara dengan raut wajah sumringah dan luwes, namun tetap santun seperti ciri khasnya sebagai orang Jawa. Tidak seperti sebelumnya yang menunjukkan ekspresi serius, sikap tegas, keras dan tatapan mata yang tajam.
“Pangapunten Mahapatih, apa ini masih komplek istana?." Aku memberanikan diri bertanya.
“Benar…semua ini masih dalam komplek Puri Wilwatikta Mbak yu…semua hal dijaga ketat disini, sliramu harus bisa menjaga tata krama dan sopan santun."
Aku terdiam, apa nanti yang harus aku lakukan disini sendirian? Sementara saat ini yang aku kenal dilingkungan ini hanya Mahapatih ini saja. Sedangkan para kemit yang berjaga adalah para laki-laki semua di pelataran gerbang.
“Mahapatih! Pangapunten apa didalam juga ada para abdi dalem putri? Saya tidak berani jika sendirian…hanya ada para kemit saja, mereka pun laki-laki semua."
Nampaknya ucapanku membuat sang patih tersenyum datar, entah apa yang dipikirkan tentangku.
“Sebentar lagi dua abdi dalem putri akan kesini, mereka akan tinggal dikamar sebelah sini..jadi jangan takut…semua abdi dalem terdidik untuk ramah dan menjaga sopan santun. Mereka semua dalam pengawasanku semua."
“Mahapatih Gajah Mada!" panggilku sekali lagi ketika beliau hendak meninggalkan komplek ini. Dan beliaupun menghentikan niatnya untuk pergi.
“Pangapunten…saya mau tanya, apa Yang Mulia Ratu Kencono Ungu adalah Yang Mulia Ratu Tribuana Tunggadewi?."
Sang Mahapatih tertegun mendengar pertanyaanku, aku takut jika membuatnya jadi geram seperti macan hendak menerkam mangsanya. Aku menundukkan wajahku.
Mahapatih cukup lama diam, belum menjawab apapun. Aku menunggu dengan masih menundukkan wajah dan badan.
“Ngger….” panggilnya tiba-tiba kepadaku.
“Sliramu bener." Jawaban yang diiringi dengan senyum penuh kewibawaan. Hatiku kini merasa lega mendengar kebenaran dari keterangan Mahapatih. Pertanyaanku sudah terjawab.
Dan sang Patih berpamitan pergi, meninggalkan aku dikomplek ini sendirian.
Ini adalah malam kedua ku di Majapahit. Aku mulai merindukan keluargaku dan eyang kakung ku. Tetapi, aku juga masih berkeinginan untuk belajar apapun yang berhubungan dengan Majapahit. Masih ingin disini mengetahui kebesaran bumi Majapahit.
Hampir setiap hari aku dipanggil sang Ratu untuk menghadap beliau, tentu saja aku dikawal oleh Mahapatih kepercayaan beliau. Rasanya hari-hari diselimuti rasa kebahagiaan bisa dikawal langsung oleh Mahapatih gagah perkasa, terkenal se seantero Nusantara yang tiada tanding tiada banding.
Awalnya sang Ratu mempertanyakan keahlianku, kebiasaan atau aktifitas apa yang biasa aku lakukan sehari-hari. Dengan jujur aku menjelaskan jika aku bisa melukis, membatik, fotografi, serta memasak. Dan satu lagi hobi ku, membaca buku-buku apapun jenis bukunya.
Hari-hari berikutnya, tiba-tiba dikamarku sudah disiapkan tumpukan lontar kosong dan berbagai cat warna dari dedaunan entah apa jenisnya.
Setiap malam, aku menggoreskan kuas diatas lontar itu sebagai kegiatan mengisi waktu luangku. Bakat melukisku sudah diajarkan eyang kakung semenjak aku masih duduk di bangku TK. Meskipun aku tidak pernah melukis diatas lontar, tetapi kali ini aku berusaha untuk tetap mengasah bakatku dimedia yang sangat asing bagiku, yang terbiasa melukis diatas kanvas.
Tumpukan lontar-lontar berbendel juga rapi berjejer, aku tahu jika barang itu adalah buku-buku bacaan jika jaman Majapahit ini. Tetapi aku belum bisa sepenuhnya untuk membacanya satu per satu, karena aku belum menguasahi untuk membaca huruf-huruf Jawa kuno. Entah itu huruf jawa kawi atau Sansekerta.
Suatu hari, aku diijinkan belajar mengenai tata rias wanita era Majapahit. Tata rias zaman Majapahit disebut Pahyas Wilwatiktapura. Semua bahan make up masih berasal dari bahan-bahan alam. Tata rias bagian wajah terdiri dari pupur Menur (bedak dari bunga melati), Halis Luncip Candra Tanggal (bentuk alis seperti bulan sabit), Tilaka (tanda di dahi), dan Sipat Pupus Padu (garis kelopak mata yang berpadu di sudut mata). Kemudian, ada Cecek Kembang ing Hawu (hiasan berbentuk bunga dari abu pada pelipis), Lati Aruna (pewarna bibir merah kecoklatan), Wida Kusuma (bedak dari bunga-bungaan) dan Sekartaji (hiasan bunga pada telinga).
Selain tata rias, aku juga belajar mengenai busana yang biasa dikenakan para permaisuri kerajaan maupun busana para kawula Wilwatikta.
Sang Ratu Kencana Ungu lah yang selalu mendampingiku. Dengan sabar beliau menjelaskan jika aku tidak paham sesuatu.
Aku semakin heran, entah kenapa beliau bersikap sangat baik padaku. Padahal kami tidak pernah berjumpa sebelumnya. Bahkan aku adalah orang asing di negeri ini, kenapa beliau tidak semakin curiga kepadaku, malah aku diberikan perlakuan yang baik.
Jika sore hari waktuku masih senggang, beberapa abdi dalem mempersiapkan beberapa helai kain. Sang Ratu memintaku untuk menunjukkan bakatku membatik. Tanpa pendampingan dan arahan dari para maestro batik negeri ini. Tanganku sudah sedikit mahir melenggang diatas hamparan kain, bersenjata canting dan cat khusus membatik. Tetapi pada saat aku diperkenalkan dengan batik era Majapahit, beberapa pembatik kerajaan diperintahkan memberiku materi dan menunjukkan cara mereka membatik dengan teliti.
Bahan pewarna berasal dari tumbuhan atau mineral alam. Zat pewarna yang cukup dikenal saat zaman kuno disebut Manambul yaitu zat pewarna alami yang menghasilkan warna gelap atau hitam.
Jika sudah larut dalam dunia membatik, aku akan memfokuskan pikiranku. Bagiku membatik harus hati-hati dan membutuhkan ketelitian juga konsentrasi gambar yang akan kita hasilkan. Bakat membatik ini aku miliki dari kursus semenjak duduk di bangku SD. Eyang putriku dahulunya memang seorang pengusaha batik. Jadi tidak heran jika aku cukup mencintai batik membatik.
Hari berikutnya, Sang Ratu menemuiku dengan ageman yang berbeda. Beliau mengenakan busana seperti seorang pendekar difilm-film kolosal. Tetapi pesona kecantikannya tetaplah terpancar sebagai wanita penguasa Wilwatikta. Dengan ageman seperti itu, beliau malah membuatku kagum. Jika sesungguhnya beliau juga mahir dalam beladiri dan menguasai semua teknik ilmu berperang.
Aku diminta segera naik keatas kuda yang sudah disiapkan para abdi dalem. Tentu saja aku kebingungan sendiri, merutuki diri sendiri seandainya dulu aku mengiyakan tawaran eyang kakung untuk belajar berkuda, tentu saja kali ini aku sudah mahir menungganginya. Tetapi sejujurnya memang aku sedikit agak takut belajar berkuda dari dulu.
Sang Ratu dengan tangkas menunggang kudanya sendiri, tanpa singgasana kereta cantik seperti pada umumnya jika sedang berkeliling kota dan desa. Aku dipersilahkan duduk dibelakangnya, dengan kencang dan sigap kuda segera melaju. Diiringi laju kuda sang Mahapatih yang selalu setia menemani sang Ratu. Rupanya Sang Ratu nampak jago berkuda juga.
Dan ternyata Sang Ratu mengajakku menuju suatu tanah lapangan yang luas. Letaknya cukup jauh dari komplek istana, harus melewati hutan beberapa kali. Disana sudah berdiri beberapa abdi dalem atau lebih tepatnya instruktur berkuda.
“Tunggadewi…kamu belajar berkuda sama para abdi ku ini. Mereka para instruktur berkuda Wilwatikta yang teruji kehandalannya,"
Perintah beliau kepadaku tiba-tiba, dengan ulasan senyum yang tertutup helaian rambut indah yang berderai tersapa angin yang semilir sejuk.
“Ngapunten Yang Mulia, Hamba belum pernah sekalipun belajar berkuda, jika disuruh membatik dan melukis, hamba rela meskipun satu minggu. Hamba hanyalah wanita biasa."
Mendengar jawabanku, sang ratu malah tertawa. Beliau semakin mendekat ke arahku. Kemudian tanggannya ditepukkan perlahan diatas bahuku.
“Tunggadewi, tidak ada salahnya seorang wanita belajar berkuda. Banyak sekali nanti ilmu yang akan kamu miliki dari belajar berkuda. Selain melatih fisik, berkuda juga akan melatih mental kita untuk menguasai kesabaran, keberanian juga ketangguhan. Ayo..tidak perlu menyangkal, apa harus sang Mahapatih yang mengajarimu ?."
Nampaknya aku tidak memiliki pilihan lain lagi. Aku harus menuruti sang Ratu yang baik hati itu. Meskipun ada perasaan takut jika jatuh saat lepas kendali sendirian. Aku juga tidak bisa membayangkan jika yang mengajariku adalah Mahapatih sendiri, tentu saja sangat disiplin dan lebih keras ketimbang para instruktur itu. bisa-bisa aku akan dimarahin terus-menerus. Aku lebih memilih diajari mereka saja oleh para instruktur, aku bisa lebih leluasa bertanya-tanya alias tidak grogi. Hehehe
Hampir tiga hari full aku difokuskan untuk belajar berkuda. Dugaanku rupanya salah, para insruktur itu sama disiplinnya dengan sang Mahapatih. Sama-sam tegas dan keras saat mengajariku. Namun tetap ramah dan sopan. Hingga saat ini aku sudah mulai bisa melepas kendali sendiri tanpa bantuan para instruktur itu. Jika sang Ratu tidak bisa menemani latihanku berkuda setiap sore, Mahapatihlah yang ditugaskan menemaniku. Mahapatih hanya akan mengawasiku dari kejauhan, sambil beliau memainkan kudanya sendiri.
Hari berikutnya, masih dengan lokasi yang tidak jauh dengan lapangan berkuda. Sang Ratu membawa beberapa anak panah yang diselempangkan dipunggung nya. Seperti penampilan seorang wanita pendekar di film-film kolosal.
Aku mengira jika beliau juga suka dan hobi berburu binatang. Tetapi saat sampai di suatu tempat, nampak berjejer papan tumpuan dari anak panah yang dilempar. Aku baru mengerti jika beliau hendak mengajariku belajar panah. Kali ini tidak ada instruktur yang disiapkan, sang Ratu lah yang akan mengajariku sendiri. Hatiku kembali menciut, memanah adalah hal yang asing bagiku. Tidak pernah aku dikenalkan dengan kegiatan ini sebelumnya oleh keluargaku. Bahkan memegang busur panahnya saja tidak pernah. Apalagi memainkannya.
Lagi-lagi, sang Ratu memberikan nasehat dan kata-kata mutiaranya, sehingga aku bisa luluh dan bersemangat untuk belajar. Ditambah dengan melihat Mahapatih yang menunjukkan kemahirannya dalam ilmu memanah. Sekali tarikan anak panah dari busur panah, bisa mengenai lima titik tumpuan sekaligus. Membuatku menjadi penasaran ingin mempelajarinya.
Dengan telaten, jadwal yang disiplin, penjelasan yang mudah dipahami, Sang Ratu sangat bersabar membimbingku. Sebagai seorang Raja Putri, selain menguasai ilmu berkuda, kemahiran ilmu memanahnya tidak bisa diragukan lagi. Seperti sang Mahapatih, sekali lesatan saja bisa langsung fokus mengenai sasaran.
Aku tidak bisa membayangkan kehidupan Sang Ratu, saat beliau masih kecil dan remaja, bagaimana cara belajar beliau. Apakah hari-harinya hanya diisi dengan belajar dan belajar saja? Sehingga sekarang ini sudah menguasai berbagai ilmu dan kemampuan apapun yang mumpuni. Tentu saja, kehebatan beliau tidak lepas dari peran sang ibundanya yaitu Permaisuri Gayatri Rajapatni. Ibunda Sang Ratu adalah putri Raja Singashari terakhir, yaitu Raja Kertanagara. Yang terkenal dengan gagasan ekspedisi Pamalayu nya.
Sudah hampir dua pekan ini aku menjadi kawula Majapahit. Aku mulai merindukan keluargaku. Bagaimana kabar mereka, pasti saat ini sedang bingung mencari-cariku. Dalam temaram lampu obor kecil, berwadah tungku mungil berbahan gerabah.
Aku mulai memandangi satu per satu foto-foto keluargaku dalam handphone. Tanpa terasa, butiran ait mataku menetes pelan. Aku tidak bisa berlama-lama tinggal dinegeri ini. Karena aku dilahirkan di jaman modern. Aku harus kembali kepada asal usulku. Tetapi entah bagaimana caranya.
Angan ku kemudian berpindah kepada wanita yang pertama kali aku temui di negeri ini. yaitu Mbok Manik dan putri kecilnya Dewi Ayu. Aku sudah tidak pernah mendengar kabar mereka, semenjak aku tinggal di komplek istana ini. Mudah-mudahan saja mereka tidak cemas memikirkanku.
Mendadak ada bunyi ketukan pintu, ketika aku larut dalam genangan air mata yang membasahi selendang kainku. Cepat-cepat kuhapus air mataku, agar tidak terlihat siapapun. Kain selendang pun seketika aku kenakan dikepala sebagai kerudung.
“Mahapatih?." Aku terkejut, ternyata yang datang adalah Sang Patih. Aku pikir abdi dalem yang hendak mengirimkan beberapa makanan camilan.
“Yang Mulia mengutus Mbak yu segera ke istana sekarang juga!" jelas beliau dengan tatapan yang selalu tajam padaku.
“Pangapunten Gusti Patih, wonten nopo malam-malam begini Kanjeng Ratu memanggil saya menghadap?."
Aku memberanikan diri untuk bertanya, sambil perlahan aku bersihkan lagi sisa-sisa butiran air mata yang masih menempel disekitar pipiku. Aku tahu jika sikapku itu diperhatikan sang Patih. Aku juga tidak bisa memungkiri jika mataku memang terlihat sembab.
“Yang Mulia mengkhawatirkan Mbak yu…mohon segera bersiap-siap."
Seperti biasa aku hanya membawa tas kecilku berisi dua handphone. Dan menutupi bagian pundakku dengan sehelai selendang lagi. Selain agar tidak merasakan udara dingin diluar, aku juga terbiasa memakai pakaian agar longgar. Karena kebaya yang aku kenakan sedikit press body, maka setiap kali keluar rumah aku menambahkan dengan penutup selendang yang menjuntai lebar ditubuhku.
Sesampai di Balairung istana, beberapa dayang mengatakan jika aku disuruh langsung menuju torana (ruang singgaana raja/ratu). Mahapatih tetap mendampingiku dengan kegagahannya yang selalu terpancar. Sehingga setiap kali aku berjalan disampingnya , seolah ada rasa aman tak terkira. Serta ada yang selalu menjagaku kemana-mana. Hehehehe
Rupanya didalam torona, sang Ratu sudah duduk menunggu kami. Beliau tersenyum ramah kearah ku yang mulai duduk dibawah sambil memberikan sikap hormat mengapurancang kepada beliau.
“Berdirilah…ada apa Tunggadewi, aku merasakan hatimu sedang sedih?."
Sebuah pertanyaan yang kebetulan sesuai dengan kegundahan hatiku malam ini. Ada rasa terharu saat mendengarnya, bagaimana sang ratu bisa tahu jika aku saat ini sedang sedih merindukan keluargaku. Tenggorokanku mendadak tersumbat dengan perasaan menahan rasa tangis.
“Hamba…merindukan keluarga dirumah Yang Mulia," jawabku pelan.
“Apakah kamu menyesal, sudah masuk dijaman ini? Apakah jaman kami membuatmu tidak nyaman seperti kehidupanmu dijaman…..modern sebagaimana kamu ceritakan, Ngger ?"
“Pangapunten Yang Mulia Ratu, hamba sungguh merasa senang bisa hadir disini. Suatu kebanggan tak ternilai bagi diri saya, bisa mengetahui langsung kehidupan di istana Wilwatikta , maupun peradaban dibumi Wilwatikta ini."
Aku berusaha merangkai kalimat yang tepat, sehingga apa yang aku sampaikan bisa dipahami Sang Ratu Wilwatikta ini.
“Tidak pernah terbayangkan sedikitpun, hamba bisa langsung hadir di negeri ini…apalagi bisa bertemu Kanjeng Ratu Tribuana Tunggadewi, juga sang Mahapatih Gajah Mada. Hanya lewat cerita eyang kakung dan membaca buku-buku sejarah, hamba bisa mengenal sosok Yang Mulia juga Mahapatih."
Mendengar penjelasanku, kanjeng Ratu mengalihkan wajahnya yang anggun kepada sang Mahapatih. Seakan ingin meminta urun pendapat.
“Bagaimana pendapatmu, wahai Mahapatih ku yang bijaksana?."
Sang Patih terlihat mulai bersikap mengapurancang.
“Pangapunten engkang Agung Yang Mulia, ijinkan hamba menyampaikan urun rembug. Sejatinya Tunggadewi haruslah kembali sesuai fitrahmya dan asal usulnya. Dia sudah ditakdirkan berada dikehidupan jaman modern. Jaman yang sudah berbeda serta berubah dengan jaman kehidupan Wilwatikta saat ini. Hamba tidak bisa menghalangi Tunggadewi untuk kembali kepada asal usulnya Yang Mulia…demi kebaikan Tunggadewi."
Kanjeng Ratu Kencono Ungu terlihat terdiam. Nampaknya penjelasan sang Mahapatih merasuk kedalam pikirannya. Cukup lama suasana hening, bergemuruh dalam pikiran dan hati masing-masing.
Aku hanya bisa diam terpaku sambil menunduk, udara dingin terasa mulai berdesir memasuki ruang torana ini. Apa yang diucapkan Mahapatih barusan, membuat aku terenyuh penuh kekaguman. Mahapatih rupanya sedikit memikirkan kebaikan untukku, disela-sela kesibukannya dengan seabrek tanggung jawab yang diembannya untuk kebesaran Wilwatikta.
“Tunggadewi, besok pagi kamu akan diantar Mahapatih berkeliling desa dikawasan Wilwatikta Pura. Kamu akan melihat kehidupan sosial negeri ini, mengetahui langsung perumahan para kawula, pekerjaan mereka, bagaimana suasana persawahan dan perkebunan negeri ini. Kamu akan mendapat banyak pelajaran setelahnya," jelas Sang Ratu kemudian.
“Inggeh Kanjeng Ratu," jawabku singkat diselimuti kebimbangan. Antara kerinduan dengan keluargaku dan kegirangan akan diajak berkeliling ke pelosok desa di kawasan kerajaan adidaya ini. Dan tentu saja aku tidak bisa menolak jika mendengar kata-kata jalan-jalan. Hehehe
“Mahapatih! Kuperintahkan kepadamu! besok pagi-pagi, ketika sang Bagaskara mulai nampak, Tunggadewi mohon dikawal melihat indahnya negeri Wilwatikta! Dalam setiap perjalanan kamu jelaskan apa yang ia belum ketahui."
“Sendiko dawuh Yang Mulia Ratu!" jawab Mahapatih tegas penuh hormat menerima titah.
Ketika aku mengetahui Kanjeng Ratu hendak meninggalkan singgasananya, aku terbersit sebuah pertanyaan yang harus kusampaikan. Agar hatiku lega. Meskipun aku harus menanggung resikonya jika pertanyaanku akan membuat beliau marah ataupun tidak sopan.
“Hamba masih ingin menyampaikan pertanyaan kepada Yang Mulia,"
Mahapatih terlihat wajahnya penuh selidik kepadaku. Tatapan matanya tajam.
“Silahkan Tunggadewi, tidak ada yang menghalangi para bangsaku untuk bertanya." Rupanya Sang Ratu masih dengan keramah tamahannya.
“Yang Mulia Ratu sangat baik memperlakukan hamba selama di Wilwatikta ini, bahkan hamba diperkenankan tinggal di paviliun komplek istana. Mendapat tempat tinggal sendiri, sangat diistimewakan. Mendapat banyak pelajaran khusus dari Ratu, berkuda, memanah, membatik, merias, belajar membaca buku-buku sastra bersama para silpasastrawan (pujangga dan seniman kerajaan), belajar membaca huruf-huruf sansekerta, serta diijinkan memasuki komplek istana yang Agung ini. Hamba hanyalah kawula cilik, kenapa Kanjeng Ratu bersikap baik kepada hamba? Hamba hanyalah orang asing disini. Pangapunten jikalau pertanyaan ini tidak sopan, hamba hanya ingin mengetahui saja alasannya."
“Pangapunten Yang Mulia, hamba siap menanggung kesalahan Tunggadewi atas pertanyaan yang tidak punya tata krama kepada Ratu!."
Entah kenapa tiba-tiba Mahapatih mengambil alih suasana sebelum Ratu menanggapi. Mahapatih langsung berlutut sambil sikap mangapurancang. Seolah dia berani menanggung resiko kesalahanku jika Ratu benar-benar marah dengan pertanyaanku. Sampai sebegitu Mahapatih bersikap kepadaku ?
“Putra Mahkota Hayam Wuruk saja selalu menjaga tata krama sebelum bertanya kepada Yang Mulia Ratu!" tambah Mahapatih lagi.
Aku sedikit ketakutan, jika saja aku dihukum atas kesalahan pertanyaanku barusan. Aku harus menanggung resikonya.
Ratu Kencono Ungu kembali duduk di singgasananya. Wajahnya belum menunjukkan ekspresi apapun. Aku semakin percaya jika pada era majapahit, budaya dan adat istiadat serta sopan santun sangatlah luhur atau adiluhung. Setiap ucapan dan tindak tanduk harus selalu dijaga. Kesemuanya itu masih sangat dijunjung tinggi. Tidak seperti jaman modern, banyak generasi muda yang mulai tidak mengerti tata krama dan budaya misuwur Jawa. Bagaimana tata krama berbicara kepada orang yang lebih tua.
“Berdirilah Mahapatih….tidak ada yang salah dengan pertanyaan Tunggadewi, aku bisa mengerti perasaannya."
Hatiku cukup lega mendengar jawaban Sang Ratu idolaku dibuku-buku sejarah, yang kini ada dihadapanku langsung.
“Tunggadewi," panggil ramah beliau kemudian.
“Pertama kali aku melihat dan mendengar namamu yang memiliki kesamaan denganku…aku tahu jika itu kamu…kamu yang pernah membayangi dalam setiap semediku…aku tahu akan ada seseorang yang akan hadir dari masa delapan ratus tahun dari era Wilwatikta. Seseorang yang masih mempunyai rasa cintanya kepada leluhur. Seseorang yang dalam hatinya selalu ingin mengetahui dan mencintai kehidupan serta budaya leluhur Wilwatikta pura yang adiluhung. Merindukan masa-masa Gemah Ripah Loh Jinawi seperti kemakmuran negeri ini. Merindukan nilai-nilai adat istiadat serta tata krama sebagai orang Jawa selalu dijunjung tinggi…dan itulah kamu yang sudah hadir dihadapanku…aku sudah tahu jika kamu tidak ada niatan buruk kepada negeri ini semenjak pertama kali bertemu. Makanya aku mengutus Mahapatih malam-malam membawamu ke istana ini..agar tidak ada lagi orang lain yang lebih mencurigaimu. Hanya sedikit pelajaran yang bisa aku berikan kepadamu sebagai bekal kehidupanmu dijamanmu… tetapi mengandung makna yang luas seperti luasnya samudera….aku tidak terpaksa memperlakukanmu dengan baik. Kami semua sangat menjunjung keramah tamahan dan tepo seliro dalam setiap tindak tanduk kami sehari-hari. Pitutur luhur adalah hal yang sudah menjadi karakteristik kami semua sebagai orang Wilwatikta dan Jawa. Semboyan kami adalah Mitreka Satata (Persaudaraan yang satu dengan dasar persamaan derajat)."
Penjelasan sang Ratu membuatku menitikkan air mata dikedua sela-sela mata dan mengalir deras dipipiku. Aku sangat terkagum sekali dengan keluhuran sikap sang Ratu. Jika seorang Raja diidentikkan dengan kejam dan keras, maka Ratu Tribuana Tunggadewi bagiku sosok Ratu yang ramah dan bijaksana. Selama disini, aku belum pernah melihat ekspresi wajahnya yang judes, marah, penuh curiga dan seenaknya sendiri. Singgasana yang diembannya saat ini, bagiku memang pantas beliau duduki.
Pagi-pagi sekali Mahapatih gajah Mada sudah menemuiku untuk bersiap-siap berangkat. Udara bumi Wilwatikta masih diselimuti kabut tebal, dingin bercampur segar. Rasa kantuk masih mendera mataku. Tetapi melihat kedisplinan waktu Sang Patih aku menjadi malu sendiri.
Seperti biasa aku berpakain kebaya lengan panjang dan berkerudung kain selendang serta selembar selendang lagi aku tutupkan di tubuhku agar tidak kedinginan. Melihatku memakai bawahan Jarik. Sang Mahapatih menyuruhku berganti celana tetapi tidak menanggalkan jarik batiknya. Sama seperti bawahan yang aku kenakan saat berlatih kuda.
Rupanya Mahapatih sudah menyiapkan seekor kuda sebagai kendaraanku saat berjalan-jalan. Seperti permintaan sang Ratu jelasnya. Kali ini Mahapatih membawa dua orang pengawalnya juga. Aku yang belum mahir berkuda masih harus didampingi seseorang untuk menggiring kuda ku sepanjang perjalanan kami.
Kami semua mulai keluar dari Gapura megah yang menjulang tinggi, pertanda sudah meninggalkan komplek istana.
Hamparan hijau persawahan yang luas serta subur. Seakan membuat inspirasiku untuk melukisnya diatas kanvas sontak muncul. Kegagahan gunung Pawitra / gunung Penanggungan terlihat menjulang tinggi, seakan menunjukkan bahwa dia sedang gagah berani menjaga bumi Wilwaktikta.
Sebagaimana yang aku ketahui, Majapahit adalah negara berbasis agraris dan maritim. Sawah dan pertanian menjadi penyokong utama perekonomian negara. Waduk dan saluran-saluran air sudah tertata dengan bagus. Keberadaan kanal-kanal, selain untuk jalur transportasi dan pertahanan juga dikaitkan dengan aktivitas pertanian. Komoditas utama pertanian Majapahit adalah padi. Pemandangan indah akan perbukitan yang dipenuhi dengan sawah-sawah, dengan pematangnya yang terlihat jelas serta tajam. Petak-petaknya saling berdekatan, rapi berderet, dengan pepohonan yang tampak berdiri tegak melambaikan dedaunannya tertiup angin.
Mahapatih menunjukkan kepadaku bahwa teknologi pengolahan pertanian juga mulai dikembangkan dengan baik. Seperti teknologi pengolahan tanah dengan bajak, tata cara persemaian benih, serta teknik penanggulangan hama.
Kami pun melewati perkampungan penduduk, berderet rumah-rumah sederhana namun berkesan artistik. Beberapa wanita terlihat sedang menumbuk padi dengan lesung batu, menumbuk ramuan dengan lumpang batu dan pipisan, dan sebagian lainnya membuat kerajinan anyaman bambu. Para wanita itu mengenakan pakaian jarik dan kemben, sedangkan rambutnya digelung sederhana.
Disisi hamparan kebun, beberapa pria ada yang sedang menanam singkong. Sedangkan dihalaman sebuah rumah yang berada disisi pojokan jalan, menjadi sentra penduduk untuk membuat kerajinan gerabah atau peralatan rumah tangga berbahan tanah liat.
Mahapatih kemudian mengajakku untuk melihat sentra kerajinan seni pahat batu, beberapa bongkahan batu andesit yang cukup besar, sedang diam menurut apa kata tuannya. Gerakan tangan yang cekatan, namun tetap teliti dan hati-hati. Untuk menghasilkan sebuah karya seni yang tidak lekang keindahannya sepanjang waktu. Aku teringat dengan sentra pengrajin patung yang berada di sepanjang sisi jalan Trowulan, yang selalu aku lewati jika hendak pergi kerumah Bulek di Jombang.
Sepanjang perjalananku melihat kehidupan para penduduk Wilwatikta ini, aku merasakan semangat gotong royong, keakraban, kerja keras dan kerukunan mereka semua. Hatiku terharu, seakan memimpikan semangat itu tetap terjaga dikehidupan modern yang sudah sangat berbeda sekali dengan keadaan saat ini yang aku saksikan.
“Ngger!." Tiba-tiba sang Patih memanggilku pelan.
“Inggeh Gusti Patih….wonten menopo?."
“Pesanku cuma satu padamu, dikehidupan jamanmu, jamannya sudah sangat berbeda dengan jaman kami. Tetep pegang teguh tata krama, budaya dan istiadat adi luhung Nuswantoro…eleng lan waspodo yo Ngger."
Hatiku rasanya tercekat mendengar nasihat beliau, sang Mahapatih yang terkesan sosok tegas, berani, perkasa, keras dalam setiap ucapan. Rupanya ada sisi kalemnya juga saat berbicara padaku. Nasehat yang singkat namun maknanya seluas jagat raya.
Sang Bagaskara perlahan mulai bergeser ke ujung barat, kami harus kembali ke istana Wilwatikta dan kembali menghadap Paduka Ratu Kencana Ungu.
Pintu gerbang istana yang berlapis serta dijaga para jajaro yang gagah berani, membuat setiap orang yang hendak memasuki istana harus benar-benar orang yang sudah aman. Beberapa dayang memberitahuku dan Mahapatih, jika Paduka Ratu sudah menunggu kami di Paseban Agung.
“Mbok Manik ?Dewi Ayu?" gumamku pelan.
Ketika sampai di Paseban aku melihat Sang Ratu duduk dalam singgasananya. Hanya ada mbok Manik yang berdiri sambil menunduk, bersama Dewi Ayu. Tidak ada seorang dayang-dayang pun yang mengiringi sang Ratu.
Mbok Manik tersenyum melihat kedatanganku. Tidak ada wajah kecemasan sedikitpun. Mahapatih pun menghaturkan penghormatan kepada sang Ratu dan aku mengikutinya.
“Tunggadewi….sepertinya sudah cukup pelajaran yang aku berikan padamu selama berada di Wilwatikta Pura ini. Semua pengalaman yang sudah kamu peroleh disini, jadikan bekal hidupmu. Peradaban Wilwatikta yang sudah cukup tinggi, kehidupan masyarakat yang berbudaya adihulung, negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Kerto Raharjo. Ingatlah Ngger Tunggadewi…Wilwatikta bukanlah dongeng…Wilwatikta nyata ada…Wilwatikta negeri yang berjaya juga adidaya. Perilaku yang mengutamakan keramah tamahan, serta pitutur luhurnya harus bisa kamu jadikan pelajaran dikehidupanmu."
Penjelasan Sang Ratu membuat hatiku terharu, rasanya ada kesedihan mendalam ketika hendak berpisah dengan beliau dan mereka semua. Aku berusaha menahan derai air mata.
“Ijinkan hamba menghaturkan semua rasa terima kasih, hamba sudah diperlakukan baik selama disini…kebaikan dari Yang Mulia Ratu dan Mahapatih juga semua para kawula Wilwatikta tidak akan pernah saya lupakan."
“Sudah saatnya kamu harus kembali pada kehidupanmu sendiri Tunggadewi," jelas Sang Ratu dengan raut wajah tersenyum.
“Injih Ratu…Pangapunten engkang Agung. Hamba haturkan matur suwon sanget…tapi bagaimana caranya hamba untuk kembali pada kehidupan hamba?"
“Aku akan membantumu Tunggadewi," jawab Sang Ratu, entah bagaimana caranya beliau tidak langsung menjelaskan.
“Pangapunten Kanjeng Ratu…ada sesuatu yang hendak Hamba berikan."
Aku mulai mengambil lembaran lontar yang sudah aku lukis setiap malam. Diatas lontar itu aku melukis sosok Ratu Tribuana Tunggadewi beserta Mahapatih Gajah Mada. Bercerita persis dengan relief yang ada di tembok belakang Pendopo Agung.
Aku diperkenankan memberikan sendiri dihadapan Sang ratu oleh Mahapatih. Dengan pelan-pelan Beliau mulai membukanya. Seulas senyum pun mulai terpancar diwajahnya yang ayu.
“Lukisan yang indah Tunggadewi….Aku menyukainya, terima kasih."
Aku sangat bahagia mendengarnya, kemudian beliau menawariku apapun yang aku inginkan sebagai kenang-kenangan. Tetapi dengan sopan aku menolaknya. Aku tidak ingin diberikan barang apapun. Bagiku pengalaman dan pelajaran yang sudah beliau berikan selama aku disini adalah hal yang sangat berharga. Dan saat ini aku hanya aingin kembali kepada keluargaku saja.
Sang Ratu kemudian memberi kesempatan kepada Mbok Manik untuk berbicara kepadaku. Perlahan mbok Manik dengan sebuah bungkusan kain berjalan ke arah tempatku berdiri.
“Mbak yu….mbok Manik minta maaf, jika selama mbak yu tinggal digubuk simbok…banyak kelepatan (kekurangan/kesalahan) sikap dan pelayanan….mudah-mudahan mbak yu dikehidupan modern selalu pinaringan rahayu lan wilujeng."
“Injeh Mbok sami-sami…, matur suwon sanget simbok sudah mengijinkan saya pernah tinggal dirumah simbok…pangapunten jika saya banyak kekeliruan."
Dan Mbok Manik memberikan bungkusan kepadaku, aku masih bingung untuk menerimanya, entah apa isinya.
“Ini baju mbak yu saat pertama datang kerumah Mbok….sudah simbok cuci," jelas Mbok Manik sambil terenyum ramah yang menjadi cirri khasnya semenjak aku mengenal pertama kali.
“Matur suwon Mbok."
Aku pun mendekati Dewi Ayu kecil, memeluknya dan mencium pipinya yang lembut.
“Dewi Ayu bantuin simbok ya…biar simbok gak kecapekan….mbak yu mau pulang ke rumah mbak yu sendiri yaa….keluarga mbak yu sudah menunggu, mereka pasti sudah kangen sama mbak yu," ucapku kepada si kecil Dewi Ayu yang cantik.
“Injih mbak yu….Dewi Ayu akan selalu merindukan Mbak yu," jawabnya singkat dengan nada suara yang terdengar lucu.
Aku mengalihkan pandanganku kepada Mahapatih yang masih diam berdiri tegap. Kami pun beradu pandang sejenak. Entah kenapa hatiku menjadi sedih ketika hendak berpamitan kepada beliau.
“Berpamitlah dengan Mahapatih, beliau yang selalu menjagamu selama disini Tunggadewi…kemudian lekaslah kamu kembali," ucap Sang Ratu yang seakan mengerti dengan bahasa tubuhku dan keinginan hatiku
Dengan menelangkupkan kedua telapk tanganku didepan dada, dan menundukkan wajah serta badanku, aku mulai berbicara.
“Pangapunten engkang agung Mahapatih! Jika selama disini, saya selalu merepotkan panjenengan. Matur Suwon sanget atas semua bimbingan dan nasehat-nasehatnya yang berharga…menjadi kebanggan tersendiri bisa mengenal Mahapatih Gajah Mada yang terkenal kehebatannya di Nusantara."
“Sami-sami Mbak yu…pangapunten engkang agung. Tetap jaga diri baik-baik, tetep eling lan waspodo," jawab Mahapatih sambil menelangkupkan kedua tangannya juga didepan dada kepadaku.
Aku tidak bisa memungkiri jika pesona Mahapatih penggagas Nusantara itu, sudah tersimpan dalam lubuk hatiku yang dalam.
Ada perasaan sedih hendak berpisah dengan mereka semua, tetapi aku harus tetap kembali pada asalku. Karena aku dilahirkan pada kehidupan jaman modern. Tak terasa air mataku berderai, aku sudah tidak kuasa menahannya lagi. Sebuah air mata kebahagiaan karena bisa mengenal orang-orang hebat di Majapahit.
Sang Ratu menyuruhku untuk lebih mendekat ke arahnya. Sama seperti pada saat aku berdiri tepat didepan relief sang Ratu Tribuana Tunggadewi di sisi tembok dinding, dibelakang Pendopo Agung Trowulan.
Sang Ratu memberikan isyarat agar tanganku menyentuh wajah dan mahkota yang beliau kenakan. Sama persis apa yang aku lakukan pada relief di tembok pagar di belakang pendopo Agung Trowulan.
Perlahan aku sentuh wajah beliau, sebuah sosok Ratu fenomenal yang tersohor keberanian dan kebijaksanaannya. Sikap keibuannya mampu aku rasakan dalam hati saat mengelus wajahnya. Ya…Ibunda Ratu Tribuana Wijayatunggadewi.
Kemudian perlahan aku menyentuh mahkotanya yang sangat mewah. Terasa ada kekuatan besar yang menggerakkan tubuhku. Dan setelah itu aku sudah tidak teringat apapun lagi.
“Permisi Kak…kami mau ambil gambar sebentar."
Ada seseorang yang memanggilku, seorang perempuan masih remaja, berusia sekitar anak-anak SMP. Saat ini aku sudah berdiri didepan relief Ratu Tribuana Tunggadewi yang berada dibelakang Pendopo Agung Trowulan. Posisi yang sama pada saat sebelum aku masuk dimensi waktu. Aku mulai tersadar. Kulihat baju yang aku kenakan sama seperti yang aku pakai gowes dulu.
Aku pun perlahan melangkahkan kakiku menjauh dari relief, berjalan kedepan pendopo. Aku masih belum percaya jika aku berhari-hari berada pada dimensi waktu delapan ratus tahun yang lalu. Aku masih bingung untuk mengerti dengan yang aku alami.
Sejenak aku menolehkan kepalaku kebelakang, kupandangi dari kejauhan relief sang Ratu Tribuana Tunggadewi kemudian berganti pada relief sang Mahapatih Gajah Mada. Seolah-olah terlihat mereka berdua sedang tersenyum melihatku. Menyaksikan aku yang sedang berjalan meninggalkan komplek Pendopo Agung Trowulan.
Aku pun berniat untuk segera pulang kerumah, aku sudah merindukan keluargaku selama berhari-hari. Tidak bertemu ayah dan ibuku, serta eyang kakungku entah berapa hari. Pasti mereka cemas mencariku. Pasti mereka sedang sedih memikirkanku.
Suasana rumahku terlihat hening, tidak nampak ada sesuatu yang mencemaskan isi rumahnya. Ku parkir sepeda gowesku di teras yang berkarpot motif bebatuan. Pintu depan terlihat terbuka lebar. Dengan memberanikan diri aku segera masuk. Hatiku deg-deg an, takut jika kena marah, Karena sudah berhari-hari tidak pulang.
“Assalamu’alaikum," ucapku sambil berjalan menuju ruang tengah.
“Wa’alaikumsalam." Terdengar jawaban dari suara yang aku kenal, suara ibuku.
“Gowes kok sampek sore toh Nduk? rutenya kemana saja?."
Ibuku muncul dari dapur sambil membawa tumpukan baju yang habis disetrika. Tidak ada sedikitpun ekspresi wajah kesedihan, kekhawatiran serta kecemasan karena aku tidak pulang berhari-hari.
Aku berdiri terpaku, masih memahami kalimat yang barusan diucapkan ibuku. Yang membuatku bertambah bingung. Ibu mengatakan jika aku sedari pagi berangkat gowes dan baru pulang sore-sore. Tetapi, apa yang aku alami di negeri Wilwatikta, sudah hampir satu bulan lebih. Badanku terasa gemetar mengingatnya. Serta merinding.
Aku lirik jam dinding, jarum jamnya menunjukkan angka setengah lima sore. Aku berpamitan untuk ke kamar kepada ibuku. Dengan duduk terdiam, aku masih tidak percaya dengan semua ini. Tetapi aku bersyukur bisa kembali berkumpul dengan keluargaku tercinta. Sedikit banyak aku merindukan mereka semua. Entah nanti akan aku ceritakan atau tidak pengalamanku masuk ke era kehidupan Majapahit. Atau hanya aku pendam sendiri saja, dan aku tuliskan pada lembaran-lembaran buku agendaku yang selalu menemaniku menulis.
Terima Kasih Tuhan…Engkau telah memberikan kepadaku pelajaran berharga. Aku menjadi semakin yakin atas semua Kuasa Mu…semoga semua ini bisa menambah ketebalan Imanku kepada Mu….
Terima Kasih Paduka Ratu Tribuana Tunggadewi. Pengalaman berharga yang engkau berikan, akan menjadi sebuah pelajaran tak ternilai bagiku, untuk selalu menjaga sikap yang luhur dalam setiap tindakan. Untuk selalu mencintai budaya leluhur yang Adilhung. Pesonamu akan selalu aku rindukan…
Terima Kasih Sang Mahapatih Gajah Mada. Yang selalu dengan sabar mendampingiku kemana-mana. Semangat mu, budi pekerti mu serta nasehatmu…tidak pernah aku lupakan. Aku sadar jika pesonamu sedikit banyak membuatku terpikat…tetapi aku tersadar dengan fitrahku.
Ifada
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.