Surat dari Semesta
*"kata sebagian orang, bumi tidak perlu tahu setiap keberhasilan pula pencapaian yang berhasil kamu raih. Sebab terkadang satu dua diantara penduduk bumi ada yang tak rela bahkan tak terima. Takutnya, di dalam bahagiamu tercipta luka tanpa bisa kau cegah. Jadi akan lebih baik jika kau menjaga. Menjaga hati orang-orang yang mungkin akan terluka agar tidak sampai terluka, menjaga diri agar kamu tidak menciptakan luka yang tak kau sengaja."
Begitulah kalimat yang selalu ia utarakan kepadaku. Sejak kecil aku tidak pernah mengatakan apalagi menceritakan keberhasilan ku kepada orang. Meskipun aku selalu meraih juara kelas bahkan menjadi bintang pelajar. Aku juga beberapakali memenangkan lomba desain tingkat nasional, dan juga menjadi penulis inspiratif setiap tahunnya.
Namaku Bintang, gadis berusia dua dua tahun. Sejak kecil aku yatim piatu, tidak ada orang yang mau berteman denganku lantaran aku dianggap sebagai anak pembawa sial. Hidupku gelap, tidak memiliki cahaya bahkan cahaya akan langsung redup jika menghampiriku.
Aku dibesarkan di panti asuhan yang penghuninya sangat membenciku. Aku tidak memiliki siapapun dan apapun. Sungguh, aku adalah gadis yang sebatang kara. Saat aku lahir ibuku meninggal, kemudian disusul dengan ayahku. Saat usiaku lima tahun aku dititipkan di panti asuhan karena pamanku menganggap aku penyebab bibi meninggal. Lagi-lagi orang yang dekat denganku akan meninggal.
Beberapa tahun berlalu, aku hidup berteman dengan kuas dan selembar kertas. Aku melukis setiap sakit yang menjalar dalam tubuhku karena kenakalan teman-teman juga sakit di hatiku karena keluargaku begitu jauh. Iya, nama dan hidupku sangat cocok. Bintang memang sendirian, dia tidak butuh sinar dan teman. Dia sendiri dan bisa mandiri.
Aku mulai membenci diriku sendiri, Tuhan tidak adil hanya mengambil nyawa ayah, ibu dan bibi. Kenapa Dia tidak mengambil nyawaku juga?bukankah aku ini hambanya?lalu mengapa Dia menyiksaku?
Aku menangis ketika mengingat masa-masa kelam itu, masa dimana aku benar-benar sendiri. Namun semua itu berubah ketika usiaku berusia sepuluh tahun. Tuhan menjawab doaku dengan mengirimkan semesta.
Aku yang tidak memiliki dunia seperti memiliki duniaku sendiri. Semesta adalah teman, kakak, sahabat dan segalanya.
Sore itu, ketika ada acara santunan anak yatim ada keluarga kaya yang berkunjung. Mereka memberikan kami baju,buku dan uang untuk pendidikan kami. Santunan anak yatim adalah hal yang sangat membahagiakan dan ditunggu oleh penduduk panti. Namun tidak untuk ku, ada santunan atau tidak tetap saja aku akan makan di gudang.
Aku menatap lamat-lamat anak-anak yang sedang bahagia menerima hadiah dan buku baru. Aku berdiri di luar panti tepatnya di jembatan penyeberangan. Mengapa aku menatapnya?karena aku hanya bisa menatap tanpa bisa ikut bergabung. Seperti yang aku katakan dari awal, aku adalah anak pembawa sial.
Aku menangis untuk kesekian kali kemudian berlari. Ah sial, kaki ku tersandung batu. Rasanya sakit sekali, untung saja aku hanya terjatuh tidak tergelincir ke sungai.
"Kamu kenapa menangis gadis kecil?"
Aku kaget melihat seoarang anak laki-laki menghampiri ku. Belum pernah ada yang perduli kepadaku sebelumnya.
"Apakah kamu anak panti?mengapa tidak bergabung dengan teman-temanmu? Owh ternyata kakimu berdarah, pantas kamu menangis"
Anak itu duduk kemudian mengobati kakiku. Aku tidak banyak bicara hanya menatapnya. Usai mengobatiku dia mengulurkan tangan dan berkata.
"Hai gadis kecil, siapa namamu?"
Aku kembali menatapnya, dia memiliki mata berwarna cokelat yang indah. Aku suka kedua mata itu, mata yang membuat orang lain tenang saat menatapnya. Aku juga suka senyum itu, senyuman yang sangat mengesankan.
"Bintang".
"Waaahhh pantas kamu suka sendiri tidka bergabung dengan teman-temanmu"
Aku hanya tersenyum sinis menanggapi kalimatnya. Aku berdiri di luar panti bukan karena aku seorang bintang, tapi karena aku dikucilkan.
To be continue....
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.