Setu, Tukang Becak yang Membobol BCA

Panas di Kudus. Seorang tukang becak sedang mengisap rokok dengan tatapan kosong saat seorang pemuda mendekatinya. “Permisi, Pak. Mau minta tolong.”
Dengan malas, tukang becak itu menoleh. “Pripun?”
Jadi, Bapak saya sakit. Saya mau ambil uang di bank. Nah, saya butuh bantuan sampeyan untuk ambil uang.”
id="docs-internal-guid-2032e5e2-7fff-0b36-417c-663199b14255">Tukang becak itu mengernyitkan dahinya. Menatapi pemuda itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Saya ga ngerti apa-apa soal Bank, Mas. Saya cuma sering nganter penumpang sampai depan bank. Saya harus bantu gimana?”
“Begini, Pak. Muka sampeyan, persis dengan wajah bapak saya. Jadi, sampeyan nanti pura-pura jadi Pak’e saya. Ngambil uang bapak saya.”
“Jadi, saya disuruh menipu, begitu?”
“Enggak Pak. Justru membantu bapak saya yang sedang sakit.” Si Pemuda mengambil nafas sejenak, menundukkan pandangannya, lalu kembali menatap tukang becak itu. “Kalau sampeyan tidak bantu saya ambil uangnya, bapak saya tidak bisa operasi. Bisa mati.”
Hening.
Tukang becak itu nampak tak peduli. Di pikirannya, adalah keruwetan-keruwetan hidupnya sendiri. Sudah seminggu, penumpang sepi. Semalam dia salah pasang nomor lagi. Pagi tadi, istrinya mengomelinya karena susu dan popok untuk cucunya, tak lagi terbeli. Keparat emang anak dan mantuku. Mau enaknya, ga mau anaknya. Setelah melahirkan, mereka malah kabur entah ke mana. Pikirnya.
Kadang, ia ingin menjual saja cucunya itu pada orang kaya yang kesulitan punya anak. Seperti yang pernah ia tonton di TV saat main gaple bersama kawan-kawannya. Rencana itu ia batalkan setelah mendengar usul yang bagus dari kawannya. “Nanti umur setahunan, ajak ngasong aja. Di lampu-lampu merah. Pasti banyak yang ngasih duit. Cucumu itu, akan ngasih uang banyak untukmu.”
Untuk itulah, ia bertahan. Meski ototnya telah renta, ia kuat-kuatkan diri untuk menggenjot becak. Tuminah, tetangganya, telah berjanji untuk menyewa cucunya bulan depan. Untuk dibawa ngamen dan jualan aqua di pinggir jalan. Kata Tuminah, hasilnya lumayan. Tapi, tukang becak itu tetap ragu. Cukupkah uang hasil sewa cucu itu melunasi hutang-hutangnya?
Dia menghisap rokoknya sekali lagi. Menatap pemuda tambun dan wangi itu sekali lagi. Kenapa ia harus peduli?
Tukang becak, yang belakangan diketahui bernama Setu, menoleh ke kanan dan kiri. Matanya mencari-cari sesuatu. Kamera. Dia menduga sedang disyuting untuk sebuah acara TV. Ah, pasti ini aku hanya diisengi. “Acara TV ya?”
Gantian si Pemuda itu yang terkejut. “Oh, ndak, Pak.”
Hening lagi.
“Begini aja, Pak,” si Pemuda akhirnya bersuara,”kalau sampeyan mau bantu saya, saya kasih uang 5 juta.”
Mendengar 5 juta disebut, Setu mulai tertarik. Kalau uang dari menyewakan cucunya akan ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, uang 5 juta ini bisa ia pakai untuk menuntaskan mimpi-mimpinya yang kandas.
Ia sudah membayangkan beli nomor lagi di Koh Liem. Bila tembus, utang-utangnya akan lunas. Sisanya, akan ia pakai ndangdutan di warung Mbak Tinah. Dengan sisa-sisa tenaga tuanya, ia ingin ikut mencicipi kehangatan Gendhis, gadis manis yang baru datang dari Indramayu itu. Tiba-tiba, ia merasa lebih hidup.
Tetapi, berurusan dengan bank, apalagi berpura-pura menjadi orang lain, tetap saja membuatnya ngeri. Bagaimana kalau tiba-tiba dia ditangkap polisi?
Dia panggil kawan-kawannya. Tidak butuh waktu lama, para tukang becak mengerumuninya. Si pemuda menjelaskan duduk perkaranya.
“Piye?”, tukang becak bertanya kepada teman-temannya.
“Ya udah, ambil aja. Wong ya itung-itung nulungi. Mesakke. Bapake meh dioperasi. Nek mase ngapusi, akeh saksine.” seorang tukang becak berkomentar.
“Mase jaluk KTP ne wae. Nggo jaminan,” usul tukang becak lainnya.
“Jo lali engko nek dapet 5 juta tenan, bagi-bagi.” yang disambut gelak tawa.
Akhirnya Setu menyanggupi permintaan pemuda tersebut. Si pemuda menjanjikan dua hari lagi akan datang.
Masih terik di Kudus. Setu masih menghisap rokok. Kali ini, tatapannya tak lagi kosong.
***
Sesuai yang dijanjikan, pemuda yang mengaku bernama Tono itu datang. Mereka bertemu di parkiran minimarket yang sepi di seberang BCA. Di situlah, Tono memberi serangkaian instruksi kepada Setu.
“Ingat, nama sampeyan Abdul Muin. Bilang mau ke teller mau tarik tunai. Ini berkas-berkasnya. KTP, buku tabungan. Nomor PIN di kertas ini. Kantongin. Jangan sampai hilang.”
Setu melatih skenarionya. Tono berkomentar,”Tunggu. Kayaknya ada yang kurang. Coba pake peci ini.” Setu memakainya. “Nah, Pak Abdul Muin banget!” Tono berkomentar.
Setelah beberapa kali simulasi, Setu merasa yakin. Ia akhirnya berjalan mantap memasuki lobi BCA, sebagai Abdul Muin.
Saya Abdul Muin, mau tarik tunai, ini buku, ATM, dan KTP-nya.
Saya Abdul Muin, mau tarik tunai, ini buku, ATM, dan KTP-nya.
Saya Abdul Muin, mau tarik tunai, ini buku, ATM, dan KTP-nya.
Begitu fokus ia pada skenario, hingga Setu tak menyadari betapa sejuknya ruangan itu, betapa cantik dan wanginya teller itu, betapa ramahnya satpam yang melayaninya, betapa ia telah melakukan tindakan kriminal demi menolong orang asing yang baru dikenalnya 3 hari lalu.
Di saat menunggu nomor antriannya dipanggil, ia meyakin-yakinkan diri yang ia lakukan itu benar. Ia butuh uang 5 juta itu sebagaimana Tono membutuhkan uang untuk operasi bapaknya. Kalo ga aku bantu, Abdul Muin yang kuperankan ini, bisa mati. Begitu Setu meyakin-yakinkan diri. Ia juga membayangkan istrinya, cucunya, dan tentu… Gendhis.
“Mari, Pak. Giliran Anda, sekarang.” Satpam yang tahu Abdul Muin tampak gugup, berinisiatif mengawasinya sejak tadi. Adalah tugasnya untuk membantu nasabah-nasabah lanjut usia seperti Abdul Muin.
Setu yang sebenarnya ngeri melihat seragam satpam yang begitu mirip polisi itu, bertambah gugup saat dituntun menuju teller. Ia membayangkan, jangan-jangan sebentar lagi ia dituntun polisi menuju penjara.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Sapaan teller itu membuyarkan kekhawatiran Setu. Ia kembali fokus pada tugasnya sebagai Abdul Muin. “Saya Abdul Muin, mau tarik tunai, ini buku, ATM, dan KTP-nya.”
Setu juga menyerahkan slip penarikan yang telah diisi Tono, lengkap dengan tanda tangan palsu Abdul Muin.
Sembari memproses, teller itu dengan ramah menanyai Abdul Muin. Teller itu bertanya tentang sumber uang, dan uang itu mau diapakan. Setu menjawab sesuai skenario. Dia lega semuanya berjalan lancar dan senyum teller itu membuat Setu ingin menggodanya tapi Tono sudah berpesan jangan banyak bicara daripada terbongkar. Setu menahan diri. Semua hasrat ini akan kutuntaskan pada Gendhis, batinnya.
Akhirnya, Setu menerima uang 325 juta dan menyimpannya ke dalam kantong kresek yang sudah ia siapkan. Di depan bank, Tono telah menunggu. Dengan cepat, mereka berjalan ke parkiran di seberang. Tono mengambil uang 5 juta dari kantong, lalu menyerahkannya pada Setu. Dia cepat-cepat berpamitan.
“Maaf, Pak. Saya buru-buru ke rumah sakit.” Tono pun mencegat bus dan itulah hari terakhir Setu bertemu Tono.
Sampai tiga bulan kemudian, Setu bertemu Tono di pengadilan.
Dari situ, Setu tahu bahwa Tono telah menipunya. Abdul Muin bukanlah ayah Tono. Bahkan Tono, bukan nama aslinya. Di pengadilan itu, Setu melihat Abdul Muin yang asli. Abdul Muin tidak sakit. Yang sakit istrinya.
Karena istrinya sakit, Abdul Muin menjual rumah untuk biaya operasi. Sayangnya, uang hasil penjualan rumah itu justru dicuri Tono. “Karena uang tiba-tiba hilang, istri saya gagal operasi. Dia meninggal 2 minggu setelah uang saya dimaling.”
Mendengar itu, Setu lalu membayangkan kerumitan hidup Abdul Muin. Rumah sudah kadung terjual tapi istrinya tetap tak tertolong. Malah uangnya dimaling orang - dirinyalah malingnya. Setu bertanya-tanya apakah ia berarti secara tidak langsung, ikut membunuh istri Abdul Muin?
Setu mendengar seorang pengunjung sidang berkomentar,“Kasihan ya Pak Abdul Muin. Rumah, hilang. Uang, hilang. Istri, hilang. Semua hilang.”
Persidangan selesai. Untuk sementara, dia tidak ditahan. Dia masih bisa narik becak. Dia kembali ke pangkalan. Dia kembali duduk-duduk di becaknya. Setu merenungi nasibnya dan membandingkan dengan nasib Abdul Muin.
Setu menyimpulkan: Tuhan memang Maha Adil. Semua orang disiksa-Nya. Abdul Muin yang sudah ke Makkah, rajin sedekah, ternyata sama susahnya dengan dirinya yang tak pernah ibadah, rajin togel dan nyawer. Kalo jadi orang baik aja tetap dimaling, ditipu, dan ditinggal istri, untuk apa ibadah, kan? Mending seperti saya sekalian. Menikmati hidup. Pikir Setu.
Panas di Kudus. Setu sedang mengisap rokok dengan tatapan kosong saat seorang pemuda mendekatinya. “Permisi, Pak. Mau minta tolong.”
-------
*kisah ini fiktif belaka. Terinspirasi dari kisah nyata bagaimana Thoha (otak pencurian) memanipulasi tukang becak untuk mengambil uang Zuchry Muin (korban - nasabah)
Kronologi bisa dibaca di sini:
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.