Pisang Goreng, Jejak Warisan Budaya Nusantara di Tawau

Cerita tentang pisang goreng di Tawau, sebuah kota kecil di pantai timur Sabah untuk antology kuliner Nusantara

Pisang Goreng, Jejak Warisan Budaya Nusantara di Tawau
Pisang Goreng

Bagi masyarakat Indonesia, pisang goreng merupakan camilan tradisional yang sangat populer dan digemari oleh banyak orang serta menjadi bagian penting dari kuliner nusantara. Banyak varian pisang goreng yang bisa dinikmati, mulai dari pisang goreng biasa hingga pisang goreng dengan berbagai topping dan rasa. Dengan berbagai variasi rasa dan penampilan, seperti pisang goreng keju, pisang goreng cokelat, atau pisang goreng karamel, pisang goreng terus memberikan pengalaman unik bagi pencinta kuliner.

Dengan rasanya yang manis dan tekstur lembut di dalam, serta tekstur renyah di luar, pisang goreng menjadi camilan yang sempurna untuk berbagai kesempatan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pisang goreng sangat mudah dijumpai di berbagai tempat di Indonesia. Pisang goreng dapat dijumpai di warung tegal (warteg), warung kopi, warung pinggir jalan, dan gerobak sebagai makanan pendamping atau jajanan ringan. Pisang goreng juga dapat ditemukan di pasar, toko oleh-oleh, dan bahkan di restoran sebagai camilan atau makanan penutup.

Tidak diketahui persis kapan pisang goreng sebagai makanan yang sederhana namun sangat lezat.  menjadi suatu kuliner tersendiri. Diperkirakan kehadiran pisang goreng sudah ada sejak berabad-abad lalu dan telah menjadi bagian dari kuliner yang digemari di Nusantara sebagai hasil dari inovasi masakan rakyat yang memanfaatkan bahan-bahan lokal yang tersedia.

Di berbagai daerah di Nusantara, resep dan cara membuat pisang goreng bisa sedikit berbeda, menyesuaikan dengan selera lokal dan jenis pisang yang digunakan seperti pisang kepok, pisang raja, dan pisang tanduk. Pisang-pisang tersebut sering dipilih karena teksturnya yang padat dan rasanya yang manis. Pisang-pisang ini memiliki daging buah yang lebih tebal, sehingga setelah digoreng, mereka tetap memiliki konsistensi yang baik dan rasa yang lezat.

Dalam perkembangannya, pisang goreng tidak hanya dijumpai di Nusantara, tetapi menyebar ke berbagai belahan dunia, salah satunya ke Tawau, kota kecil yang tenang di pantai timur Sabah. Malaysia.

Konon, pisang goreng masuk ke Tawau saat terjadi peningkatan gelombang migrasi tenaga kerja Indonesia ke Sabah pada era kolonial Britania, terutama untuk sektor perkebunan tembakau dan kelapa sawit di wilayah Tawau. Para pekerja migran Indonesia (PMI) membawa serta kebiasaan makan mereka, termasuk kebiasaan mengolah pisang goreng sebagai pengisi energi selepas bekerja.

Di Tawau, dimana banyak masyarakat Malaysia asal Indonesia bermukim, pisang goreng dikenal bukan hanya sebagai makanan pengganjal lapar, tetapi juga sebagai simbol kebersamaan. Pisang yang tumbuh subur di tanah Sabah dengan iklim tropis mirip Indonesia memudahkan adaptasi resep ini secara lokal. Pisang goreng pun mulai dijajakan di pasar malam dan warung-warung kopi di Tawau.

Dalam perkembangannya pula, pisang goreng bukan hanya beremigrasi secara fisik dari Indonesia, tetapi juga mengalami akulturasi budaya, menjadi bagian dari identitas kuliner Sabah yang sarat jejak perantauan dan percampuran selera antarbangsa. Di Tawau, pisang goreng menjadi bukti bahwa makanan sederhana bisa menjadi pengikat sejarah dan kenangan lintas batas.

Oleh karena itu, apabila suatu saat anda berkunjung ke Tawau, cobalah mampir ke kedai-kedai yang banyak bertebaran di hampir setiap sudut kota.

Mampirlah ketika mentari pagi baru merekah atau senja mulai berbisik Dengarkan, di balik riuh kendaraan, di sela orang bercakap, ada satu suara yang mencuri perhatian:

"Sanggar panas, sanggar baru angkat!"

Setiap kali suara itu bergema, orang-orang berhenti sejenak, dan menoleh sambil tersenyum. Mereka datang menghampiri gerobak kecil yang mengepulkan aroma manis bercampur gurih. Wajah mereka tampak akrab, seperti menyambut sahabat lama.

Begitulah sanggar panas dikenal akrab, keberadaannya seperti detak jantung kota. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan, sesuatu yang membuat warga setempat seolah punya ritual tersendiri saat menjumpainya. Saat hujan turun, sanggar jadi pelipur. Saat pagi atau senja tiba, sanggar jadi teman ngopi.

Bagi warga Indonesia yang baru tiba di Tawau, penyebutan tersebut jelas membingungkan. "Sanggar? Maksudnya tempat belajar tari?" begitu komentar yang sering terdengar.

" ... apa sebenarnya sanggar panas itu?"

Jangan salah duga, sanggar bagi masyarakat Tawau bukanlah tempat belajar menari atau melukis. Bagi masyarakat Tawau, sanggar adalah sebutan khas untuk pisang goreng, kuliner Nusantara yang diperbincangkan sejak awal tulisan ini.

Sanggar adalah sebuah istilah yang lekat dengan identitas lokal, warisan dari bahasa Bugis yang sudah sejak lama hidup berdampingan dengan ragam budaya di perbatasan.

Disebut "panas" karena pisang goreng paling enak disantap saat baru diangkat dari kuali, renyah di luar, lembut manis di dalam, dan masih mengepulkan uap.

Lebih dari sekadar makanan, sanggar adalah bagian dari perbincangan. Di balik setiap gigitannya, ada obrolan tentang cuaca, tentang kabar kampung, atau bahkan tentang harga ikan hari ini di pasar Tanjung, pasar tradisional terbesar di Tawau.

Sanggar panas menjadi simbol kehangatan, bukan hanya karena baru diangkat dari minyak mendidih, tapi juga karena membawa kehangatan hubungan sosial.

"Saya pesan pisang goreng original ya," ujar istriku kepada pelayan di sebuah kedai di Tawau

"Pesan apa puan?," tanya si pelayan dengan logat Bugis yang kentara dan sedikit bingung

"Ini, saya pesan pisang goreng," jawab istriku sambil menunjuk gambar sepiring pisang goreng yang terdapat di daftar menu

"O ... sanggar," sahut si pelayan sambil menulis pesanan ke secarik kertas kecil.

"O iya, di Tawau pisang goreng itu disebut sanggar ya," tanya istriku dan si pelayan menjawab pertanyaan istriku dengan senyum.

Di Tawau, sanggar banyak di jual di kedai, bahkan ada warung kecil di pasar Tanjung yang menulis papan sederhana bertuliskan "Jual Sanggar Panas." Satu kalimat bermakna ganda, tapi semua mengarah ke pisang goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Sanggar disajikan dalam sebuah piring disertai sambal khas asal Bugis.

Kehadiran sanggar memperlihatkan betapa cairnya penerimaan kuliner di Tawau, termasuk penerimaan bahasa dan budayanya. Istilah ini menggambarkan bagaimana bahasa membentuk persepsi atas makanan, sekaligus menunjukkan betapa akrab dan cairnya budaya di perbatasan.

Tawau, sebagai kota yang dihuni oleh warga dari berbagai latar belakang, Bugis, Jawa, Bajau, Tidung, hingga Cina, menjadi tempat lebur bukan hanya lidah tapi juga istilah. Satu istilah kuliner bisa menjadi jembatan cerita antar-etnis, memperkaya identitas lokal yang memang berlapis-lapis.

Apakah perlu diperdebatkan? Tidak juga. Tapi menyebut "pisang goreng" bisa jadi kode keakraban tentang sebuah jejak warisan kuliner Nusantara. Seperti kata seorang pedagang yang dengan bangga berkata, "Sanggar, pisang goreng ala Tawau, lembut di dalam, rangup (renyah) di luar. Tapi pakai cinta Indonesia juga."

Akhirnya, entah kita menyebutnya pisang goreng atau sanggar, satu hal yang pasti, ada jejak kuliner Nusantara di Tawau dan yang tidak kalah penting, tak ada yang bisa menolak godaan pisang goreng ketika masih hangat dan wangi. ***

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.