"Ayo, silahkan makan. Ini ada ayam cabai ijo. Bumbunya persis sama dengan bebek ijo yang dari Kotogadang itu. Cobain deh, enak pasti," tuan rumah mempersilahkan kami.
Dengan semangat kami mengambil makanan yang ditunjuk. Lalu, setelah satu suap, kami saling berpandang-pandangan. Sambil berusaha untuk tak terlihat kecewa.
Ayam cabai hijau itu enak sebetulnya. Tapi, itu ayam. Bukan bebek. Dalam otak kami, yang terbayang adalah rasa gurih pedas yang khas hidangan bebek ijo. Sungguh, beda sangat rasa yang kami kecap. Cukup sedih juga. Ah, maksudnya kecewa karena tak sesuai dengan harapan lidah.
Masa itu masakan bebek belum populer seperti sekarang. Masih banyak yang menganggap daging bebek menjijikan. Amis, katanya. Apalagi melihat bebek suka main di lumpur dan becek-becekan. Jorok-jorokan. Kata seorang kawan, asosiasi bebek biasanya jorok begitu, jadi makan daging bebek pikiran pasti langsung ke yang jorok-jorok itu.
Maka, bila mendengar bahwa orang yang berasal dari Kotogadang, sebuah kota kecil di Sumatra Barat, mempunyai hidangan khas daging bebek, orang kadang sampai mengernyitkan keningnya dengan penuh rasa heran.
"Penduduknya bahkan sampai petani di sawah berbicara dalam bahasa Belanda. Kaum intelektualnya banyak. Ada Haji Agus Salim, ada juga Sutan Sjahrir. Makannya koq binatang jorok," seseorang pernah mengungkapkan kekecewaannya ke saya.
Menyebalkan, bukan? Dia tidak tahu enaknya masakan itu…
Memang sulit untuk memasak bebek. Tak semua orang pandai menanganinya. Kalau tak keras, setelah matang, bisa jadi amis. Atau, keduanya. Maka, dalam keluarga saya, bebek ijo, yang lebih akrab disebut lado ijo tapi juga sering dipanggil gulai itiak, menjadi makanan mahal dan langka. Hidangan tersebut baru bisa kita temui dalam acara-acara khusus.
Misalnya, pada pernikahan yang bukan di gedung. Atau, pada hari raya lebaran. Yang terakhir ini pun awalnya tak di semua rumah bisa didapatkan. Cukup langka. Pastinya juga tak ada di meja makan rumah keluarga kecil kami.
Tapi, kemudian pelan-pelan makanan surgawi itu semakin mudah didapat saat lebaran. Mulai ada pembuatnya yang berkenan menerima pesanan. Masih ingat dalam ingatan saya sekian puluh tahun lalu—1970-an atau 1980-an—ketika saya menemani ibu saya ke rumah seseorang yang menerima pesanan bebek ijo untuk lebaran. Tak ada telepon untuk menghubungi, jadi untuk memesan kami harus datang sendiri—nantinya kami juga yang harus menjemput bebek matangnya.
Rumahnya masuk ke gang-gang sempit. Karena tak ada halaman, di teras depan rumah itu dibuatkan kandang sementara untuk mengurung bebek-bebek. Sedih sih memikirkannya, bahwa mereka akan segera mati satu persatu. Hehe… Lalu, berisiknya. Dan, baunya itu—tak heran bebek dianggap binatang jorok—apakah tak mengganggu tetangga ya? Tapi, salah satu cara untuk membuat gulai itiak yang enak adalah, dagingnya harus sesegar mungkin. Fasilitas menyimpan di lemari pendingin masih terbatas. Lebih gampang menyimpan hidup-hidup begitu.
Di masa-masa berikutnya, pesanan sudah bisa dilakukan dengan menelpon. Tak perlu datang kecuali menjemput pesanan, dan biasanya itu tugas adik bungsu saya. Ibu tinggal menyuruh. Dia akan menjemput pesanan untuk keluarga kami, sekaligus juga pesanan untuk para tante dan para sepupu. Dan, juga yang punya Oma kami—Oma adalah ibunya ibu kami.
Nah, yang satu itu yang paling penting. Rumah Oma adalah markas tempat kami berkumpul di hari pertama lebaran. Kalau di sana tak ada gulai itiak, waaaah..., bukan lebaran namanya. Biarpun hanya kebagian serpih-serpih daging, tak mengapa. Meskipun sebenarnya di rumah sendiri pun ada.
"Gulai itiak-nya udah hampir habis. Coba lihat, masih ada nggak di mangkok sambanya," Oma atau salah satu tante akan mengarahkan kerabat yang baru datang.
Samba itu bahasa Minangkabau yang artinya lauk-pauk—demikian yang kami pahami. Piring samba atau mangkok samba maksudnya adalah wadah lauk-pauk.
Seringkali di meja makan model rijstafel saat lebaran itu ada lebih dari satu mangkok samba isi gulai itiak. Yang satu pasti yang disediakan Oma. Lainnya adalah bawaan tante-tante atau sepupu-sepupu.
"Yang ini bikinan Tante Anu-anu, pesanannya Oma. Yang itu bikinan Uni Ini-ini, dibawa oleh Tante Blabla. Kalau yang itu bawaan…, eeeh…, siapa ya?" Selalu ada tante atau sepupu yang akan menjelaskan.
"Oh ya!? Wah, patut dicoba juga donk," biasanya yang diberi tahu akan bereaksi begitu.
Lalu, dia akan ambil sepotong daging bebek dari tiap mangkok samba. Rakus ya? Hahaha, kalau soal gulai itiak kami memang rakus. Tak ada malunya. Kami tak lahir dengan rasa malu khusus untuk yang satu ini. Yang kelakuannya seperti itu nggak hanya satu-dua orang lho! Tak terbatas umur pula. Termasuk saya tentunya…
Dulu, waktu masih makan daging, pertama yang saya akan sikat adalah jeroannya. Kalau perlu, diam-diam saya ambil duluan dari lemari di rumah Oma. Sebagai pecinta brutu, si tunggir itu jadi pilihan kedua. Brutu bebek lebih besar daripada punyanya si ayam, tapi lebih berminyak. Kurasa itu bagian paling berminyak dari seluruh tubuh bebek—tapi mungkin juga saya salah.
Bagian dada tak kusuka karena seratnya sangat kasar. Dada ayam juga tak kusuka dengan alasan yang sama. Tapi, bebek punya jauh lebih kasar. Paling apes adalah kalau kebagian yang sayap. Lebih panjang dari ayam, tapi lebih tipis daging. Tulang melulu. Nyaris tak berdaging sama sekali. Kalau hanya dapat bagian ini, ya sudah, diisap-isap saja juga enak koq.
Kadang ada kakak sepupu yang membawa gulai itiak asli ke pertemuan lebaran kami. Maksud saya asli adalah karena gulai itiak itu didatangkan dari kampung halaman leluhur kami, Kotogadang. Saya ikut makan, dan, ya ampun! Rasanya memang beda! Belum pernah merasakan yang seenak itu! Kami semua sepakat bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya. Air dan tanah tempat tumbuhnya cabai dan berbagai bumbu serta yang menjadi lingkungan hidup bebeknya, berbeda dengan yang di Jabodetabek. Karena itu, rasanya berbeda!—ini adalah hasil diskusi yang berlangsung sambil makan bebek ijo, dan terjadi di setiap lebaran.
Orang Minangkabau—atau yang secara salah kaprah sering disebut sebagai orang Padang—kebanggaan hari rayanya adalah rendang. Tapi, buat kami yang dari Kotogadang ya tentu saja bebek ijo. Para pendatang di keluarga besar kami—mereka yang menikahi anggota keluarga besar kami—awalnya lumayan kaget akan makanan khas ini. Tapi, dipastikan semua akan jadi jatuh suka. Demikian pula anak-anaknya. Anak dari adik saya sewaktu dia kecil tak suka akan makanan pedas. Tapi, saat ada kesempatan makan bebek ijo, dia rela kepedasan setengah mati. Makanan yang satu ini memang unik.
Kesukaan saya pada makanan khas kampung halaman ayah saya itu sempat juga saya tularkan ke teman-teman. Ada seorang teman yang telah menjadi vegetarian, tapi karena sudah pernah merasakan nikmatnya gulai itiak, khusus untuk makanan yang satu itu dia tetap mau makan.
Perlahan pendapat orang tentang bebek pun berubah. Tak lagi jijik. Bahkan, sekarang bebek sudah umum sebagai pilihan kuliner Nusantara. Sejajar dengan ayam. Menguntungkan buat pecinta gulai itiak, karena sekarang nyaris bisa pesan ke pembuat kapan saja. Tak harus menunggu ada yang bisa mengejar bebek di sawah orang.
Kalau dulu, kami harus menunggu lebaran datang buat memperoleh bebek ijo. Ada beberapa teman yang sudah hafal bahwa keluarga saya kalau berlebaran pasti dengan bebek ijo. Mereka lalu sering nebeng minta dipesankan makanan khas ini.
"Yang matang atau yang setengah matang?" ibu saya dulu bertanya saat saya menyampaikan daftar teman-teman yang nebeng pesan—mirip jastip tapi tak ada biaya titip hehe…
Jangan heran! Almarhum ibu saya pernah punya sumber yang juga menerima pesanan gulai itiak setengah matang. Semua pesanan gulai itiak datang dalam bentuk beku. Untuk yang jadi atau matang, tinggal kami panaskan saja di periuk saat hendak dihidangkan. Untuk yang setengah matang, bumbu dan dagingnya terpisah. Ladonya, sambalnya, duluan yang dipanaskan, kemudian baru dagingnya yang sudah dipotong-potong itu dimasukan.
"Jadi, kita bisa pura-pura bikin sendiri," kata ibu sambil tersenyum lebar.
Iya, kelihatannya lucu. Saya sih tidak terlalu suka. Sebab, akibatnya saya juga yang kena kerjaan. Ditugaskan untuk sering-sering mengaduknya—mirip dengan situasi kalau ibu saya membuat rendang tuh. Proses paling sulit dalam mengolah masakan ini, dalam pandangan saya, adalah penangan daging bebek diawalnya. Ada proses khusus untuk menghilangkan bau amis daging bebek. Ada cara tertentu untuk menghilangkan bulu-bulu halus di daging bebek. Repot!
Sekarang sudah ada buku masak khas Kotogadang yang diterbitkan oleh Ikatan Masyarkat Kotogadang. Melihat resep gulai itiak di buku itu, sepertinya mudah saja membuatnya. Tapi, nggak janji deh. Masak air saja saya sering lupa. Yang paling menyenangkan menurut saya adalah, karena buku resep itu artinya juga turut mendokumentasikan budaya leuluhur. Seperti merawat kebudayaan saja layaknya.
Orang-orang yang dulu saya ketahui pandai memasaknya, kini sudah tiada. Mereka adalah generasi orang tua saya. Tapi, ternyata tradisi memasak bebek ijo tak hanya berlanjut pada rekaman di buku masak. Ada generasi penerusnya. Tradisi ini tidak mati karena penerusnya bermunculan terus. Antara lain adalah sepupu-jauh-dekat saya, Winda Zuchra sipemilik Zuchra’s Kitchen.
Penasaran untuk tau apakah Winda juga punya kandang bebek khusus yang barangkali juga dipasang sementara di teras rumahnya, bertanyalah saya soal pasokan daging bebeknya.
“Ada langganan pemasok daging bebek. Dan, gue belinya yang entok. Karena, lebih besar dan empuk, dan harganya sama,” jelas Winda.
Wah!!!
Naik daunnya bebek ternyata telah sangat memberi kemudahan dalam ketersediaan stok daging bebek, dan entok. Maka, gulai itiak kini bisa dipesan kapan saja, untuk acara apa saja. Termasuk untuk acara sekedar kumpul-kumpul iseng tak berguna. Eh, asal pesannya jangan terlalu mendadak. Lakukan beberapa hari sebelumnya. Demi menjamin ketersediaan stok.
Dengan demikian, sekarang kita sudah berada di masa ketika orang tak perlu lagi mengganti bebek dengan ayam sehingga membuat yang makan kecewa. Kekecewaan itu rasanya sama dengan kekecewaan yang sering kami alami dulu, pada beberapa hari setelah lebaran. Di saat ketika daging bebek sudah habis tapi sambal hijaunya masih melimpah. Yang kemudian oleh almarhum ibu, yang tak terlalu pandai masak tapi sangat kreatif, diolah-ulang.
Melihat hijau-hijau di mangkok samba, semangat kami untuk segera menyantapnya segera meninggi. Sedihnya hati ini ketika lidah mengecap rasa yang bukan rasa daging bebek atau itik atau entok. Melainkan, nangka muda. =^.^=