Mengalir Saja…

Mengalir Saja…
 
Jadilah seperti air di sungai. Mengalir tanpa lelah, tabah menghadapi berbagai rintangan yang menghadang, dan akhirnya toh sampai juga ia di laut.
 
 
Oh, bukan! Kutipan di atas bukanlah ciptaan saya. Melainkan, saya kutip dari ucapan seorang teman, sekian puluh tahun lalu, ketika kami masih sama-sama mahasiswa yang suka keleleran ke sana ke mari. Kata-kata yang saya tuliskan mungkin tidak sama dan serupa dengan ucapan si teman ini. Apa yang dia cetuskan terdengar lebih puitis, sampai-sampai sulit bagiku untuk menuliskanya kembali.
 
Kami kuliah di fakultas yang sama, tapi berbeda jurusan. Saya di jurusan arkeologi, dia di sastra Prancis. Meski usianya lebih tua dari saya, tapi di kampus saya dua tahun di atasnya. Dia biasa saya panggil Mas Aji—yang sayangnya sudah almarhum, al fateha untuknya.
 
Di masa kuliah saya bergabung dengan kegiatan kepecinta-alaman universitas, yang tepatnya sih jalan-jalan dan pergi-pergi naik gunung dan hiking sesukanya. Mas Aji tidak ikutan kegiatan macam ini, dia seseorang yang bergiat di bidang sastra dan budaya. Namanya sudah terkenal di bidangnya, dia bahkan punya kelompok teater di Bulungan, Jakarta Selatan sana. Bahwa kami akhirnya berteman, itu sudah ditetapkan oleh semesta.
 
Tak terlalu sering tapi ada saat-saat di mana Mas Aji mencemplungkan saya ke dalam kegiatannya, atau mengajak saya pergi bersamanya. Saya ya ikut saja, sebab ketika bersama Mas Aji rasanya selalu asik dan menyenangkan. Pulangnya, dapat dipastikan ada hal-hal baru yang saya ketahui. Tambah ilmu.
 
Di salah satu dari saat-saat bersamanya itulah tiba-tiba dia mengucapkan kutipan yang saya bicarakan ini. Pertama kali mendengarkan kutipan itu, damai rasanya hati ini. Akibatnya, sangat sering kuminta Mas Aji untuk mengucapkannya tak hanya sekali lagi, tapi berkali-kali lagi. Sampai-sampai dia sebal, sama dengan sebalnya kalau aku berkali-kali memintanya mendendangkan lagu Jubilee-nya Paul McCartney dengan gitarnya.
 
Menggenggam erat kutipan tersebut di hati, ketika saya berkegiatan di alam raya, saya menjadi lebih cermat dalam mengamati sungai. Apalagi kalau kegiatannya di sungai; white water rafting alias arung jeram. Benar-benar deh, kita bisa melihat betapa aliran air di sungai ternyata selalu penuh gangguan. Ya pokok kayu mati yang melintang, batu besar yang menghadang, kontur-kontur tanah meninggi atau merendah sehingga tercipta jeram-jeram bahkan air terjun. Dan, seterusnya. Air di sungai tak pernah mengalir lurus aman tanpa halangan.
 
Kalau membawa pengamatan ke batang-batang air di kota, malah lebih seram lagi. Sampah-sampah yang banyaknya tak terperi, bahkan sampai mampu menyumbat aliran air. Bisa-bisa, laut tak dapat dicapai sang air, ‘kan!? Hati saya sungguh merasa khawatir melihatnya.
 
Saya memang khawatiran orangnya. Kalau sudah terbalut rasa khawatir, berbagai pikiran negatif akan muncul. Apalagi kalau sesuatu yang saya khawatirkan berada di luar kendali kita. Bakal makin dalam saja kekhawatiran saya, mata bisa sampai berkunang-kunang.
 
Misalnya saja, seperti waktu hendak nobar dokumenter Koesroyo – The Last Man Standing karya Linda Ochi, bersama-sama teman-teman The Writers. Kekhawatiran saya saat itu akhirnya menjadi bertumpuk-tumpuk. Awalnya, khawatir terlambat, maka dua setengah jam sebelum waktunya saya sudah siap. Padahal, perjalanan normalnya hanya setengah jam. Tapi, dengan berpikir bawa kalau berangkat cepat maka saya dijamin tak terlambat tiba di lokasi, hati saya sungguh tenang jadinya. Hilang deh tuh rasa khawatir.
 
Cilakanya, tiba-tiba hujan deras mendera. Berhubung di daerah saya tinggal apabila hujan selalu mendadak jadi macet sana-sini entah kenapa, taksi online pun sulit mencapai saya. Sampai sembilan kali pesanan saya dibatalkan. Kekhawatiran yang bergulung-gulung mendera saya. Dan, benar saja, saya terlambat dua menit dari waktunya. Akibatnya, vertigo saya kumat.
 
Itu hanya satu contoh, dan yang terbaru. Dalam hidup saya yang sudah lebih dari enam dekade, entah berapa ratus kali khawatir membungkus saya. Tidak semua berakhir dengan vertigo—untungnya. Cukup banyak juga sih saat-saat saya bisa menenangkan diri, hati, dan pikiran. Mampu berpikir tenang, maka kabut bergeser dan saya bisa mengingat ucapan Mas Aji yang menjadi kutipan favoritku. Semua hal dan masalah pun dapat terlihat dengan jelas.
 
Prinsipnya, ya mari mengalir saja…   =^.^=
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.