Pengemis atau Pendoa?
Apakah Anda bisa membedakan keduanya?

“Kula nuwun, ….”
Begitu salam dari seorang laki-laki yang tiba-tiba sudah nongol di depan. Sapaannya tidak terdengar karena diucapkan lirih.
Tubuhnya kurus, tingginya sekitar 1,5 meter. Wajahnya tertutup masker dan ubet-ubetan kain di kepalanya. Orang tidak akan benar-benar bisa mengenalinya. Yang bisa ditebak hanyalah usianya tak lagi muda. Itupun berdasarkan asumsi dari caranya menggunakan bahasa Jawa. Pilihan katanya tidak biasa digunakan oleh orang muda. Setidaknya laki-laki ini berasal dari generasi X atau bahkan generasi sebelumnya.
Pakaian yang dikenakannya juga bukan tipikal bajunya orang zaman sekarang. Ia mengenakan sarung dan kemeja lengan panjang seperti baju koko, dilapisi dengan semacam jaket atau mantel panjang. Warna pakaian yang dikenakan tidak pernah berwarna cerah alias buram.
Kedatangan laki-laki ini tidak bisa diprediksi. Kadang ia datang pagi, siang, atau sore. Jarang dia datang malam, seingatku. Aku tidak selalu bertemu dengannya, tergantung staf yang bertugas di bagian depan. Memang, dia tidak datang setiap hari. Sepertinya ada semacam rutinitas, tetapi tidak bisa ditebak. Mungkin aku tak benar-benar menghitungnya.
Walaupun pada prinsipnya aku bersimpati pada orang-orang seperti lelaki ini, tetapi responsku tergantung pada waktu kedatangannya. Jika dia datang pas aku sibuk, dengan berat hati aku melambaikan tangan dan dia mengerti maksudku.
“Mugi-mugi rejeki lancar, diparingi laris, …,” begitu laki-laki tersebut dalam bahasa Jawa mengawali doanya usai mendapat uang kecil dariku atau siapapun dari kami.
Sepertinya, sih, doanya lebih panjang jika dia berhadapan denganku. Bukan kenapa, aku sabar mendengarkan dia, menjawabnya dengan kata ‘amin’ bahkan membalas dengan ucapan-ucapan terutama terkait dengan kesehatan baik dan rejeki berlimpah untuknya. Ya, semacam berbalas doa. Haha. Jujur, selain urusan sehat dan rejeki, agak-agak bingung juga merespons dia. Teman sekerjaku biasanya langsung pergi usai memberinya uang.
Ya, dia ini pengemis yang rutin datang ke tempat kerja. Jika aku – meskipun sedang bertugas di depan – tapi lagi berkutat dengan adonan, maka aku melambaikan tanganku yang belepotan tepung. Males aja sih, kalo harus bersihin tangan dulu sebelum ambil uang. Di banyak kesempatan, jika aku lagi ngadon artinya lagi hectic.
Hanya saja, kedatangan si pengemis ini sering membuatku merenung. Dia seperti bukan pengemis. Dia justru seperti pendoa. Sayangnya, karena dia tidak bekerja atau berafiliasi dengan institusi yang tepat, maka uang yang diperoleh rata-rata duaribu rupiah per doa. Tetapi, mungkin kalo dia cukup lama berkeliling, dan mendoakan banyak orang, dia bisa dapat duaratus ribu per hari, sih, ya. Entahlah. Gimana menurut Anda? (rase)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.