Optimalisasi CERC sebagai Solusi Pemutus Mata Rantai Miskomunikasi dari Generasi ke Generasi

Komunikasi itu perlu, transparansi harus dijunjung selalu, demi memperoleh sebuah informasi yang bermutu

Optimalisasi CERC sebagai Solusi Pemutus Mata Rantai Miskomunikasi dari Generasi ke Generasi

Optimalisasi CERC sebagai Solusi Pemutus Mata Rantai Miskomunikasi dari Generasi ke Generasi

Karya: Yoniva Nandarista Poma

SMAN 1 BADEGAN PONOROGO

 

“Ketika orang ditipu, mereka tidak akan mempercayai lagi sumber yang telah menipunya.

Jika mayoritas dari sumber informasi yang ada di masyarakat bertindak tanpa mempertimbangkan kejujuran dalam berkomunikasi, maka semua komunikasi menjadi lemah.” (J. Michael Sproule)

 

Kutipan tersebut seakan menyadarkan kita bahwa keterbukaan dalam komunikasi merupakan hal yang sangat krusial dalam bermasyarakat dan bernegara. Komunikasi menjadi poros penyebaran informasi baik secara verbal maupun digital, serta sebagai upaya kontrol sosial untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang berkelanjutan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunikasi adalah pengiriman atau penerimaan informsi antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dimengerti. Artinya, tujuan dari komunikasi adalah untuk membangun kebersamaan pikiran tentang makna dari suatu pesan atau informasi. Komunikasi merupakan hal yang sangat vital terutama di tengah kondisi pandemi seperti ini, dimana kurva positif covid di Indonesia masih belum menunjukkan tanda-tanda akan landai. Sehingga, untuk menanggapi dan meminimalkan penyebaran covid diperlukan model komunikasi dua arah yang efektif dan efisien antara pihak otoritas dan masyarakat. Lebih jauh lagi, dengan diberlakukannya psychal distancing komunikasi digital menjadi salah satu media penyampaian informasi dan kampanye perubahan perilaku untuk menanggapi pandemi.

Covid-19 merupakan virus yang menyerang pernapasan dan dapat mengakibatkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru berat, hingga kematian. Wabah covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, China dan menyebar dengan sangat cepat di seluruh dunia hingga ditetapkan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020. Pandemi berdampak pada seluruh lini masa kehidupan dan menimbulkan krisis serta kekhawatiran di tengah masyarakat. Maka dari itu seluruh pemerintah di dunia bergegas mencetuskan berbagai kebijakan seperti memakai masker dan menjaga jarak sosial guna menekan penyebaran virus. Menanggapi berbagai problematik di tengah pandemi, komunikasi yang menjadi salah satu faktor penentu berakhirnya era covid di Indonesia malah terkesan dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Tentu saja pemerintah telah menunjukkan gerakan proaktif untuk membina komunikasi dengan masyarakat, seperti mengampanyekan kebiasaan baru lewat berbagai media hingga menyerukan pesan positif guna menstabilkan psikologis masyarakat di masa pandemi. Akan tetapi jika melihat kenyataan di lapangan dengan kurva pasien positif belum juga kunjung melandai, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam regulasi pencegahan dan penanganan virus corona. Bisa jadi karena faktor komunikasi antara pemerintah dan masyarakat yang kurang efektif dan minimnya transparansi.

Sebagaimana diungkapkan pada 5 April 2020 oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo, data dari pemerintah pusat tidak sesuai dengan angka-angka yang dilaporkan oleh pemerintah provinsi. Hal ini menjadikan masyarakat gerah dan menuntut transparansi informasi dari pemerintah. Akibatnya, citra pemerintah di mata publik menjadi turun dan menyebabkan masyarakat tidak lagi percaya pada informasi yang diberikan pemerintah dan memilih media lain sebagai rujukan. Hal ini memberikan ruang untuk hoax dan berita bohong untuk leluasa beredar dan digunakan sebagai acuan publik, dimana akan berakibat pada rancunya pemahaman masyarakat. Jika pemahaman masyarakat sudah rancu dari awal, maka seluruh regulasi dan kebijakan yang digaungkan pemerintah akan sia-sia dan tidak akan berjalan dengan semestinya. Lebih jauh lagi, hal ini akan menimbulkan multiplier effect dan berimbas pada kurva pandemi yang menombak naik serta timbulnya stigma buruk pada citra pemerintah. Implikasinya, publik akan cenderung mengingat jejak inkonsistensi regulasi yang pernah dijanjikan pemerintah dan meningkatkan risiko Indonesia sebagai episentrum pandemi di dunia. Lalu, bagaiamana cara untuk memperbaiki komunikasi antara pemangku kebijakan dan masyarakat agar tercipta metode komunikasi yang solid dan sistematis guna menanggapi pandemi?

Berdasarkan permasalahan tersebut penulis terinspirasi untuk memberikan sumbangsih berupa karya yang berjudul Optimalisasi CERC sebagai Solusi Pemutus Mata Rantai Miskomunikasi dari Generasi ke Generasi. Penulis akan menggunakan rumus pertumbuhan eksponensial sebagai metode penyelesaian masalah tersebut. Pertumbuhan eksponensial atau dapat disimbolkan dengan merupakan pengoperasian antara jumlah awal , tingkat pertumbuhan , dan jumlah interval waktu , yang dirumuskan sebagai . Sehingga dalam permasalahan ini dapat dianalogikan sebagai presentasi tingginya krisis transparansi dalam komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Sedangkan dapat dianalogikan sebagai adanya sikap penolakan kepakaran, merupakan adanya kebijakan yang tidak sejalan antar level pemerintah, serta adalah lemahnya koordinasi dan tidak adanya transparansi komunikasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Dari rumus dan penganalogian tersebut dapat dilihat bahwa untuk meningkatkan transparansi dan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka menyelesaikan permasalahan pandemi covid-19, maka kita harus memperkecil hasil yang diperoleh atau memperkecil dengan cara mengurangi bilangan pada variabel rumus di atas.

Variabel merupakan penganalogian dari adanya sikap penolakan kepakaran. Maksudnya, dari awal pemerintah telah salah langkah dengan bersikap denial terhadap kajian akademik terkait covid-19. Hal ini tercermin pada kasus Menteri Kesehatan yang menolak pemodelan penyebaran virus corona yang diperingatkan oleh Universitas Harvard. Hal ini dapat terjadi karena anggapan bahwa covid-19 tidak bisa hidup di Indonesia karena iklim yang tropis dan lembab. Sehingga saat pemerintah mengumumkan virus Covid-19 sebagai pandemi maka masyarakat cenderung tidak tanggap dan tidak mengindahkan protokol menjaga jarak, karena dari awal komunikasi pemerintah dengan masyarakat terkait virus covid-19 sangatlah minim. Meskipun di awal pandemi komunikasi pemerintah dengan masyarakat buruk, pemerintah masih bisa dan wajib untuk memperbaiki komunikasi di tengah krisis agar penyebaran wabah dapat diminimalisir. Caranya adalah dengan melakukan pembekalan informasi mengenai virus corona langsung dari ahlinya seperti pakar epidemiologi dan tidak menggiring opini publik di sosial media dengan buzzer. Selain itu pemerintah juga dapat melakukan sosialisasi dan edukasi yang mudah dipahami dan relate dengan kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat awam tidak dipusingkan dengan berbagai istilah kesehatan yang bisa jadi terasa membingungkan dan dapat memicu terjadinya miskomunikasi.

Variabel merupakan hasil analogi dari adanya kebijakan yang tidak sejalan antar level pemerintah, misalnya perumusan peraturan yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam pelaksanaan kebijakan dan komunikasi publik yang mengakibatkan kebingungan di masyarakat. Hal ini terjadi pada dua kementerian yang secara struktural dan fungsional saling terkait, yaitu Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perhubungan. Salah satu kasusnya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengatur tentang psychal distancing, ternyata dimentahkan oleh Kementerian Perhubungan dengan masih diperbolehkannya sepeda motor dan ojek online untuk beroperasi, sedangkan hal ini berarti pyshical distancing tidak bisa dilaksanakan sebagaimana yang dimaksud oleh Permenkes Nomor 9/2020. Hal serupa juga terjadi dengan munculnya kebijakan larangan mudik, namun masih membolehkan transportasi publik dioperasionalkan. Sebenarnya dengan pemerintah mengeluarkan peraturan dan kebijakan terkait pandemi, telah menjadi bukti keseriusan pemerintah dan parlemen untuk beraksi sigap menekan penyebaran wabah corona. Namun, perlu adanya transparansi dalam perumusan peraturan agar tidak memicu terjadinya tumpang tindih kebijakan yang akhirnya menimbulkan celah dan dimanfaatkan oleh beberapa oknum masyarakat untuk melanggar protokol kesehatan yang berlaku.

Sedangkan merupakan penganalogian dari lemahnya koordinasi dan tidak adanya transparansi komunikasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Masalah komunikasi tersebut bermula dari pengumuman dua pasien pertama positif covid pada awal Maret yang terkesan ditutup-tutupi perihal keakuratan informasi serta identitas korban yang justru terungkap pada khalayak umum, sehingga mengundang kritik dari berbagai kalangan. Di sisi lain masalah komunikasi tidak kunjung diatasi yang berakibat pada hilangnya kepercayaan publik terhadap informasi dari pemerintah dan masyarakat lebih memilih sumber informasi lain seperti internet dan sosial media yang rawan terjadi pemalsuan data serta menambah kesimpangsiuran.

Metode yang dapat ditempuh pemerintah untuk memperbaiki alur komunikasi agar lebih efektif dan komprehensif adalah dengan menggunakan model Crisis and Emergency Risk Communication (CERC). CERC merupakan kerangka komunikasi yang dibuat oleh CDC (Centers for Disease Control) yang bertujuan untuk membantu organisasi dalam merespons krisis yang berkaitan dengan darurat kesehatan yang mengancam nyawa banyak orang. CERC memadukan strategi komunikasi risiko (risk communication) yang umum digunakan disektor pemerintahan dan komunikasi krisis (crisis communication) yang digunakan sektor swasta. CERC berpijak pada filosofi bahwa publik berhak mendapatkan informasi akurat terkait krisis yang sedang terjadi. Informasi harus memaparkan secara lengkap kondisi krisis dan segala risiko yang ada agar membantu publik membuat keputusan rasional serta dapat menggiring publik untuk mengadopsi perilaku yang diharapkan dapat menekan krisis.

Dalam model CERC terdapat enam prinsip utama yang dapat diterapkan dalam praktik komunikasi pemerintah dalam penanganan covid-19. Prinsip tersebut terdiri dari Be First, Be Right, Be Credible, Express Empathy, Promote Action, dan Show Respect. Keenam prinsip tersebut berisi tentang kesegeraan penanganan misalnya dengan segera melakukan klarifikasi ke publik untuk menentukan langkah awal, karena terdapat kompleksitas dari segi peredaran informasi dari jam ke jam bahkan menit ke menit yang dikhawatirkan menimbulkan ketidapastian dan kesimpangsiuran rumor. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan masyarakat mendapatkan informasi pertama dan akurat dari pihak pusat langsung. Untuk mencapainya maka pemerintah diharuskan memiliki tim monitoring informasi yang cepat dan akurat. Pemerintah juga hendaknya memberikan informasi yang jujur, terbuka, dan eksak untuk membangun kredibilitas sehingga masyarakat dapat percaya secara penuh dan tidak gampang menelan berita hoax dan menambah kepanikan.

Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center of Disease Control and Prevention, CDC) sudah menggunakan model ini sebagai panduan dasar, karena metode dalam CERC memiliki keunggulan-keunggulan dalam memperbaiki komunikasi di tengah krisis seperti pandemi. Keunggulan ini tercermin dari segi kelengkapan dalam penanganan dan komunikasi dari tahap sebelum krisis (pre-crisis), awal krisis (initial event), selama krisis (maintenance), resolusi (resolution), dan evaluasi (evaluation). Saat memasuki awal krisis pemerintah perlu menyinergikan parlemen untuk memprioritaskan penyediaan informasi lewat satu pintu. Pemerintah juga perlu menyusun pesan yang komprehensif guna memberikan berita secara sigap ke publik mengenai krisis yang terjadi, aksi antisipasi, dan rumusan regulasi. Pada fase terjadi krisis, pemerintah perlu menyalurkan informasi akurat dan berkala juga mengoreksi rumor, miss-komunikasi, serta menjelaskan rumusan kebijakan dan langkah pemulihan pasca krisis. Dimasa resolusi, pemerintah perlu untuk tetap menjalin komunikasi dengan masyarakat untuk memahami krisis dan membangun empati kepada korban. Akhirnya, pada fase evaluasi akan menghasilkan konsensus dan pembelajaran berkat komunikasi yang tetap terjalin pada masa-masa krisis, sehingga dapat digunakan sebagai referensi pengambilan keputusan untuk menghadapi kejadian serupa di masa mendatang.

Berdasarkan permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi menjadi salah satu dari banyak faktor yang dapat membantu menekan penyebaran virus. Artinya komunikasi merupakan variabel yang sensitif dan berdampak besar dalam berhasil atau tidaknya regulasi dan kebijakan yang dicetuskan pemerintah, karenanya diperlukan model komunikasi yang komprehensif dan taktis dalam menanggapi tantangan pandemi. Dimana penulis merasa bahwa metode CERC merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk diadopsi pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi. Lebih jauh lagi, CERC berpijak pada asas yang jelas dan memiliki enam prinsip yang cocok diterapkan dalam konteks negara Indonesia. CERC juga memiliki keunggulan dalam segi kelengkapan penanganan mulai dari pra krisis hingga pasca krisis. Selanjutnya metode ini bersifat praktis dan mempertimbangkan aspek-aspek non-teknis seperti psikologis. Terakhir, model CERC bersifat dinamis atau terus diperbarui menyesuaikan waktu. Maka dari itu penulis berharap pemerintah dapat mempertimbangkan metode CERC sebagai model komunikasi yang dapat diadopsi untuk menangani pandemi dan krisis serupa dimasa mendatang. Karena komunikasi yang efektif dapat memandu publik, media, dan penyedia layanan kesehatan, untuk dapat merespons secara tepat terhadap situasi wabah dan bertindak sejalan dengan rekomendasi (dan prinsip-prinsip) kesehatan publik (Reynolds & Quinn Crouse, 2008).

DAFTAR PUSTAKA:

Administrator. 2020. CECR dan Media Selection: Strategi Menghadapi Krisis. https://dikom.fisipol.ugm.ac.id/cecr-dan-media-selection-strategi-menghadapi-krisis/. [25 Desember 2020, 09:23 WIB].

 

Enjang A. S, dkk. TT. Mendorong Penerapan Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) untuk mengatasi Pandemi Covid 19 di Indonesia. Program Studi Ilmu Komunikasi, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.

 

Hayat, Nahrul. 2020. COVID-19: Apa yang Membuat Kegagalan Komunikasi Pemerintah?. https://www.remotivi.or.id/amatan/586/covid-19-apa-yang-membuat-kegagalan-komunikasi-pemerintah. [23 Desember 2020, 15:07 WIB].

 

Kumparan. 2020. Informasi Virus Corona di Indonesia Tidak Transparan: Data Pusat dan Daerah Beda. https://m.kumparan.com/kumparansains/ informasi-virus-corona-di-indonesia-tidak-transparan-data-pusat-dan-daerah-beda-1tDPX9BZzkF. [2 Januari 2020, 19:30 WIB].

 

Rizal, Jawahir Gustav. 2020. Komunikasi soal Covid-19 Dinilai Bermasalah, Masyarakat Gagal Paham. https://www.kompas.com/tren/read/2020/ 06/26/192700865/komunikasi-soal-covid-19-dinilai-bermasalah-masyarakat-gagal-paham?page=all#page2. [23 Desember 2020, 13:12 WIB].

 

Tribowo, Whisnu. 2020. Analisis: Pemerintah Masih Bisa Perbaiki Komunikasi Krisis Pandemi yang Sejauh Ini Gagal. https://theconversation.com/ analisis-pemerintah-masih-bisa-perbaiki-komunikasi-krisis-pandemi-yang-sejauh-ini-gagal-134542. [23 Desember 2020,13:56 WIB].

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.