Membuat Apple Pie, Mengolah Kehidupan

Membuat Apple Pie, Mengolah  Kehidupan
Foto oleh Binny Buchori

 

 

Tante Ratmini memandang saya dengan ekspresi serius. Senyum tipis menghias wajahnya yang oval dan berbingkai sanggul nan anggun,. “Saya akan ngajarin kamu bikin apple pie. Kamu ada waktu sekarang?” tanya Tante Ratmini.

 Kegembiraan saya meluap, apple pie Tante Ratmini sudah sangat terkenal kelezatannya.  Dalam berbagai kesempatan Tante Ratmini Soedjatmoko, atau biasa saya sapa dengan Tante Ratmini selalu menghidangkan apple pie. Semua yang pernah mencicipi apple pie beliau mengakui bahwa hidangan ini istimewa. Kulit apple pienya renyah dan gurih, isinya segar campuran antara manis dan sedikit asam serta rasa kayu manis yang kental, membuat hidangan ini tidak terlupakan.

 Siang itu di rumah beliau, saya mengeluhkan kegagalan saya dalam membuat apple pie. “Padahal saya sudah mengikuti semua tahapan dalam resep. Saya juga pakai shortening yang impor, kok adonannya gak bisa saya giling,” kata saya mengadu. “Wah buat apa beli shortening yang mahal, Binny, pakai Blue Band  saja,”  jawab Tante Ratmini dengan santai. 

Sebelum  saya sempat mengatakan apa pun, tante Ratmini segera memanggil salah satu ART. Instruksi segera diberikan, 1 kg Apel Malang, Blue Band dalam kemasan mangkok, sekitar 250 mg. “Tidak usah beli terigu ya. Masih banyak,” kata tante Ratmini.  


Proyek dadakan membuat apple pie dari ahlinya berlangsung serius tapi santai.  Saya merasa nyaman menjalani proyek ini, karena meamang kami sekeluarga sudah lama berteman dengan Ibu Ratmini Soedjatmoko dan keluarga.

Dengan cekatan Tante Ratmini menuangkan terigu ke dalam mangkok, dilanjutkan dengan menuangkan margarine.   Di usianya yang 70an di awal tahun 2000-an itu semua gerakannya cepat dan tepat. Dua buah pisau roti digunakan untuk mengaduk terigu dan mentega sampai tercampur rata. “Terus diaduk ya sampai terigunya berbentuk butir-butir kecil. Nah sekarang masukkan air es,” tante Ratmini menerangkan.  Saya siap-siap menuangkan air es dari gelas kecil, “eeee, jangan dituang dari gelas. Pakai sendok kecil, cipratkan di adonan ini, sedikit-demi sedikit,” lanjutnya, sambil terus menguleni adonan terigu-mentega-air es sampai rata, kemudian menggamit tangan saya untuk ikut meremas adonan.  “Tidak ada ukuran yang pasti berapa banyak air es yang harus dimasukkan. Tapi kelembabannya harus seperti ini ya. Supaya adonan bisa dibentuk seperti bola,” jelas Tante Ratmini.

Saya megaduk-aduk adonan, yang terasa sedikit liat, agak basah, mudah dibentuk. Saya paham sekarang mengapa percobaan apple pie saya yang pertama gagal total. Rupanya adonan yang saya buat salah semua, perbandingan  antara terigu dan mentega tidak tepat, dan cara saya mencampurnya juga sangat sembarangan. Langsung diaduk dengan tangan, serta terlalu banyak air. “Wah adonan  untuk kulit pie yang saya buat sama sekali tidak bisa dibentuk, Tante. Rupaanya metodenya salah,” saya mengadu. Tante Ratmini tersenyum.

Tanpa banyak bicara, tante Ratmini mengambil adonan kulit pie, kemudian membaginya menjadi 2 bagian. Di atas kertas roti yang bertabur terigu, adonan mulai digiling, ditipiskan makin lama makin lebar, selebar loyang pie. Dengan lembut kulit pie dipindahkana ke atas loyang.  Apel Malang yang sudah diiris tipis, dicampur gula, dan sedikit terigu, serta ditaburi kayu manis bubuk sampaai harum, dituangkan ke atas pie.  Sekarang tinggal menutup apel pie dengan kulit pie bagian atas. Dengan cekatan tante Ratmini  menipiskan adonan kulit pie yang tersisa dan menutupkannya ke loyang. “Ayo sekarang kita hias pinggiran kulit pie. Masukkan jari di pinggir kulit, supaya bergelombang,” katanya sambil memberi contoh. “Nah teruskan ya,” lanjutnyaa . Saya menyelesaiakannya dengan memasukkan jari saya. Hasilnya tidak begitu cantik, karena jari saya buntek dan lebar, jadi gelombang kulit pienya lebar dan tidak menarik. Nyata benar bedanya dengan yang dibuat oleh tante Ratmini.  Melihat hasil akhir pie yang berbeda ini tante Ratmini hanya tertawa.

Setelah apple pie dimasukkaan ke dalam oven selama  45 menit,  kami pun menikmati apple pie buatan tante Ratmini yang legendaris itu.  Rasnya memang tidak terlupakan, dan langsung lumer di  mulut… “Ini tulis saja resepnya, Binny, “ kata tante Ratmini sambil menyorongkan buku resep. Sejak itu lah saya mulai mencoba membuat apple pie. Sampai dengan saat ini apple pie yang saya buat tidak pernah menyamai rasa apple pie yang kami buat bersama di siang itu. Namun pelajaran memasak itu terus saja saya ingat.

****

 

Rasanya saya tidak ingat lagi  kapan saya mulai mengenal  Tante Ratmini Soedjatmoko. Tidak ingat, karena rasanya dari saya masih cukup kecil,  orang tua saya sudah sangat sering menyebut nama  Oom Soedjatmoko atau Oom Koko dan Tante Ratmini.  Ayah saya selalu gembira dan terlihat sumringah bila menerima surat dari Oom Koko. Seringkali  orang tua saya membicarakan isi surat-surat   dari Oom Koko dalam Bahasa Belanda, mungkin isinya rahasia atau kami, anak-anak dianggap terlalu kecil untuk ikut memahami isi surat-surat tersebut.

“Tante Ratmini itu selalu tampil anggun, sanggulnya rapi, dan pakaian yang dikenakan selalu apik. Warna yang dipilih selalu serasi,” begitu Ibu saya menceritakan mengenai Tante Ratmini.   Sebelum bertemu langsung, saya sungguh sulit membayangkan seperti apa sosok Tante Ratmini, apalagi di masa kanak-kanak saya, tidak mudah mendapatkan foto apalagi foto berwarna. Baru lah saat mulai menginjak remaja dan dewasa, saya bisa mendapatkan gambaran konkrit mengenai sosok Tante Ratmini.

 Di sekitar pertengahan tahun 70an tersebut saya beberapa kali  bertemu tante Ratmini saat menemani orang tua saya bertamu ke rumah beliau,  namun saya lebih sering bertemu Tante Ratmini melalui media, karena saat itu kami bermukim di Semarang, dan beliau di Jakarta. Majalah Wanita Femina cukup sering meliput Tante Ratmini, baik sebagai pelukis perempuan, mau pun sebagai nara sumber untuk etiket, fesyen  (dahulu disebut tata busana) di samping beliau mengasuh sebuah kolom mengenai  etiket “Bu Mini Menjawab” di majalah Femina.

 

Deskripsi Ibu mengenai Tante Ratmini tepat sekali. Saat pertama kali berjumpa, saya terkesima dengan penampilannya yang sangat serasi dan rapi. Posturnya yang tinggi senantiasa dibalut dengan gaun atau pun kain-kebaya yang apik,  tidak berlebihan, dengan kombinasi warna yang serasi, dan menyejukkan mata yang memandangnya. Saya pun terkesima memandangnya.

Namun kekaguman saya pada beliau tidak berhenti pada keanggunannya  dalam berbusana – Tante Ratmini pernah meraih penghargaan sebagai Best Dressed Woman – tetapi  pada kesungguhannya untuk mengerjakan segala sesuatu dengan sempurna,  memicu dirinya untuk terus produktif, serta kemurahannya dalam berbagi pengalaman, perspektif dan pengetahuan.

Mendengarkan pengalamannya yang luas  melintasi berbagi zaman dari  masa pendudukan Belanda sampai  Reformasi serta  pengembaraan sungguh mengasyikkan. Perjalanannya  membelah dunia,  baik saat beliau belum menikah dan belajar di Eropa, maupun ketika mendampingi Oom Koko sebagai Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat, mau pun sebagain Rektor United Nations University di Tokyo, membuka cakrawala saya.

Bagi saya salah satu tanda kesungguhan tante Ratmini adalah kerapian rumah kediaman beliau  di Jakarta Pusat:  selalu apik, resik, asri.  Mulai dari halaman depan sampai ruang belakang, semua tertata rapi, tidak ada sebutir debu pun menempel. Bunga segar dari halaman dirangkai cantik dalam jambangan bunga di ruang tamu dan keluarga. Semakin saya dewasa, semakin saya menyadari bahwa sungguh lah tidak mudah mengatur rumah dan menerapkan standar kerapian dan kebersihan. Diperlukan kedisiplinan, dan juga kesabaran untuk melatih barisan ART.

Sifatnya yang perfeksionis, bagi saya sangat nyata, saat saya diminta membantu menjadi pembawa acara pernikahan putri bungsunya, Galuh. Pernikahan Galuh dilaksanakan dalam adat Jawa, dan saya diminta menerangkan rangkaian upaacara dalam Bahasa Inggris, karena cukup banyak tamu dari berbagai negara yang  tidak bisa Bahasa Indonesia. “Nanti kamu menjelaskan ya makna rangkaian upacara adat Jawa. Tante ada beberapa buku referensi, nanti kamu buat sendiri teksnya,” kata Tante Ratmini.  Saya mengangguk setuju.

Pada hari yang ditentukan, saya datang untuk mengambil buku. Tante Ratmini sudah menunggu  dengan buku-buku, dan… teks untuk acara juga sudah ditulis, dengan tulisan tangan yang rapi, dalam Bahasa Inggris.  Luar biasa. Saat itu tante Ratmini berusia 75 tahun lebih. “Ini ya teksnya. Kalau ada yang mau diubah boleh saja. Ini buku-buku sebagai referensi,” kata Tante Ratmini. Saya speechless. Kagum. Tante Ratmini masih cekatan melakukan riset dan sekaligus menulis. Di samping kagum, saya juga malu, karena meski pun saya jauh lebih muda, ternyata saya kalah gesit dengan Tante Ratmini. Maklum saat itu saya masih sibuk bekerja di LSM, dan sering kali kacau dalam menyusun prioritas saya. Saya berpendapat saat itu Tante Ratmini menerapkan risk management: mengelola resiko bila saya tiba-tiba lupa membuat teks dan gelagapan menjelang  Hari H, maka sudah ada teks rapi yang tersedia.

Di usianya yang semakin lanjut,  kegiatan dan produktivitasnya tidak terhenti oleh bertambahnyaa usia. Selalu tampil rapi dengan sanggul yang pantas, masih membuat apple pie dan juga  kaastengels untuk hari-hari istimewa seperti Idul Fitri.

 Pada suatu kesempatan silaturahmi, Tante Ratmini memperlihatkan kalender dan kartu-kartu ucapan yang dilukisnya. “Ini burung dan tanaman yang ada si sekitar rumah,” jelasnya.  Sapuan kuasnya masih tegas, rapi, indah dengan warna pilihan sesuai dengan aslinya. Di pojok kartu tertulis namanya Ratmini dengan huruf halus dan kecil. Saat itu usia beliau sudah di atas 80 tahun. “Tante suka memberi kartu-kartu ini sebagai hadiah. Kamu mau?” “Mau sekali Tante,” jawaab saya dengan sangat bahagia.  Maka berpindahlah setumpuk kartu ucapan indah ke tangan saya.

 Melihat konsistensi, kegigihannya untuk terus produktif dalam usianya yang makin lanjut mengingatkaan saya pada puisi WS Rendra:

 

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.


Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

WS Rendra, Sajak Seorang Tua untuk Istrinya

Usia tidak menyurutkan semangat Tante Ratmini untuk terus menjalankan tugas. Ia terus bergerak, mengolah hidup, sampai akhirnya berpulang pada awal Oktober 2022 dini hari.

Selamat jalan Tante Ratmini, terima kasih telah berbagi ilmu, menjadi inspirasi tentang menjalani kehidupan.

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.