SIMALAKAMA MENJADI ANAK DI ASIA

Sebuah rantai kehidupan yang perlu ditengahi

SIMALAKAMA MENJADI ANAK DI ASIA
Foto sebuah keluarga di Asia

Tumbuh sebagai anak dalam sebuah keluarga Asia di masa kini, bisa dibilang seperti pepatah lama, bagai makan buah simalakama. Repot, apalagi bila kita keturunan dari dua etnis ini: Jawa-Cina. Yah, ibuku dari Jawa tepatnya Madiun, ayahku adalah Cina kelahiran Ponorogo. Dan dari kedua etnis ini ada satu tekanan budaya yang kuat yaitu nilai-nilai penghormatan dan ketaatan terhadap orangtua.

 

Nah, kembali seperti yang aku bilang di atas, bagai makan buah simalakama. Artinya apa? Bayangin yah, tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan nilai penghormatan sekuat itu alhasil anak-anak dididik untuk taat dan tidak boleh membantah pada orangtua. Masalahnya, kami ini terutama dari pihak Ayah yang secara ekonomi lebih mampu, biasanya berusaha menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan setinggi mungkin. Keluarga besar dari pihak Ayah memang rata-rata melek literasi, agak berbeda dengan keluarga besar dari Ibu yang lebih sederhana.

 

Dan kalian tahu apa produk dari pendidikan tinggi? Pintar, banyak ilmu, melek huruf dan lainnya. Yah, itu semua benar tapi satu yang paling kuat yaitu pencerahan. Pengetahuan mendatangkan pencerahan bagi pemikiran kita dan akibat dari pikiran yang tercerahkan adalah tumbuhnya nalar untuk berpikir kritis. Masalahnya, berpikir kritis dapat menyebabkan kita mempertanyakan kembali nilai-nilai atau cara pandang lama yang dalam hal ini diwakili orang-orang yang lebih tua dari kita khususnya dalam keluarga besar.

 

Jadi begitu kita mulai berpikir kritis dalam bentuk menyanggah, memberikan kritik atau ketidak setujuan, langsung kita ditegur atau dicap sebagai anak yang kurang ajar, parah-parah dianggap durhaka. Kalau jaman saya kecil dulu, anak kecil tidak begitu diberi peran dalam memberi pendapat di tengah pertemuan keluarga besar. Dan kalaupun sudah beranjak remaja, memberi jawaban balik itu kayak adegan dalam film-film Benyamin.S dimana sang ibu biasanya akan marah balik ke anaknya dengan kalimat, "Ah elu, kalo dibilangin ama yang tuaan nyaut aje, kualat ntar lu."

 

Nah, ini yang saya maksud tadi, buah simalakama. Menerapkan berpikir kritis hasilnya ditegur atau dianggap durhaka tapi kalo tidak menerapkannya, jadi bertanya-tanya kenapa harus bersekolah sampai tinggi jika akhirnya dibungkam saat berpikir kritis. Apalagi atas nama penghormatan pada sosok orang yang lebih tua dalam keluarga besar. Bukan berarti menjadi kritis lalu melupakan sopan santun, inin juga salah.

 

Itulah problem menjadi anak di keluarga Asia, kami dituntut bersekolah setinggi mungkin dan mencapai ranking satu sebagai patokan kecerdasan. Tapi semakin belajar banyak hal, maka makin terasah potensi berpikir kritis dan lebih terbuka, otomatis kami akan  mempertanyakan nilai-nilai budaya dan tradisi lama yang dirasa tidak relevan lagi. Akibatnya, konflik terjadi. Serba salah bukan?

 

Tapi hal ini sudah terbaca juga dalam sejarah, contoh saja: Saat Indonesia diberi kesempatan untuk menyekolahkan putra-putrinya ke Eropa atau negeri Belanda sebagai politik balas budi, hasilnya adalah apa? Yah, lahirnya para muda-mudi yang melek huruf dan pengetahuan dimana mereka akhirnya menyadari bahwa di Eropa, hak asasi manusia sangat dihargai dan bicara hak asasi manusia berarti berbicara hak untuk merdeka alias tidak dijajah. Dari sinilah saat mereka kembali ke Indonesia, alih-alih bekerja untuk Belanda, mereka malah mendirikan organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan. Konflikpun terjadi sehingga melahirkan perang kemerdekaan di awal abad ke 20. Nah terbaca polanyakan? Diberi kesempatan bersekolah sampai tinggi, belajar pengetahuan baru, berpikir kritis, ingin merombak nilai-nilai lama lalu terjadilah konflik.

 

Studi kasus lain, lihat saja saat para generasi baby boomer mulai terjun ke dalam sosial media semacam whatsapp. Mereka dengan mudah memakan isu hoax dan menyebarkannya ke dalam grup keluarga. Penelitian juga membuktikan bahwa generasi inilah yang paling banyak menyebarkan isu hoax. Mengapa demikian? Karena mereka sedang mengalami euforia tapi belum terasah dan tidak melakukan pengecekan terlebih dahulu, mereka sejak dahulu terbiasa membaca koran/berita dan menerima mentah-mentah isi di dalam koran/berita tersebut. Yang bagi generasi masa kini, bentuk informasi seperti itu hanyalah alat propaganda orde baru.

 

Sementara generasi lebih muda, mereka sudah terbiasa untuk menghadapi isu-isu seperti ini dengan memberikan check and balance-nya terlebih dahulu. Mereka bahkan tahu harus kemana untuk melakukan pengecekan bahwa apakah sebuah isu atau berita itu hoax atau bukan. Beberapa teman saya mengeluhkan hal ini, saat mereka mengkoreksi pesan WA dari salah satu anggota keluarganya yang dituakan sebagai pesan hoax, mereka malah ditegur. Ini kisah nyata saat pilpres lalu dimana serangan berita hoax banyak berseliweran di sosial media. Akhirnya ia memilih diam saja atau keluar dari grup WA.

 

Lantas bagaimana kita menyikapi hal ini? Tidak bisa kita mengatakan bahwa anak tersebut kurang ajar lalu menghajarnya. Dalam beberapa hal teguran diperlukan tapi di masa kini, kita harus belajar memberi ruang kritis ini dan menambah sisi pendekatan kasih sayang agar tidak menjadi konflik berkepanjangan. Artinya, generasi selanjutnya harus berani mengakui bahwa anak-anak sekarang bukanlah seperti anak-anak di jaman dulu, yang selalu melihat dan berguru pada pengalaman orangtuanya. Jaman sekarang malahan orangtualah yang harusnya juga mulai berguru pada anak-anak. Anak-anak masa kini ini ajaib lho, bayangin saja mereka tahu cara membuat uang lebih cepat di usia lebih muda, mereka membaca banyak hal dari seluruh dunia, mereka melek teknologi dan informasi lebih dari generasi di atasnya.

 

Makanya pendekatan represif hanya akan menimbulkan kekonyolan belaka sehingga kita melihat banyak kasus yang viral akibat hal ini. Penulis merasa bahwa ke depannya harus ada penelitian maupun pembuatan buku yang khusus membahas perbedaan pola asuh orangtua di jaman dulu dan jaman sekarang juga bagaimana orangtua jaman dulu belajar mengubah pola pikirnya terhadap anak-anak yang sudah terlanjur mereka asuh dengan pendekatan pola asuh lama. Tidak ada yang salah dalam pola asuh lama, seperti sopan santun, menghormati orang yang lebih tua, memberi salam dan lainnya. Hanya ada nilai-nilai dalam pola asuh lama yang harus dirombak dimana unsur budaya penghormatan terhadap orang yang lebih tua itu seringkali disalahgunakan menjadi kediktatoran, pembenaran diri atau anti kritik.

 

Contoh lainnya, misalnya sekarang sedang marak dimana orang tua jaman sekarang tidak lagi memberikan dan membenarkan hukuman secara fisik pada anak-anaknya. Bandingkan betapa berbedanya dengan keadaan mereka saat kecil dulu, dimana sabetan ikat pinggang, rotan, sapu dan bahkan pukulan, menjadi alat pengendali orangtua mereka dulu. Belum ada studi kasus yang terarah, apakah pola semacam itu lebih banyak melahirkan anak yang tangguh atau malah membuat mereka trauma. Sepengalaman saya, justru yang kedualah yang lebih sering terjadi karena biasanya pukulan itu tidak disertai pemahaman pada sang anak alasan kenapa ia menerima pukulan tersebut dan bahkan tidak ada penambahan kasih sayang untuk memberikan rasa penerimaan pada sang anak agar tidak menjadi trauma berkelanjutan.

 

Jadi sasaran buku tersebut nantinya adalah orangtua masa lalu yaitu generasi 40 sampai 70-an akhir dan orangtua di masa sekarang yang notabene adalah generasi yang pertama kali mengenal komputer dan internet secara masif (era 80an-tahun 2000). Semoga buku ini bisa menjembatani kerapuhan dan kesenggangan yang terjadi akibat salah paham antara generasi terdahulu dengan anak-anaknya. Semoga.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.