Anakku, penulis autistik

Anakku, penulis autistik

Meraih mimpi itu sangat susah tapi kita bisa melakukannya jika kita terus berusaha. Seperti yang Walt Disney bilang, “If you can dream it, you can do it (kalau kamu bisa memimpikannya, kamu pasti bisa).”

Aku tahu kalau selain bawaan lahir, kekurangan ini sebenarnya cobaan dari Allah. Jadi walaupun aku ASD, aku tidak akan pernah menyerah dalam meraih mimpi dan cita-citaku. Aku juga selalu percaya kalau setiap orang mempunyai kekurangan seperti aku. Seperti kata Mama, nobody is perfect. Tidak ada seorangpun yang sempurna. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.

Aku tahu kekuranganku, dan aku akan kembangkan kelebihanku.”

(Nurul Izzah, Fairuz: My Life, My Dream, 2016)

 

“Ma, apakah autisme itu? Kenapa aku dibilang autistik? Ada apa dengan diriku? Apa aku harus dirawat di rumah sakit?”

Pertanyaan itu terasa menusuk hatiku. Bagaimana aku harus menjelaskan kepada Fairuz, anak pertama kami? Usianya baru 12 tahun dan selama ini ia merasa bahwa ia baik-baik saja.  Fairuz jarang sakit. Ia tidak suka jajan dan selalu makan bekal yang dibawa dari rumah. Dalam hal pelajaran, ia rajin mengerjakan PR dan tergolong siswa yang tidak bermasalah. Ia pintar di pelajaran bahasa Inggris dan sejarah, dan sama dengan aku, ia membenci pelajaran matematika. Nilai-nilainya cukup memuaskan sehingga rankingnya di kelas selalu ada di sepuluh besar. Ia hanya tidak memiliki banyak teman bahkan ia lebih senang menyendiri. Daripada bermain bersama teman-temannya, Fairuz memilih untuk duduk sendiri dan memandangi teman-temannya bermain.

SD kelas satu dan dua, Fairuz bisa bermain dengan teman-temannya. Di kelas tiga, ia tidak lagi suka berkumpul dengan teman-teman perempuannya yang mulai bicara mengenai anak laki-laki, baju dan make-up. Ia memilih main petak umpet, petak jongkok atau apapun dengan anak laki-laki yang tidak menuntutnya berbicara banyak. Namun di kelas lima dan enam, ia tidak lagi bisa berteman dengan anak laki-laki yang menanjak puber. Fairuz pun memilih untuk bermain dengan khayalannya.

Saat itu aku dan suami pun asing dengan autisme. Karena sama dengan kebanyakan orang tua, kami berharap mempunyai anak yang sehat dan ‘normal’ (Di belakang hari aku mendefinisikan ulang arti ‘normal’). Namun sejak kecil, Fairuz memang menunjukkan keganjilan. Dia tidak melakukan kontak mata bila dipanggil, dan selalu asik dengan satu hal tertentu. Bila ada satu film yang dia suka, maka film itu akan diputar berulang kali sampai CD nya rusak. Ia senang berkhayal dan menikmati dunia yang ia ciptakan sendiri. Bahasa yang ia gunakan adalah bahasa Indonesia baku sehingga ada kesan bahwa dia berbicara bak tokoh-tokoh film kartun.

Saat Fairuz berusia 6 tahun, kami membawanya ke psikolog. Tujuan sebenarnya adalah untuk mengetahui jenis sekolah yang sesuai dengan kondisinya. Namun justru kami mendapatkan diagnosa bahwa Fairuz memiliki ADD (Attention Deficit Disorder). Artinya, Fairuz tidak bisa fokus karena sewaktu-waktu pikirannya bisa “melayang”, dan sebaiknya bersekolah di lingkungan sekolah dengan jumlah murid yang sedikit agar dia tidak terganggu fokusnya ke pelajaran. Dia juga harus duduk di depan agar guru bisa setiap saat bisa “membangunnya” dari lamunannya.

Kami mematuhi nasehat psikolog tersebut. Namun dengan perkembangan yang terjadi selama di SD, membuat aku mempertimbangkan untuk mengecek kembali kondisi Fairuz. Oleh karena itu, saat ia akan melanjutkan ke SMP, berdasarkan anjuran seorang teman, kami membawanya ke spesialis syaraf di satu klinik tumbuh kembang yang dikenal mumpuni menangani anak-anak dengan kondisi seperti Fairuz. Antrian menemui dokter tersebut sangat Panjang, dan kami mendapatkan nomor urut paling akhir. Tapi kelelahan kami bertambah dengan kekhawatiran mendengar diagnosa dokter.

“Saya curiga anak ibu autistik.”

Aku dan suamiku menatap dalam wajah dokter. Kelelahan di wajah suamiku berganti dengan sirat kekhawatiran. Fairuz adalah anak pertama, dan kami sangat mendambakan kelahirannya. Harapan kami, ia bisa menjadi contoh untuk adiknya. Sementara aku bergulat dengan emosi dan bertubi pertanyaan yang serentak ada di otakku. ‘Apa itu autisme? Kenapa anakku menjadi autistik? Apa penyebabnya? Apa yang salah saat aku mengandungnya? Apakah ini penyakit keturunan? Adakah obatnya?.’

“Apa tidak ada obatnya, dokter?,” tanya suamiku.

“Pak, autisme bukan penyakit. Bahkan penyebabnya saja sampai sekarang belum bisa dipastikan. Autisme tidak seperti flu atau batuk. Habis minum obat, selesai. Tapi bukan berarti anak ibu dan bapak tidak bisa berperilaku seperti anak-anak lainnya,” jelas dokter.

Aku yakin perkataan dokter ini bagaikan mantra yang berulang kali ia ucapkan kepada setiap orang tua yang memiliki anak dengan kondisi sama dengan Fairuz. Dengan hati-hati dia mengatakan bahwa autisme adalah kondisi yang harus disandang anakku seumur hidupnya. Autistik akan menjadi identitas dirinya.

“Autisme memiliki beragam spektrum, mulai dari yang ringan sampai berat. Setiap anak autistik itu unik karena gejalanya tidak seragam. Makanya penanganan anak autistik tidak bisa sama. Harus dikondisikan sesuai dengan gejalanya,” lanjut dokter.

“Tidak ada obat untuk autisme tapi autisme bisa ditreat dengan terapi. Dia akan diajarkan bagaimana berperilaku yang diterima oleh masyarakat, bagaimana menolong dirinya untuk tidak bergantung kepada orang lain dan memecahkan masalahnya sendiri. Terapi bisa dilakukan oleh setiap anggota keluarga agar apa yang sudah diajarkan oleh psikolog bisa ia terapkan di kesehariannya. Yang terpenting bagi anak autistik adalah konsistensi. Progresnya perlahan karena pemahamannya terhadap satu hal berjalan lambat dibanding dengan anak seumurnya. Dan untuk setiap progress, sekecil apapun, harus disyukuri”

Lalu dokter mengambil beberapa buku tebal dari lemarinya.

“Ini dibaca agar ibu dan bapak mengerti apa itu autisme. Dan Fairuz harus secepatnya mulai diterapi”

***

Sejak itu, kami memasuki dunia autisme. Pergulatan demi pergulatan – fisik dan mental, kami lalui untuk memahami apa itu autisme, apa saja gejalanya, apa yang menjadi permasalahan Fairuz dan bagaimana menangani masalah-masalahnya. Ternyata spektrum (ragam) autisme sangat banyak dengan gejala yang berbeda di masing-masing orang sehingga terapi untuk autisme tidak bisa seragam. Penanganannya disesuaikan dengan spektrum autisme anak. Makin cepat diketahui diagnosanya, maka makin cepat penanganannya. Namun proses anak untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial sangat bergantung pada banyak hal, seperti bagaimana orang tua dan keluarga menerima kondisi anak, bagaimana anak diperlakukan di rumah, bagaimana orang tua membimbing anak, dan sebagainya.

Spektrum autisme Fairuz tergolong ringan atau istilah teknisnya High Function Autism. Istilah lainnya adalah Sindrom Asperger, dan penyandangnya disebut Aspie. Masalah yang dimiliki Fairuz adalah interaksi sosial. Dia tidak bisa memulai dan mempertahankan suatu percakapan, tidak mengerti komunikasi nonverbal, dan tidak bisa menyampaikan emosinya. Selain itu, dia juga memiliki over anxiety (kegelisahan yang berlebihan) bila masuk ke suatu lingkungan baru, atau harus berurusan dengan hal-hal di luar dari yang sudah dia ketahui atau kebiasaannya. Bagi Fairuz, segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan aturan - black and white dan kaku.

Satu hal yang aku syukuri adalah bahwa aku memiliki kecurigaan dari awal. Sejak bayi, Fairuz tidak bisa melakukan kontak mata sekalipun denganku saat menyusui. Ternyata ini adalah salah satu gejala autisme.  Kebetulan mamaku adalah dosen Bimbingan dan Konseling (BK), dan instruktur suatu lembaga konseling yang khusus menangani anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Oleh mama, Fairuz dilatih untuk melakukan kontak mata, tidak tantrum (mengamuk berlebihan) dan berperilaku sopan. Untuk kontak mata, kami melatih Fairuz untuk selalu menatap mata kami pada saat berbicara. Bila ia meminta sesuatu, kami baru akan memberikannya bila ia mampu melakukannya dengan menatap mata. Di awal kegiatan ini, kami kerap memegang kepala Fairuz dan memaksa matanya untuk menatap mata kami. Tahap selanjutnya adalah dengan memberikan instruksi tanpa harus memegang kepalanya. Alhamdulillah, di usianya sekarang, kontak mata Fairuz sudah sangat bagus.

Dengan jujur kami memberitahukan Fairuz mengenai kondisinya  dan bahwa dia harus menjalani semua terapi dan konsultasi dengan psikolog yang ditunjuk oleh dokter. Kami membolehkan Fairuz mencari tahu sendiri di internet mengenai hal-hal seputar autisme agar dia memiliki pemahaman sendiri. Bila ada yang tidak ia pahami ia bisa menanyakannya langsung kepada psikolog. Dengan hati-hati kami juga memberi penjelasan kepada adik dan keluarga besar kami berdua. Aku pun mulai mencari komunitas orang tua dengan anak autistik untuk bergabung. Bagi aku ini penting untuk mendapatkan support dari mereka yang memiliki masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka.

Setelah Fairuz mulai bersekolah di SMP, aku mengatur komunikasi antara aku, pihak sekolah dan psikolog sehingga semua masalah Fairuz diketahui oleh semua pihak dan cara penanganannya bisa seragam. Saat itu Fairuz rutin setiap minggu diterapi oleh psikolog. Aku tidak menutup-nutupi kondisi Fairuz karena aku memerlukan banyak orang untuk membantu aku mengawasi dan membimbing Fairuz. Terlebih pada saat itu aku masih aktif bekerja. SMP Fairuz adalah sekolah swasta kecil yang jumlah muridnya tidak banyak. Untuk membantu ia belajar, kami memanggil guru les ke rumah. Guru ini memiliki latar belakang pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus sehingga ia mampu membantu Fairuz tidak hanya memahami pelajaran tapi juga mengajarkan perilaku.

“Ma, bagaimana kalau orang-orang tahu aku autis? Apa mereka nanti akan membully aku?,” tanya Fairuz.

Perundungan adalah hal yang paling dikhawatirkan Fairuz. Walaupun sebenarnya dari sudut pandang kami teman-temannya terutama hanya bermaksud bercanda. Tapi Fairuz tidak mengerti konsep bercanda, sindiran, metafora dan hal-hal yang bersifat konotatif atau abu-abu. Ia menganggap orang yang mengajaknya bercanda punya niat merundung atau mengejeknya. Untuk melatihnya, aku menerapkan ilmu komunikasi yang aku pelajari semasa kuliah dan yang aku ajarkan ke para mahasiswa, mulai dari perihal komunikasi verbal sampai dengan komunikasi non verbal. Aku mengajarkan perbedaan makna dari satu kata karena konteks kalimat, perbedaan makna kata karena intonasi, dan perbedaan kata-kata kasar dan halus. Untuk komunikasi verbal, aku mengajarkan ekspresi wajah, gerakan mata, kepala, tangan, kepala, dan aturan berpakaian. Aku baca kembali buku-buku teks  dan aku telusuri informasi di internet. Semua catatan diolah dengan bahasa yang dimengerti Fairuz. Adiknya mencarikan video-video lelucon dan adegan-adegan lucu di film dan menjelaskan apa yang menjadikan satu hal menjadi lucu. Untuk memastikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan, Fairuz kerap bertanya, apakah satu hal itu lucu, atau merupakan sarkasme; apakah makna kata yang dikatakan lawan bicara itu makna sesungguhnya atau konotatif.

Untuk mengurangi kekhawatirannya mengenai perundungan dan mendorong kepercayan dirinya, aku menanamkan satu prinsip bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan keterbatasan.  Tinggal bagaimana kita menyikapi kelebihan dan keterbatasan kita tersebut.

“Fai (demikian nama panggilannya) harus mengenali keterbatasan dan kelebihan diri sendiri. Sekarang ini yang nyata, keterbatasan Fai adalah autisme. Catat apa yang menjadi masalah, lalu diskusikan dengan mama atau psikolog bagaimana cara mengatasinya. Sementara itu, cari tahu juga apa yang menjadi minat kamu. Bilang ke mama atau papa agar kita bisa cari tahu apakah minat ini bisa diseriusi atau tidak. Mama juga akan mengamati kegiatan apa yang cocok untuk kamu.”

Untuk mengenali keterbatasan dan kelebihannya, aku menerapkan Analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat ) yang biasa aku gunakan berkaitan dengan pekerjaanku saat itu. Bersama dengan Fairuz, aku mendata kelebihan, kekurangan, kesempatan dan ancaman terhadap dirinya. Data ini kemudian aku jadikan pegangan untuk memonitor perkembangan Fairuz.

Salah satu minat Fairuz yang sedari awal kami dapati adalah bercerita. Biasanya setelah ia menonton film atau mendengar cerita sebelum tidur, ia akan bertutur lagi sendiri dan menambahkannya lagi dengan khayalannya. Agar tidak terlihat seperti berbicara sendiri, aku memberinya tape recorder kecil untuk ia merekam tuturannya. Fairuz sangat menyenangi tape recorder ini karena ia bisa berulang kali mendengar cerita-ceritanya, dan menambah cerita baru. Saat dia sudah bisa membaca dan menulis, ia membaca banyak buku dan mengarang banyak cerita-cerita pendek. Ia bisa duduk berjam-jam di toko buku, dan membawa pulang setumpuk buku.

Dari kebiasaannya mendengar cerita dan membaca buku, Fai mulai mencoba menulis karangan sederhana. Biasanya karangannya hanya berisikan beberapa kalimat yang dilengkapi dengan gambar. Aku biasa menyediakan kertas sejumlah rim untuk hobi satunya ini. Lalu kertas-kertas itu dikumpul dan ditaruh di dalam kotak. Sewaktu-waktu Fairuz membaca kembali karangan-karangannya dan menyortirnya. Karangan yang bagus, ia simpan di dalam folder, sedangkan yang menurutnya kurang bagus, ia buang. Namun membawa kertas kemana-mana sangat menyulitkan. Padahal ide Fairuz menulis tidak pernah berhenti. Akibatnya dia kembali bertutur sendiri. Sebagai solusi, aku membelikannya notes kecil yang mudah masuk ke dalam tas. Kemanapun kami pergi, ia pasti membawa notes, pulpen dan tip-ex. Ia bisa menulis di dalam mobil saat kami bepergian, atau saat menunggu makanan di restoran. Setelah ia memiliki handphone sendiri, ia menulis karangannya di situ. Hobi ini kemudian tumbuh menjadi ambisi dan cita-cita. 

“Mama, aku mau cerita-ceritaku jadi buku. Aku mau orang membaca cerita-ceritaku.”

Awalnya kami menganggap ini adalah keinginan sementara. Oleh karena itu, aku menjilid karangan-karangannya menjadi buku

“Bukan seperti ini, Ma. Aku mau seperti buku di Gramedia,” tolak Fairuz.

Aku masih tidak yakin dengan keinginannya tersebut. Untuk solusinya, aku membuatkan Fairuz blog. Ia langsung memindahkan beberapa karangannya ke blog tersebut.

“Terus bagaimana aku tahu kalo orang baca cerita-ceritaku?,” tanyanya.

“Aku mau ceritaku dibuat buku, Ma. Lalu ditaruh di Gramedia supaya orang beli.”

Karena ia terus-menerus mendesak, akhirnya aku mengalah dan membuat kesepakatan dengannya.

“OK, kita buat buku. Tapi untuk jadi buku, Fai harus belajar menulis yang baik. Karena untuk bisa jadi buku yang dibaca oleh banyak orang, apalagi ditaruh di Gramedia, tulisannya harus bagus. Ada kaidah-kaidah yang harus dipahami. Belajarnya tidak bisa sebentar, dan harus dengan guru. Gimana?,” tantangku.

Ia mengangguk.

***

Setelah mencari informasi melalui media sosial, melalui bantuan seorang teman, aku berhasil menemukan tutor menulis untuk Fairuz. Beliau mau mengajarkan secara privat dan menyanggupi hasil akhir, yaitu buku yang layak diterbitkan. Projek pertama adalah mengkompilasi cerita-cerita pendek yang sudah Fairuz karang dan menyeleksinya berdasarkan kesamaan tema. Lalu cerita-cerita tersebut direvisi sesuai dengan kaidah penulisan dan bahasa. Fairuz belajar dengan giat - mengerjakan setiap tugas yang diberikan dan mengirimkan tepat waktu. Sesekali ia marah karena ceritanya harus diubah atau bahkan harus membuat cerita baru.

Pembelajaran menulis ternyata mengajarkan Fairuz tidak hanya mengenai penokohan, alur cerita, dan plot, tapi juga menerima kritik, menyalurkan emosi dan berempati. Bila marah, Fairuz biasanya hanya membanting pintu atau barang. Terkadang kami tidak tahu apa yang membuatnya marah, dan ia tidak tahu bagaimana menyampaikan kekesalannya. Akhirnya aku memintanya untuk menuliskan kemarahannya. Namun alih-alih menanggapi kemarahannya, aku lebih sering memperbaiki tata bahasa dan kosa kata omelannya, serta mengajarkan cara menyalurkan kemarahan. Di tahap selanjutnya, Fairuz tidak lagi menyampaikan kemarahannya dengan tulisan, tapi secara lisan. Tapi di saat-saat tertentu, ia masih tetap berkirim pesan melalui telepon atau email untuk marah-marah kepadaku.

Di usianya ke lima belas, buku pertama Fairuz terbit. Ia sangat senang sekali. Buku ini sekaligus menjadi bukti kepada teman-teman SMP nya bahwa ia bisa menjadi penulis. Ia semakin semangat belajar menulis hingga tidak sampai setahun dari penerbitan buku pertama, ia menyelesaikan buku kedua. Keyakinannya bahwa ia bisa mencapai cita-citanya menjadi penulis terpenuhi, ketika buku pertama dan kedua berhasil masuk ke Gramedia.

Semasa kelas delapan, Fairuz pernah ditertawakan oleh teman-temannya karena ia bercita-cita menjadi penulis. Ia sangat tersinggung sehingga ia tidak ingin kembali ke kelas dan bertemu dengan teman-temannya itu. Tanpa sepengetahuan guru, dan kealpaan satpam sekolah, Fairuz pergi ke satu tempat. Hilangnya Fairuz membuat kegaduhan dan kekhawatiran semua orang. Terlebih ia pergi tanpa membawa tas, handphone dan dompet. Kepala sekolah, para guru, teman-teman dan orangtua teman-temannya membantu kami mencari. Aku bahkan memasang informasi anak hilang di media sosial. Menjelang maghrib, adik kelas dan ibunya menemukan Fairuz berjalan di depan halte bus. Si adik kelas menghampirinya dan membujuknya untuk kembali ke sekolah karena disanalah kami semua berkumpul.

Kejadian ini makin membuat Fairuz tidak nyaman dengan teman-temannya hingga ia minta untuk pindah sekolah. Sebelumnya suamiku menentang keinginannya ini dan memaksa Fairuz untuk bertahan sampai dengan lulus SMP. Tapi kemudian sekolah menyatakan bahwa Fairuz tidak sanggup menyamai progress teman-temannya, suamiku pun mengalah. Fairuz meneruskan SMP dan SMA nya di homeschool.  Ini ternyata adalah pilihan yang tepat buat Fairuz karena ia kemudian memiliki banyak waktu untuk mengembangkan minatnya di menulis dan mencoba minat yang lain. Ia mengambil pelajaran tambahan berenang, muay thai, bahasa Inggris, dan bahasa Jepang.

            Setelah buku kedua terbit, aku memutuskan agar Fairuz belajar lebih banyak lagi mengenai ragam tulisan. Aku mencarikan tutor yang berbeda untuk karena menurutku setiap tutor punya keahlian masing-masing. Sampai dengan sekarang Fairuz memiliki tiga orang tutor. Ia juga bergabung dengan komunitas penulis, mengikuti seminar, workshop dan webinar mengenai penulisan buku. Sekali waktu ia terpilih sebagai peserta pelatihan penulisan di Kompas. Sebagai sarana latihan, aku daftarkan Fairuz ke Kompasiana. Di sanalah Fairuz mengaplikasikan ilmunya untuk menulis karya jurnalistis. Tapi  Fairuz tetap meneruskan menulis buku.

Di dalam proses penulisan buku Fairuz, aku tidak pernah ikut campur. Aku membiarkannya berdiskusi secara bebas dengan para tutor, kecuali bila tutor memintaku mengintervensi kegiatan belajar. Masalah yang terjadi biasanya karena ide Fairuz yang tidak pernah putus sehingga isi cerita berkembang terus, atau Fairuz tidak bisa menggali kedalaman alur cerita.  Aku harus memberi ketegasan mengenai jumlah halaman dan tenggat waktu. Urusanku yang lain adalah mencari penerbit buku dan mencari event pameran. Untuk mengetahui proses penulisan buku, aku bergabung dengan komunitas penulis dan ikut serta menulis cerita pendek. Menurutku ini penting agar aku bisa ikut merasakan emosi Fairuz saat menulis, dan aku bisa memberikan saran bila Fairuz membutuhkan. Pada saat membaca tulisannya, aku menempatkan diri sebagai pembaca yang berpikir secara objektif.

Setelah aku merasa bahwa Fairuz paham dengan urusan penulisan buku, maka tahap selanjutnya adalah mengajarkannya mempromosikan buku-bukunya. Aku menyuruhnya membuat akun di media sosial dan mengajarkan menuliskan status, baik yang berisikan promo untuk buku-bukunya atau yang berkenaan dengan kegiatannya sehari-hari. Fairuz tergolong cakap mengoperasikan gadget  sehingga tidak perlu waktu lama untuk mengajarnya.

Sebagai penulis buku, Fairuz juga diharuskan meluncurkan dan membahas buku-bukunya. Awalnya ia menolak untuk berada di peluncuran buku. Namun dengan dalih bahwa ini adalah bagian dari proses mengajak orang untuk membaca bukunya sebagaimana yang ia inginkan, Fairuz tidak bisa mengelak.

“Ma, nanti kalo aku ditanya macam-macam, gimana? Kalo aku gak bisa jawab, apa nanti orangnya yang bertanya tidak marah?,” cemas Fairuz.

Overanxiety nya muncul bahkan jauh sebelum hari H. Untuk menyiasatinya, kami melakukan kegiatan “bermain peran.  Fairuz menulis catatan tentang apa yang hendak ia sampaikan, lalu  berlatih menyampaikan secara lisan, dan aku akan memperbaiki bahasa dan gerakan tubuhnya. Setelah itu aku mengajukan pertanyaan yang sekiranya akan ditanya orang, dan ia mencoba menjawab. Di kemudian hari, latihan semacam ini  selalu kami lakukan bilamana Fairuz diminta untuk menjadi pembicara atau narasumber. Setelah beberapa kali menjadi pembicara, Fairuz menjadi terbiasa dan tidak lagi canggung berada di tengah khalayak ramai. Interaksi sosialnya juga terasah sehingga ia sudah bisa melakukan percakapan dengan lancar tanpa pengawasanku.

 

***

Di usianya sekarang dua puluh dua tahun, Fairuz sudah menulis lima buku, dan aktif menulis di Kompasiana. Puluhan kali dia menjadi pembicara, baik yang bersifat lokal, nasional dan internasional. Puluhan kali juga ia ikut pameran, terutama yang berkaitan dengan autisme. Ia sangat menikmati identitasnya sebagai penulis, dan berharap ia bisa terus menerbitkan buku. Di setiap kesempatan seminar dan pameran, kami  bertemu dengan individu autistik lainnya dan keluarga mereka. Fairuz mendapatkan teman bermain, dan aku mendapatkan teman untuk berbagi. Selain itu Fairuz mendapatkan bahwa teman-temannya juga memiliki kelebihan. Ia mendapatkan bukti langsung dari apa yang aku selalu katakan kepadanya bahwa setiap orang pasti punya keterbatasan dan kelebihan.

Sebagian orang yang bertemu dengan Fairuz mengatakan bahwa ia sudah “sembuh” dari autisme. Penampilan Fairuz memang tidak lagi menunjukkan bahwa ia adalah individu autistik. Namun pernyataan dokter terdahulu selalu mengingatkanku bahwa tidak ada kata sembuh untuk autisme. Masih banyak “pekerjaan rumah” yang belum selesai untuk kami. Bersyukur Fairuz sudah mengenali kondisinya dan menandai masalah-masalah yang ia hadapi. Doa kami, ia terus berkembang menjadi individu mandiri dan mampu menolong dirinya sendiri. Autisme adalah bagian dari dirinya, tapi autisme adalah blessing in disguise untuknya.

***

 

 

 

BIODATA 

Vee Cemal adalah nama pena dari Najmiah Octavia.  Profesi sebenarnya adalah dosen di perguruan tinggi swasta. Sejak remaja, ibu dua anak ini senang menulis dan membaca puisi, namun semuanya dilakukan untuk kesenangan sendiri. Ia baru berani menulis cerpen untuk dibaca oleh orang banyak saat teman-teman SMA angkatannya membuat proyek membut kumpulan cerpen kisah mereka di sekolah, yaitu Kelinci-kelinci Laboratorium: Memoar Anak-anak Labschool angkatan 1985. Selanjutnya, terpengaruh oleh ambisi anaknya yang ingin belajar menjadi penulis, dan menemani sang anak melalui proses penulisan novel,   ia bergabung di dalam beberapa kumpulan penulis. Ia pun menyertakan tulisannya di antologi, antara lain Antologi Tentang Hujan (The Pluviophile), Loving Women: The Choices of Life, Loving Women: The Greatest Mother, Asam Garam: Meracik Rasa, Meretas Aroma dalam Kehidupan, Kumpulan kisah inspiratif: I Love TeachingThe Kardushians’ Stories: Pindahan Sepuluh Perempuan, dan Kutunggu Jandamu. Sementara puisi-puisinya ada di Puisi Hati: Kumpulan Puisi, dan The Poem: Sajak-sajak Jiwa yang Terbebas.

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.