Nama majalah kanak-kanak itu adalah Si Kuntjung (baca: Si Kuncung). Hadir di tanah air sejak 1956, didirikan oleh penulis legendaris Soekanto S. A. Generasi baby boomer, dan mungkin juga pasca-nya, pasti tahu majalah yang sangat Indonesia ini. Berbagai cerita yang dihadirkannya bisa membantu anak kota seperti saya untuk tahu tentang kehidupan di pedesaan Indonesia umumnya, dan Pulau Jawa pada khususnya.
Setiap kali Si Kuntjung terbit, saya akan baca seluruh isinya sampai habis titik komanya. Baik itu cerita-ceritanya, maupun tulisan-tulisan anekdot kiriman pembaca. Beberapa tulisan masih bisa saya ingat jalan ceritanya. Tapi, yang paling meninggalkan kesan terdalam pada diri saya adalah kisah yang dituturkan oleh sepokok pohon asam besar dan tua di sebuah desa.
Si pohon asam ini tumbuh di pinggir jalan di sebuah desa di Pulau Jawa. Ia berada di antara jalan desa dan sebuah area kuburan. Sebagai tokoh utama, si pohon asam menceritakan kehidupannya, dan tentang orang-orang di desa berdasarkan pengamatannya. Hal yang paling tak disukainya adalah kelakukan anak-anak usia sekolah dasar yang kerap bersikap kurang ajar padanya. Menimpuknya dengan batu untuk meluruhkan buah asam yang tumbuh di pokoknya.
Namun, anak-anak yang sama juga bisa membuatnya tertawa. Terutama, ketika mereka menjadi sangat ketakutan padanya saat harus melewatinya di waktu menjelang malam. Rupanya, anak-anak itu juga menganggap si pokok pohon asam sebagai pengejawantahan hal gaib di kuburan. Cerita yang seru sekali.
Beberapa tahun kemudian saya baru tahu bahwa tulisan tersebut tergolong majas atau gaya personofikasi. Majas personofikasi adalah gaya bahasa yang memberikan sifat dan perilaku manusia pada benda mati serta bentuk non-manusia lainnya.
Gaya bahasa ini tak hanya diterapkan pada sebuah tulisan seperti tentang si pokok pohon asam tadi, tapi bisa juga untuk sepenggal kalimat atau frasa semisal, 'Hangatnya sinar mentari memelukku di pagi ini'. Atau, 'Hembusan angin meliukkan dedaunan jadi bagai penari'.
Begitu kira-kira hehe..., saya bukan ahli bahasa padahal. Hanya tengah berusaha untuk lebih memahaminya.
Saya sendiri baru mencoba untuk menulis cerita dengan majas personofikasi saat duduk di bangku kelas 2 SMA. Meski jurusan ilmu pasti, kami mendapat kelas pelajaran bahasa Indonesia khusus menulis. Kelas istimewa ini sangat menyenangkan hati saya yang selalu merasa suka pada bidang tulis menulis. Tugas-tugasnya selalu saya kerjakan dengan semangat.
Sang guru, Bapak Arfissalam namanya, atau biasa dipanggil Pak Arfis, kerap menugaskan kami menulis dengan perintah-perintah spesifik. Misalnya, kami harus menggambarkan bagaimana sikap seorang gadis remaja saat menunggu tibanya wakuncar. Wakuncar atau waktu kunjungan pacar adalah situasi yang kerap terjadi di malam minggu pada masa saya remaja. Anak sekarang mungkin sudah tak tahu lagi tentang wakuncar ya…
Ada lagi tugas lain yang juga diperintahkan oleh Pak Arfis, yang saya tak ingat lagi detilnya. Tapi, saya ingat bahwa saya lalu menuliskannya secara majas personofikasi. Si tokoh aku pada tulisan ini adalah sebuah lubang atau growakan dengan diameter sekitar 30-40 cm dan kedalaman kira-kira 10 cm.
Lubang tersebut sungguh ada di bedeng parkiran SMA-ku, yang berada di halaman belakang sekolah. Sering kulihat, mereka yang mendapat posisi parkir di bagian yang ada lubang tersebut menjadi kesusahan. Apalagi, ketika posisi lubang itu berada tepat di bagian mana standar motor seharusnya memijak lantai.
Bedeng parkir itu berada tak jauh dari pagar, yang di bagian luarnya berderet penjaja makanan. Saat jam istirahat, banyak siswi dan siswa yang jajan pada tukang-tukang makanan itu. Karena tak bisa keluar pagar, semua lalu duduk di motor-motor yang di parkir di bedeng. Tak jarang kaki kaum pendudukan motor itu masuk ke lubang, antara lain saya sendiri. Bisa bikin keseleo atau kita malah jadi jatuh.
Data-data hasil pengamatan saya akan si growakan di bedeng parkir dan interasksinya dengan murid-murid sekolah, ternyata cukup untuk mencipta tulisan 300-500 kata. Menuliskannya saja sudah seru, apalagi kemudian saya mendapat nilai lumayan untuk hasil tulisannya.
Majas personofikasi terus menjadi gaya bahasa yang sangat saya suka. Tulisan yang paling banyak saya hasilkan dengan majas ini adalah, dengan menokohkan kucing saya si Kamoy. Kucing ini sangat belagu, selalu menilai saya dengan buruk melalui pandangannya yang sinis. Ia sering juga mentertawakan saya dengan seenaknya. Tanpa suara, tapi terlihat dari sorot matanya. Saya hafal sekali.
Dalam masa sepuluh tahun hidupnya, Kamoy menghasilkan lumayan banyak tulisan. Setelah dia tak ada lagi di dunia ini karena pindah ke Jembatan Pelangi, kadang-kadang dia masih menulis surat buat saya. Tapi, itu sangat jarang. Sepertinya, dia terlalu sibuk main dengan teman-teman barunya di sana.
Ah, ada yang tak tahu ya apa itu Jembatan Pelangi? Itu adalah tempat berkumpulnya hewan-hewan peliharaan manusia yang telah pulang ke alam baka. Tempat di mana tak ada lagi rasa sakit dan penderitaan. Tempat di mana mereka dapat bermain dengan bebas tanpa diganggu manusia jahat. Sambil menunggu kedatangan kita, para pemiliknya, untuk bergabung dengan mereka di satu masa nanti. =^.^=