Beda Itu OK – Pecah Itu KO
Keberagaman adalah keniscayaan akan hukum Tuhan atas ciptaan-NYA. Indonesia adalah negara yang berasaskan Tunggal Pancasila.
Setiap kali menjelang tanggal 1 Juni walaupun sudah berlangsung 77 tahun lamanya, ada kegundahan di hati penulis untuk cepat-cepat memegang pena dan menulis tentang Sejarah Munculnya Istilah Pancasila. Bapak Ir. Soekarno pernah mengutarakan gagasan dasar negara dan disebutnya dengan Pancasila. Saat itu adalah tanggal 1 Juni 1945, yang akhirnya kita kenal sebagai Hari Lahirnya Pancasila, Panca artinya lima dan Sila bermakna prinsip atau asas.
Betapa indahnya filosofi Pancasila itu, begitu dalam dan sarat makna Pancasila yang di dalamnya ada lima sila yaitu:
- Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Bahwa adanya perbedaan itu adalah keniscayaan, buktinya tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang persis sama parasnya sekalipun mereka adalah anak kembar. Oleh karena itu, beda itu boleh-boleh saja (OK), akan tetapi jangan sampai perbedaan itu menyulut pertikaian karena bertikai itu mengakibatkan perpecahan (not OK, alias KO). Jadi berbeda itu boleh saja, maknailah dengan cara pikir yang positif sebab pelangipun akan indah warna-warninya karena adanya berbagai warna di dalamnya yaitu ‘mejiku-hibiniu’ (merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-unggu).
Sebagaimana kita ketahui bahwa Lambang Negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dan Semboyan Negara Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika yang dimaknai sebagai berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap satu kesatuan. Dipilihnya semboyan tersebut sangatlah tepat karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia sehingga wajar jika memiliki banyak suku-agama-ras dan antargolongan. Adapun Bhinneka Tunggal Ika itu berasal dari kata (frasa) dalam Kakawin Sutasoma (syair bahasa Jawa Kuno; karangan Mpu Tantular yang dituliskan menggunakan bahasa Jawa Kuno dengan aksara Bali).
Pada kesempatan ini penulis hendak mengemukakan dua pendapat; yang pertama dari Prof. Dr. Azyumardi Azra: ‘Multikulturalisme tidak ragu lagi merupakan realitas dan sekaligus tantangan masa kini dan mendatang bagi bangsa Indonesia yang multikultural’. Sedang yang kedua adalah dari Prof. Dr. Sudarminto S.J.:’Belakangan ini disinyalir ada kecenderungan sementara warga masyarakat yang membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa justru karena tidak dapat menerima dan menghormati perbedaan dan kemajemukan budaya yang ada dalam masyarakat kita’.
Jelas-jelas rumusan Pancasila pada Sila yang ke tiga menyebutan Persatuan Indonesia, karena itulah menjaga keutuhan bangsa Indonesia adalah mutlak. Mengelola perbedaan dan kemajemukan yang ada dalam masyarakat Indonesia dengan baik dan benar pasti dapat menjadi sumber kekuatan dan kekayaan bangsa dalam percaturan global dewasa ini, bukan sebaliknya menjadi sumber perpecahan yang memperlemah. Segala sesuatu yang ada di dunia ini memang tidak ada yang sempurna, maka perbedaan yang ada hendaknya didialogkan di antara mereka sebagai mitra percakapan yang sederajat, yang perlu dianggap serius sebagai sumber gagasan baru dan pasti akan saling menguntungkan.
Diakui bahwa sebuah masyarakat majemuk tidak akan stabil dan bertahan lama tanpa sebuah perasaan saling memiliki di antara para warganya karena pada dasarnya bersifat timbal-balik. Namun, sebagai pendidik (guru/dosen) kita harus bisa membuat peserta didik peka terhadap persamaan dan perbedaan di antara mereka agar menjadi manusia yang memiliki integrasi antara kapasitas dan sensibilitas, intelektual, moral, sehingga mereka betah berada dalam dunia yang berisi aneka ragam Suku-Agama-Ras- Antargolongan (SARA). Bisa hidup rukun dan guyub satu sama lain sebagaimana sering kita dengar: ‘Bersatu kita teguh – bercerai kita runtuh’.
Teringat penulis akan ucapan Gus Dur: ‘Tidak penting apa agama atau suku Anda, jika Anda dapat melakukan hal-hal yang baik bagi semua orang, Anda tidak akan pernah ditanya apa agamamu’. Berikutnya beliau juga mengatakan bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi negara beragama. Ada 6 agama yang diakui di Indonesia: (1) Islam; (2) Kristen; (3) Katolik; (4) Budha; (5) Hindu; (6) Konghucu; jadi hargailah 5 agama yang lainnya. Teringat pula penulis dengan pendapat yang dikemukakan oleh Montesquieu: ‘Keanekaragaman kultural adalah sifat kehidupan manusia yang berkembang perlahan-lahan dan mutlak’.
Pancasila Adalah Tali Pengikat Persatuan Dan Kesatuan
Dikatakan demikian karena Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia yang berfungsi untuk menyelaraskan perbedaan. Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi, inilah esensi kesejarahan kita yang tidak boleh kita lupakan sama sekali. Hormatilah semua adat-istiadat yang kuat dan sehat yang terdapat di daerah-daerah dan yang tidak mengganggu atau menghambat persatuan negara dan bangsa Indonesia. Dalam berbicara pun seseorang harus tetap berpikiran jernih hingga dapat mencetuskan ide-ide unggul dan berakhir dengan kemenangan bersama. Apapun yang dilakukan oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya.
Jadilah pendidik yang mau dan mampu memahami ciri khas anak, itulah yang akan dapat meningkatkan kualitas belajar sekaligus meraih hati anak; dunia pendidikan butuh bahasa cinta. Indonesia bangsa yang cinta damai, para pendiri bangsa telah bersepakat mengikat keberagaman pelangi Indonesia dengan Pancasila. Jadilah Indonesia negara kesepakatan yang berasaskan tunggal Pancasila sebagai dasar negara. Sesuai dengan yang pernah dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro: ‘Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu’. Percaya-tegas-penuh ilmu hingga matang jiwanya-serta percaya diri-tidak mudah takut-tabah menghadapi rintangan apapun.
Sesama anak bangsa, solidaritas dan toleransi adalah modal penting untuk keutuhan Indonesia. Bergotong-royong dan bergandengan tangan untuk menyongsong hari depan yang lebih baik. Sebagaimana kata KH. Zainuddin MZ: ‘Ilmu membuat hidup lebih mudah, seni membuat hidup lebih indah, agama membuat hidup lebih terarah’. Dan akhirnya ijinkan penulis mengutip yang dikatakan Ki Ageng Suryomentaram: ‘Orang yang berani mengalah, bakal tinggi daerajatnya’. Oleh karena itu, pilihlah pergaulan dengan bijaksana, sebab komunitas atau lingkungan di mana kita hidup itu pasti ada perbedaan tapi jangan sampai ada perpecahan!
Jakarta, 29 Mei 2022
Salam penulis: E. Handayani Tyas; Universitas Kristen Indonesia – [email protected]
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.