Kirim Kawat

Kirim Kawat
foto oleh: ag. eko
"Aaah!!!" saya berseru sambil menghentikan langkah.
 
"Apa'an!?" tanya teman saya yang kaget, dengan panik.
 
"Ada kantor pos!!!" jelas saya setengah berteriak, menyaingi suara kerasnya.
 
"Girang amat sih liat kantor pos aja," gerendeng teman dengan penuh rasa sebal.
 
Saya merespon dengan senyum, sambal menarik lengannya untuk melanjutkan langkah. Kami masuk ke kediaman Bidan Ilelapotoa. Rumah yang posisinya tepat berada di sebelah kantor pos, yang barusan membuat hati saya sumringah dan bahagia hanya dengan melihatnya.
 
Entahlah apa yang lebih membuat saya segirang itu. Apakah karena saya tumbuh-kembang dengan kebiasaan surat-menyurat? Saya dulu punya sahabat pena di seantero tanah air lho. Gemar juga mengirimkan kartu ucapan terutama pada hari-hari raya. Semua saya kirimkan langsung dari kantor pos.
 
Berhubung kerap ada rasa bahagia bila berada di kantor pos, saya pun merasa perlu untuk selalu datang dan datang lagi ke situ. Tugas dari orangtua untuk membayarkan iuran bulanan televisi—masa dulu pesawat televisi itu ada iurannya—selalu saya sambut dengan gembira. Sebab, harus ditunaikan di kantor pos. Ketika tak seberapa jauh dari rumah dibuka kantor pos cabang pembantu, lagi-lagi bahagianya bukan main. Ah, untuk menjadi bahagia pada masa itu ternyata sangat gampang ya…
 
Atau, apakah kegirangan saya melihat kantor pos di sebelah rumah ibu bidan itu, dipicu oleh rasa rindu yang besar pada keluarga di Jakarta? Sehingga, diam-diam saya mengharap bahwa di situ ada surat dari ibu. Padahal, saya tahu benar itu tak mungkin, karena berbagai sebab.
 
Saat itu, September 1987, kami berada di sebuah tempat yang bernama Wahai. Sebuah kota mungil di pantai utara Pulau Seram. Dulu disebut kota kecamatan, kini merupakan ibu kota kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Kami tiba malam sebelumnya, setelah selama hampir tiga bulan berada di Taman Nasional Manusela (TNM) di pedalaman Pulau Seram.  Mengikuti sebuah ekspedisi internasional yang bernama Operation Raleigh (OR).
 
Selama di pedalaman, komunikasi dengan orang rumah tentu terbatas pada surat menyurat yang datang tak sering. Apalagi saya bercokol di camp terjauh, camp Kanikeh. Surat yang ditulis hari ini, apes-apesnya diterima ibu saya mungkin baru 30 hari kemudian. Setelah ditulis, surat saya tersebut kemudian akan terbundel dengan surat-surat dari anggota ekspedisi lainnya. Lalu, menjadi satu dengan barang-barang lain yang harus di kirim ke basecamp Wahai, lalu ke Ambon, untuk dilanjutkan ke Jakarta. Sebagian surat mungkin lanjut lagi ke Inggris, atau negara lain asal dari sejumlah peserta ekspedisi.
 
Dari camp Kanikeh, surat-surat dan lain-lain itu akan dibawa oleh seseorang atau serombongan orang yang kebetulan harus berangkat ke Wahai. Perjalanan darat hanya dapat ditemput dengan jalan kaki, yang memakan waktu tergantung situasi, kondisi, dan lewat sebelah mana. Kalau si pembawa langsung melalui jalan terpendek menuju Wahai, maka, bila tancap gas, rombongannya bisa tiba dalam waktu dua hari satu malam. Tapi, ada kemungkinan ia harus memutar dan mampir-mampir terlebih dahulu di camp-camp ekspedisi kami lainnya di TNM.
 
Dari Wahai surat saya akan menuju Ambon menggunakan perahu bermotor, yang memakan waktu perjalanan satu malam. Dari Ambon ke Jakarta penerbangan waktu itu kalau tak salah sekitar 3-4 jam lamanya, atau 5 jam ya? Tak ingat lagi. Nah, jadi, seharusnya dalam waktu seminggu surat saya itu sudah harus sampai di Jakarta donk. Ya, seharusnya. Kenyataannya, belum tentu. Akan ada waktu tunggu di Wahai sampai terbit jadwal keberangakatan seseorang ke Ambon. Di Ambon pun mungkin begitu juga. Menunggu sampai ada yang harus berangkat ke Jakarta. Perjalanan surat saya sampai Jakarta sistemnya memang jadi seperti titip menitip.
 
Surat dari ibu di rumah kira-kira begitu juga prosesnya untuk mencapai saya. Kalau ada jadwal keberangkatan seseorang ke Ambon, kantor sekretariat OR di Jakarta akan memberi tahu orangtua saya. Beruntungnya kalau ada kunjungan khusus. Seperti ketika Bapak Emil Salim, yang waktu itu menteri KLH dan pelindung ekspedisi, bersama rombongan datang berkunjung. Rombongan VVIP tersebut menggunakan helikopter dari Ambon langsung ke Desa Kanikeh, desa terdekat dengan camp saya.
 
Setiap kali ada rombongan yang datang dari Wahai ke camp, semua pasti jadi berharap-harap cemas. Bahagia sekali rasanya kalau ada surat dari ibu. Padahal, kalau di rumah saya ribut melulu dengan beliau haha... Saya ingat, melalui salah satu surat dari ibu itulah saya menerima kabar sedih tentang kematian kucing kesayangan saya. Berita tersebut disampaikan ibu dengan sangat hati-hati. Dengan pilihan kata-katanya, ibu seperti hendak memastikan bahwa saya tak terlalu terpukul. Hal mana malah membuat rasa kangen pada ibu, yang juga 'teman' bertengkar itu, semakin membuncah. Harus jauh dulu ya, baru saya mampu meresapkan kasih sayang ibu. Payah…
 
Di rumah Bidan Ilelapotoa saya disambut dengan hangat. Sebelum berangkat, satu senior di dunia kepencintalaman Jakarta memperkenalkan saya pada seseorang. Orang ini lalu memberi saya nama satu tokoh penting di Ambon, yang mempunyai jaringan luas di Pulau Seram sampai ke pedalamannya. Sehingga, di setiap lokasi yang saya datangi, akan selalu ada kontak yang bisa saya hubungi. Keluarga ibu bidan inilah kontak saya di Wahai.
 
Tapi, awal Juli saat merapat di Pulau Seram, tak ada waktu untuk mendatangi keluarga itu. Kesempatan beberapa hari di Wahai pada akhir ekspedisi pun saya gunakan untuk berkunjung dan berkenalan. Keluarga ibu bidan menyambut saya dengan hangat. Kami mengobrol tentang berbagai hal, termasuk kegembiraan saya saat melihat kantor pos di sebelah rumah ibu bidan.
 
“Ingin rasanya menulis surat ke ibu di Jakarta,” saya melenguhkan kerinduan.
 
Tapi, saya jamin pasti saya yang akan tiba lebih dahulu di Jakarta daripada surat itu. Jadi, percuma saja.
 
“Kirim kawat saja,” kata Bapak, suami ibu bidan.
 
Eh? Kirim kawat? Aduh, apa pula itu.
 
“Maksud beta, telegram,” Bapak, yang rupanya melihat saya melongo bingung, menjelaskan.
 
“Oh iya! Betul juga! Kirimnya dari kantor pos juga kah?” tanya saya lagi-lagi dengan girang.
 
“Itu sudah!’ kata si Bapak.
 
“Baik! Akan segera saya kirim. Jam berapa besok kantor pos buka?” tanya saya penuh semangat.
 
“E kalau telegram bisa kirim 24 jam,” si Bapak menjelaskan lagi.
 
“Wah, hebat!”
 
Hehe, kagum saya. Ternyata tak hanya di Jakarta kirim telegram bisa dilakukan kapan saja, dalam kurun waktu 24 jam sehari.
 
“Tulis saja pengirimnya Bidan Ilelapotoa,” kata Bapak. “Bila ada balasan, pasti segera mereka antar ke sini”.
 
Ide bagus! Daripada balasan dikirim ke basecamp Wahai kami yang chaotic, lebih aman kalau ke rumah ibu bidan.
 
Perlu diketahui, bahwa telegram yang kami bicarakan di sini bukanlah telegram aplikasi messenger macam whatsapp, yang sekarang cukup populer terutama di kalangan anak-anak milenial masa kini. Melainkan, sebuah layanan pengiriman pesan, yang teknisnya merupakan sebentuk berita yang berisi kombinasi kode. Kode-kode tersebut ditransmisikan oleh alat yang disebut telegraf sebagai alat pengirim telegram. Menggunakan kabel-kabel yang menghubungkan satu lokasi dengan lokasi yang lain. Seorang Amerika bernama Samuel F. B. Morse adalah orang yang menemukan telegraf. Nama kode morse atau sandi morse, karakter yang dipakai untuk mengirimkan telegram melalui telegraf, diambil dari namanya.
 
Bagi Indonesia yang wilayahnya luas dengan banyak daerah terpencil, layanan telegram dulu itu sangat membantu pertalian komunikasi. Menjadi cara untuk menyampaikan kabar ke jarak yang jauh dengan cepat. Baik itu di dalam maupun ke luar negeri. Dengan telegram, kabar yang kita kirimkan bisa mencapai tujuan dalam waktu kurang dari satu hari.
 
>>Nina baik baik saja titik<<
Demikian bunyi kawat atau telegram yang saya kirimkan ke rumah di Jakarta. Tanda baca pada telegram, titik, koma, dan lainnya; harus ditulis dalam kata-kata. Setrip (dash) untuk kata pengulangan, sering kali saya lupakan. Lumayan irit biaya.
 
“Irit biaya? Koq bisa?” mungkin seorang anak milenal akan bertanya.
 
Saya lupa berapa nilainya, tapi saya ingat bahwa tarifnya adalah per karakter. Karena itu, kalau ada pengurangan tanda baca, artinya ada pengurangan jumlah karakter. Meski demikian, ongkos untuk mengirim telegram tetap terbilang murah. Terutama, bila dibandingkan dengan telepon jarak jauh, yang saat itu jangkauannya pun masih sangat terbatas. Meski, ada juga sih kekurangannya, yaitu tak bisa panjang seperti surat. Tapi, itulah keunikan telegram. Pendek, cepat, dan tanda baca dituliskan dengan huruf atau kata-kata.
 
Telegram dulu itu sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia, sampai-sampai pernah ada layanan yang bernama telegram indah. Sebuah layanan yang khusus untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan sejenisnya, serta hari raya. Walaupun tak terhindarkan ada yang malah menjadi cemas kalau menerima telegram. Karena, seringkali telegram menjadi pembawa berita buruk semisal kabar-kabar dukacita.
 
Sayangnya, dengan kemajuan teknologi yang makin lama makin mempercepat komunikasi antarjarak, popularitas telegram jatuh terpuruk. Sampai akhirnya, pada 2010, kalau saya tak salah, layanan surat kawat yang sudah hampir dua abad beroperasi di Nusantara ini pun dihentikan.
 
Ada sedikit perasaan lega di hati saya setelah mengirimkan surat kawat ke rumah. Meski diam-diam saya berpikir kalau saja saya bisa menelepon ke rumah mungkin bakal lebih asyik. Biayanya pasti mahalan daripada telegram tentunya, tapi kan senang kalau bisa mendengar langsung suara ibu dan ayah. Sayangnya, lupakan soal telepon genggam, pada saat itu tidak ada kantor telepon sentral di Wahai, apalagi wartel (warung telepon).
 
Menelpon dari Jakarta ke Ambon ataupun sebaliknya saja tak bisa langsung. Kita harus menghubungi kantor telepon khusus untuk hubungan interlokal terlebih dahulu. Kepada operator kita sebutkan nama kota dan nomer telepon tujuan, lalu tutup telepon. Tunggu sampai operator menghubungi kita lagi, setelah sambungan ke kota tujuan sudah tertaut.
 
Sebenarnya, saya tak terlalu berharap telegram saya dibalas oleh keluarga di Jakarta. Tetap saja saya menuliskan ‘Bidan Ilelapotoa, Wahai, Pulau Seram, Maluku’ sebagai pengirim. Keesokan harinya, amplop biru khas telegram pun mendarat cantik di rumah ibu bidan. Untuk saya, dikirimkan oleh abang saya mewakili keluarga di rumah.
 
>>Ada apa dengan Nina titik<<
Demikian isi beritanya. Entah bagaimana, saya merasa ada kecemasan yang cukup besar dalam pertanyaan pendek itu. Duh, bagaimana ini. Saya menjadi semakin ingin untuk bisa menelepon ke rumah. Duh aduh…, kenapa telegram yang saya kirimkan untuk memberi kabar baik, malah jadi menimbulkan kebingungan ya? Mungkin, seperti yang saya sebut di atas, karena kadang orang menganggap bahwa telegram adalah pembawa berita buruk.
 
“Mungkin orang rumah kaget karena pengirimnya ibu bidan,” Bapak bantu menjelaskan.
 
Tepok jidat deh saya. Kalau saja di masa itu teknologi sudah semaju sekarang, kesalahpahaman macam
begini mudah dihindarkan. Tak soal seberapa pun jauhnya jarak. Cukup dengan tektokan convo whatsapp yang memakan waktu beberapa menit saja, kabar segera jelas tersampaikan. Atau, tinggal telepon kalau malas menggerakkan jari jemari. Berita memang akan lebih jelas dan cepat tersampaikan bila diucapkan langsung dengan mulut.
 
Sementara, pada masa dulu itu, berhubung fasilitas komunikasi begitu sangat terbatas, maka salah paham mudah terjadi. Lumayan cukup bikin repot. Sambil berharap agar komunikasi yang mendadak kusut antara saya di Wahai dan keluarga di Jakarta segera lurus, saya bergegas lari ke kantor pos.   =^.^=
 
[Tulisan ini diterbitkan sebagai tuisan tamu dalam buku karya Mirza D. Kusrini & Jeni Shannaz, Bukan Carita Parlente, 2021, halaman 224]
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.