RUTE ISTIMEWA

Pagi itu, cuaca sangat cerah dibanding hari-hari sebelumnya. Sejak hari pertama liburan keluarga kami di Manado selalu disambut dengan hujan lebat yang tak menentu waktu datangnya. Mungkin karena liburan kami bertepatan dengan musim hujan bulan Desember. Jadi jadwal liburan kami sebagian besar hanya berdiam diri di rumah keluarga.
Mempung hari sedang cerah dan setelah berunding bersama suami dan anak-anak, akhirnya kami memutuskan untuk jalan-jalan ke Tomohon. Kamipun bergegas mempersiapkan keperluan perjalanan. Maklum, dari tempat keluarga kami menuju kota Tomohon lumayan jauh perjalanannya. Jika melalui jalan pintas yang rutenya aduhai bikin jantung berdebar, sekitar 1 jam. Jika lewat jalur normal, sekitar 2 jam atau lebih baru sampai ( info dari suami ).
Ku lihat jam menunjukan delapan pagi. Saat kami bersiap jalan, tiba-tiba langit berubah mendung. Agak ciut awalnya, dalam hati aku berdoa jangan hujan, please God. Tapi, karena suami dan anak-anak persiapan tamasya sudah mantap, akhirnya kami pun nekat melanjutkan rencana perjalanan kami. Hasil diskusi singkat, suami memilih melalui jalan aduhai itu.
Dalam perjalanan, ku pandangi hamparan langit yang perlahan mulai berwarna cerah. Ah, bahagianya Tuhan mendengar doaku, karena jalan yang akan kami lalui sangat beresiko bila dilewati dalam keadaan hujan. Jujur, karena aku belum pernah melewati jalan itu, awalnya tidak punya bayangan apapun. Untungnya suami berasal dari wilayah Minahasa Utara, jadi sudah sangat kenal dengan jalan yang akan dilalui.
Mulailah kami memasuki jalan berkelok-kelok, yang di sisi kiri kanan disambut kampung-kampung berjejer dengan bangunan khas Minahasa, "Rumah Panggung". Sebagai pemandu perjalanan, suamiku memberitahu nama-nama desa yang kami lalui. Desa Sawangan adalah desa pertama yang kami jumpai. Bila dilihat, Sawangan lumayan luas untuk ukuran sebuah desa. Ada yang istimewa di desa tersebut, "Arung Jeram". Bagi pecinta Arung Jeram, Sawangan merupakan salah satu lokasi yang wajib di jelajahi. Sepanjang perjalanan, aku melihat di sisi kiri kanan jalan rute arung jeram yang menantang, dari yang arusnya pelan sampai arusnya kuat bisa kita nikmati sepanjang perjalanan melalui desa tersebut. Rumah-rumah penduduk yang mayoritas terbuat dari kayu berjejer rapi di sepanjang jalan.
Kami melalui gua-gua peninggalan Jepang yang masih utuh walau kondisinya sudah tidak terawat. Tiap gua yang kami lewati tertutup pintu jeruji besi yang kokoh.
"Dulu itu merupakan salah satu tempat wisata di Sawangan." kata suamiku.
"Sekarang sudah tidak terurus. Sayang ya." lanjutnya.
Akupun hanya bisa memandangi gua-gua itu sambil berlalu.
Tak lama setelah kami melalui gua-gua Jepang, kami melanjutkan perjalanan melalui desa Tenggari. Pemandangan di desa ini terlihat lebih asri karena ditumbuhi pohon-pohon besar. Di sekitar jalan utama tidak terlalu banyak rumah warga yang kami jumpai.
"Rumah-rumah kampungnya ada di bawah bukit, harus masuk ke dalam." suamiku menjelaskan.
Aku mendengar cerita suamiku sambil memperhatikan jalan, karena saat memasuki desa tersebut beberapa ruas jalan tampak lebih kecil.
"Di desa ini ada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), salah satu yang terbesar di Sulawesi Utara." lanjutnya.
"Ada air terjun besar dan arusnya sangat kuat, makanya bisa dipakai buat PLTA. Dulu, sebelum PLTA dibangun, orang-orang bisa berfoto ria didekat air terjun. Tapi sekarang daerah tersebut sudah ditutup untuk umum."
Benar juga, karena di desa tersebut ku lihat lampu jalan cukup banyak, dan kami juga melewati kantor besar PLTA yang tepat berada di pinggir jalan. Aku sempat mendengar sayup-sayup suara air terjun selama melalui desa karena pada saat itu jendela mobil sengaja kubuka untuk menghirup segarnya udara pegunungan di Tenggari.
Semakin jauh perjalanan semakin sedikit kampung yang kami jumpai dan akhirnya memasuki jalan yang di sisi kiri dan kanan hutan. Kata suamiku jalanan ini dulu adalah jalanan utama yang menghubungkan Minahasa Utara ke Minahasa Selatan. Tapi sejak ada jalan baru yang melalui kota Manado, jalanan tersebut jadi jarang dilalui. Ya, memang kelihatan dari kondisi jalan yang kecil akibat ditumbuhi rumput-rumput liar di kiri kanan jalan.
Yang pasti, bikin jantungku berdebar sampai mata terpejam, serta doa-doa dipanjatkan tiap suami melalui jalan yang berkelok tajam disambut dengan tanjakan yang lumayan tinggi di mana di sisi jalan jurang terhampar luas. Jalur yang paling istimewa adalah saat melalui " Tanjakan Helikopter " ( istilah suamiku ) di mana kondisi jalan tersebut sangat sempit. Jalannya menanjak tinggi langsung menikung tajam dan menanjak tinggi lagi. Jalanan ini cuma cukup untuk dilalui satu mobil, jadi tidak boleh berpapasan. Jika belum mahir membawa kenaraan lalu melalui jalan ini pasti kendaraan akan termundur, BAHAYA. Aku sempat bilang ke suami, kalo lewat sini malam hari bahaya juga lho, minim penerangan. Bila yang bawa kendaraan tidak awas bisa terjun bebas masuk jurang.
keluar dari Tenggari, kami melalui Tonsea Lama. Suamiku bercerita bahwa konon menurut sejarah para tua-tua dulu, Tonsea Lama adalah cikal bakal para orang Minahasa bisa ada sampai sekarang. Merekalah para pendiri-pendiri suku Minahasa. Banyak peningalan berupa Waruga di desa tersebut. Bagi yang belum tahu Waruga, Waruga adalah kuburan khas suku Minahasa yang terbuat dari batu. Sayang kami hanya melaluinya saja. Liburan berikut wajib singgah nih demi lihat Waruga. Sudah 45 menit perjalanan, suamiku bilang sebentar lagi kita sampai. Setelah melewati jalan yang berkelok dan curam, semakin dekat kami ke tujuan, semakin lurus jalannya. Kampung mulai terlihat dan semakin lama semakin ramai. Tibalah kami di Tondano. Dari Tondano ke Tomohon sudah sangat dekat.
"Di sini banyak sekali tempat wisata, kamu tinggal pilih kita mau kemana dulu?" kata suamiku.
Aku memutuskan untuk mencari makan dulu. Suamiku mengajak kami ke restoran di Tomohon yang penuh dengan taman bunga. Senang banget waktu tiba disana. Berbagai macam bunga tumbuh dengan subur di lahan yang lumayan luas untuk ukuran sebuah resto yang berkonsep open space. Dari antara semua bunga yang ada, aku hanya tahu beberapa, antara lain: Bougenville ( bunga kertas), Bakung, Mawar dan Kumis Kucing. Maklum, aku bukan ahli perbuangaan, hanya penikmat saja.
Setelah makan, kami menyusuri jalan utama kota Tomohon. Hampir di sepanjang kiri kanan jalan banyak kios kecil orang berjualan aneka macam bunga. Tiap rumah selalu ditumbuhi tanaman hijau dan bunga beraneka warna. Rumah-rumah adat khas Minahasa berjejer di kiri kanan jalan. Suasana di kota tersebut tergolong sejuk, sangat cocok sebagai tempat liburan dan beristirahat. Di Tomohon selalu menggelar Festival Bunga Keliling setiap tahun lho. Banyak wisatawan lokal dan asing datang menyaksikan acara tahunan tersebut.
Kami sempat mengunjungi beberapa tempat wisata lain yang didominasi dengan nuansa alam. Mulai dari pemandangan pegunungan, danau yang airnya mengandung belerang sampai sempat beberapa kali kehujanan di tengah jalan. Hampir semua tempat wisata di Tomohon dipadati dengan turis mancanegara terutama turis dari Cina dan Taiwan.
Sungguh perjalanan seharian ini memuaskan jiwa raga yang penat. Anak-anak juga sangat enjoy dan meminta untuk kembali lagi jika nanti kami liburan ke Manado. Akhirnya hari mulai gelap, saatnya kami sekeluarga pulang ke rumah. Diperjalanan pulang, suami sempat bertanya "kita pulang lewat jalan yang tadi yuk." Dengan cepat aku menjawab "TIDAAAAAK! kita pulang lewat jalan normal aja." Dan ternyata anak-anak juga sependapat denganku.
TAMAT
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.