Islam, Jender dan Premanisme

Ketika Jatuhnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, landasan, tatanan politik bahkan ideologi telah berubah bagi perempuan Indonesia. Selama Orde Baru, peran perempuan hanya sebatas ibu rumah tangga, bahkan ketika ada perempuan yang ketahuan mengikuti Gerakan Wanita Indonesia akan dicap sebagai PKI.

Islam, Jender dan Premanisme
Pasukan FPI di Aksi 212
Islam, Jender dan Premanisme

Selama Orde Baru, pemerintah sangat kurang memperhatikan isu-isu jender, walau telah meratifikasi Konvensi PBB,  mengenai penghentian segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, pada tahun 1984 dan menandatangani Deklarasi Beijing dan Platform untuk aksi pada tahun 1995.

Walau prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sudah diabadikan dalam UUD 1945, namun sangat disayangkan. Sangat sedikit sekali yang paham hak-hak perempuan. Umumnya pembahasan tentang perempuan tertuju pada kewajiban istri kepada suami, pengabdiannya terhadap keluarga.

Pada tahun 1980, muncul gerakan Islam yang bersandar pada nilai-nilai ideal dari Al-Qur’an terhadap kesetaraan dan keadilan jender dan kehadiran organisasi non pemerintah yang aktif melakukan advokasi tentang isu-isu jender pada 1990-an.

Isu-isu jender ini tidak terlalu menonjol hingga periode reformasi, ketika negara melonggarkan hal-hal yang terkait dengan agama, etnisitas, dan wacana public. Perhatian terhadap isu-isu jender meningkat, ketika kelompok-kelompok aktivis muncul menyuarakan hak-hak perempuan di publik.

Dalam percaturan politik di era reformasi pada tahun 1999, isu jender mulai diperbicangkan secara signifikan, ketika Megawati Soekarno putri maju sebagai calon presiden perempuan pada pemilu usai Soeharto.

Mencalonkan Megawati menjadi presiden memicu rekasi antara kedua belah pihak yang pro dan kontra. hal ini disebabkan bukan karena kemampuannya,  melainkan jendernya. Kejadian ini mendemostrasikan bagaimana jender menjadi factor permainan politik dalam skala besar.

Penentangan pencalonan Megawati pada tahun 1999, bukan karena faktor idelogi atau agama, melainkan jender. Isu jender ini dipakai sebagai senjata untuk memenangkan pemilu dan meraup suara yang banyak.

Pada akhir abad ke-20, muncul kelompok-kelompok Islam radikal yang mendukung penafsiran-penafsiran Al-Qur’an secara harfiah. Tujuan dari kelompok ini adalah ingin memberlakukan hukum Syariah, yang dipahami secara sempit.

Kelompok-kelompok radikal ini cenderung berusaha untuk membatasi perempuan dalam kehidupan publik dan membatasi jenis-jenis pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Mereka menganggap laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang harus ditaati tanpa mempertanyakannya. Mereka juga menyuruh perempuan untuk berpakaian seperti budaya arab yang membungkus kurang lebih seluruh tubuh, yang mereka anggap sebagai pakaian Islam. 

Pada saat yang sama, Lembaga-lembaga dan organisasi non pemerintah yang beranggotakan. Rahima, Fahmia, dan Puan Amal Hayati bekerja sama dengan organisasi-organisasi perempuan muslim yang telah mapan seperti Fatayat Nahdalatul Ulama (NU) dan Nasyiatul Aisyiyah untuk memperjuangkan lebih jauh agenda berbasis hak-hak perempuan.

Penafsiran Al-Qur’an yang bias jender dianggap memainkan peran dalam melestarikan sikap-sikap konservatif tentang jender. Seperti, laki-laki memiliki hak untuk mendisiplinkan atau mengatur istrinya. Beberapa strategi telah dikembangkan untuk meluruskan pandangan tersebut.

Pada tahun 2003, Yayasan Puan Amal Hayati membentuk forum kajian Kitab Kuning, dengan melibatkan beberapa aktivis Muslim kenamaan. Mereka menerbitkan satu buku dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia, buku itu membahas pemahaman tentang jender di dalam kitab yang popular di kalangan pesantren, yaitu Uquud al-Lujjayn.

Dampak yang diberikan sangat positif bagi perempuan. Buku ini digunakan di sejumlah pesantren NU di Jawa. Strategi lain menyelenggarakan pelatihan sensitivitas jender. Pelatihan ini dilaksanakan pada tingkat akar rumput. Seperti Fatayat NU dan di tingkat akademik.

Para peserta diajarkan mengenai perbedaan antara seks sebagai kodrat atau bersifat biologis dan jender sebagai konstruksi sosial. Diskusi-diskusinya terfokus pada pelbagai bentuk ketidakadlian terhadap perempuan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari seperti stereotype, subordinasi, diskriminasi, kekerasan, dan sebagainya.

Tapi ada satu kesulitan yang dihadapi aktivis perempuan, adalah persoalan legitimasi. Apakah mereka memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sumber-sumber ajaran Islam sehingga mendapat tanggapan serius ketika membuat komentar tentang jender dan Islam.  

Pada tahun 2006 Fahmina Institue di Cirebon memperkenalkan strategi lain untuk menetralkan pemahaman agama yang bias jender. Lembaga ini menyelenggarakan pelatihan aktivis-aktivis perempuan yang tidak memiliki latar belakang ilmu-ilmu keislaman dengan menggunakan teks keislaman dan metode evaluasi kesetaraan jender dan hak-hak perempuan.

PREMANISME

Pada tahun 1998, tingkat premanisme meningkat secara kasat mata. Hal ini bukanlah fenomena baru, pada rezim Orde Baru hubungan antara unsur-unsur rezim dan preman saling menguntungkan. Banyak preman direkrut dalam organisasi-organisasi pramiliter dan pemuda, seperti pemuda Pancasila.

Para preman ini dibiarkan melakukan pemerasan dengan alasan perlindungan, preman ini kebal hukum asalkan sebagian dari hasil yang dia peras disetorkan ke jalur-jalur birokrasi.

Ketika rezim Orde Baru ini mulai retak, organisasi-organisasi preman ini mulai menjauh dari nasionalisme rekasioner dan kesetiaan kepada Soeharto dan Golkar. Mereka kebanyakan mengalihkan diri ke Islam militan.

Banyak dari kelompok-kelompok ini dimobilisasi  pada November 1998 sebagai bagian dari milisi sipil yang dikerahkan oleh jendral Wiranto. Pada masa Habibie menjadi presiden, membela negara berkolerasi dengan membela Islam.

Kelompok-kelompok ini bertugas menjadi benteng yang disponsori negara untuk dalam melawan tuntutan-tuntutan gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa. Namun, sebagian preman berubah menjadi actor independent ketika ada kebebasan baru untuk beroganisasi.

Preman yang sebagai kaum oportunis abadi dan bunglon ideologi dapat dengan cepat menyesuaikan diri untuk berganti kostum agar cocok dengan lingkungan sosial dan politik yang baru.

Beberapa kasus menyebutkan, pergantian pakaian ala militer pemuda-pemuda nasionalis menjadi jubah putih atau surban-surban Islam radikal hanyalah soal kamuflase belaka. Pada saat kelompok-kelompok yang lebih tua seperti pemuda Pancasila terus memotret diri sebagai pembela kesatuan nasional, preman jenis baru mengorganisir diri mengikuti etnik dan keagamaan pasca-pancasila.

Islam militan telah menjadi komoditas baru dalam pertarungan merebut control di jalan-jalan seantero Jakarta. Preman sebagai subkultur dapat diidentifikasi memiliki sifat pemangsa, penampilan garang dan reputasi kekerasan fisik.

FPI (Front Perjuangan Islam) memiliki tujuan yang sangat jelas yaitu, melaksanakan perintah Al-Qur’an, yakni amar ma’aruf nahi mungkar. Untuk mencapai tujuan ini, FPI membagi 2 divisi, masing-masing melapor atau bertanggung jawab kepada dewan penasihat pusat yang langsung melapor ke pendiri.

FPI berargumen bahwa umat muslim di Indonesia berada dalam serangan yang serius dari dekadensi moral, sekularisme, liberalism dan ketidaksesonohan yang dipercepat oleh reformasi demokrasi.

Menurut FPI reformasi telah dikorupsi oleh ekses-ekses ini dan disertai runtuhnya structural moral masyarakat, mereka membuktikan dengan usaha-usaha yang “menjajakan maksiat”, seperti diskotik, bar-bar, pusat hiburan dan berbagai bidang seperti pornografi.

Mereka juga beranggapan Islam telah dikhianati oleh para pembaharu liberal seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan para penyimpang lainnya seperti sekter Ahmadiyah dan jaringan Islam liberal.

FPI pertama kali tampil di masa pergelokan politik 1998 sebagai bagian dari milisi Pam Swakarsa yang pro-habibie yang dibentuk oleh Jendral Wiranto untuk membatasi gerakan mahasiswa pro-reformasi.

Kelompok ini juga terlibat dalam bentrokan berdarah dengan gangster Ambon di Ketapang yang berujung tewasnya 15 orang. Menurut kepolisian Jakarta saat itu. Noegroho Djajoesman. Polisi awalnya mendukung FPI sebagai tandingan atas keekstreman gerakan reformasi oleh mahasiswa.

Dengan struktur organisasi yang longgar dan fokus pada aksi vigilante yang menggunakan kekerasan, FPI telah menyediakan tempat aman bagi preman.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.