Di Bangku Biara
Aku tak tahu kalau di hari mendung tempo hari bukan kau yang mengirimiku pesan

Sore itu aku tiba di biara pukul 3.25, 5 menit lebih awal dari jam perjanjian kita. Aku melihat sekeliling, belum tampak sosokmu. 3 menit yang tak nyaman, karena tatapan mengganggu pekerja bangunan yang sedang bekerja . Belum lagi siulan mereka. Ah, sabar. Aku segera mencari ponsel dan mengirimu pesan. Lalu tiba tiba sosokmu hadir dari lorong kamarmu. Senyum memang menular, aku ikut tersenyum melihat senyummu.
“Hai senang bisa jumpa lagi. Mari keliling saya ajak lihat lihat biara. Saya sudah berjalan satu putaran, khawatir terganggu ada tukang tukang”
Kali ini kau mengenakan baju lengan panjang dan celana biasa. Kau tak mengenakan jubahmu seperti kita berjumpa pertama kali. Kupikir setelah berjabat tangan kau akan membawakan tentengan belanjaanku. Ternyata tidak. Aku lupa bahwa yang kuhadapi sore itu adalah seorang yang hidup selibat, bukan bad boy kota yang sudah acap kali kuhadapi di kota besar. Aku teringat betapa aku bingung membalas pesan pesanmu yang baku dan bersajak. Kau bukan lelaki biasa.
Kita tiba di tempat duduk yang sama seperti pada saat pertama kali kita bertemu. Duduk di bangku warna warni yang terletak dibawah pohon rindang. Beberapa anjing mendekat berdatangan, salah satunya tidur nyaman di sebelah kakiku. Mungkin dia terlarut dengan alunan suara kita yang bercerita tentang hidup. Bagi si anjing hitam ini, mungkin cerita kita adalah dongeng pengantar tidur yang tak akan pernah dia capai untuk menjadi nyata. Tempat yang kau bilang membangkitkan memori, ketika kau duduk disitu. Bahwa kita pernah 3,5 jam duduk disitu berbagi kisah.
Aku masih bertanya tanya, bagaimana seorang bisa memutuskan hidup terisolasi. Ah isolasi hanyalah hematku. Kalau memang itu pilihanmu, siapa yang berhak mengatakan kalau itu salah. Aku sendiri pun memilih mengisolasi dari luka luka yang belum bisa sepenuhnya kuhadapi.
Aku tak tahu kalau di hari mendung tempo hari bukan kau yang mengirimiku pesan. Entah berapa anti depressan yang akan terus kutenggak agar dengung di kepalaku terhenti. Entah berapa orang lagi yang akan berupaya datang untuk membuka pintu kamarku. Waktu kau bilang aku harus mencintai diriku sendiri, serta harus berhenti menyalahkan diri sendiri untuk hal yang telah kulewati. Aku berjanji di malam itu, bahwa hari itu adalah hari terakhir aku menangis meratapai luka. Esok akan kuhadapi dengan senyuman dan membiarkan semesta menolongku dalam menghadapi ini semua. Rasanya aku ingin mengungkapkan itu padamu, tapi aku terlalu malu menceritakan kebodohanku. Lagipula aku belum menjadi jemaatmu dan kau belum menjadi imam. Rasanya tak perlu kita membuat ruang pengakuan dosa. Aku ingin membiarkan sore itu, kita penuhi cerita dengan cerita cerita manis tentang yang pernah ada di hidup kita. Hidup kita sudah terlalu berat jika kita harus membahas masalah hidup yang tak akan pernah selesai.
Aku memerhatikan buku yang sejak awal kau bawa dan kau letakan di meja. Aku tahu, itu pasti hadiah lain yang akan kau berikan setelah rosario kecil tempo hari. Buku itu, buku karanganmu sendiri yang memang sudah sejak lama ingin aku cari tau dimana aku bisa membelinya. Ternyata, adalah sebuah kebangaan kudapatkan buku itu langsung dari tangan penulisnya. Mungkin rasanya setimpal dengan aku yang harus naik pesawat membawakan buku yang belum selesai kau baca, karena bukumu raib dipinjam salah satu kawan. Buku favorit dan penulis favoritku yang membawaku pada perjalanan iman baruku.
“Frater sudah mau persiapan Ibadah sore?” akhirnya aku harus menanyakan hal itu setelah lama kuperhatikan satu satu pekerja bangunan meninggalkan area kerja mereka.
“Jam berapa sekarang?”
“Setengah 6”
“Ya nanti, tunggu sebentar lagi,”
Ternyata kau masih mau mengulur waktu, duduk dibawah pohon walaupun matahahari petang nampak sudah turun. Pada akhirnya kita dipisahkan oleh lonceng bell gereja petang. Tanda dirimu yang harus segera memulai misa sore. Dan aku harus segera pulang kerumah. Lalu kita terdiam, tersenyum canggung satu sama lain.
“Sebentar lagi saya harus masuk kesana,” kau menunjuk gereja dibelakang tempat kita duduk.
“Baik, kalau begitu saya pamit dulu. Sampai jumpa lagi,” aku mengulurkan tangan untuk kembali menjabat tanganmu. Kali ini adalah untuk menyambut perpisahan.
Kita berjalan di arah yang berbeda. Dan aku masih memandangi punggungmu. Memahami bahwa aku bersyukur pada Tuhan, telah diberi kesempatan mengenal dirimu. Memberikan aku pelajaran berharga lain di tahun ini. Kiranya Tuhan memberikan kita kekuatan untuk mencintaiNya secara agape. Kiranya Tuhan memberkati langkahmu, meneguhkan imanmu hingga beberapa tahun lagi kau menjadi Imam yang juga memberikan cinta pada umatmu.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.