Butakah Cinta?

Dalam tempo sebulan, sudah terlalu sering Dudung menghela nafas. Sebelum nafasnya akhirnya habis terhela, mungkinkah sesuatu harus segera dilakukannya?

Butakah Cinta?
Foto oleh Albert Tei Roring. Difoto pada 15 Febuari 2021, di JORR.
"Ma kasih, bang!" Apok berseru sambil melompat turun dari goncengan motor Dudung.
 
"Sip!" jawab Dudung.
 
Sambil menghela nafas, diamatinya bocah berumur delapan belas tahun itu, yang kini berlari girang masuk ke rumahnya.
 
Ceritanya, sebulan lalu Apok minta kesempatan untuk jadi kernet di truk Dudung. Dua-duanya tahu bahwa Dudung sedang tak punya kernet. Tapi, hanya Dudung yang tahu bahwa Apok sebenarnya tak bisa diandalkan.
 
Reaksi pertamanya adalah, akan dipertimbangkan. Tapi, Dudung sadar, bahwa dirinya tak akan bisa menolak mentah-mentah. Yang katanya akan dipertimbangkan, sebenarnya hanyalah menunda kekalahannya. Kalah karena tak mampu menolak.
 
Sebenarnya, ada keheranan dalam diri Dudung, kenapa Apok yang pengangguran dan putus sekolah, yang bahkan SMP saja tak tamat, tiba-tiba minat bekerja menjadi kernetnya. Sudah terkenal di kampung mereka bahwa baik tak lulus SMP-nya maupun menjadi penganggurannya Apok, adalah karena dia sangat malas. Membantu di warung kopi emaknya aja ogah-ogahan. Maunya main ponsel saja.
 
"Lah terus kenapa lo trima?" tanya Rohim sambil membanting kartu gaple-nya.
 
Belon, gue belon terima,” Dudung membantah.
 
“Halah, kita semua tau kalau lo nggak bakal bisa nolak,” tegas Rohim.
 
Koq lo yakin?” tanya Dudung.
 
“Kita semua kan hafal sama lo, Dung. Kalo keliatan ragu sepeti ini, tandanya lo pasti akan menerimanya”.
 
*B*****, balak enam, jek!" gerutu Muhajir, salah satu pemain gaple, sambil megangguk-angguk membenarkan kata-kata Rohim.
 
"Gue menang!" sorak Rohim, lalu meraup batang-batang korek api, 'pengganti' uang dalam permainan judi gaple mereka.
 
"Yaaah…, kalah lagi...," Imin—pemain gaple ke-empat, mengeluh.
 
Muhajir, Imin, dan Dudung menghela nafas berbarengan. Muhajir dan Imin karena susah hatinya sebab berarti hutang mereka pada Rohim bertambah. Hoho..., batang-batang korek api itu tak sepolos seperti kelihatannya. Dibaliknya, ada jumlah uang tertentu yang diwakili tiap batangnya. Tak seberapa, tapi tetap saja itu duit.
 
Sementara, Dudung menghela nafas karena masalah Apok yang dihadapinya.
 
"Maen lagi nggak nih?" Rohim yang sedang di atas angin bertanya dengan jumawa.
 
"Pas ah, " jawab Imin dan Muhajir berbarengan.
 
Dudung mengangguk linglung saja.
 
"Gue ama Muhajir ronda keliling dulu dah mending," kata Imin. "Yuk, Muh!"
 
"Ayok," Muhajir merespon sambil membetulkan posisi kupluknya.
 
Pos ronda RW 03 itu pun sepi lagi.
 
"Jadi, kenapa lo terima? Iye, iye…, belon lo terima. Tapi, kenapa kayak susah banget sih buat nolak?" Rohim bertanya lagi.
 
"Tatik... Gue demen ama dia," jawab Dudung pelan.
 
Tatik itu mpok-nya Apok, omong-omong…
 
"Ya ampun, Dung!!! Ngapain juga lo demen ama cewek matre kayak gitu!!!" Rohim kaget sampai matanya terbelalak.
 
Rokok dan ponsel yang ada di tanganya sampai jatuh saking kagetnya. Untung pos ronda RW 03 adalah sebentuk rumah panggung tak berdinding. Di mana mereka semua cukup duduk bersila saja di panggungnya.
 
Dengan ketinggian yang rendah begitu, ponsel Rahim jadi tak terlalu terbanting jatuhnya. Meski api rokoknya sempat sedikit membolongin plastik bergambar, alas panggung pos ronda tempat mereka duduk bersila.
 
"Bukan menghina ya, tapi sudahlah matre, dia nggak punya modal apa-apa. Coba lihat! Bodi-nya biasa aja, wajahnya juga nggak istimewa tuh. Kalah jauh ama Midah di tikungan sana, meski Midah gendutan. Apalagi, coba?" tanya Rohim sambil tangannya menjentik-jentik bara api yang sempat menyala di alas plastik.
 
"Jangan gitulah, Him. Jangan itungan fisik," protes Dudung.
 
"Fisik nggak bisa diitung ya, hahaha…, dalem juga lo. Ya, bukannya menghina, tapi..." kata-kata Rohim terputus oleh suara salam seorang wanita.
 
"Salamlekuuum...," merdu terdengar.
 
Ajegile! Yang diomongin nongol!!!—begitu pasti yang dipikirkan Rohim, menilai dari mukanya yang mendadak pucat meski sejenak.
 
Kukumsalam," jawab Dudung dan Rohim, tergagap karena kaget.
 
"Saya bawa kopi nih, buat yang ronda," Tatik tersenyum manis.
 
"Makasih, Tik," Dudung menjawab.
 
"Sama pisang goreng, nanti dianter Apok. Masih digorengin sama emak," tambah Tatik.
 
"Wah, asyik nih!" Rohim bersuara. "Minta ya".
 
"Silakan, bang Rohim! Bang Dudung juga, ayo silakan. Kopinya saya sendiri loh yang bikin".
 
Bersamaan dengan Tatik mengucapkan kalimat terakhirnya, Dudung melihat wajah Rohim sedikit berubah.  Ia lalu seperti kesulitan menelan tegukan kopinya. Penasaran, Dudung meraih salah satu gelas berwarna coklat yang berisi kopi itu.
 
Diseruputnya, lalu giliran dia yang jadi susah payah menelan. Dudung berusaha keras agar raut wajahnya tetap lempang, saat tegukan kopi masuk ke tenggorokan.
 
“Enak, bang Dudung?” tanya Tatik sambil mengerling [sok] malu-malu.
 
“I—iya, top dah!” jawab Dudung sambil meletakkan gelas di depannya. Tangannya yang satu lagi mengacungkan jempol.
 
Rohim mengangguk-angguk saja. Tak kuasa membuka mulut. Takut lepas tertawanya. Kemudian, jadi sepi di antara mereka dan suasana pun terasa kaku. Tak ada yang bersuara.
 
Masing-masing sibuk dengan pemikirannya sendiri-sendiri. Rohim yang cari selamat, menyibukan diri dengan ponselnya. Dudung tampak serius, asyik mendengarkan nyanyian jangkrik. Tatik yang berdiri sambil bersandar di pinggiran panggung pos ronda, memandangi kuku-kuku jari jemarinya yang tidak apa-apa.
 
"Salamlekum," sebuah salam memecah keheningan ganjil di pos ronda.
 
"Kumsalam," Dudung dan Rohim menyahut dengan perasaan lega. Lega, karena keheningan kaku itu akhirnya pecah.
 
"Anter pisang goreng dari emak," kata anak muda yang ternyata adalah si Apok.
 
"Makasih, Pok. Bikinan mpok Tatik, ya?" Rohim bertanya, cuman untuk meyakinkan.
 
"Emak bikin sendiri nih, bang Dudung,” alih-alih ke Rohim, Apok menjawabnya ke Dudung.
 
“Emak demen banget sebab bang Dudung mau kasih saya kesempatan jadi kernetnya," sambung Apok.
 
Rohim nyengir sebelah, dan tanpa bicara apa-apa, menyambar sepotong pisang goreng.
 
"Wuih, masih panas!!!" Rohim berseru.
 
"Ti-ati!" Dudung mengingatkan.
 
Segera, sunyi melingkup lagi di gardu ronda itu. Hanya terdengar, lagi-lagi, derik suara jangkrik. Semua tampak seolah berkonsentrasi mendengarkannya. Melarikan diri dari suasana yang mulai terasa kaku lagi.
 
“Eh, ada suara kodoknya juga tuh,” tiba-tiba Rohim bersuara.
 
Tak ada yang menanggapinya dengan kata-kata, tapi semua beringsut sedikit. Buat mereka yang tak terlibat dengan segala perasaan dan emosi di antara keempat orang itu, melihat adegan sejak Tatik datang, pasti akan merasa betapa suasana di panggung pos ronda RW 03 itu bagaikan panggung komedi Srimulat. Garing-garing gimana, gitu—kalau dia tahu Srimulat sih...
 
"Eh, mpok, ama emak disuruh cepet balik," tiba-tiba Apok memecah kejanggalan.
 
Tak jelas apakah memang emaknya yang menyuruh, atau hanya alasan belaka.
 
"Ah iya, udah malem," jawab Tatik agak gelagapan tapi terdengar lega.
 
"Iya deh, bang Dudung. Permisi dulu. Makasih ya sebelumnya, sudah mau ngajak Apok jadi kernet," kata Apok.
 
Dudung meringis. Merasa sedikit, eh, sebetulnya sangat, dipojokkan. Siapa yang mengajak? Dudung melirik ke Rohim, yang terlihat sibuk menggigit-gigit bibir dengan mata tetap terpaku di ponselnya. Kelihatan di mata Dudung bahwa Rohim sedang menahan tawa.
 
"Iya, makasih ya, bang. Emak juga minta disampein makasihnya. Tatik jamin, abang puas deh sama kerja Apok. Pasti orderan anter barang bakal makin lancar. Tatik balik dulu ya, bang Dudung," Tatik berpromosi sambil pamitan, ditambah senyum malu-malu.
 
“Balik ya, bang Dudung,” Apok menambahi.
 
“Salamlekum…”
“Kumsalam…”
 
Maka, berlalulah dua kakak beradik itu, masuk ke dalam pelukan gelapnya malam. Meninggalkan Rohim yang iseng mencuil-cuil dagunya yang tak apa-apa, sambil memonyong-monyongkan bibirnya—sikap sebal karena tak dianggap ada oleh duo yang baru saja berlalu. Meninggalkan Dudung yang makin merasa dipojokkan. Gara-gara yang dua itu, dan emaknya yang kehadirannya diwakili oleh pisang goreng sedap itu, sudah menancapkan ultimatum tak kasat mata.
 
"Coba itu. Penampilan fisik nggak ada bagusnya, hati juga nggak baek, udah gitu nggak bisa bedain kopi dan kolak! Gulanya sekilo kali buat kopi segelas kecil gini," Rohim berkata.
 
Diangkatnya gelas isi kopi sampai tepat di depan matanya. Dipandanginya dengan seksama.
 
"Lu jadiin dia bini, sebulan diabetes lu!" sambil tertawa disiramnya isi gelas ke tanah di samping pos ronda.
 
Dudung cuman bisa nyengir.
 
"Emak ama anak koq beda bener ya. Warung kopi si emak kalo sampe jatoh ke tangan si Tatik, seminggu tutup pasti tuh".
 
Dudung tetap hanya bisa nyengir.
 
“Dung, perempuan tu nggak cuman Tatik doank,” kata Rohim lagi.
 
Berbagai kata mutiara dan nasihat terus dikeluarkan Rohim. Membuat Dudung merasa ingin lenyap saja ditelan bumi. Maka, legalah hatinya ketika Muhajir muncul.
 
Muhajir datang sendirian, sambil membawa selembar papan kayu lapis yang satu sisinya bercat merah. Disampirkannya papan yang berukuran sekitar 50x70 cm itu di samping gardu ronda, sebelum ia naik ke panggung gardu.
 
Apa’an tuh, Jir?” tanya Dudung, lega karena bisa mengalihkan perhatian.
 
“Papan triplek, nemu di jalan. Mayan dah, buat nambah-nambahin kayu api di dapur,” jelas Muhajir.
 
Dudung tiba-tiba menjadi serius memandangi papan itu. Didekatinya, diangkatnya si papan dan diamatinya lekat-lekat dengan penuh minat.
 
“Jir, papan bagus nih. Buat gue aje ye,” tanya Dudung.
 
“Buat apaan? Eh ada kopi nih…” sahut Muhajir.
 
Belum sempat Dudung dan Rohim memperingatinya, Muhajir sudah keburu menyereruput kopi bawaan Tatik.
 
“Puaaah, kopi apa kolek neh…,” disemburnya kopi dari mulutnya ke luar pos.
 
Dadang dan Rohim tertawa.
 
“Kopi dari mana sih ini? Ajegile…” protes Muhajir.
 
“Anteran si Tatik sama adeknya tadi,” kata Rohim sambil diam-diam melirik Dudung yang buru-buru mengalihkan lagi pandangannya ke papan merah.
 
“Pantes! Heran gue, tu anak ama emaknya beda banget ya tangannya buat urusan gini”.
 
“Itu dah…” sahut Rohim sambil mencomot pisang goreng. “Tapi, ini pisang goreng bikinan emaknya nih, sedep! Kurang kopi aje. Eh, Mana si Imin?”
 
“Mampir ke rumahnya, ambil kopi di bininya,” jawab Muhajir.
 
“Alhamdulilah, bakal ada kopi bener juga akhirnya,” Rohim berkata lega.
 
Sejenak keheningan melingkup gardu ronda itu. Keheningan yang tak kaku seperti tadi.
 
“Jir, ni papan boleh gue minta?” Dudung bertanya lagi.
 
“Buat apaan? Mau gue kasih ke bini gue buat tungku di rumah tuh”.
 
“Buat nulis doa di truk gue,” jawab Dudung serius.
 
Sudah lama sebenarnya Dudung berencana untuk bikin tulisan di truk, seperti banyak yang dilakukan oleh truk-truk lainnya. Niatnya adalah, menuliskannya di sebentuk papan yang lalu dipasang di truk-nya.
 
“Kenapa nggak lu tulis langsung aja di truk-nya?” tanya Rohim.
 
Kan itu buka truk gue. Juragan udah bilang kalo mau nulis-nulis atau gambar-gambar, boleh saja. Asalkan jangan langsung di truknya. Pakai saja papan trus digantungkan, katanya. Teman-teman sesama supir melakukannya begitu juga,” jelas Dudung.
 
Ribed…,” ujar Rohim sambil menyuap potongan terakhir pisang gorengnya.
 
“Boleh ya, Jir?”
 
“Ambil dah…”
 
Senang hati Dudung. Papan ini pas betul dengan cita-citanya. Rencananya memang hendak memakai papan yang dicat merah. Kalau sudah dapat papan yang sudah merah begini, kan lumayan irit kerjaan. Tak perlu mengecat lagi. Sambil menyelam minum air. Dapat papan gratis sekaligus yang sudah berwarna sesuai dengan niatnya.
 
Kenapa harus merah? Semetara truk-nya berwarna hijau pucat. Sebab, merah adalah warna kesukaan Tatik.
 
“Pi kopi kopi kopiii…,” terdengar suara Imin mendekat.
 
“Naaah! Akhirnya datang juga kopi asli,” Rohim berkata sambil turun dari panggung pos ronda.
 
Disambutnya Imin yang terlihat agak repot. Membawa ceret kopi enamel batik hijau-putih di tangan kanan, dan ember plastik merah berukuran sedang di tangan kiri. Rohim meraih ceretnya.
 
“Awas masih panas. Bokin bikinin lontong sama apem. Ada di dalem ember ni bareng sama gelas buat ngopi. Waaah, ada pisang goreng! Dari mana?” seru Imin.
 
“Dari emaknya Tatik,” yang menjawab Muhajir.
 
“Sedap!”
 
Selanjutnya, malam berjalan dengan cukup menyenangkan, tentunya kalau kita menyingkirkan perasaan gundah Dudung. Sehabis ngopi segelas, giliran Dudung dan Rohim yang keliling.
 
Dengan cemas Dudung berjalan di sebelah Muhajir, namun untung baginya, Muhajir tak lagi mengangkat urusan Tatik dan Apok lagi.
 
Keesokkan paginya, akhirnya Dudung terpaksa memutuskan menerima Apok jadi kernetnya akibat tersudut.
 
“Sugguhan, bang?” tanya Apok.
 
Dudung yang masih mengantuk, mengangguk. Subuh tadi dia baru balik dari ronda. Jam tujuh rumahya sudah digedor oleh Apok, yang menuntut jawaban.
 
Sungguh, sebenarnya Dudung belum benar-benar memutuskan. Tapi, sudah tak ada waktu lagi untuk menghindar. Anak keras kepala itu sudah menodong jawaban. Dan, pada akhirnya memang ia tak bisa menolak.
 
“Kalau saya bilang bohongan, bagaimana?” tanya Dudung seolah bercanda padahal akibat kesal karena tidurnya terganggu.
 
“Yah, jangan gitu donk, bang…” Apok bersungut.
 
“Ya sudah, beneran koq. Sana pulang dulu. Saya mau tidur lagi. Nanti saya ke warung emak sambil antar gelas kopi semalam ya,” Dudung mengusir.
 
“Siap! Siap!” Apok berkata dan kemudian bergegas meninggalkan rumah Dudung.
 
Dudung hanya bisa menghela nafas, lalu kembali ke tempat tidurnya. Sebelum terbawa kembali ke dunia mimpi, sekali lagi Dudung menghela nafas. Sungguh beruntung bahwa ternyata dia bisa melanjutkan tidurnya.
 
Resmilah Apok menjadi kernet Dudung selama sebulan ini. Selama itu, entah sudah berapa banyak nafas dihela Dudung sehubungan dengan Apok. Seperti yang dikhawatirkannya, Apok, anak muda berbadan atletis dan tinggi seperti pemain basket itu, ternyata tak bisa diandalkan. Sama sekali!
 
“Gara-gara emak marah-marah sama Apok. Dibilang Apok anak nggak bener, nggak bakal bisa dapat kerja kalo nggak ama emak sendiri,” cerita Apok penuh emosi, dalam salah satu perjalanan truk Dudung.
 
Koq terus kepikiran jadi kernet?” tanya Dudung.
 
“Usulnya mpok Tatik. Katanya, pas bener bang Dudung lagi nggak ada kernet. Terus, kata mpok Tatik, pasti bang Dudung nggak bakal nolak kalo Apok ngelamar,” lanjut Apok.
 
Koq yakin saya nggak bakal nolak?” Dudung bertanya heran.
 
“Iya donk, kan saya adiknya mpok Tatik hehehe…”
 
Deg! Tertohok betul ulu hati Dudung. Semakin jelas, sebagaimana yang selama ini dicurigainya, bahwa Tatik mempergunakan kesempatan untuk memojokkannya. Supaya Apok bisa menjadi kernetnya. Tatik benar-benar tahu bahwa Dudung akan sulit untuk menolak Apok karena ia naksir Tatik.
 
“Hehe…,” Dudung mendengus sebab tak tahu harus berkata apa.
 
“Ya tadinya Apok mikir juga, berat nggak kerjaannya. Apok kan nggak punya pengalaman. Tapi, mpok Tatik bilang ngernet kan kerjaan enak. Tinggal duduk aja di sebelah kang Dudung. Dapet makan juga. Bisa jalan-jalan ke Jawa. Digaji pula. Bener semua ternyata kata-kata mpok Tatik hehehe…,” Apok tertawa.
 
Dudung menelan ludah.
 
“Kamu suka kerja jadi kernet?” tanya Dudung, lebih karena tak tahu harus berkata apa.
 
“Suka! Asyik!”
 
Jelas asyik! Cuman duduk saja, selalu sibuk dengan ponselnya. Main medsos atau game, dengan earphone yang seringnya terpasang di telinga. Kalau disuruh melakukan sesuatu, selalu bilang “abang aja” atau “nggak ngerti, bang”.
 
Cukup sudah. Sepertinya, memang harus diputuskan. Lebih lelah mempunyai Apok sebagai kernet daripada tanpa kernet.
 
Hari ini, mereka baru kembali dari Indramayu. Mengantar macam-macam barang untuk kelompok nelayan di sana. Dudung benar-benar merasa lelah hati dan fisik, karena harus mengangkut turun barang-barang kiriman sendirian. Akhirnya, ia memutuskan bahwa sudah cukup. Ia harus memikirkan yang terbaik untuk, maaf saja, dirinya sendiri.
 
“Pok, besok ngapain? Sibuk nggak?” tanya Dudung.
 
Nggak tau deh. Paling kalo lagi nggak ngernet, ya di rumah aja maen ponsel. Sambil istirahat,” jawab Apok.
 
Dudung tersenyum kecil. Main ponsel memang keahlian Apok. Satu-satunya keahliannya yang sayangnya tak bisa diterapkan dalam pekerjaannya. Seperti saat ini, dan kemarin-kemarin, dalam perjalanan, Apok duduk saja di sebelah Dudung sambil main ponsel.
 
“Kenapa emangnya, bang?” tanya Apok tanpa mengalihkan mata dari ponselnya.
 
“Abang mau traktir”.
 
Adalah kata ajaib yang diucapkan Dudung! Kata yang berhasil membuat Apok mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
 
Beneran?” tanyanya dengan mata berbinar.
 
Beneran. Kita ke mall baru yang deket rumah yuk,” kata Dudung dengan tetap berkonsentrasi pada setir truk-nya.
 
“Waaah… Mau!!! Berdua aja, atau sama mpok Tatik?”
 
“Berdua aja”.
 
“Kalau mpok Tatik pengen ngikut, gimana?”
 
“Bilang aja ini acaranya cowoq-cowoq,” kata Dudung.
 
“Asyik…”
 
“Mau makan apa di sana, Pok?”
 
“Hmmm…, apa ya…. Di sana ada makanan Jepang kan. Apok sudah lama mau itu”.
 
Dudung menghela nafas pelan-pelan. Apok memilih makanan mahal. Tapi, ya sudah. Sekali ini saja tokh...
 
“Besok saya jemput di rumah jam 10 ya. Biar kita bisa jalan-jalan dulu di mall-nya sebelum makan,” Dudung menguatkan janji.
 
“Siap!”
 
Apok mengalihkan perhatiannya kembali ke ponselnya. Wajahnya tampak sumringah. Earphone kembali tercantel di telinganya. Perjalanan pulang pun diisi dengan kesunyian.
 
Masing-masing sibuk dengan konsentrasinya. Dudung pada setirnya, Apok dengan ponselnya. Mereka tiba di pangkalan truk sekitar jam lima sore. Lalu, pulang bergoncengan dengan motor Dudung, dan tiba di rumah Apok sebelum magrib tiba.
 
“Siap ya besok jam 10 saya jemput,” Duduk mengingatkan.
 
"Ma kasih, bang!" Apok berseru sambil melompat turun dari goncengan motor Dudung.
 
"Sip!" jawab Dudung.
 
Sambil menghela nafas, diamatinya bocah berumur delapan belas tahun itu, yang kini berlari girang masuk ke rumahnya.
 
“Lambat amat, bang, jam segini baru datang,” protes Apok keesokan harinya.
 
Dudung melirik jam tangannya. Pukul 09.40 pagi. Ada rasa heran dalam diri Dudung, karena tumben-tumben Apok sudah siap sebelum waktunya. Biasanya, pasti terlambat. Hmmm…, pasti karena terlalu senang berhubung hendak ditraktir makan makanan Jepang. Sehingga, jadi tak sabaran. Salah satu sifat Apok juga, kalau ada maunya, ia jadi tak sabaran.
 
“Bang Dudung curang, koq Tatik nggak diajak,” tiba-tiba Tatik keluar sambil merengut.
 
Deg! Jantung Dudung terasa terpukul sampai ke perut.
 
“Tatik kan juga mau makanan Jepang,” Tatik melenguh manja.
 
“Tenang aja! Lain kali pasti diajak koq! Ini kan khusus acara cowoq-cowoq. Lagian, ntar pasti dibeliin koq sama bang Dudung makanan Jepang, buat oleh-oleh mpok Tatik. Ya kan, bang?” Apok menyeruakkan usul.  
 
Dudung hanya tersenyum lemah. Seperti biasa, tak banyak kata keluar dari dirinya yang memang dasarnya pendiam dan cenderung menghindari konfrontasi. Apalagi saat berhadapan dengan Tatik si incaran hatinya.
 
Beriringan motor, Dudung dan Apok pun berangkat. Diantar Tatik yang tetap cemberut karena tak diajak.
 
“Kita pakai satu motor aja, Pok,” usul Dudung tadi.
 
“Baliknya Apok mau langsung ke rumah temen di Ciputat,” kata Apok.
 
Mall tujuan nan megah tampak sepi saja. Maklum, hari Selasa pagi. Jam kantor. Mungkin, makan siang nanti akan lebih ramai, pikir Dudung. Karena itu, sebelum jam 12 Dudung segera mengajak Apok makan, biar tak berebut dengan orang lain. Seperti yang direncanakan, mereka makan di restoran Jepang.
 
Sempat sih Dudung mengajak ke restoran yang lebih selera lokal. Tapi, Apok menolak. Hatinya sudah kuat untuk makan makanan dari negara matahari terbit itu. Memilih duduk di teras restoran, karena Apok perlu merokok.
 
Tetapi, tak hentinya Apok ngeluh karena gerah. Diajak pindah ke dalam, tak mau. Manja betul. Ya sudah… Terakhir…, terakhir…, bisik Dudung sambil menghela nafas.
 
Entah apa makanan yang dipesan Apok. Terlihat banyak sekali wadahnya.
 
“Enak?” tanya Dudung.
 
“Belum terbiasa aja,” jawab Apok sambil nyengir.
 
Dudung cukup pesan ramen. Sebab, baginya itu yang terlihat paling masuk akal. Mirip bakmi. Mereka makan sambil diam-diaman, seperti biasa. Dudung kan memang pendiam, sementara Apok selalu sibuk dengan ponselnya.
 
Sebelum makan Apok heboh foto-foto makanannya terlebih dulu. Sekarang, sambil makan ia pasang foto-foto itu di akun medsos-nya. Mukanya girang sekali! Earphone tetap tercantel di kuping.
 
Selesai makan, Apok langsung pesan sushi dan ramen buat Tatik. Tanpa tanya persetujuan Dudung. Kemudian, disuruhnya Dudung yang menjinjing tas plastik pesanan makanan.
 
"Kan oleh-oleh dari abang," katanya nyengir.
 
Dudung diam saja, hanya melakukan apa yang disuruh Apok..
 
Ngopi yuk, bang,” ajak Apok saat mereka beranjak meninggalkan restoran Jepang.
 
Dudung menangguk, tapi paham siapa yang akan kena membayar. Ngopi-nya di kafe franchise yang terkenal itu. Dudung pesan kopi hitam, gelas terkecil. Harganya besar. Hampir sepuluh kali harga kopi di warung emaknya Apok.
 
Sementara, Apok memesan entah minuman apa. Es kopi susu yang atasnya diberi busa kaku. Gelas terbesar, tentunya. Dudung hanya bisa mengeluh dalam hati saat membayar pesanan.
 
“Biarlah, anggap hadiah perpisahan,” bujuk Dudung pada dirinya sendiri.
 
Lagi-lagi, duduk di teras. Lagi-lagi, Apok foto-foto dulu kopinya. Dengan merek kafe di gelas diatur agar terlihat menantang. Lalu, ia sibuk dengan ponsel dan earphone-nya.
 
Sambil memainkan pipet pipih, Dudung menguatkan hatinya. Sesungguhnya, acara traktir ini bukan sekedar traktir biasa. Ada hal penting yang hendak Dudung sampaikan ke Apok. Sesuatu yang sepertinya akan mengubah hidup mereka berdua selamanya. Malah mungkin bertiga dengan Tatik.
 
Dudung menghela nafas sebelum membuka mulutnya.
 
“Pok…,” panggil Dudung.
 
“Hmmm?” jawab Apok tanpa melihat.
 
Dudung terdiam sejenak. Masih berusaha memilih kata-kata.
 
“Sementara, udah dulu ya jadi kernet saya,” akhirnya Dudung to-the-point.
 
Apok mengangkat kepalanya, matanya memandang heran ke Dudung. Dahinya berkernyit.
 
“Maksud abang?” Apok bertanya heran.
 
“Kamu udahan dulu jadi kernet saya”.
 
“Berhenti?” tanya Apok tak percaya.
 
Dudung menangguk.
 
“Eeeh…, koq gitu!?”
 
“Sepertinya, kamu nggak cocok jadi kernet, Pok”
 
Kenyataannya, dengan adanya Apok, bukan saja Dudung tetap harus kerja sendiri seperti sebelumnya. Tapi, dia juga harus melayani dan menjaga tuan muda manja yang banyak keinginan itu.
 
Apok kerap mengeluh saat makan di warung pada tempat-tempat peristirahatan atau rest area. Maunya di restoran. Untung saja Dudung selalu bisa menolak. Tapi, duh, hanya untuk urusan yang satu ini saja sudah sangat melelahkan mentalnya.
 
Dudung mengeluarkan amplop terlipat dari sakunya,
 
“Ini upah terakhir. Ditambah sedikit bonus”.
 
Diulurkannya amplop itu ke depan Apok. Diletakkannya di meja di sebelah kopi dingin pemuda itu. Apok memandang marah, tangannya menyambar amplop. Dibukanya—amplop memang sengaja tak dilem Dudung, karena tahu Apok pasti akan segera membukanya. Lalu, dihitungnya uang di dalam amplop. Sambil menghitung, mulutnya komat-kamit.
 
Dikit amat!” suara Apok menggelegar.
 
Berkata demikian sambil berdiri dengan kasar. Sampai suara kursi bergeser menderit memekakkan telinga.
 
Pengunjung memang tak terlalu banyak, tapi tak berarti tempat itu kosong. Semua orang langsung menghentikan percakapannya, menengok heran ke arah mereka. Tatapan mereka dirasa Dudung bagai mata pisau yang menancap ke punggungya,
 
Tau nggak! Pesangon orang di-PHK itu ada hitungannya! Dapetnya gede! Ini apa’an!”
 
Apok berdiri sambil berkacak pinggang.
 
“Bedalah, Pok. Itu kan orang yang udah kerjaan bulanan atau bahkan tahunan. Kamu kan, istilahnya, bantu saya baru sebulan”.
 
“Biar bantu, bukannya artinya gratisan kan!”
 
“Nah, itu kan saya bayar kamu,” Dudung menunjuk ke amplop yang sudah jadi remuk di genggaman tangan Apok yang penuh amarah.
 
Tiba-tiba Dudung merasa sangat muak. Ia menjadi tak perduli dengan segala sesuatunya. Tak perduli juga dengan urusan hatinya pada Tatik. Minatnya pada Tatik pun tiba-tiba menghilang begitu saja. Sambil tetap duduk, dipandangnya mata Apok dengan tegas.
 
“Tak puas? Mau dikembalikan saja? Sini!” kata Dudung sambil mengulurkan tangan kanannya.
 
Apok buru-buru memasukan amplop remuk itu ke kantong depan celana jeans-nya.
 
“E—enak saja, jerih payah orang koq ngnggak mau dibayar!!!” jawab Apok yang tiba-tiba jeri melihat perubahan aura Dudung.
 
Ia menjadi agak tergagap, tapi berusaha untuk tetap galak
 
“Ya sudah, duduk lagilah, Pok!”
 
“Enak aja nyuruh-nyuruh! Memang kamu siapa! Bener kata mpok Tatik!”
 
Deg! Jantung Dudung sekali lagi memukul keras. ia menjadi kesal pada dirinya sendiri, yang selama ini menganggap Tatik sebagai pujaan harinya.
 
“Kenapa nama mpok kamu bawa-bawa!?” tanya Dudung dengan sebal.
 
Gini ya, dia udah ingetin saya, kasih tau saya, bahwa bang Dudung itu murahan orangnya. Buktinya, jarang memberi hadiah ke mpok. Saat memberi, ‘nilainya nggak pernah nyampe ke warna biru duit, Pok, apalagi merah! Paling-paling ungu, mentoknya juga di hijau!’ gitu kata mpok,” Apok meleter sinis.
 
Dudung terperangah, tapi tak terlalu merasa heran. Harus diakui, bahwa dia jarang memberi hadiah apalagi yang mahal buat Tatik. Pertama, Dudung memang selalu terbatas dananya. Kedua, ia ingat kata-kata neneknya, “cinta itu jangan dibeli, Dung”.
 
Tapi, keterperangahan Dudung tak lama. Berhubung , hatinya sudah benar-benar menerima kenyataan bahwa ia harus melupakan Tatik.
 
“Jangan ngarep dapetin mpok Tatik, deh. Mana mau dia sama bang Dudung yang miskin gini!”
 
Dudung menghela napas, tapi sambil tersenyum kecil. Apok, yang masih tetap berdiri, membereskan gelas plastik es kopi-nya. Lalu, meraih kantong makanan restoran Jepang dari kursi di sebelah Dudung. Dimasukkannya wadah es kopi susunya ke situ.
 
“Kita putus hubungan! Abang jangan berani-berani deh deketin mpok Tatik lagi. Ini makanan bakal gue makan sendiri, dan gue bakal bilang ke mpok kalo bang Dudung ogah keluar duit buat oleh-oleh ke mpok. Padahal udah janji!”
 
Dudung menghela napas lagi, sambil tersenyum kecil menahan tawa. Ada dua hal yang lucu di sini. Pertama, yang mengumbar janji bawa oleh-oleh ke Tatik tadi adalah Apok. Kedua, Dudung sudah menduga bahwa Apok akan melakukan fitnah soal oleh-oleh. Tapi, semua sudah tak soal. Tak ada rasa sesal. Apalagi, meminjam istilah Rohim, “perempuan nggak cuman Tatik doank”.
 
“Dasar lelaki nggak guna!” serapah Apok.
 
Ia lalu beranjak pergi. Tangan kanannya menenteng tas plastik restoran Jepang. Baru beberapa langkah, ia berbalik lagi. Diulurkannya tangan kirinya ke arah Dudung.
 
“Minta uang parkir motor!” Apok memerintah.
 
Dudung, sambil menghela napas, mengeluarkan lima ribuan dari saku jaketnya.
 
“Ah dasar murahan! Ini mall, mana dapet segitu! Kasih duapuluhan!” Apok berkata marah, jari-jari tangan kirinya bergerak-gerak tanda tak sabar.
 
Dudung menghela nafas lagi. Rasa muaknya semakin membuncah. Dikeluarkannya dompet dari tas pinggang. Dimasukkannya uang lima ribuan itu ke dompet. Dompet lalu dimasukkan ke tas pinggang, dan resloting tas pinggang ditutupnya. Selesai.
 
Dudung melipat kedua tangannya, dipandangnya mata Apok tajam-tajam.
 
“Bayar saja sendiri!” kata Dudung tegas.
 
Apok terkejut lagi dengan ketegasan yang semakin mengental dari Dudung. Tapi, sampai di situ dia tetap tak mau mengalah.
 
“Dua puluhan!!! Kalau nggak kasih nanti gue…,” kata Apok.
 
“Nanti apa, hah!? Lima ribu juga nggak akan gue kasih,” potong Dudung tegas.
 
Apok terkesiap. Tanpa berucap apa-apa lagi, ia bergegas meninggalkan Dudung.
 
"Dasar murahan!" terdengar serapah terakhirnya.
 
Apok sudah berlalu, tapi suara bisik-bisik masih tetap terdengar. Di punggungnya masih juga terasa tancapan belati itu. Membuat Dudung tergoda untuk beranjak pergi. Tapi, kata-kata neneknya lagi-lagi jadi pegangannya.
 
“Jangan suka membuang makanan atau minuman. Berapapun harganya!”
 
Kopi mahal yang masih lumayan panas itu belum habis.
 
Tak lama lagi di kampung pasti akan beredar kabar bahwa Dudung memecat Apok gara-gara cintanya ditolak Tatik. Dudung sudah terlalu hafal kelakuan anak putus sekolah itu.
 
Namun, ternyata hatinya sungguh merasakan kelegaan yang luar biasa. Berkat sukses memutus tunas benalu dari hidupnya. Tak hanya satu, bahkan dua. Bukannya sedih, Dudung malah merasa enteng hati. Tak lagi mengharapkan Tatik ternyata memberi kedamaian yang dahsyat dalam diri Dudung.
 
Memutuskan untuk tak menghiraukan pandangan orang-orang di kafe itu, dihirupnya kopi. Direncanakannya pulang nanti akan mampir di toko bangunan Mulia Jaya. Membeli dua atau tiga kaleng kecil cat cap kuda terbang warna putih. Beserta kuasnya sekalian.
 
Diambilnya tisu bersih yang ditinggalkan Apok di meja. Dari tas pinggangnya, dikeluarkannya sebatang bolpoin. Ditorehkannya alat tulis itu di kertas tisu. Sehingga terciptakan sebentuk tulisan. Tulisan yang nanti akan digoreskan dengan cat putih cap kuda terbang, di papan warna merah yang didapatnya dari Imin sebulan lalu.
 
CINTA TAK MENGENAL WARNA KULIT
TAPI MENGENAL WARNA DUIT
 
Dari pelantang suara mall mengalun suara John Lennon, menyanyikan Love is Real. Dudung tak mengenal siapa itu John Lennon, tak paham juga kata-kata dalam lagu itu. Tapi, entah mengapa, dia merasa lagu itu seperti ditujukan untuknya. Memberinya semangat. Senyum penuh optimisme pun merekah lebar di bibirnya.   =^.^=
 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.