AL INSAN ABDUL IHSAN
Manusia Budak kebaikan, ungkapan itu benar. Siapa yang mampu memenuhi hasrat orang lain dengan jalan kebaikan, tinggal tunggu, orang itu akan menjadi budak. Seperti Badar, bajingan yang hampir mati dikeroyok masa karena menjambret, kini berubah menjadi orang baik, dermawan dan sukses gara gara diselamatkan seorang tukang pijat. Ikuti cerbung ini, semoga ada manfaat.

ISTRIMU BAIK TAPI TAK SETIA~
Saya masih tertunduk, malu. Setelah menelanjangi diri sendiri dihadapan Badar.
"Badar, Gue minta maaf sudah nuduh loe tanpa dasar, serius, gue minta maaf."
"Santai Bang Alif, gue udah biasa dituduh macem macem, santai aja, gue memang pantes dituduh begitu, ya Abang taulah, gue ini bajingan tengik, sama sekali nggak, nggak gue ambil hati."
"Maaf Dari, sejak kapan Loe rawat Emak, dan siapa orang orang itu?"
"Baru sekitar empat bulan, Bang." Wajah Badar gelap, Ia menghisap rokoknya dalam dalam seperti hendak menyedot semua beban berat.
"Alhamdulillah Dar, gue seneng Loe sadar gini, dua orang tua laki laki itu, siapa loe.?"
"Makasih Bang, mereka orang tua temen yang abang lihat di atas tadi." Badar menghembuskan asap rokok, asapnya keluar namun beban berat nampak jelas tertinggal di raut wajahnya. Seperti ada yang ingin ditutupi.
Saya melihat semua dengan jelas, itu semakin merangsang rasa ingin tahu. Sekaligus cari jalan untuk membantu yang tak menyinggung perasaan. Sebab Badar sekarang tampak beda sekali dengan Badar dahulu.
"Gimana ceritanya mereka bisa ada di sini, apa memang tinggal di sini, termasuk semua temen loe itu juga?"
"Iya Bang, mereka semua tinggal di sini, sembilan orang termasuk gue, intinya Bang, kita sudah bersumpah akan merawat orang tua kita sampai mereka meninggal, cuma itu yang bisa kita kerjakan Bang, sebagai balas budi sekaligus permohonan ampun kami."
Wajah Badar agak ditundukkan ketika bicara, sebagian rambut gimbalnya menutupi wajah. Namun saya melihat jelas, air mata Badar akan tumpah. Penyesalan sangat dalam, itu pasti.
Mendengar dan melihat semua itu, membuat saya sangat kaget. Saya tahu sekali siapa Badar. Pangkat bajingan itu terlalu mulia untuknya. Usia kami hanya beda beberapa tahun, Ia lebih muda, mungkin sekarang menginjak usia dua puluh limaan.
Darimana Badar punya perasaan untuk balas budi dan minta ampun. Ia itu penjahat. Pastilah ada peristiwa besar yang telah menghantam hidup Badar, sehingga Sang Kuasa ridho memberi hidayah. Sungguh beruntung bajingan ini.
"Dar, gue bangga dengernya, apa yang bikin loe bisa berubah begini?"
Air mata Badar tak tertahan, Ia mendongakkan wajah bersamaan dengan jatuhnya setetes air dari sudut mata.
"Ceritanya gak penting Bang, malu kalau diceritain, intinya gue diangkat anak sama pak Urip tukang pijet, Dia yang nolong hidup gue, dia yang ngenalin gue sama Alloh, dan sampai detik ini gue belum jadi orang baik Bang."
Meskipun Badar tidak mengatakan, namun saya bisa melihat dengan jelas rasa syukur yang terpancar dari wajahnya.
***
"Bang Badar, emak manggil Abang,"
Suara istri Badar terdengar cempreng, mengagetkan lamunan kami. Badar langsung berdiri dan berjalan cepat menuju emaknya, saya mengikuti dari belakang.
"Ada apa Mak, ini Badar, Emak perlu apa?"
Emak Badar tidak menjawab, namun sedikit mengangkat tangan memberi kode bahwa ingin bangun dari tidur.
"Mungkin emak minta di cebokin Bang, kayaknya emak pipis, kainnya basah."
Istri Badar coba membantu menjelaskan, namun tangan Emak masih bergerak memberi tanda agar dibangunkan.
Perlahan dan hati hati Badar membangunkan emaknya sampai duduk.
Setelah itu Badar bertanya lagi.
"Ada apa Emak nyariin Badar, Emak mau apa?"
Sungguh pemandangan yang mengiris perasaan, tubuh emak Badar kurus kering bak tengkorak hidup. Rambutnya yang putih tinggal tipis dan kusut. Wajahnya pucat keriput, matanya tertutup, nafas tersengal sebagian lewat mulut, disekitar bibirnya menempel butiran butiran nasi bekas makan yang belum selesai.
Kaus kampanye yang melekat di tubuh emak basah di bagian punggung perut, kain bawahnya lebih basah. Benar, kelihatanya emak Badar ngompol. Kaus bagian depan yang ada gambar Presiden juga basah, wajah Presiden basah oleh kuah makanan.
"Ganti kaus sama kain dulu, Mak, sekalian di lap, ya?"
Istri Badar mencoba membantu lagi. Mulut emak bergerak membuka seperti ingin bicara. Sementara Badar memandangi emaknya sambil tetap menahan tubuhnya agar tidak jatuh, sementara istrinya bergeser kebelakang emak untuk membantu menahan.
"Engga... Engga usah ganti, Emak mau ngomong sebentar... Engga usah ganti... Badar."
Suara emak mendesis parau, kering.
"Iya, Mak, ini Badar dengerin, emak mau minta apa?"
Badar membenarkan badan, sekarang Ia berdiri di atas kedua lutut tepat di hadapan emak. Sementara emak sudah terlihat lebih nyaman setelah Badar menurunkan kedua kaki dan duduk di pinggiran Dipan. Kedua tangan Badar diletakkan di atas kedua paha emak.
Saya semakin terpana menyaksikan semua itu, betapa sikap Badar tampak begitu hormat dan taat ketika menatap emaknya yang renta. Sementara kedua pria tua di sisi sana tetap melanjutkan makan, hanya melihat saja tanpa reaksi apapun, seolah itu kejadian biasa saja.
"Badar, tolong dengerin emak."
"Iya, Mak."
"Emak punya anak dua, kamu dan Melur kakakmu, dulu emak berharap ketika tua akan dirawat oleh kakak perempuanmu itu, tapi emak kecewa, setelah nikah dia seperti orang asing, emak kecewa, emak dulu nggak ngarepin kamu karena sejak kecil kamu liar, nakal, "
"Ampun... Mak, Badar minta Ampun, jangan ngomong gitu Mak, ampun... Mak,"
Badar menjatuhkan diri, bersujud, kepalanya tepat di bawah kaki emak, rambut gimbalnya jatuh menutupi wajah, kaus yang dikenakan tersibak, menampakkan semua tato di punggungnya, Badar menangis tersiak isak. Sementara emak kondisinya nampak semakin payah, napasnya berat.
"Badar,"
"Iya Mak, ampun Mak,"
"Sekarang, emak, tau, kamu sudah menjadi malaikat, emak terimakasih dan nerima kamu, emak, ikhlas, emak redho kamu jadi anak baik, emak sudah minta ampun ke Alloh untuk kamu, emak sayang, emak bilang ke Alloh, kalau kamu jadi bajingan lagi, emak ikhlas masuk neraka, biar, Alloh masukin, kamu ke surga,"
"Ampun Mak, sudah Mak, jangan ngomong lagi, ampun Mak,"
Badar tetap dalam posisi sujud, suaranya setengah meraung seperti orang kesakitan. Tak kuat, air mataku tumpah juga, jatuh ke lantai yang sama dengan lantai sujudnya Badar. Saya tak punya kata kata untuk menggambarkan suasana ini, rasa ini.
Ruangan remang, pengap, pesing, orang orang renta, bajingan dan entah siapa saya. Dari tempat itu terucap kata kata dari mulut emak, bak mutiara yang bersinar terang menyeruak diantara kebusukan.
"Badar anakku, emak redho, dan untuk istrimu ini,"
"Iya Mak, ampun Mak,"
"Istrimu sangat baik dan telaten mengurus emak selama kamu tidak di rumah, berjanjilah, bayar dia satu juta satu hari dan selama dia mengurus emak,"
"Iya Mak, Badar janji,"
"Badar, jangan takut kamu tidak mampu membayar, kamu akan jadi kaya,"
"Iya Mak,"
"Bayar istrimu, lunasi, dan ceraikan dia, dia baik tapi dia tidak setia, tanya anjing tua itu,"
Tangan emak menunjuk salah satu pria tua dalam ruangan. Sementara istri Badar terkejut seperti disengat listrik, mulutnya menganga, pucat. Seketika turun dari Dipan dan berlari keluar melewati muka saya.
Badar berdiri dan menyergap tubuh emak yang ditinggal pergi istrinya, saya pun melompat mendekat. Tubuh emak nyaris jatuh, untung tertangkap, kemudian direbahkan oleh Badar.
Napasnya memburu, mengorok.
Kini tubuh emak kembali tidur terlentang, sementara Badar berusaha meletakan bantal di kepala emak, saya membantu membetulkan posisi kaki dan menutupi dengan kain basah oleh ompol, dan sekarang tercium bau kotoran menyengat.
Dalam suasana itu terdengar Emak menyebut nama saya, saya mendekati kepala emak bersama Badar.
"Kamu Alif anak Haji Ali?"
"Iya Mak, saya Alif,"
"Emak titip Badar,..."
"Alloh... "
Setelah itu kepala emak terkulai, ke arah kanan. Tiba tiba keheningan bicara, tenang, diam, bisu, kaku.
Sebuah peristiwa akan terjadi kapan saja, tak bisa dikira. Terserah Sang Takdir bagaimana akan membuatnya.
Mante
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.