Aku dan Dia

Aku dan Dia
Pict by google

Andai aku menjadi dia. Oh, sungguh nikmat tak terganti. Setiap bulan terima gaji. Tanpa harus kebingungan makan apa esok hari. Baju bersih tiap pagi. Bau wangi. Rambut tersisir rapi. Sepatu mengkilap melengkapi. 

Hidup teratur. Terlihat makmur. Rencana terstruktur. Semua bisa di atur. Tinggal banyak bersyukur. Betapa dia dijatuhi nikmat yang susah di ukur.

Aku melihatnya lebih banyak ongkang kaki. Terlebih saat tanggal merah atau cuti  menghampiri. Sabtu dan minggu bisa bersantai sepenuh hati. Terkadang, bersama keluarga tamasya kesana kemari. Banyak tempat bisa dikunjungi.

Sedang aku? Lebih sering bertelanjang kaki. Berkutat dengan kebun dan padi sedari pagi. Pulang ketika mentari terbenam di sore hari. Tak butuh baju rapi, bau wangi, apalagi sepatu masa kini.

Aku hanya perlu menyusuri pematang. Menerjunkan diri di tengah padi yang di bawahnya terdapat air menggenang. Lalu garangnya mentari akan membakar kulitku menjadi serupa arang.

Andai aku jadi dia. Tak perlu bersusah payah. Bisa digdaya. Terlihat mempesona. Rumah megah. Berkendara roda empat kemana-mana.

"Mari, Pak." Dia menyapaku ramah sembari klakson dibunyikannya.

"Mari, mari," balasku tak kalah ramah sembari mengangkat tangan sebelah.

Dia tersenyum. Aku tersenyum. 

Ekor mataku mengikuti laju kendaraannya hingga berbelok di tikungan. Betapa hidupnya terlihat nyaman. Pasti di tempatnya bekerja juga berlimpah penghormatan.

----

Andai aku menjadi dia. Oh, sungguh nikmat tak terperi. Bebas jadi diri sendiri. Berangkat ke ladang sesuka hati. Tak perlu baju rapi. Hemat minyak wangi. Tak berjibaku dengan kemacetan sepanjang hari.

Sepertinya dia tak punya cicilan. Pasti juga bebas setoran. Hidup berkecukupan, aman tanpa beban. Tak perlu sesekali pulang membawa setumpuk pekerjaan.

Konon, hanya garam dan sedikit bumbu dapur yang di beli. Selebihnya swasembada dari hasil sendiri. Lumbung padi penuh terisi. Ikan tinggal menangkap di sungai. Sayur mayur petik secara mandiri.

Sedang aku? Pekerjaan selalu menumpuk. Setoran dan cicilan bertubi-tubi menimpuk. Walau tidur di kasur empuk, jarang kurasa nyaman berkelana di pulau kapuk.

Rela bekerja di bawah tekanan. Pasrah di arahkan walau kadang bertentangan dengan prinsip dan tujuan. Berpakaian rapi adalah tuntutan. Kendaraan merupakan kebutuhan.

Andai aku jadi dia. Pasti tak perlu kadang bermuka dua. Bisa swasembada. Terlihat gemah ripah. Rumah luas sederhana. Menghirup udara bebas sepuasnya.

Aku dan dia hanya di pisahkan jalan. Rumah kami berhadapan. Bisa saling melihat ritme kehidupan.

Aku bersiap berangkat ketika pagi. Dia masih asyik menyesap kopi. Ketika kupulang petang hari dengan lelah bertubi. Dia lagi-lagi menghirup aroma kopi sangat menikmati.

"Mari, Pak." Aku menyapa ramah sembari kubunyikan klakson tak lupa.

"Mari, mari," balasnya tak kalah ramah sembari mengangkat tangan sebelah.

Dia tersenyum. Aku tersenyum.

Kulirik melalui kaca spion. Dia lanjut dalam zona nyaman. Menikmati kudapan. Tenang tanpa beban.

-kumala-

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.