Vincent
Sacré Coeur, yang berdiri tegak di atas bukit Montmartre, selalu menjadi tempat pelarianku saat hatiku membuncah tak menentu karena rindu. Sacré Coeur selalu menyajikan kenyamanan bagiku, aku bisa mengunjunginya kapan saja aku mau.
Menapaki pelan-pelan anak-anak tangga Rue Foyatier sambil menggenggam sebotol Kronenbourg mulai mengendorkan pikiranku yang semakin kaku. Terkadang aku hanya duduk di puncak tangga sambil membiarkan pikiran dan pandanganku berlari liar tanpa menghiraukan Centre George Pompidou yang melambai lambai dari jauh.
Bayang kerinduan senyum bapak dan ibu yang menantikan kelulusanku menyikat habis kecerianku hari itu. Kuhabiskan sisa Kronenbourg yang tadinya penuh. Masih terpaku duduk di puncak anak tangga di hadapan Sacré Coeur yang menatapku tajam dengan keperkasaannya, aku masih jenuh.
“Bonjour” aku dikejutkan oleh suara berat seorang laki-laki berperawakan kurus dengan berewok di wajahnya yang tampak sedikit lusuh seperti baru bangun tidur.
“Bonjour” jawabku malas karena aku sebenarnya sedang ingin sendiri saja dalam dekapan Sacré Coeur. Itu sebabnya pagi-pagi aku sudah berlari ke sini karena tak ingin ada yang ikut campur.
“Je suis Vincent”, katanya tanpa peduli aku berminat menjawab atau tidak dan melanjutkan ngobrol dengannya. Terus saja dia berceloteh tentang dirinya. Katanya dia seorang pelukis. Katanya sudah dua tahun dia tinggal dekat sini bersama adiknya Théo. Katanya dia ingin pindah ke Arles di Selatan Prancis sebentar lagi. “Capek dengan sibuknya kehidupan di Paris”, itu katanya. Suaranya yang keras memaksaku mendengar setiap kata yang dicelotehkannya walau aku tak mengerti mengapa dia begitu antusias menyampaikan semua itu dan aku hanya ingin menjadi pendengar saja.
“Vous pourrez venir chez moi si vous voulez voir mes peintures.” Vincent menutup celotehannya dengan mengundangku ke tempatnya untuk melihat hasil lukisannya. “Théo ne l’aime pas. Mais ça fait rien. N’oubliez pas. La Rue Lepic numéro 54. À bientôt. Ciao!” Tuntasnya sambil bangkit dan berjalan ke arah Timur. Entah kemana. Yakin sekali aku akan datang ke tempatnya walau adiknya tak suka. Ah sudahlah, kulanjutkan pagi itu dengan kesendirianku saja.
***
Hari ini selesai sudah semua tugas dan ujian akhirpun sudah tuntas. Aku putuskan kembali ke atas menjumpai Sacré Coeur sehingga aku bisa berteriak lepas.
Sepulang dari kampus aku langsung menuju stasiun métro Montparnasse Bienvenüe untuk ke Montmartre. Kali ini aku akan berhenti di stasiun Anvers saja supaya lebih cepat. Biasanya kupilih turun di stasiun Métro Abbesses karena dekat situ ada Le Mur des “Je t’aimes”, Dinding cinta dalam berbagai bahasa dunia yang seolah menyambutku setiap kali aku ke sana.
Udara sejuk sore ini mengantarkan langkahku menuju café La Crémaillère 1900 yang berada di Place du Tertre tak jauh dari Sacré Couer. Aku suka sekali tempat ini. Interiornya yang dihiasi lukisan-lukisan bergaya belle epoque, cantik sekali. Tak usah bicara banyak tentang menu, enak sudah pasti. Dan denting suara piano yang dimainkan langsung selalu membuatku betah berlama-lama di situ, rasanya tak ingin beranjak pergi.
“Un déca et tarte tatin s’il vous plaît,” dan dengan sigap pelayan mencatat pesananku: kopi dan kue tarte tatin. Kuseruput kopi tanpa gula sepenuh jiwa. Tarte tatin yang manis memadukan rasa yang sempurna. Gerak gerik para seniman yang bertebaran di Place du Tertre seperti lukisan hidup di depan mata. Suatu senja yang paripurna.
Kulihat di kejauhan ada sosok seorang laki-laki yang melambaikan tangannya memanggilku. Wajahnya tak asing. Vincent, laki-laki kurus, lusuh, dan berewokan yang becerita padaku di tangga minggu lalu. Ah! Kenapa tak kukunjungi saja dia dan melihat hasil karyanya. Tak ada salahnya kan?
Kutinggalkan ampas kopi dan tarte tatin yang tak bersisa. Kucari Vincent yang melambaikan tangannya. Tak ada. Kemana dia? Cepat sekali perginya.
Pasti dia menungguku di Rue Lepic. Pasti dia ingin segera memamerkan lukisan-lukisannya padaku. Ya sudah kususul saja. Aku masih ingat: Rue Lepic nomer 54.
Kususuri jalan coblestone Rue Lepic yang cukup lebar dan panjang. Hari yang mulai gelap tak menggoyahkan niatku untuk mengunjungi Vincent. Mumpung ada lowong waktu. Langkahku terhenti di sebuah bangunan tua dengan pintu biru. Nomor 54. Benar ini dia.
Namun sebuah plat membuatku tercekat. Terpampang disana:
Dans cette maison Vincent Van Gogh a vecu chez son frère Theo de 1886-1888
(Di rumah ini Vincent Van Gogh tinggal bersama saudaranya Theo dari tahun 1886-1888)
Bassura, Jumat, 20 Maret 2020 (10 hari menjelang hari lahir Vincent Van Gogh)
Catatan:
1. “Je suis Vincent” : Saya Vincent.
2. “Vous pourrez venir chez moi si vous voulez voir mes peintures.”: Datanglah ke tempatku kalau kau ingin melihat hasil karya lukisanku.
3. “Théo ne l’aime pas. Mais ça fait rien. N'oubliez pas. La Rue Lepic numéro 54. À bientôt. Ciao!: Théo tidak suka. Tapi tak apalah. Jangan lupa La Rue Lepic nomor 54. Sampai nanti. Daag.
4. Un déca et tarte tatin s’il vous plaît: Satu kopi decafein dan satu kue pai tarte tatin.
5. Le Mur des “Je t’aimes”: Dinding I love you.
6. Belle Epoque: Masa kejayaan Prancis dan Eropa sebelum pecah perang dunia pertama yang penuh optimisme, perekonomian yang baik sehingga banyak karya dihasilkan dalam berbagai bidang termasuk seni dan budaya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.