Surat dari Kamoy: Tipi si Kuping Satu

Surat dari Kamoy: Tipi si Kuping Satu
Halo Nina, selama siang. Sudah bangun, belum? Lama ya kita tak berkabar. Sudah banyak yang terjadi di Jembatan Pelangi ini nih, sebagaimana juga pasti di duniamu, kan? Hanya saja aku tak sempat berkabar. Biasalah, aku kan kucing sibuk…
 
Anak cantikmu si kuping satu, Tipi, sudah tiba dengan selamat. Kupingnya masih tetap satu. Sebetulnya, karena dia dilahirkan dengan dua daun kuping, di sini dia bisa memiliki daun kuping yang lengkap seperti saat ia dilahirkan. Tapi...
 
"Aku terbiasa berkuping satu selama hidupku di bawah sana. Jadi, tak perlulah ada dua di sini," ucap Tipi.
 
"Hmmm..., benar juga. Wah, rasanya aku nggak bisa membayangkan seperti apa bila kamu bertelinga dua," kataku sambil menerawangkan mata ke atas, mencoba membayangkan penampilan Tipi bila ia punya sepasang daun telinga utuh.
 
"Tuh, kan! Kalau aku datang ke sini berkuping dua, Abang Kamoy pasti nggak akan ngenalin aku!" seru Tipi. Ada pancaran kelegaan saat ia berseru itu.
 
Eh ni anak... Lucu sekali!
 
"Satu daun atau dua, pasti aku akan mengenalimu. Kamu kan adikku, kita hidup bersama 6 tahun lamanya," sergahku.
 
Tipi memandangku dengan tak percaya.
 
“Kalau aku tak mengenalimu, ya pasti aku adalah abang yang payah, bukan?” ujarku lagi.
 
“Begitu ya, Bang?” tanyanya untuk meyakinkan dirinya sendiri.
 
“Ya iya, begitu, donk…,” kataku sambil menoyor halus kepalanya yang bertelinga satu itu.
 
Nah, begitulah, Nina, anak itu tetap bertelinga satu. Jadi, kamu nggak usah penasaran dan repot-repot membayangkan rautnya yang bertelinga dua ya...
 
Dia itu cantik seperti masa mudanya dulu. Tubuh kurus penuh luka-luka kecil yang bahkan sampai mulai berbelatung, seperti saat terakhir ketika kau bawa dia ke dokter, sudah tidak ada lagi. Kulitnya kencang, tiga warna tak jelasnya sungguh tampak cerah. Loreng macannya yang cenderung abu-abu tak pekat, tegas seperti dulu. Sebentuk obi—meminjam istilahmu, Nina—yang melingkari perut sampai ke punggung atas, jingganya tampil ceria seperti dulu juga.
 
Perut bagian bawahnya juga sama seperti dulu, menggelambir sehat—satu-satunya bagian tubuhnya yang tak singset kencang. Menggantung bagai janggut tapi di perut, kalau jalan gondal gondel ke kiri ke kanan macam bandul jam kakek.
 
Membaca uraianku di atas, kamu pasti jadi teringat Tipi pada masa muda dulunya itu kan? Nah, dia persis seperti itu sekarang ini, di sini ini.
 
Sifatnya juga sama persis. Lebih sering asyik main sendiri, bergulat dengan ganas melawan boneka atau bola. Seolah itu adalah hasil buruannya. Dibanting keras sampai gaduh terdengar suara bletakan. Entah itu suara kepalanya yang terpentok benda kayu, atau suara bonekanya yang menghantam lantai. Ya, suaranya persis suara yang dulu sering membuatmu terkaget-kaget. Suara keras ketika Tipi ‘berkelahi’ dengan mainannya, sampai kepalanya terantuk tempat tidur kayu-mu yang sekarang sudah hancur dimakan rayap.
 
Kalau ada yang mendekati mau ikut main, Tipi akan ngegereng, memungut mainannya dengan congornya, memandang sebal, lalu ngeloyor menjauh. Ya, sikap antisosial-nya juga sama. Bahkan, padaku dia bersikap begitu juga. Aku diamkan saja, toh pada saat butuh dia akan mendekatiku. Biasanya, kalau sudah lelah bermain dan ingin istirahat, dia mendatangiku. Membanting badannya di sebelahku, menyundul-nyundul kepalaku sampai aku menjilat-jilati pucuk kepalanya.
 
Ya, persis seperti dulu waktu kami masih hidup bersamamu, Nina. Cerita lama…
 
Kalau saja Tipi berkuping dua, tak akan ada yang berbeda pun. Meski, penasaran juga aku ingin melihatnya berkuping dua sebetulnya. Pasti kamu juga kan, Nina? Dulu dokdud yang bilang ya, bahwa ada ciri-ciri yang menandakan bahwa dia lahir dengan cuping kuping yang lengkap. Sepertinya, dugaan dokdud benar.
 
Sampai hari ini, Tipi masih sering kudapati melamun dengan sedih.
 
"Teringat Nina, ya?" selalu kutanya demikian.
 
Sebelum menjawab, dia pasti akan mendesah.
 
"Iya. Aku merasa dia jadi sedih akan kematianku. Dia pasti selalu terbayang kondisi fisikku terakhir yang kurus dan luka-luka. Dan, hidungku yang terakhir dilihatnya sudah berkerak hitam, gara-gara aku menghilang beberapa hari lamanya, sehingga ingusku nggak pernah bisa disekanya. Nina suka sekali menyeka ingus di hidungku, Bang. Bikin aku jadi sebal. Tapi, kini aku rindu akan kelakukannya itu," desah Tipi sedih.
 
Nah, lihat kan, Nina? Kesedihanmu ternyata memberati Tipi. Dia jadi tidak tenang. Sudah kujelaskan padamu kan, bahwa Tipi sekarang cantik seperti dulu. Jadi, jangan khawatir. Tenang saja! Kalau kamu makan, sekarang kan jadinya aman. Nggak ada yang menyosor sembarangan ke piringmu untuk menyambar tahu goreng-mu.
 
Dia juga sudah bahagia di sini. Sudah ketemu dengan abangnya, Tempi, dan saudara-saudaranya yang lain yang berangkat mendahuluinya. Termasuk dengan si kembang telon yang namanya sungguh aku lupa. Yang itu tuh, yang disteril bersama-sama dengan Tipi di Puskeswan Ragunan dulu itu. Satu-satunya anak yang boleh ikut bergulat dengan Tipi saat si kuping satu itu menghajar mainannya.
 
Hahaha, kamu juga lupa kan namanya si kembang telon itu? Nanti juga pasti kita akan ingat lagi...
 
Maka, santai sajalah kamu di dunia, Nina. Biasakanlah tidur tanpa Tipi. Kan ada yang lain yang juga bisa jadi kawan tidur. Asal kau tahu, Tipi itu selalu ada di dalam hatimu. Bersama-sama kami semua yang sudah berada di Jembatan Pelangi.
 
Jangan khawatirkan Tipi. Meski cenderung antisosial, dia sudah berkenalan dan berteman dengan anak-anak di sini. Waktu dia tiba di Jembatan Pelangi, dia jalan bersebelahan dengan satu anak kembang asem. Buntutnya bundel, seperti bobcat yang kucing Jepang itu lho...
 
"Ini Om Charlie," Tipi memperkenalkan si kembang asem padaku.
 
Wah, sudah akrab sampai-sampai langsung memanggilnya om!
 
"Usianya 12 tahun".
 
Waduh, aku saja hanya 10 tahun hidup di dunia.
 
"Dia meninggal entah pada hari yang sama denganku, atau sehari sesudahku," tambah Tipi.
 
Ah, payah nih si Tipi...
 
Anak itu, Charlie, tampak sedih. Ia pasti terkenang dengan mami-papinya di dunia.
 
"Aku anak Mama Miu dan Papa Daniel," kata Charlie perlahan. "Tadinya kami tinggal di Jakarta, tapi kemudian pindah ke Bandung," jelasnya lebih rinci.
 
Kupandangi Charlie yang tampak sehat itu, mencoba menduga kira-kira sakit apakah ia. Hmmm..., ah, ya tentu saja kalau sudah di sini tak ada lagi sakit. Jadi, kami semua sangat sehat di sini!
 
"Selamat datang di Jembatan Pelangi, Charlie. Di sini kamu tak sakit lagi. Kamu bebas berlarian dan bermain. Semua yang ada di sini hanya senang saja. Meski, untuk yang dulunya peliharaan seperti kamu dan aku, akan kekurangan sesuatu yang sangat penting: tak ada lagi mama-papa kaki dua-nya," jelasku dengan sebijak-bijaknya.
 
"Tak ada Mama Miu, tak ada papa juga...," bisik Charlie.
 
"Akan ada waktunya kita bisa bertemu dengan para kaki dua itu. Di sini tempat kita menunggu mereka sampai waktunya. Jelas, ya?"
 
Charlie mengangguk pelan. Seperti Tipi, dia masih harus membiasakan diri hidup 'sendirian' di Jembatan Pelangi ini. Tapi, jangan khawatir, mereka akan segera terbiasa, dan akan segera bisa mengenang masa-masa indah hidup di dunia dengan tersenyum bahagia. Kelak, rasa rindu kepada para kaki dua, akan menjadi hal yang justru terasa sangat berharga.
 
Maka, kamu juga harus terbiasa hidup tanpa Tipi ya, Nina. Mama-papanya Charlie juga. Mereka mungkin akan lebih tenang bila tahu bahwa Charlie baik-baik saja. Maka, Nina, kalau kau bertemu dengan Mama Miu, sampaikan bahwa Charlie sangat baik-baik saja. Meski kebahagiannya tak lengkap, karena pawrent-nya tak ada di Jembatan Pelangi.
 
Sampai di sini ya, aku mau tidur dulu. Sampai di lain kabar…  =^.^=
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.