Sebut Saja Aku Pekerja (Bahasa dan May Day)
Sebagai penulis yang pasti memperhatikan setiap kata, kita menyadari bahwa bahasa itu tidak netral. Sebagaimana dikatakan para pakar, bahasa itu sebuah produk budaya yang telah melalui proses sejarah dan perubahan sosial, serta tak lepas dari pengaruh unsur-unsur politik maupun ekonomi.
Tanggal 1 Mei adalah Hari Buruh Sedunia. Mengapa disebut hari buruh dan bukan pekerja? Kalau melihat di KBBI daring, buruh didefinisikan sebagai: orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja. Contoh yang diberikan adalah buruh/pekerja pelabuhan; buruh/pekerja tambang. Pekerja didefinisikan sebagai: 1. orang yang bekerja; 2. orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan. Jadi buruh dan pekerja itu sinonim; bahkan buruh dan pekerja itu sinonim dengan karyawan. Namun, tampaknya, kata-kata tersebut digunakan dalam konteks berbeda.
Terutama kata buruh, sering juga pekerja, cenderung dilekatkan pada pekerjaan-pekerjaan manual berupah rendah, sedangkan seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut cenderung disebut karyawan. Misalnya, buruh pabrik, buruh atau pekerja bangunan, karyawan hotel, atau karyawan bank. Jangan lupa, ada juga kata pegawai yang dalam KBBI daring didefiniskan sebagai: orang yang bekerja pada pemerintah (perusahaan, dan sebagainya). Jadi ada kelas-kelas dalam dunia kerja, padahal isu-isu yang diangkat pada Hari Buruh banyak yang juga mencakup kepentingan mereka yang lazim disebut “karyawan” atau “pegawai”.
Aksi Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2023 (AP News)
Kalau melihat undang-undang ketenagakerjaan, sama seperti KBBI, siapapun yang bekerja dan mendapat imbalan atas pekerjaannya adalah buruh/pekerja. Berarti sama saja, karyawan yang bekerja untuk mendapat imbalan upah adalah buruh. Namun, karena dipengaruhi unsur-unsur sosial-budaya, umumnya karyawan tidak ingin disamakan dengan buruh.
Saat merdeka, Undang-Undang Kerja Tahun 1948 juga menggunakan istilah buruh. Sejak masa pemerintahan Soekarno, Hari Buruh Sedunia pun dirayakan setiap tahun (meski sempat dilarang pada masa Orde Baru). Mungkin karena sejarah ini, ketika kembali boleh dirayakan, istilah yang digunakan tetap Hari Buruh, bukan Hari Pekerja. Mungkin juga dengan menggunakan kata buruh, istilah itu menekankan perhatian pada pekerja-pekerja yang marginal dan cenderung diabaikan hak dan perlindungannya, meski berbagai isu yang mereka suarakan juga relevan bagi pekerja lainnya.
Bagaimanapun, tak dapat dipungkiri bahwa makna sosial-budaya dan juga politis telah mereduksi buruh menjadi sebagian dari pekerja, padahal buruh sebenarnya mencakup semua orang yang diberi upah atas pekerjaannya. Seperti “buruh”, “karyawan” pun berhadapan dengan pemberi kerja atau pemilik modal dan juga rentan diperlakukan sewenang-wenang atau tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Kata lain yang juga terkait pekerja dan peringatan Hari Buruh Sedunia, yang biasa disebut May Day, adalah kata “pembantu” dalam frasa “pembantu rumah tangga”. Perlindungan terhadap pekerja (bukan pembantu) rumah tangga adalah salah satu isu yang diangkat pada May Day tahun ini. Setelah 19 tahun, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga resmi menjadi RUU usul inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Implikasinya, istilah pembantu rumah tangga merupakan istilah yang perlu ditinggalkan. Kalau belum, mulai sekarang gunakanlah istilah PRT–pekerja rumah tangga.
Aksi mendukung UU PRT (Konde.co)
Pembantu menurut KBBI daring adalah: 1. orang (alat dan sebagainya) yang membantu; penolong; 2. orang upahan, pekerjaannya (membantu) mengurus pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, menyapu, dan sebagainya). Mengapa pembantu menjadi pekerja? Tentunya karena istilah pekerja memberikan kepastian hukum sebagai orang yang bekerja dan berhak mendapatkan upah atas kerjanya. Memang ada profesi yang kita kenal sebagai pembantu rektor, pembantu dekan, bahkan di KBBI daring ada pembantu editor. Namun, kata pembantu yang melekat pada frasa rumah tangga memiliki makna yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya yang mempertahankan hubungan-hubungan kuasa yang feodal.
Sebagaimana telah dibahas oleh beberapa pakar sebelumnya, kalau dilihat dari sejarahnya, makna pembantu rumah tangga adalah perubahan bentuk dari apa yang disebut “babu” dan “jongos” pada masa kolonial. Dalam KBBI daring, babu disebut sebagai bahasa percakapan yang berarti perempuan yang bekerja sebagai pembantu (pelayan) di rumah tangga orang; pembantu rumah tangga; penata laksana rumah tangga, sedangkan jongos adalah pembantu rumah tangga (laki-laki); pelayan; bujang. Namun, pada masa penjajahan Belanda, babu dan jongos tak lain adalah bentuk perbudakan karena mereka dipekerjakan secara paksa.
Praktik pelayan rumah tangga yang serupa perbudakan babu dan jongos tentunya sudah menjadi bagian dari budaya nusantara sebelum kedatangan Belanda. Contohnya adalah abdi atau empu yang dipekerjakan sebagai hamba di keluarga-keluarga kerajaan. Muatan makna sosial-budaya yang berasal dari sejarah panjang feodalisme dan kolonialisme sangat mewarnai istilah pembantu rumah tangga sehingga memengaruhi pandangan dan penghargaan terhadap pekerjaan tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Sampul buku "Panggil Aku Kartini Saja." (Wikipedia)
Selain itu, kata pembantu ini juga lengket sekali dengan rumah tangga karena pekerjaan mengurus rumah tangga cenderung tidak dianggap sebagai pekerjaan. Bahasa keren yang digunakan oleh para pakar untuk menggambarkan kerja rumah tangga seperti merawat anak, mencuci, dan memasak–yang notebene pada umumya dilakukan oleh perempuan dalam keluarga–adalah unpaid care work, pekerjaan perawatan yang tidak berbayar. Suatu pekerjaan biasanya dinilai dengan uang karena menghasilkan produk atau jasa yang bisa dilempar ke pasar, maka kerja-kerja domestik (terkait kerumahtanggaan) cenderung diberi penghargaan yang lebih rendah dan dianggap bukan “pekerjaan”. Tak heran kalau kedengarannya lebih pas “pembantu” karena urusan rumah tangga dianggap bukan “kerja” seperti di sektor formal, maka pelakunya pun secara sosial-budaya dianggap bukan pekerja sungguhan.
Makna sebuah kata memang kompleks karena dipengaruhi oleh sejarah, muatan sosial-budaya, konteks ekonomi, dan unsur politis (hubungan-hubungan kuasa), sebagaimana dalam contoh istilah pembantu rumah tangga. Namun, seperti yang sering dikatakan, language is power–bahasa dapat memanipulasi ataupun memotivasi. Ibaratnya, kalau Kartini sebagai seorang dari keluarga ningrat yang tentu juga memiliki pelayan-pelayan, pernah menulis dalam suratnya kepada sahabat penanya, aktvis Belanda Estella Zeehandelaar, “Panggil aku Kartini saja–itulah namaku” yang menunjukkan keinginannya untuk menghapuskan hubungan-hubungan feodal, tentunya seorang pekerja rumah tangga bisa juga bilang, “Sebut saja aku pekerja–itulah aku.”
Gambar utama: Andy Chilton (@andyc) | Unsplash Photo Community
Sumber:
Data Tempo (2013) ‘Dia Minta Dipanggil Kartini Saja.’ https://www.datatempo.co/MajalahTeks/detail/ARM20180612164414/dia-minta-dipanggil-kartini-saja (Diakses 1 Mei 2023).
United Nations ESCAP (2021) Addressing unpaid care work in ASEAN. https://youtu.be/kO49f87kk-8 (Diakses 1 Mei 2023).
VOI (2020) ‘Sejarah “Babu”: Istilah yang Lahir dari Rahim Perbudakan Kolonial.’ https://voi.id/memori/8682/sejarah-babu-istilah-yang-lahir-dari-rahim-perbudakan-kolonial (Diakses 1 Mei 2023).
Wiandani, Tiasri (2016) ‘Kisah Pekerja Rumah Tangga, Dari Masa Kolonial Hingga Masa Kini.’ Konde.co. https://www.konde.co/2016/03/kisah-pekerja-rumah-tangga-dari-jaman.html (Diakses 1 Mei 2023).
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.