REUNI BERSAMA CINDY

Saking hebohnya mengurus anak dan sekaligus bekerja sebagai Tour Leader, saya sampai lupa bersosialisasi. Bahkan membuka Facebook saja sering tidak sempat. Beberapa kali saya mendapat direct message dari teman di social media tapi umurnya sudah 2 minggu bahkan sebulan, sehingga saya merasa message tersebut sudah terlalu kadaluwarsa untuk dibalas.
Karena itulah ketika Group SMA saya di Facebook hendak mengadakan reuni, saya bertekad untuk menyempatkan diri untuk datang. Sebetulnya saya kurang suka sama reuni. Bukannya saya tidak senang bertemu dengan sahabat lama, bukan begitu. Saya senang ketemu teman-teman jaman dulu tapi jangan di acara reuni.
Ada alasan sendiri kenapa saya mempunyai pemahaman seperti di atas. Beberapa kali ikut reuni, sering saya mendengar kata-kata yang membuat tidak nyaman. Misalnya beberapa perempuan ada yang ngomong, “Eh, liat tuh Si Ita. Tampangnya udah tua banget ya?”
Yang lain menimpali, “Iya betul. Waktu kejam sekali sama dia. Tampangnya udah kayak nenek-nenek sekarang.”
“Udah kayak Nenek Lampir,” celetuk yang lain lagi.
“Hihihihiihihihi….!!!!” Lalu pecahlah ketawa mereka seakan tidak menyadari bahwa semuanya juga mengalami proses penuaan yang sama.
Sebaliknya bila mereka melihat salah seorang teman yang nampak awet muda, penilaiannya tetep saja negatif. Misalnya, “Eh, liat tuh si Sarah! Kok nggak berubah ya, mukanya? Pasti operasi plastik, tuh!”
“Ya, pastilah! Liat aja kulit mukanya nggak wajar. Tarikan mukanya kaku,” sahut yang lain tidak mau kalah.
“Setuju! Minimal dia botox. Nggak mungkin orang bisa muda terus kayak gitu.”
Kalau ada yang gemuk, celaan pun muncul lagi, “Liat tuh, Si Martha, udah kayak gentong berjalan, tuh.” Lalu disusul dengan suara cekikikan.
Kalau ada yang langsing? Sama saja. “Dia pasti sedot lemak, tuh. Pasti lakinya tajir. Tajir tapi tua dan jelek.”
“Hihihihihi….!” Cekikikan lagi.
Tapi karena sudah terlalu lama tidak bersantai, saya pergi juga menghadiri reuni itu. Acaranya diadakan di sebuah restoran di bilangan Jakarta Selatan. Karena mbaknya Cindy sedang pulang kampung, Cindy saya bawa ke reuni tersebut. Untunglah beberapa teman juga membawa anak sehingga saya bisa berharap Cindy tidak merasa terlalu kesepian.
Karena ini reuni kelas, bukan reuni sekolah, maka yang datang juga tidak banyak. Cuma sekitar 18 orang. Dulu kelas kami berisi 45 pelajar. Tapi meskipun cuma segitu, kelompok kami berisiknya bukan main. Maklum sebagian besar yang datang adalah perempuan, jadi tidak heran heboh suaranya lebih besar dari kehebohan materi yang dibicarakan.
Acaranya sih sebenarnya tidak terlalu berkesan tapi lumayanlah sebagai variasi dari rutinitas hidup. Menjelang bubaran acara, saya mendapati Cindy sedang sendirian asyik bermain puzzle di PSP-nya. Sementara anak-anak yang lain bergerombol di sudut yang lain.
“Cindy..!” panggil saya tapi dia terlalu asyik dengan gadgetnya untuk menyahut.
“Cindy…!!!” panggil saya lebih keras. Tapi Bidadariku tetap saja tak bergeming.
“Cindy…!!! teriak saya dengan suara menggelegar, sekarang barulah anak saya menengok dan tersenyum manis sekali.
“Autis kamu belom sembuh ya, Sayang? Dipanggil dari tadi kok ga nyaut-nyaut?” omel saya padanya.
Belum sempat saya melanjutkan kalimat, sekonyong-konyong seorang teman, namanya Susana, menghardik saya dengan suara judes, “Yo! Kamu nggak boleh ngatain anak kamu auitis. Autis itu bukan kata yang pantas! Tauk!!!”
“Eh, kenapa kamu jadi marah?” kata saya kebingungan.
“Autis itu bukan bahan becandaan. Kamu harus berempati sama orangtua yang anaknya autis. Gimana perasaan mereka kalo denger kamu ngomong kayak tadi?”
“Loh? Kenapa kamu yang sewot? Emang anak kamu autis juga?” tanya saya semakin tidak mengerti.
“Saya nggak punya anak. Kamu seharusnya malu. Saya yang nggak punya anak aja bisa berempati pada orang tua yang anaknya autis.”
Kemudian perempuan bawel ini memberi saya ceramah tentang teman kantornya yang punya anak autis, tentang tetangganya yang punya anak autis, tentang iparnya yang juga punya anak autis. Entah kenapa tiba-tiba perempuan ini mendadak banyak sekali mempunyai kenalan orang autis. Pokoknya dia bercerita bagaimana perjuangan dan sulitnya orangtua yang memiliki anak autis.
Setelah kehabisan kata-kata, saya balik bertanya, “Kalau saya bilang, kamu jangan teriak-teriak nanti orang lain ‘jantungan’. Tidak boleh ya?”
“Maksudnya?” tanya Susana kebingungan.
“Karena kata ‘jantungan’ bisa membuat orangtua yang memiliki anak sakit jantung bisa tersinggung? Gitu kan?”
“Eh, iya bisa…eh, lain dong konteksnya…” sahut Susana tergagap.
“Kalau saya bilang, ‘Kalo kamu bikin saya kesel, saya bisa stroke’ Gimana? Kasihan sama orangtua yang punya anak stroke?”
Susana terdiam.
“Seandainya saya bilang ‘Kamu makannya banyak, kamu cacingan ya?’ Nggak boleh juga, kasihan orangtua yang anaknya cacingan?’ Begitu?”
“Yah nggak gitu juga sih, tapi… hmm gimana, ya?” Susana masih kebingungan. Tampaknya dia kehabisan akal harus menjawab apa.
Tiba-tiba Cindy menghampiri kami dan langsung menggenggam tangan ibunya. Saya peluk dia sepenuh kasih sayang, sementara Susana menatap Cindy dengan mata berselidik.
“Eh iya, Cindy kenalin temen Mama. Namanya Tante Susana. Ayo salaman?” kata saya.
Susana langsung mengulurkan tangannya, “Halo Cindy, kenalin, saya Tante Susana.”
Tapi Cindy tidak membalas uluran tangan temen saya. Matanya menatap ke arah langit-langit seakan-akan ada sesuatu yang jauh lebih menarik daripada berjabatan tangan dengan seorang perempuan yang tidak dikenalnya.
“Cindy, inget kata Mama. Kalo ada yang mengajak salaman kita harus apa? Masa tantenya dicuekin?” kata saya.
Perlahan Cindy mengangkat tangannya. Keraguan yang membukit membuat gerak tangannya semakin perlahan dan perlahan.
Karena tidak sabar, Susana langsung meraih tangan Cindy. Anak saya kaget dan hampir menarik kembali tangannya, untunglah dengan cepat dia berhasil menenangkan diri dan bersalaman.
Walaupun sudah bersalaman, mata Cindy tidak menatap ke Susana. Dia tetap fokus pada langit-langit yang entah ada apanya yang menarik.
“Cindy… ingat kata Mama. Kalo salaman mata harus ketemu mata. Ayo, liat mata Tante Susana,” kata saya mengingatkan.
Tapi Cindy masih terus memandang langit-langit.
“Cindy, ingat kata Mama. Mata ketemu mata…”
Cindy masih tak bergerak.
“Cindy, autis kamu belom sembuh, ya?” tanya saya lagi.
Mendengar ucapan saya, Cindy menyahut, “Sudah, Ma.” Selesai berkata begitu, matanya berpaling ke mata Susana.
Susana terkejut melihat kelakuan Cindy dan kaget mendengar saya mengulang kata autis lagi. Tapi saya tidak peduli dan terus memperhatikan anak kesayangan saya.
“Cindy,” kata anak saya menyebut namanya dengan artikulasi yang hampir sempurna.
“Susana,” sahut temen saya. Dia semakin kebingungan, matanya menatap Cindy lalu beralih menatap saya kemudian beralih lagi ke Cindy.
Akhirnya Susana tidak tahan untuk tidak bertanya, “Yo, anak kamu…Cindy…anak kamu…”
“Iya Sus. Anak saya Autis, kalau itu yang kamu mau tau.”
“Aduh maap sekali, Yo. Saya nggak tau…”
“Iya, nggak apa-apa. Ini bukan kejadian yang pertama kali, kok.”
Sebetulnya saya sangat bersyukur melahirkan di Amerika. Saat Cindy berusia 3 bulan, Dokter Kenneth, dokter anak yang menangani Cindy sudah menangkap gejala autis pada anak saya. Menurut Dokter Kenneth, Cindy tidak responsif.
Ketika saya mau pulang ke Jakarta, Dokter itu menyuruh saya untuk memantau apakah ada masalah pada perkembangan kemampuan verbal dan non-verbalnya. Apakah minatnya sangat terbatas dan apakah dia menganggap orang lain sebagai makhluk asing yang sulit dipahami.
Mendekati usia setahun, semua omongan Dokter Kenneth terbukti. Perkembangan verbal Cindy sangat lambat. Minatnya hanya tertuju pada benda bundar yang berputar seperti kipas angin, roda mobil, kincir angin. Hobinya cuma satu, memecahkan puzzle. Itu sebabnya di rumah banyak sekali mainan yang semua berupa puzzle. Dan seperti kata Dokter Kenneth, dia selalu tidak nyaman dengan orang asing. Sulit sekali baginya untuk bersosialisasi. Jangankan dengan orang lain, bahkan kadang dengan saya pun dia kadang-kadang enggan bertatapan mata.
“Aduh, anak kamu yang autis tapi malah saya yang sok tau, pake nasihatin kamu segala. Aduh maaf, Yo,” ratap Susana lagi.
“Santai aja. Saya nggak terganggu, kok,” hibur saya.
Tiba-tiba Cindy menukas, “Kita pulang yuk, Mama? Beli puzzle lagi ya, Mama…”
“Iya Sayang,” kata saya sambil menoleh ke Susana, “Yuk ah, Sus. Saya duluan ya.”
“Loh, kok buru-buru? Kita ngobrol dulu yuk, sambil ngopi?” ajak Susana. Pasti dia ingin mengorek-ngorek lebih jauh tentang Cindy.
“Sorry, Sus. Besok saya harus ke Eropa, bawa turis Indonesia.”
“Oh begitu. Okay deh. Maaf sekali lagi ya? Demi Allah saya nggak tau..,” sahut Susana.
“Kamu nggak perlu minta maaf,” kata saya,“kamu tau nggak?”
“Apa?” tanya temen saya.
“Seandainya kamu menggunakan kata ‘autis’ sebagai bahan becandaan di depan kami, saya nggak akan marah.”
“Loh? Orangtua lain yang saya kenal kok marah?”
“Kalo itu terserah masing-masing. Tapi saya nggak akan pernah marah. Saya mau ngebiarin Cindy terbiasa dibilang autis. Saya pengen kata autis akhirnya tidak berarti apa-apa buat saya dan Cindy.”
Susana terdiam, sepertinya dia sedang berpikir keras.
“Saya nggak mau, cuma gara-gara autis, anak saya harus diistimewakan. Apa bedanya autis dengan sakit lain seperti jantung, terbelakang, leukimia dan lain sebagainya? Buat saya sama aja.”
Susana masih belum mengatakan sepatah kata pun.
“Saya single parent. Saya tau, saya ga bisa melindungi dia terus menerus. Daripada terus-menerus dilindungi, lebih baik saya melatihnya supaya tangguh dan bisa melindungi dirinya sendiri.”
Susana semakin menyimak.
“Saya ingin suatu hari nanti kata ‘autis’ sama sekali tidak mampu melukai siapa pun. Seperti kata ‘Jantungan, Stroke dan Cacingan tadi.” kata saya tersenyum seraya menepuk pundak temen saya sebagai akhir percakapan.
Sambil berpegangan tangan, Cindy dan saya berjalan menuju parkiran.
Bersambung
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.