Deskripsi itu ngebosenin

Dalam penulisan, kita mengenal istilah deskripsi (penggambaran) dan narasi (penceritaan). Banyak penulis suka alergi sama deskripsi. Buat mereka deskripsi itu membosankan. Hmmm…gak salah juga, sih. Kenapa saya bilang gak salah? Karena cerita yang bagus adalah cerita yang mengggugah emosi. Dan unsur emosi itu ada di narasi, bukan di deskripsi. Itu sebabnya penulis suka ogah-ogahan menulis deskripsi. Padahal deskripsi itu gak kalah penting dengan narasi.
Saya akan kasih contoh sebuah tulisan:
“Anton murka bukan main. Dia masuk ke ruangan bossnya dan membanting pintu dengan keras sehingga bossnya yang sedang berdiskusi dengan sekretarisnya kaget bukan main.
Anton menghampiri bossnya dan memaki-maki dengan suara keras. Dia memprotes keputusan atasannya yang tidak jadi mengangkatnya sebagai marketing director tapi malah merekrut orang luar untuk menduduki jabatan itu.
Sang Boss sangat murka melihat kelakuan Anton. Sambil menunjuk wajahnya dia balas membentak dan mengusir anak buahnya untuk segera pergi meninggalkan kantornya.
Bukannya menuruti omongan Sang Boss, Anton meraih stick golf yang terdapat di pojok ruangan. Dengan ganas dia menyabetkan golf tersebut ke cangkir kopi yang berada di atas meja. Belum puas dengan perbuatannya, Anton kembali menghantamkan stick golf tersebut ke sebuah lemari di sudut ruangan sampai copot salah satu pintunya.
Si Boss ketakutan bukan main. Dia langsung bersembunyi di bawah meja dengan wajah panik. Sementara Sang Sekretaris berteriak histeris sambil menghambur ke luar ruangan untuk menyelamatkan diri.”
_______________
Coba baca tulisan di atas. Lalu gambarkan ke saya, kira-kira Anton seperti apa orangnya? Berapa umurnya? Tinggi atau pendek? Ganteng atau jelek? Kumisankah? Jenggotan? Kurus atau gemuk? Kulitnya item apa putih? Pake baju apa? Rambutnya lurus atau keriting? Pake dasi atau nggak? Kalo pake dasi warnanya apa?”
Nah, ribet juga, kan?
Bingung, kan? Ternyata kita butuh deskripsi. Ternyata deskripsi itu sangat penting. Kalo di di dunia perfilman, deskripsi itu disebut dengan sinematografi. OK, sekarang kita coba membuat deskripsi tentang tokoh Anton. Misalnya:
“Anton adalah seorang staff di sebuah perusahaan multinasional. Usianya sudah hampir 40 tahun Meskipun demikian badannya sangat atletis karena sering melakukan fitness. Kumis dan jenggotnya nampak keren karena baru dirapikan tadi pagi. Tingginya sekitar 174 cm. Saat itu dia memakai celana hitam, baju putih dan dasi merah….”
Ngebosenin gak, Guys? Ya, iyalah! Bukan cuma ngebosenin tapi juga memutus emosi dari cerita yang sedang berjalan. Tapi masalahnya, suka gak suka, deskripsi itu harus ada. Jadi gimana, dong? Ok begini: Kalo kalian merasa deskripsi di atas membosankan, kita harus menyiasatinya. Caranya? Gampaaaaang!
Kalian bisa menyelipkan deskripsi di sela-sela narasi. Dengan cara demikian, deskripsi tidak lagi terasa membosankan. Bahkan tulisan kita juga terlihat semakin kaya.
Contoh:
“Anton murka bukan main. Giginya menggeretak sehingga membuat kumis dan jenggotnya nampak bergerak-gerak. Kulitnya yang putih kini nampak merah padam karena menahan murka. Kakinya yang kukuh karena sering fitness melangkah memboyong tubuhnya yang bertinggi 174 cm menuju ruangan Bossnya.
Dia masuk ke ruangan dan membanting pintu dengan kasar.
BRAK! Boss yang sedang berdiskusi dengan sekretarisnya kaget bukan main.
“Anton! Masuk yang sopan ya!” Si Boss menegur bawahannya.
Anton menghampiri Sang Boss dan membentak dengan suara menggelegar, “Kenapa, Bapak tidak jadi mengangkat saya jadi Marketing Director? Hah??!!! Bapak sudah janji!!!”
Melihat kelakuan Anton tentu saja Sang Boss murka bukan main, “Anton!!! Jangan kurang ajar! Keluar kamu dari sini!!!”
Bukannya menuruti omongan Sang Boss, Anton meraih stick golf yang terdapat di pojok ruangan. Dengan ganas dia menyabetkan stick golf tersebut ke cangkir kopi yang berada di atas meja.
Belum puas dengan perbuatannya, Anton kembali menghantamkan stick golf tersebut ke seluruh ruangan sampai porak poranda sambil melolong, “Whoaaa!”
“Sekuriti!! Panggil sekuritiiii!!!!” Si Boss ketakutan bukan main.
BRAAAK!!! Sekali lagi stick golf dupukulkan ke lemari sehingga pintunya copot.
“Anton!!! Kamu jagan gila!!!!” Kali ini Pak Boss tidak berani mengambil risiko. Dia langsung bersembunyi di bawah meja dengan wajah panik.
“Whooooooaaaa!!!!” Anton terus mengamuk seperti orang gila.
BRAAAK!!! Sekali lagi stick golf dupukulkan ke meja sampai membuat retak permukaannya. Cangkir kopi yang terdapat di sana pecah berantakan sementara isinya membasahi baju putih dan dasi merah yang melingkar di lehernya.
“Waaaaaaaa.. Toloooong! Toloooong!!!!!” Si Sekretaris berteriak histeris sambil menghambur ke luar ruangan untuk menyelamatkan diri.
_______________
Coba baca tulisan di atas. Sekarang deskripsinya tidak begitu terasa karena sudah menjadi bagian dari narasi. Begitulah cara menyiasati deskripsi. Karena ditempatkan di sela-sela narasi, kita bisa menulis deskripsi tanpa harus memutus unsur emosi dalam cerita tersebut.
Oh, ya, satu lagi. Kalo kalian perhatikan, saya memasukkan kalimat langsung dalam cerita di atas. Kenapa demikian? Karena emotional moment dalam sebuah cerita akan lebih terasa dengan menggunakan kalimat langsung. Secara psikologis, tanda baca dalam kalimat langsung akan membuat pembaca merasa peristiwa tersebut terjadi real time.
Jadi begitu, Guys. Deskripsi dan narasi itu seperti tuts piano. Yang putih adalah narasi. Dan yang hitam adalah deskripsi. Banyak pemain piano, terutama yang baru belajar, suka sebel kalo mainin lagu yang banyak tuts itemnya. Ribet! kata mereka. Tapi setelah banyak berlatih, mereka menyadari tuts yang hitam juga diperlukan agar musik yang kita mainkan keindahannya sempurna.
Begitu juga dalam penulisan. Banyak penulis yang suka alergi sama deskripsi. Padahal deskripsi itu penting. Seperti tuts piano yang berwarna hitam, deskripsi akan membuat tulisan kita menjadi kaya dimensi.
Saran saya berlatihlah terus tentang narasi dan deskripsi. Keduanya seperti sekeping uang logam dengan dua sisi. Salah satu sisi gak ada maka koin tersebut menjadi tidak berharga.
Ketika deskripsi dan narasi berpadu secara sinerji maka jangan heran kalo tulisan kalian akan menjelma menjadi master piece!
Selamat mencoba!
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.