PINGGIR BANG!
"Baaaang kiri!" jeritku. Eh angkot tetap melaju.

PINGGIR BANG!
"Baaaang kiri!" jeritku. Eh angkot tetap melaju.
"Baaaaaaang kiri," jeritku lebih panjang sekali lagi sambil menggerutu. Eh tak berhenti juga. Akupun mulai panik. Rumah mertuaku makin jauh di belakang sana. Sudah kelewatan nih pikirku. Lalu tiba-tiba, "Pinggir bang!" jerit penumpang di sebelahku. Dan benar saja. Angkot pelan tapi pasti akhirnya berhenti.
Aku segera bangkit menuju pintu keluar sambil menundukkan kepala. Lalu seorang ibu menimpali, "Kakak harusnya bilang pinggir. Jangan kiri. Ini Medan kak," O iya, aku lupa. Beberapa kosakataku masih terbawa ala Jakarta. Aku jadi malu. "O iya kak, makasih ya," balasku.
Lalu sambil menyerahkan ongkos aku pura-pura protes ke supir, "Abang inilah. Dah dari tadi aku suruh berhenti, gak berhenti juga. Jadi kejauhan aku kelewatan turunnya."
"Oo iya ya kak? Baru kudengar ada yang teriak pinggir. Tak apa-apalah kak, gratis kok kak sejauh apapun kakak ikut naik. Lumayan gak kosong kali angkotku," katanya.
"Jadi gratis nih ceritanya?" tanyaku memastikan.
"Naik gratis, turun bayarlah kak," sahutnya sambil tertawa kecil.
"Alaaah abang inilah, macam betul aja." Eh makjang keluar pula gaya medanku jadinya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.