PERJALANAN TERAKHIR #3

PERJALANAN TERAKHIR #3

Sabtu keesokan hari. Saya terbangun jam 12 siang. Kepala mau pecah rasanya. Pertemuan dengan Dimas tadi malam begitu menyenangkan sehingga kami lupa diri dan minum terlalu banyak. Saya gak inget tepatnya berapa gelas karena bill saya tadi malam direbut oleh Dimas. Pokoknya banyak banget, deh. Benar kata pepatah jaman dulu: Bertemu dengan teman sejati, seribu kati arak rasanya tidak pernah cukup. Bertemu dengan orang yang menyebalkan, satu cangkir saja rasanya sudah kebanyakan.

Hang over yang saya alami kali ini sangat parah. Saya merasa sakit kepala, mual, mau muntah, perut kembung, mulas sehingga saya memutuskan untuk menenggak Alka Seltzer, obat andalan saya ketika minum terlalu berlebihan. Alka Seltzer adalah tablet effervescent yang dilarutkan dalam air hangat sebelum diminum. Proses mengonsumsinya kira-kira samalah kayak Redoxon.

Sebelum mandi, saya mengambil HP di meja kerja dan mengecek-ngecek media sosial yang saya ikuti. Facebook, Twitter, TikTok, Youtube, Instagram dan lain-lain. Tidak ada kabar baru di sana. Ketika saya membuka WA, ada banyak sekali pesan. Kebanyakan dari group WA. Kalo pesan di group, sering saya abaikan karena selain banyak banget, sebagian besar isinya tidak penting. Misalnya stiker-stiker yang berbunyi ‘Selamat Week End’. Ada juga yang mengirimkan jadwal sholat dan ada yang sekedar mengucapkan ‘Selamat Pagi’ dengan me-mention seluruh member di group. Ck...ck..ck...rajin amat, tuh, orang.

Yang saya dahulukan adalah message japri terlebih dulu. Di sana saya menemukan pesan dari Dimas, bunyinya, “Bud, kayaknya besok gue gak bisa ke Prestige. Kalo lo ke sana, salam aja buat Mirsya, ya. Thanks, Bro.”

Saya tersenyum membaca pesan itu dan membalas pesan Dimas, “Bro, gue lupa cerita sama lo. Mirsya bilang dia naksir elo. Dan gue merestui hubungan kalian berdua. Hahahaha...”

Setelah membaca seluruh pesan di japri, saya mulai menscroll pesan dari group. Jari saya bergerak dengan cepat sampai berhenti di sebuah message. Saya terkejut bukan main. Di sebuah group WA, seorang teman mengabarkan:

“Telah meninggal dunia teman kita Dimas Hadiningrat. Jenazah akan dikebumikan di pemakaman Jeruk Purut selesai bada zuhur. Mohon dimaafkan dosa-dosa almarhum.”

Jantung saya sejenak berhenti. Aliran darah bergolak sangat cepat. Baru saja saya membaca langsung pesan dari Dimas, masak dia meninggal, sih? Kembali saya baca ulang pesan dari Dimas barusan dan menemukan ternyata Dimas memposting pesan itu jam 1.49. Artinya dia baru saja tiba di rumah. Sementara pesan di group pukul 8 pagi. Okay, dari segi waktu tidak ada yang mencurigakan. Secara kronologis, tidak ada peristiwa spiritual yang terjadi,

Napas saya masih memburu. Butuh beberapa puluh detik untuk menenangkan diri. Setelah mampu menguasai diri, saya pun mulai berpikir jernih. Saya harus ke tempat Dimas untuk melayat. Secepat kilat saya menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Air dingin yang mengguyur seluruh tubuh cukup membantu untuk berpikir lebih jernih.

Tanpa sarapan, saya langsung mengambil kunci mobil dan berkendara ke rumah Dimas. Sayangnya di Tol TB Simatupang macetnya minta ampun. Rasanya tidak akan sempat sampai ke rumah Dimas yang letaknya di Bumi Serpong Damai. Jam sudah menunjukkan jam 1 siang. Akhirnya saya memutuskan untuk langsung pergi ke pemakaman Jeruk Purut.

Sampai di tempat tujuan, suasana sudah sepi. Hanya ada beberapa orang yang masih mengobrol di sana, entah siapa. Saya menghampiri gundukan tanah di mana Dimas berada di dalamnya. Gundukan tanah merah itu dipenuhi oleh kembang yang didominasi warna merah dan putih. Tidak ada seorang pun yang peduli dengan kedatangan saya. Mereka tetap asyik mengobrol. Dengan penuh haru saya duduk di samping pusara lalu berdoa dengan khusuk.

“Dim, semua yang gue takutkan ternyata terjadi. Gue merasa punya andil atas kematian lo. Lo juga, sih, resek. Udah tau lagi sakit, kok, masih ngotot pengen dugem. Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa lo.”

Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menangis. Biasanya sedekat apa pun seorang teman, saya tidak pernah menangis ketika mereka meninggal dunia. Bukan berarti saya tidak sedih atau tidak punya empati tapi kematian Dimas benar-benar membuat saya terpukul karena saya merasa terlibat di dalam proses kematiannya.

“Ini masih ada sisa kembang dan air mawar.” Sekonyong-konyong sebuah suara terdengar diikuti sebuah tangan yang mengangsurkan kembang dalam plastik serta botol plastik putih.

“Oh, hai Mbak Cassey,” sapa saya ketika melihat orang itu. Ternyata dia Cassey, ART yang bekerja di rumah Dimas.

“Silakan...” kata Cassey lagi dengan suara dingin.

“Terima kasih.”

Saya menyambut bungkusan plastik dari tangannya lalu menaburkannya di sepanjang makam. Selanjutnya saya menyiramkan air mawar dari ujung kepala makam sampai ke ujung kaki. Selesai menabur bunga, Cassey mengulurkan tangannya meminta kantong plastik bekas bunga tadi.

“Apakah Mbak menunggui Dimas di saat kematiannya?” tanya saya.

“Untuk apa Om Bud menanyakan hal itu?” Suaranya sedingin es batu.

“Gapapa, saya cuma tanya aja. Barangkali dia sempat mengucapkan kata-kata terakhir.”

“Mas Dimas gak sempat meninggalkan pesan apa-apa. Dia meninggal di dalam taksi,” sahut Cassey.

“Hah?? Gimana, Mbak? Meninggal dalam taksi?” Sekali lagi sekelebat petir menyambar jantung saya.

“Waktu taksi sampai di depan rumah, supirnya memberi tau bahwa mereka sudah sampai di tujuan. Mas Dimas tidak menyahut. Si Supir mengira dia sedang tidur,” Cassey berhenti bercerita, menarik napas panjang berusaha menahan tangisnya.

“Terus gimana?” tanya saya gak sabar.

“Karena Dimas tidak juga merespon, dia keluar dan membuka pintu belakang, menepuk-nepuk bahu Mas Dimas untuk membangunkannya.”

“Terus-terus?” tanya saya gak sabar. Cassey sulit berbicara karena isak tangis beberapa kali menyela kalimatnya.

“Mas Dimas tidak terbangun sama sekali. Si Supir mulai curiga. Dia memeriksa detak nadinya, detak jantungnya sampai akhirnya dia yakin bahwa Mas Dimas sudah meninggal.”

“Astaghfirullah!!”

“Supirnya panik. Dia membunyikan bel rumah berkali-kali sambil berteriak-teriak minta tolong. Sampai akhirnya sekuriti komplek datang bersamaan dengan keluarnya saya ke luar rumah.”

Kali ini saya tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

Kami bertiga mengangkat jenasah Dimas ke kamar tidur dan membaringkannya di sana. Huhuhuhuhuhu....” Mendadak Cassey menangis histeris.

Tangis Cassey begitu memilukan. Saya bingung bagaimana cara menghiburnya. Yang bisa saya lakukan hanya berdiri tertunduk. Segala macam perasaan campur aduk, silih berganti menguasai pikiran. Cukup lama kami berdua tidak mengucapkan sepatah kata. Saya sibuk dengan pikiran saya sendiri sementara Cassey sibuk dengan air matanya.

“Om Bud ngomong apa sama Mas Dimas?” Tiba-tiba Cassey bertanya dengan suara bertambah dingin.

“Eh, maksudnya gimana, Mbak?” tanya saya kebingungan.

“Mas Dimas semenjak divonis stadium 4 tidak pernah keluar rumah. Saya yang merawatnya 24 jam sehari. Saya yang memasak, mencuci pakaiannya. mengingatkan dia minum obat dan kebiasaan itu berubah sejak Om Bud datang ke rumah,” kata Cassey lagi dengan nada menuduh.

“Berubah gimana?” jawab saya makin terbata-bata.

“Sejak Om Bud datang, keesokan harinya dia selalu pergi dari rumah. Setiap malam dia keluar dan baru kembali menjelang pagi.”

“Oh?”

“Saya kehilangan waktu untuk merawatnya. Saya sudah berjanji sama Tuhan bahwa saya akan mendedikasikan hidup saya untuk merawat Mas Dimas. Dan Om Bud sudah mengacaukan semua rencana saya.”

“Maksud kamu, saya yang bersalah atas kematiannya?”

Cassey terdiam, menggigit bibirnya. Dadanya kembang kempis menahan emosi yang teramat sangat. Sampai akhirnya dia berkata lagi, “Mas Dimas meninggal dengan mulut tersenyum. Sepertinya dia mati dalam keadaan bahagia. Saya tidak menyalahkan Om Bud. Maaf kalo Om Bud merasa begitu.”

Kembali kami berdua membisu. Sulit sekali melakukan ice breaking dengan orang sedingin Cassey. Entah apa yang ada di pikirannya. Saya mencoba mencari jalan untuk memecahkan kebekuan suasana.

“Mbak, saya mau tanya. Sepengetahuan kamu, Dimas pernah punya pacar nggak?” Saya mulai melancarkan topik baru.

“Loh? Emang Om Bud gak tau ceritanya?”

“Cerita apa, Mbak?” tanya saya.

“Mas Dimas dulu punya pacar. Bahkan mereka sudah bertunangan. Seminggu sebelum pernikahan, tunangan Mas Dimas meninggal ditabrak bis di jalan Tol Jagorawi.”

“Innalillahi....” Untuk kesekian kalinya saya ternganga mendengar cerita tentang Dimas.

“Mas Dimas sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Semenjak hari itu dia mengurung diri di kamarnya.”

“Masya Allah.”

“Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba dia terserang kanker. Namun karena sedang dilanda kesedihan, dia tidak peduli pada penyakit yang menyerangnya. Sampai akhirnya penyakitnya semakin parah.”

Kali ini saya tidak mengatakan sesuatu karena memang tidak tau harus mengatakan apa.

“Kasihan Mas Dimas. Dia tidak punya siapa-siapa di dunia itu. Dia hanya punya saya. Itu sebabnya saya bertekad untuk mengurus Mas Dimas sampai ajal menjemput.”

“Saya ikut prihatin. Sekarang saya ngerti perasaan, Mbak...”kata saya setulusnya.

“Seperti yang saya katakan tadi, saya tidak menyalahkan Om Bud. Saya hanya menyesalkan...”

“Menyesalkan apa?” tanya saya karena Cassey tidak menyelesaikan kalimatnya.

“Hmmm...lupain aja. Saya pamit. Huhuhuhu...” Habis berkata begitu Cassey menangis dengan kesedihan tiada tara. Dengan langkah cepat, dia pergi meninggalkan saya seorang diri.

Setelah Cassey hilang dari pandangan, saya kembali bersimpuh di pusara Dimas. Saya bacakan semua doa yang saya hapal untuknya. Saya tau Dimas pada akhirnya akan meninggal dunia. Bahkan mungkin tidak lama lagi. Namun saya tidak menyangka sama sekali cara kematiannya begitu dramatis. Meninggal dalam taksi, sebuah cara mati yang aneh sekaligus tragis.

Tidak ada lagi orang di sana kecuali pegawai pemakaman yang sedang menyapu dan menyiram makam-makam lain yang sedang dikunjungi oleh kerabatnya. Saya menghadap ke arah makam lalu pamitan pada Dimas, “Dim, gue pulang, ya. Kalo malaikat tanya, jangan bilang gue lagi sama lo ya di kafe itu. Bye, Dim. God bless you, Bro. Assalamualaikum.”

Di sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya berpindah-pindah dari Dimas ke Cassey. Buat saya pembantu rumah tangga Dimas adalah seorang yang unik. Percakapan dengan Cassey mengundang banyak tanya. Wajahnya terlalu cantik untuk ukuran pembantu rumah tangga. Cara berpakaiannya pun cukup modis. Bahkan cara bicaranya sangat terpelajar. Tidak ada sikap rendah diri sama sekali. Dia berbicara seakan Dimas itu adalah anaknya atau kakaknya atau suaminya.

Suaminya? Eh? Sekilas pikiran negatif berkelebat di kepala tapi akhirnya saya memutuskan untuk tidak menyelidiki lebih jauh. Dimas dari dulu memang tertutup dan penuh misteri.

Seharian itu saya gelisah terus di rumah. Sambil berbaring di sofa, mata saya menatap ke arah TV yang sedang tidak menyala. Kematian Dimas memutar kembali waktu ke saat-saat saya bersama Dimas. Sebetulnya tidak ada yang perlu diherankan dengan kematiannya. Dia mengidap kanker hati stadium 4. Dia keluyuran malam-malam, joget-joget, menyanyi, merokok, ngebir sampai pagi...tidak heranlah dia meninggal dunia.

Dimas pernah berkata bahwa dia tidak mau dirawat di rumah sakit. Selama tubuhnya masih kuat, dia ingin melakukan hal-hal yang menyenangkan hatinya. Dan sepertinya semua keinginannya terkabul. Lalu apa yang perlu disesalkan? Apalagi Cassey tadi bilang bahwa Dimas meninggal dengan bibir tersenyum. Mungkin itu cara mati yang menyenangkan.

Apakah Dimas sudah mengetahui bahwa dia akan mati sepulang dari Kafe Prestige? Otak saya terus traveling menyusuri malam terakhir bersamanya. Malam itu Dimas menyanyikan lagu-lagu enerjik. Lagu-lagu dengan beat yang membuat orang berjoget. Suasana saat itu sangat riang gembira. Rasanya tidak mungkin dia mengetahui bahwa malaikat maut sedang duduk di antara tamu kafe, mengintai untuk menjemputnya.

Eh, tunggu dulu. Lagu pertama yang dinyanyikan Dimas judulnya ‘Last Kiss’ dari Pearl jam. Kalo gak salah lagu itu bercerita tentang kematian. Mengingat hal tersebut saya bangkit dari sofa, duduk di meja kerja dan membuka laptop. Saya mencari lagu yang dimaksud dan mempelajari liriknya.

LAST KISS

Oh, where oh where can my baby be?

The Lord took her away from me

She's gone to heaven, so I got to be good

So I can see my baby when I leave this world.

We were out on a date in my daddy's car

We hadn't driven very far

There in the road, up straight ahead

A car was stalled, the engine was dead

I couldn't stop, so I swerved to the right

I'll never forget the sound that night

The screamin' tires, the bustin' glass

The painful scream that I heard last.

Oh, where oh where can my baby be?

The Lord took her away from me

She's gone to heaven, so I got to be good

So I can see my baby when I leave this world.

When I woke up, the rain was pourin' down

There were people standing all around

Something warm rollin' through my eyes

But somehow I found my baby that night

I lifted her head, she looked at me and said

"Hold me darling just a little while."

I held her close, I kissed her our last kiss

I found the love that I knew I would miss

But now she's gone, even though I hold her tight

I lost my love, my life that night.

Astaghfirullah! Ternyata lagu ini memang bercerita tentang kematian. Dan ceritanya mirip dengan kejadian yang dialaminya. Liriknya bercerita tentang seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh kekasihnya saat sedang berkendara bersama. Lagu ini dikemas dengan unik. Sebuah lagu sedih namun dikemas dengan beat yang riang. Itu sebabnya orang tidak menyangka bahwa lagu ini berkisah tentang kematian.

Lagu kedua berjudul Copacabana. Sebuah lagu yang diciptakan oleh Bary Manilow. Semua orang pasti mengenal lagu ini. Meskipun sudah lawas lagu ini timeless. Semua pengunjung kafe menyukai lagu ini. Seperti lagu sebelumnya, beatnya sangat festive. Setiap kali band membawakan lagu ini, pengunjung histeris dan menyerbu dance floor untuk berdansa. Di kepala saya langsung terbentuk persepsi pastilah lagu ini bercerita tentang kegembiraan. Tentang kebahagiaan. Namun setelah saya pelajari liriknya:

COPACABANA

Her name was Lola, she was a showgirl

With yellow feathers in her hair

and a dress cut down to there

She would merengue and do the cha-cha

And while she tried to be a star

Tony always tended bar

Across the crowded floor, they worked from eight til four

They were young and they had each other

Who could ask for more?

At the Copa, Copacabana

The hottest spot north of Havana (here)

At the copa (co) Copacabana

Music and passion were always the fashion

At the copa they fell in love

His name was Rico, He wore a diamond

He was escorted to his chair, he saw Lola dancing there

And when she finished, he called her over

But Rico went a bit to far

Tony sailed across the bar

And then the punches flew and chairs were smashed in two

There was blood and a single gun shot

But just who shot who?

Her name was Lola, she was a showgirl

But that was thirty years ago,

when they used to have a show

Now it's a disco, but not for Lola

Still in dress she used to wear

Faded feathers in her hair

She sits there so refined, and drinks herself half-blind

She lost her youth and she lost her Tony

Now she's lost her mind

Dan sekali lagi saya terpaku. Lagu Copacabana juga bercerita tentang kematian. Dikisahkan seorang penari bernama Lola yang bekerja di club malam Copacabana. Lola berpacaran dengan bartender yang bernama Tony. Seorang pengunjung mencoba melakukan pelecehan seksual pada Lola. Tony marah dan berusaha melindungi kekasihnya namun pengunjung tersebut menembak Tony sampai mati. Kali ini bulu kuduk saya merinding.

Lagu ketiga berjudul Swan Song dari The Bee Gees. Apa arti dari lagu ini? Saya terus melakukan investigasi. Rasanya saya sudah seperti Sherlock Holmes, tokoh detektif yang ditulis oleh penulis Inggris Arthur Conan Doyle di tahun 1887. Ada salah satu episode di mana detektif jenius itu menyelidiki kasus kematian lewat lirik lagu. Saya lupa judulnya.

SWAN SONG

This is my swan song.

Whatever I do now, I do it well.

This is my swan song.

I fell in love with you I love you well.

And if the Lord provides the music

for the world around to sing,

My love will build a castle in the air.

This is my last chance,

A chance to show the world that I am strong.

This is my last dance.

I'm walking off the floor where I belong.

And if the Lord provides the music

for the world around to sing,

My love will build a castle in the air.

This is my swan song.

I fell in love with you, I love you well,

I love you well, I love you well.

Karena lirik lagu The Bee Gees di atas terlihat biasa saja, saya mencoba menyelidiki dari sumber lain. Berdasarkan kedua lagu sebelumnya, saya merasa pasti ada latar belakang kenapa Dimas memilih lagu ini. Sampai akhirnya saya menemukan maknanya.

Ternyata istilah Swan Song berasal dari legenda kuno. Di sana diceritakan bahwa seekor angsa akan menyanyikan sebuah lagu sebelum dia mati. Konon ketika menyanyikan lagu terakhirnya, suara angsa tersebut mencapai puncak keindahannya karena ritual itu dia lakukan terakhir kalinya. Ajang pembuktian terakhir bahwa dia adalah tokoh yang pantas dihormati dan dikenang.

Dalam konteks manusia, Swan Song artinya penampilan terakhir dari seseorang sebelum dia berhenti. Entah berhenti karena pensiun atau karena meninggal dunia. Dan Dimas sudah melakukannya. Malam itu dia melakukan perjalanan terakhir dan menutup perjalanan hidupnya dengan menyanyikan lagu Swan Song. Dia berhasil membuktikan bahwa dia memang seorang yang sangat berharga.

Saya kembali menarik napas panjang berkali-kali.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Hari itu tubuh saya lemas karena kurang tidur dan belum makan dari pagi. Tapi sudah tanggung, saya mau rebahan dulu. Hari ini rasanya terlalu berat. Saya butuh tidur sejenak. Nanti makannya digabung aja 3X di saat makan malam.

Titit...titit...titit...

Handphone saya berbunyi, Sebuah pesan WA masuk. Dengan ogah-ogahan saya membaca message tersebut.

“Om Bud. Jangan lupa datang nanti malam ya. Ajak Mas Dimas. Dari pagi saya WA dia tapi gak pernah dibalas. -Mirsya-

- TAMAT -

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.