PERANGKO

"Haaa? Perangko? Apa itu perangko?" Perangko, kata yang asing di telinga anak Millenial.

PERANGKO

Salah satu hal yang saya kerjakan adalah beberes rumah pada saat pandemi ini. Banyak sudut lemari dan laci yang sudah lama tidak terjamah. Setiap pagi saya targetkan sekitar 1 jam untuk membereskan sambil memilih barang-barang mana yang masih dapat layak dipakai dan mana yang sudah tidak pantas menghuni di sana lagi.

Kadang saya mengerjakannya sendiri, kadang pembantu muda, Santi, menemai dan menolong saya beberesan. Pagi itu, Santi menemukan sebuah kotak persegi ukuran sebesar rata-rata buku novel.

“Lah, ini apa?” tanyanya ketika melihat tumpukan amplop berbungkus plastik serta lembaran kertas berperporasi.

Seketika saya kaget. Kenapa dia tidak tahu itu apa. Kotak itu berisi berbagai macam perangko dan amplop perangko juga. Rupanya perangko-perangko ini belum sempat tersusun ke dalam album perangko, agak terlantar.

“Ya ampun, masa sih kamu ga tahu itu apa.”

“Materai?”

“Bukanlah. Itu perangko.”

“Haaa? Perangko? Apa itu perangko?” mulutnya terbuka, bibir kanannya naik sedikit ke atas. Keningnya berkerut. Wajah cantiknya seketika lenyap. Kebingungannya membuat saya tertawa. Langsung saya sadar ini adalah salah satu barang-barang milik orang jadul yang akan musnah, perlahan lenyap dari kehidupan generasi milennial.

Setelah itu berulang kali ia mengucapkan kata perangko dengan nada bertanya. Seakan ia menemukan perkataan baru yang aneh.

“Masa kamu tidak pernah tahu perangko?” tanya saya.

Memang dia di rumah sudah kami sudah anggap seperti keluarga sendiri. Kadang diajak becanda. Kadang diledeki habis-habisan. Sering juga diajari hal-hal yang baru.

“Memang di drakor ga ada orang yang pakai perangko?” saya meledeknya, karena memang hobi dia adalah menonton film Drakor.

“Ah, Ibu mah drakor lagi drakor lagi.”

Saya melenggos ke dapur dan meninggalkan dia dengan kebingungan. Mungkin karena penasaran, ia menghampiri saya dan setengah merenggek minta saya jelaskan apa itu perangko. Sambil menyiapkan sarapan, saya menggeleng-gelengkan kepala. Tertawa, lucu saja. Anak ini tidak tahu perangko.

Sebagai perumpamaan yang mungkin mudah dan menyesuaikan dengan situasi kehidupan dia saat ini, saya mengambil contoh orang yang sedang PDKT.

“Umpamanya ada cowo naksir kamu, dia mau mencurahkan isi hatinya, tapi tinggalnya beda kota sama kamu. Terus dia menulis surat untuk kamu mencurahkan isi hatinya. Nah, terus kan dia harus kirim itu surat, supaya sampai ke tangan kamu.”

Saya lanjut menjelaskan, “Suratnya dimasukan ke dalam amplop, terus pergi ke kantor pos. Di sana ada petugas yang menimbang surat itu. Nanti sesuai dengan tujuan dan berat suratnya, petugas akan menentukan berapa ongkos pengirimannya.”

“Ooh perangko itu kayak JNE?”

“Hushhh bukan. Kantor Pos yang kayak JNE.”

Saya diam beberapa saat, menunggu reaksinya apa masih tertarik ingin tahu. “Terus, Terus” mintanya untuk saya melanjutkan.

“Setelah tahu ongkirnya berapa, kita beli perangko sesuai tarif ongkir tadi.”

Saya mengambil salah satu amplop dari kotak tadi.

“Nah, seperti ini. Kita tempel perangkonya di sudut kanan atas. Tulis nama penerima di tengah. Tulis nama pengirim di sudut kiri atas.” Tiba-tiba sekilas saya teringat, dulu di bangku sekolah ada pelajaran bagaimana format menulis dan mengirim surat yang benar. Entah apa sekarang masih ada pelajaran itu. Mungkin saat ini sudah bubar pelajaran itu.

“Terus, suratnya berapa lama sampai?”

“Tergantung jaraknya. Kalau dekat bisa cepat, kalau jauh ya agak lama.”

“Berhari-hari?”

“Iya.”

“Wah keburu basi cintanya…. Hehehe.”

Saya kembali diam beberapa saat.

“San, goreng telur,” saya mengalihkan pembicaraan.

“Jadi perangko itu bisa kita pakai ulang?” ternyata ingin tahunya mengenai perangko ini lumayan dalam.

“Tidak bisa, karena petugas kantor pos akan kasih cap di atas perangko itu. Perangko yang sudah dicap tidak berlaku untuk pengiriman surat berikutnya.”

“Jadi kenapa kita harus menempel perangko itu di sebelah kanan atas supaya orang di kantor pos gampang mencap perangkonya,” saya semakin semangat menjelaskan.

Saya susun beberapa amplop menumpuk dan berjejer kebawah sehingga semua perangko ada di sudut kanan atas. Sambil memperagakan, saya seakan-akan mencap satu per satu amplop itu.

Terus saya jelaskan, ada yang namanya tukang pos atau Pak Pos. Nanti dia yang akan anter satu persatu surat itu ke alamat rumah masing-masing.

“Oh ojolnya…” tiba-tiba dia nyelutuk.

“Ya begitulah.”

Menurut saya semua sudah saya jelaskan dengan baik dan cukup lengkap, tetapi dari raut mukanya kelihatan entah dia belum puas atau belum mengerti. Sepertinya ingin bertanya pun tetapi tidak tahu apa yang ingin ia tanyakan.

“Lantas kenapa perangko ini ada banyak di dalam kotak ini.”

“Ooh itu koleksi. Perangko juga merupakan jejak sejarah. Jadi kamu lihat di sana ada foto orang. Kamu tahu siapa orang itu?”

“Pak Harto.”

“Nah, kamu pinter.”

“Saya sekolah bu, lulusan SMP,” dengan bangga dia mengingatkan saya kalau dia juga sekolah. Hehehe.

“Jadi dari perangko kita bisa lihat pada tahun itu siapa yang berkuasa, misalnya. Juga bisa tahu apa yang terjadi pada tahun itu. Pesta olahraga seperti Asian Games, misalnya,” saya kembali menjelaskan fungsi gambar di perangko.

“Susah, susah lihat sejarah dari perangko. Cari di google aja, semua juga ada.”

Eh, benar juga.

“Terus gunanya WA buat apa?” pertanyaan lugu keluar dari mulutnya.

“Sannn, jaman itu ga ada WA.”

“Masa sih? waktu ibu muda ga ada WA? Sengsara amat.”

Sengsara? Siapa yang merasa sengsara pada jaman itu? Jaman saya muda ok-ok saja tuh. Yang namanya WA itu apa saja tidak pernah terbayang di kepala setiap orang. Mimpipun tidak. Bagaimana bisa sengsara?. Saya mah merasa senang-senang saja ketika itu. Dalam hal ini, malah saya mengkoleksi kertas surat beraneka macam motif dan ukuran. Koleksi perangko. Surat menyurat, menulis surat dan menerima surat, itu menyenangkan sebenarnya. (buat saya). Paling menegangkan dan juga menyenangkan, setiap siang beberapa kali bolak-balik ke depan rumah buka kotak surat. Tunggu kalau-kalau ada yang menyurati saya. Mungkin persis seperti saat ini orang bolak-balik pegang HP buka WA tunggu pesan masuk. Hehehe

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.