Kupinang Kau dengan Mesin Cuci

Kupinang Kau dengan Mesin Cuci

"Kalau mesin cuciku laku, aku jadi ikut kelasnya Om Bud!", kata saya kepada suami dengan nada sedikit menantang.

Kalau saja kejadian ini adalah salah satu adegan di sebuah scene sinetron, mungkin si sutradara akan dengan sigap menginstruksikan kepada timnya untuk menambahkan efek suara halilintar nan menggelegar. Sayangnya kejadian ini nyata-nyata terjadi di dalam sebuah kendaraan di tengah perjalanan pulang ke Jogja, seusai saya dan suami didapuk oleh seorang kawan untuk mengisi kelas pelatihan usaha.

"Sepertinya aku kudu ikut kelas copywriting beneran deh, biar ilmunya lebih berdasar, bukan sekadar pengalaman pribadi", oceh saya sembari nanar menatap jalanan dan memeluk Kilau, anak saya. 

Seusai mengisi kelas pelatihan, seperti ada beban besar di pundak saya untuk mengembangkan kemampuan diri yang berhubungan dengan ilmu penulisan, baik itu untuk keperluan pribadi atau keperluan bisnis. Rasanya, kok, ilmu yang saya bagikan terasa dangkal dan hanya itu-itu saja. Tentu saja tujuannya sederhana, agar nantinya saya bisa berbagi lebih banyak lagi.

Keesokan hari setiba kami di rumah, saya menjumpai sebuah pengumuman di sosial media bahwa kelas penulisan Om Bud dan Kang Asep Herna sedang membuka pendaftaran kelas baru. "Pucuk dicinta ulam pun tiba", pikir saya. Kelas penulisan yang saya perlukan hadir di saat yang tepat.

Tak lantas tergesa-gesa, saya menahan diri untuk mencari informasi, sembari menantang diri apakah saya sanggup atau tidak untuk berkomitmen mengikuti kelas ini dan mengerjakan setiap latihannya hingga usai, mengingat waktu saya tak seleluasa sebelumnya. Bahkan, mesin cuci bekas yang hendak saya alihtuankan pun turut saya libatkan sebagai pertanda, hingga penentu keputusan. Rencananya uang hasil penjualan mesin cuci ini lah yang akan saya gunakan sebagai mahar peminang ilmu.

Tak berselang lama, sebuah nomor tak dikenal menghubungi ponsel saya. Melalui pesan tertulis, seseorang menanyakan apakah mesin cuci bekas pakai yang sedang saya tawarkan sudah laku.

"Belum.", jawab saya singkat tanpa menaruh ekspektasi apapun.

Tanya jawab kami berlangsung singkat dan tak lama kemudian berujung pada kata sepakat untuk akad. Aneh. Kok bisa secepat ini, padahal sudah berminggu-minggu calon pembeli hanya datang lalu pergi.

"Bisa-bisanya ya mesin cuci ini menemukan tuan barunya secepat ini dan kelas menulis Om Bud lah sebagai pemancingnya.", celoteh saya kepada suami.

Rupanya semesta tidak sedang bercanda meladeni tantangan sekaligus niatan saya untuk mengembangkan kemampuan diri. Seolah ia pun turut sibuk mengambil aksi agar kerinduan saya terwujud dan tanpa harus menunggu lama. 

Singkat cerita, si tuan baru mesin cuci datang ke rumah menjemput mesin cucinya, lalu ia menyerahkan beberapa lembar uang sebagai tanda pembayaran. Lebih banyak dari nilai yang sudah kami sepakati. Entah kenapa, dompet suami yang biasanya jarang terisi uang tunai, hari itu dihuni oleh beberapa lembar rupiah, tepat sejumlah kembalian yang harus saya serahkan kepada si tuan baru mesin cuci. Lagi-lagi, aneh. 

Akhirnya usai sudah perkara mesin cuci. Semua berjalan dengan lancar. Saya senang, si tuan baru mesin cuci pun tak kalah riang, membawa pulang sebuah mesin cuci untuk anak perempuannya yang tengah menyambut kelahiran bayi mungilnya.

Kesepakatan saya dengan semesta disetujui tanpa ona-anu ina-inu. Tepat sebelum pendaftaran kelas berakhir. Saya pun tak sanggup lagi mengelak. Saya dan suami hanya bisa tergelak, menyaksikan ulah semesta yang seringkali kocak.

Andai saja bisa, ingin saya menepuk pundak semesta dan berkata "bisa aja kamu, Bro!"

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.