Jangan dibaca, sebab membingungkan

Jangan dibaca, sebab membingungkan

Bayi itu adikku. Bukan dia anakku. Aku yang melahirkannya, namun secara hukum dia adalah adikku. Bagaimana bisa ? Semua gara-gara lelaki sialan, yang kampret itu. Atau apakah aku yang kampret ?

Anak itu terlahir secara cesar setelah Sembilan bulan berada dalam kandunganku. Dengan segala penyesalan dan kepedihan yang kubawa saat mengandungnya. Aku mengajukan cuti kuliah tiga bulan. Meskipun kudengar mereka kisi-kisi dengan badanku yang menggendut, aku tak peduli. Yah mungkin aku kampret yang tak punya kehormatan.

Sejak keluar dari rahimku, bayi itu tak diijinkan berada dipangkuanku. Aku tak menyusuinya, tak terbangun saat dia menangis, tak memeluknya. Aku hanya diijinkan melihat wajahnya saja. Dia laki-laki. Anak yang kulahirkan itu menjadi kebahagiaan orang tua ku diatas luka ku.

Ibu mewanti- wanti ku, segera sembuhkan diri dan kembali kuliah. “Jangan pernah pikirkan laki- laki bajingan, brengsek itu. Jangan pernah muncul dihapadapnnya, Dan jangan sampai muncul didepan hidungku.” Ultimatum ibuku. Aku hanya mengangguk lemah, tak berdaya. “Bersemangatlah, kamu harus segera lulus, bekerja, mencari nafkah untuk membiayai sekolah anakmu kelak. Karena saat anakmu dewasa aku tentu sudah tua, tak kuat mencari nafkah.” Kembali ibu nyeroscos tanpa peduli rasa sakit yang masih kudera, sakit hati dan sakit fisik. Keduanya menjadi satu “sakit tak berperi”.

Dua bulan kemudian aku sembuh, meskipun bekas cesar itu masih meninggalkan perih. Daripada berlama-lama mendengarkan tangis bayi tak boleh ku peluk, lebih baik aku segera kembali kuliah. Mendengarkan kasak- kusuk orang tentangku sepertinya lebih asyik daripada mendengar tangi bayi setiap malamnya.

Dengan badan yang masih membengkak, apalagi buah dada yang juga membengkak dan sakit. Aku kembali berkuliah, namun perlu berhati-hati agar air susu ini tak tumpah saat mengikuti mata kuliah.

Sepulangnya aku dari sembahyang di Pura, pada malam Purnama. Aku menjadi sangat gelisah, malam seolah enggan berganti malam. Mata tak kunjung terkatup. Ada apa denganku ? Ku ambil segenggam garam, dan kutaburkan kesekeliling. Konon, itu dapat mengusir energy negative. Sebelum kantuk menyambut tiba-tiba bayangan masa lalu berkelebat nyata.

“Aku dan keluargaku akan melamarmu, kerumahmu. Katakan pada orangtua mu.”

“Apa ? Kau lupa janjimu, siap nyentana ? Ibuku tak menginjinkanku menikah, jika kamu tidak nyentana.”

“Tapi orangtuaku tak mengijinkanku, meskipun aku mau.”

“Lakukan saja, demi aku. Demi anak kita, jika kamu benar sayang pada kami. Ingat aku tak sendiri, ada anak kita.”

“ Maaf sayang, aku tak seberani dan senekat itu. Bahkan untuk memulai hidup mandiri saja aku tak memiliki keberanian. Kita sama-sama masih kuliah. Mau makan apa? Kalau tak minta bekal orangtuaku”

“Bajingan kamu.” Tamparku pada kedua pipimu dan berlalu pergi. Itulah pertemuan terakhir kita selamanya. Dan pada hari yang kamu janjikan, kamu benar datang bersama orangtuamu dan melamarku. Lalu apa yang terjadi. Tentu saja penolakan dari orangtuaku. Kisruh pun tak dapat dielakkan. Masing-masing pihak sama-sama menanggung malu. Lamaran itu ditolak, Bapak pun mendadak emosi. Sebuah dipan tak urung hancur kena hajar bapakku.

Pada kekisruhan itu aku hanya mendengar cerita. Ibu melarangku pulang kampung, setelah tau aku hendak dilamar.

Bunyi alarm mengagetkanku. “Sudah pagi” aku bergeliat bangun. Menyegarkan diri dengan membasuh wajahku. Mengusir mimpi atau kenangan masa laluku. Aku membuat secangkir kopi. Jika perasaanmu buruk, kopi manis pun terasa pahit. Coba saja. “ Ah ternyata aku lupa menambahkan gula” kekehku.

Entah karena kenangan masa lalu yang masuk kemimpiku, aku merasa sangat lemas. Semua tak berjalan lancar. Hampir saja kau tergelincir dikamar mandi, lantai nya sangat licin karena sudah lama tak ku gosok. Berlanjutlah pada motor kesayangan yang tak bisa distater. “Ada apa ini ? Apa aku membolos saja hari ini ?” batinnku berbisik.

Tiba-tiba ponselku bordering. “ Ibu ? Ada apa sepagi ini?” Belum kujawab halo, ibu sudah dulu bicara. “Pulanglah, anakmu sakit, badannya panas. Mungkin dia merindukanmu. Sekarang kau boleh memeluknya.” Tak perlu jawaban dariku telepon itu terputus begitu saja.

“Anakku, sejak kapan? Sejak kapan dia menjadi anakku ? Aku hanya numpang melahirkannya. Dia anakmu, Ibu. Aku adalah kakaknya. Seperti yang Ibu kehendaki. Di Akta kelahirannya pun tertulis namamu, Ibu sebagai ibunya bukan namaku. Apa artinya diriku bagi anak itu ?” teriakku lemah karena terisak. Menangis dalam diam. Sungguh rasanya aku ingin berlari mendekap anakku, tapi aku takut. Kebenciannku pada Ayah anak itu membuatku kalap, melempar bayi merah itu.

Aku menegak beberapa gelas air, berharap menemukan kejernihan pikiran dan ketenangan. Haruskah aku pulang, atau kuliah saja? Aku gelisah, dalam kebimbangan. Kembali kustater motorku dan menyala. Kemana langkahku kini ?

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.