IBUKU SEORANG HANTU

Ibunya seorang hantu. Kini Umar harus menjelaskan hal itu kepada guru dan teman-temannya.

IBUKU SEORANG HANTU

 

Hari itu bocah lanangku, Umar, 9 tahun, pulang sekolah dengan wajah tak biasa. Agak kurang ceria tampaknya. Jarang sekali ia seperti ini. Biasanya, di sepanjang perjalanan menuju rumah ia berceloteh tentang keriuhan di kelas. Satu persatu temannya disebut. Lalu kami terbahak-bahak bersama karena selalu aja ada kejadian lucu yang diceritakannya.

“Ada apa, Mar? Kok lesu. Berantem sama teman?” tanyaku.

“Nggak,” sahutnya lalu terdiam lagi.

“Lantas ….. kok kayaknya nggak happy.  Apa lapar?”

“Nggak juga,” sahutnya lagi.

“Hmmm, aku mau nanya sama Ibu. Boleh?” lanjutnya.

“Tentu saja boleh,” ujar ku

“Hmmmm…….. Ibu itu sebenarnya pekerjaannya apa?” tanyanya lagi.

Aku tersentak, sambil tertawa kecil menoleh sekilas padanya dengan tetap menjaga stir agar mobil tetap melaju di jalurnya.  

“Kenapa, Mar? Apa ada yang bertanya tentang pekerjaan Ibu?”

“Iya. Tadi di sekolah aku belajar tentang keluarga inti. Aku sama teman-teman disuruh menuliskan pekerjaan orang tua, ayah atau Ibu. Aku kebagian tugas menulis pekerjaan Ibu. Aku bingung mau nulis apa. Sampai bel istirahat berbunyi, aku belum selesai mengerjakannya. Yang belum selesai nggak boleh keluar kelas. Jadinya nggak bisa main sama teman-teman. Ini aja tugasnya dibawa pulang. Harus dikerjakan di rumah. Besok dikumpul,” urainya.

“Oo itu toh. Ntar di rumah Ibu jelasin, ya,” hiburku sembari memasang senyum yang lebar.

--------

Obrolan di dalam mobil pun berlanjut di rumah. Sebetulnya kalau ditanya soal pekerjaan, aku lebih suka menjawab sebagai ibu rumah tangga. Sehari-hari aku memang di rumah. Menikmati pekerjaan-pekerjaan penting di pagi hari, seperti menyiapkan sarapan dan bekal sekolah anak. Setelah mereka berangkat, aku belanja ke pasar kecil dekat rumah, lalu lanjut memasak untuk hidangan siang dan malam. Selepas Zuhur siap-siap menjemput Umar ke sekolah.

Di luar urusan dapur, mencuci, dan beres-beres rumah, aku punya kesibukan lain. Main laptop istilah Umar. Pada waktu-waktu tertentu aku bisa duduk seharian bahkan begadang sampai pagi di depan laptop. Pada waktu lain, aku bisa sama sekali tidak menyentuhnya selama berhari-hari. Jadi mirip grafik turun naik. Kadang sibuuuuk banget, kadang nyantaiiiii banget.

Umar tahu kalau aku sudah duduk di depan laptop, itu tandanya Ibu sedang bekerja. Entah apa yang dikerjakan. Pokoknya kerja. Kini, inilah yang jadi pertanyaan. Sebenarnya yang dikerjakan Ibu dengan laptop itu apa? Akhir aku jelaskan.

“Kerja ibu bikin tulisan. Jadi ibu main laptop itu mengetik itu untuk membuat tulisan. Nanti tulisan itu dikirim pakai email ke teman Ibu untuk layout menjadi artikel di majalah atau menjadi buku,” tutur ku.

“Memangnya Ibu dapat uang dari pekerjaan menulis itu? Digaji?” tanya Umar ingin tahu.

“Iya. Tulisan Ibu dibayar,” jawabku

“Berapa dibayarnya?” Umar penasaran.

“Ya ….adalah ….. lumayan buat tambahan uang jajanmu,” jawab ku mengelak.

“Oooooo,” katanya manggut-manggut.

“Itu di atas rak kaca ada plakat-plakat. Punya ibu, kan?” lanjutnya bertanya.

“Iya benar. Itu punya Ibu. Kan ada namanya tertera di situ. Ibu mendapatkannya sewaktu masih kerja kantoran dulu. Sebelum Umar lahir Ibu kerja di kantor yang membuat majalah kesehatan. Sering dapat kesempatan ikut lomba tulisan. Beberapa kali Ibu menang. Dapat hadiah dan penghargaan. Hadiahnya ada uang, laptop, barang-barang. Macam-macam deh. Yang di pajang itu penghargaannya,” jelasku.

“Kenapa Ibu nggak kerja di kantor lagi?” Umar bertanya dengan kening berkerut.

“Ibu memutuskan begitu. Ibu milih kerja di rumah aja biar bisa masakin bekal Umar dan bisa jemput Umar pulang sekolah. Soalnya kalau kerja kantoran Ibu perginya pagi dan pulangnya malam. Sering juga harus begadang di kantor sampai subuh. Ibu sibuk banget jadinya,” kataku.

“Lantas, mengapa sekarang plakatnya nggak bertambah?”

“Ya, karena Ibu sekarang nggak ikut lomba-lomba lagi.”

“Kok begitu?”

“Karena ikut lomba itu ada syaratnya. Tulisan yang kita dibuat harus dimuat di media massa. Misal majalah, koran, atau media online. Dulu Ibu bikin tulisan untuk dimuat di majalah kantor Ibu, dan Ibu mencantumkan nama Ibu sebagai penulisnya. Sekarang Ibu membuat tulisan dengan tidak menyebutkan nama. Jadi tidak bisa ikut serta dalam lomba, karena kalau ikut lomba nama penulis harus tercantum jelas.”

“Mengapa Ibu tidak menuliskan nama Ibu. Kan tinggal ditulis aja?” tanyanya heran.

“Begini, Mar. Ibu menulis itu untuk orang lain. Ibu membantu orang-orang menuliskan sesuatu yang mereka tidak bisa atau tidak sempat membuatnya. Jadi tulisan ibu itu menjadi milik klien Ibu. Nama merekalah yang dicantumkan sebagai penulisnya. Mereka memberikan ide-ide kepada Ibu, lalu Ibu membantu membuatkannya dalam bentuk tulisan. Kadang panjang sampai berpuluh atau ratusan halaman, kadang hanya beberapa halaman saja. Nantinya merekalah pemilik tulisan itu, dan nama merekalah yang dicantumkan di dalam buku atau majalah,” uraiku.

“Enak banget ya mereka,” katanya Umar dengan ekspresi penuh tanda tanya. 

“Dalam dunia tulis menulis, pekerjaan yang Ibu lakukan ini disebut sebagai ghostwriter. Orang yang menuliskan artikel, laporan, buku untuk diakui oleh orang lain,” lanjutku menjelaskan.

“Ooo begitu,” sahutnya.

Umar sekarang paham Bu. Tapi kata ghost itu kan berarti hantu. Jadi penulis hantu dong hahaha?” katanya sambil tertawa.

“Iya benar. Ada orang bikin tulisan, tapi nggak ketahuan dia yang nulis. Kan seperti hantu, ngga kelihatan,” balas ku tertawa pula.

“Umar sekarang sudah tahu mau nulis apa tentang pekerjaan Ibu,” katanya dengan mata berbinar.

“Siiplah,” balasku mengancungkan dua jempol untuknya.

--------

Sore hari Umar sibuk menyelesaikan tugasnya. Malam setelah ia tidur, aku membuka tas sekolah Umar, mengintip apa yang sudah ditulisnya tentang pekerjaanku. Tugas ini, selain diserahkan dalam bentuk tulisan juga akan dipresentasikan di depan kelas.

Buku tulis Umar bersampul coklat. Begitu membuka lembarannya mataku terbelalak. Pada baris paling atas, si bujang bermata bulat ini menuliskan judul dengan huruf kapital berukuran besar, “IBUKU SEORANG HANTU”. Alamaaaaaakkk, seketika tangan ku reflek menutup mulut yang ternganga, kaget dan  menahan tawa. Orang yang jadi hantu. Kebingunganmu telah terpecahkan, Nak. Hahahahaha …

Langsung terbayang besok Umar berdiri di depan kelas, menjelaskan kepada teman-temannya dengan gayanya yang kocak, kalau ternyata selama ini ……… ibunya adalah hantu. Hantu perempuan yang mencari uang dengan menulis. Hahahaha……      

 

 

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.