Dari Perceraian hingga Perang, Bukti Pentingnya Komunikasi
Hanya karena pengucapan kalimat yang bermakna ambigu dan salah tangkap makna suatu kalimat, hidup seorang dapat habis mendekam di balik jeruji penjara, dan nyawa pun dapat berakhir di tiang gantungan.
Sebagai makhluk sosial, kita sebagai manusia bertahan hidup dengan mengandalkan satu sama lain. Dengan komunikasi antara satu dengan yang lain. Apa yang terjadi apabila tidak ada komunikasi?
Jawaban: tanpa komunikasi, mungkin sedari awal, kita sudah tidak ada. Tidak hanya manusia. Sistem kehidupan mana pun tidak ada yang bisa hidup tanpa komunikasi. Mengingat arti kehidupan sendiri sejatinya adalah sebuah proses berinteraksi antara organisme yang berbeda.
Namun, seperti hukum yin dan yang. Apabila ada komunikasi, pasti ada miskomunikasi. Penyebab miskomunikasi biasanya beragam. Sebagian orang ada yang membicarakan pikirannya secara eksplisit, sebagian berbicara secara implisit. Bisa juga karena kemampuan berkomunikasi yang memang payah. Hal yang umum, sebagaimana yang dikutip dari Michael Ray Smith, "Satu-satunya hal yang pasti kita ketahui tentang komunikasi adalah kita cenderung salah."
Miskomunikasi kerap berujung pada kesalahpahaman, dan kesalahpahaman pada umumnya tidak berakhir baik. Oleh karena itu, kemampuan berkomunikasi sangatlah penting untuk dikuasai dalam kehidupan. Jika tidak, konsekuensinya bisa membuat masalah hidup kian sukar. Berikut adalah salah satu contohnya.
Pada sebuah malam hari Minggu yang terjadi 70 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 2 November 1952, dua orang pemuda Inggris bernama Derek Bentley, 19 tahun, dan Christopher Craig, 16 tahun, melangsungkan rencana mereka merampok sebuah gudang manisan milik Barlow & Parker. Christopher Craig membawa sebuah revolver bersamanya. Meskipun sebenarnya, setahun sebelumnya, ia telah didenda karena memiliki senjata api tanpa sertifikat.
Ketika mereka sedang memanjat pagar dan pipa saluran air gudang, para tetangga menangkap basah perbuatan mereka dan menelepon polisi. Polisi pun datang dan memojokkan keduanya.
"Berikan pistolmu, nak!" kata seorang polisi pada Christopher Craig.
Di sinilah tragedi itu terjadi. Derek berseru pada Christopher, "Let him have it, Chris (Biarkan dia memilikinya, Chris)!"
Alih-alih memahami seruan Derek sebagai "Berikan pistol itu padanya, Chris!", Christopher malah memahaminya sebagai "Tembak dia, Chris!", dan menarik pelatuk revolvernya. Tragedi miskomunikasi itu berakhir pada kematian seorang petugas polisi dan seorang polisi lain terluka.
Ambiguitas kalimat ini diperdebatkan di pengadilan. Banyak alasan yang dipertimbangkan untuk tidak menjatuhkan pidana pada Derek. Salah satunya adalah karena Derek diperkirakan berpenyakit mental dan memiliki tingkat kecerdasan yang rendah.
Namun kemudian, kalimat itu berakhir diputuskan oleh juri sebagai sebuah perintah Derek untuk Chris agar menembakkan senjatanya, dan tidak mengabulkan pengajuan banding pengacara Derek. Derek Bentley pun diputuskan bersalah dan dihukum gantung. Sedangkan, meskipun Chris adalah yang menarik pelatuk pistol, ia hanya dipidana penjara selama 10 tahun lamanya.
Hanya karena pengucapan kalimat yang bermakna ambigu dan salah tangkap makna suatu kalimat, hidup seorang dapat habis mendekam di balik jeruji penjara, dan nyawa pun dapat berakhir di tiang gantungan.
Inggris Raya pun pernah mengalami kegagalan militer total "berkat" perintah yang ambigu dari komandannya di Perang Krimea. Lord Raglan, sang komandan, hendak memberi peringatan pada tentaranya untuk mencegah musuh mengambil senjata.
"Maju cepat ke depan, ikuti musuh, dan cobalah untuk mencegah musuh membawa senjata," titahnya.
Sayangnya, perintahnya tidak spesifik. Senjata mana yang dimaksudnya?
Apabila yang dimaksudkan oleh Lord Raglan adalah mencegah Rusia mengambil artileri yang disita dari Turki, petugas yang membawa perintah salah menangkap perintahnya dan malah membawa pasukan ke bagian artileri dengan medan pertahanan Rusia yang lebih baik. Alhasil, mereka pun kalah telak dan terpaksa mundur dari peperangan.
Kisah ini pun masih kontroversial, antara salah sang komandan yang kurang menjelaskan secara spesifik, atau salah petugas pembawa perintah yang tidak dapat menangkap maksudnya. Bagaimanapun, masalahnya tetap sama, yakni miskomunikasi.
Komunikasi ini begitu penting dalam sejarah dan medan perang! Saking pentingnya, seperti dikutip dari tulisan Paul Lunde, The Appointed Rounds, banyak penjajah di masa lampau yang mengincar layanan pos pemerintah untuk mengganggu penyaluran komunikasi, sebagai salah upaya mereka meraih kemenangan. Sebab, mereka tahu, bahwa kehilangan informasi adalah sebuah hal yang buruk, bahkan bencana, bagi suatu pemerintahan.
Tahu tidak, banyak pula pasangan suami istri yang berakhir dengan hal serupa. Bedanya, bukan nyawa mereka yang berakhir, melainkan status hubungan mereka. Dan berakhirnya pun bukan di tiang gantungan, melainkan di pengadilan.
Survey yang digagas oleh sebuah situs lifestyle, yourtango.com, kepada 100 orang profesional di bidang kesehatan mental, menemukan bahwa faktor utama yang menyebabkan perceraian didominasi oleh miskomunikasi (65%), dan diikuti dengan ketidakmampuan pasangan untuk menyelesaikan konflik (43%).
Masih dalam survey yang sama, disebutkan bahwa 70% pria menyalahkan omelan pasangan, diikuti dengan 60% menyebutkan ketiadaan apresiasi yang memadai dari pasangan. Sedangkan 83% wanita menyebutkan kurangnya validasi atas perasaan dan opini pribadi mereka, ditambah dengan 56% wanita menyalahkan pasangan mereka yang banyak tidak mendengarkan perkataan mereka atau terlalu banyak berbicara tentang dirinya sendiri.
Meskipun survey ini dilangsungkan pada tahun 2013, kita bisa melihat bahwa sampai sekarang, survey ini pun masih valid dengan melihat hasil survey lain yang digagas dalam studi yang diunggah dalam Journal of Sex & Marital Therapy.
Dari tinjauan sebanyak 2,371 orang yang baru bercerai, masalah komunikasi berada di posisi kedua dengan sebanyak 46% partisipan memilih jawaban ini. Dikutip dari Health, para peneliti menjelaskan bahwa penyebabnya bisa berarti gaya komunikasi masing-masing pasangan yang berbeda, atau salah satunya lebih memilih untuk tidak berkomunikasi sebanyak pasangannya.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk menyikapi hal ini? Masih menurut survey yourtango.com, ciri pasangan yang biasanya sukses menjaga hubungannya adalah pasangan yang mengejar minat dan hobi individual mereka (78%), diikuti dengan belajar berargumentasi dengan cara yang sehat (36%).
Belajar psikologi tentang membaca orang lain juga penting hukumnya. Kata Sun Tzu, "...jika Anda tidak mengenal musuh maupun diri sendiri, Anda akan menyerah dalam setiap pertempuran."
Apabila dianalogikan dengan pasangan suami istri, para pasangan yang berakhir dengan perceraian dapat disamakan dengan mereka yang kalah dalam pertempuran. Karena kurangnya komunikasi, mereka tidak mengenal diri sendiri dan satu sama lain.
Komunikasi yang payah juga merupakan salah satu alasan mengapa Prancis kalah atas Jerman di Perang Dunia ke-II. Alasannya sederhana. Seperti yang dikemukakan dalam buku Panzerwaffe: The Campaigns in the West 1940, pada saat itu, radio merupakan senjata penting bagi Jerman. Mereka menganggap bahwa kemampuan berkomunikasi secara nirkabel lebih penting daripada senjata, berkebalikan dengan Prancis yang lebih unggul dalam senjata dan peralatan berat.
Sebab, dengan digunakannya radio antar para pejuang, taktik dan strategi perang dapat dikontrol serta diimprovisasi dengan lebih cepat. Pada saat itu, tank Prancis kekurangan radio. Mereka lebih banyak menggunakan sistem bendera, telepon, dan percakapan secara verbal untuk menyalurkan rencana dan perintah. Siasat komunikasi inilah yang mengantarkan Jerman, dan radionya tentu saja, menggapai kemenangan atas Prancis di medan perang.
Semua masalah runyam ini—dan sekian banyak kasus dan kejadian yang tak dapat disebutkan, berawal dari satu hal yang sama: miskomunikasi. Terdengar sepele, namun mematikan.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.