Cinta Sepotong Cheesecake

Cinta Sepotong Cheesecake
Image by pixabay.com

“Aku tegaskan sekali lagi, jangan hubungi aku apapun alasannya!”

 

Adzan shubuh baru saja berkumandang, entah kenapa dari semalam Bram teringat terus dengan Dru.

Alarm yang tiba-tiba lupa untuk bangunkan Bram, membuat Bram melewatkan shalat tahajudnya malam ini, pun melewatkan untuk cek DM dari Dru.

 

“Kamu itu keterlaluan Bram. Aku benci sama kamu.”

 

Alhamdullillahilladzi ahyaanaa ba'da maa amaatanaa wa ilaihin nusyuur.

 

Setelah beberapa detik terkaget-kaget melihat isi DM dari Dru, segera Bram mengambil wudhu, dengan mata yang masih mengantuk, Bram lemparkan selimut yang dari semalam hanya menjadi penghias saja, karena sama sekali Bram tak merasakan kehangatan.

 

“Eh aduh, apalagi ini, kamu ngapain sih di situ, siapa yang pindahin kamu? Sakit dengkulku, dasar meja kurang ajar, ganjen banget sampai pindah posisi ke ujung ranjang.”

 

Bram ikut mendumel, dia terlalu cepat bergerak beberapa detik, selimut yang dilempar belum sempurna mendarat, kaki kanan Bram sudah menariknya keluar dari arena pergumulan mimpi Bram.

 

Alhasil dengkul Bram menyentuh ujung meja dan lumayan membuat nyut-nyutan.

 

“Ah, sial bener. Ini air kenapa tiba-tiba mati, lupa pula isi air di ember semalam. Terus aku harus tayamum?”

 

Beberapa detik Bram tatap seisi kamar mandi. Bram colek-colek setiap air tetesan di tempat sabun, pinggiran gayung, shower Bram pukul-pukul kemudian dia cari lagi perlengkapan kamar mandi yang sekiranya bisa ditampung buat jadi air wudhu.

 

“Gusti, apes bener deh. Dru marah, kaki kepentok meja, dan sekarang mau wudhu tidak ada air. Harus ke masjid kalau begini caranya.”

 

Jepret.

“Allahu Akbar, apalagi ini. Bu Kosssssssssss……”

 

Tok, tok, tok…

“Mas, Mas Bram buka pintunya.”

“Siapa, masih shubuh kok sudah ketok pintu kamar orang?”
“Lah, tadi Mas kenapa teriak, ini ibu. Mas baik-baik saja?”
“Kalau aku baik-baik saja, ya aku tidak akan teriak toh Bu?”

 

Bu Lilis sebagai ibu kos cuma bisa garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

“Ya udah lah Mas Bram, sabodo teuing. Kirain ibu Mas teriak itu ada apa gitu.”

 

Bu Lilis baru saja balikkan badan.

“Ibu…ini kamar mati, air mati. Saya kan bayar kenapa ibu matikan.”
“Siapa yang matikan kasep. Sok atuh buka dulu pintunya.”
“Ya tidak bisa, saya di kamar mandi, jalannya susah kan gelap.”

“Ya Allah Mas Bram, segede-gedenya kamar, masih bisa diraba pakai tangan sampai ketemu pintu keluar kan?”

 

Bu Lilis periksa meteran listrik di lantai dua, dari sekian penghuni kost hanya kamar Bram yang tiba-tiba aliran listriknya mati.

 

Bram kali ini menuruti ucapan Bu Lilis, dia raba pelan-pelan, menyusuri kamar mandi lalu diteruskan dengan melangkah pelan-pelan hingga akhirnya tiba juga di pintu kelur kamar kostnya.

 

“Aduh Ibu, ngapain flash handphone dinyalakan?”
“Apan kamar kamu mati, ya ibu mah siap-siap aja, biar kelihatan mukanya, bener ini Bram atau bukan?”

“Ah Ibu mah. Tuh kamar mati, keran mati, air kosong. Saya mau pindah kost aja?”

“Ey, pakai ancaman segala. Sebentar ibu periksa dulu ya, karena cuma kamar kamu yang mati, yang lain mah adem-adem aja.”
“Masa sih Bu?”

 

Bram keluar sebentar. Benar juga. Yang lain nyala, kok kamarnya mati.”

Bu Lilis masuk memeriksa kamar Bram, tadi sebelum masuk kamar Bram, Bu Lilis sudah pastikan bahwa tidak ada yang salah dengan meteran listriknya, semuanya normal.

 

“Cing Bram cerita sedikit, tadi bagaimana kejadiannya?”
“Ya Allah Bu, aku lagi malas, lagi kesal kok disuruh cerita.”
“Iya mau tahu.”
“Buat apa Ibu?”

 

Bram cemberut, jam sudah menunjukkan pukul lima lewat sepuluh, saatnya shalat shubuh sudah beberapa menit terbuang.

 

“Sini Bram, lihat sini!”

 

Tiba-tiba kamar nyala, lalu terdengar suara air dari dalam kamar mandi.
“Loh kok nyala sih Bu?”
“Iya memang nyala kok. Makanya Ibu tanya, kamu itu tadi bagaimana kejadiannya?”

“Iya aku bangun, masuk kamar mandi, keran mati, air di ember kosong, terus tiba-tiba kamar mati.”
“Nih ya, kamu semalam pasti matikan saklar air. Iya kan?. Lalu karena kamu masih ngantuk, kamu bolak balik putar keran, iya kan? Ya tidak akan keluar airnya atuh Bram, saklar airnya kamu matikan.”
“Masa sih Bu?”
“Lah ini buktinya air ngocor.”

“Terus kenapa kamar mati?”

“Tadi kamu keluar kamar kan, terus kamu senderan di tembok kan? Ya ini saklar listrik kamar kamu tidak sengaja kamu matikan juga pake kepala kamu yang agak botak itu.”
“Ya Allah, pakai hina kepala botak segala sih Bu?”
“Atuda kamu mah, aya-aya wae. Shubuh bikin gaduh. Padahal masalahnya di kamu sendiri.”

Bu Lilis ngeloyor pergi meninggalkan Bram yang garuk-garuk kepala juga. Pastinya itu kepala tidak ada rasa gatalnya sama sekali.

“Eh Bram, kalau galau jangan jadi bego ah. Hahahaha.”

 

Bu Lilis happy sepertinya, melihat anak muda yang sudah tak muda sebetulnya kacau balau di pagi buta. Dan kalau dipikir-pikir, cara menjelaskan Bu Lilis kenapa mirik Detektif Conan yang komiknya baru saja Bram baca malam tadi.

 

Bram segera ambil wudhu. Dia selalu ingat apa kata Dru, bahwa sesibuk apapun, jangan lupa sama Tuhan.

“Oke Dru, sesibuknya aku ingat kamu, aku shubuh dulu ya, setelah ini baru kita teruskan ributnya.”

 

Sajadah biru tua yang dibelikan Dru dihamparkan dengan hati-hati. Biasanya Dru bangunkan shalat shubuh, lalu sama-sama sembahyang walau Dru dan Bram berjauhan.

“Ah Dru jangan marah dong, aku kangen.”

 

Bram mulai shalatnya, dua rakaat fardu ain dan akan dilanjutkan dengan dua rakaat shalat sunah.

 

Bismillahi Allahumma inni a'udzu bika minal khubutsi wal khabaitsi

 

“Astagfirullah, kenapa qunut jadi doa masuk kamar mandi.”

 

Bram kacau, konsentrasinya buyar. Ternyata cetek juga seorang Bram, tak bisa ditinggalkan oleh Dru.

“Eh, sok tahu kamu hati, bukan cetek, aku cuma bingung kenapa Dru marah-marah tanpa alasan. Itu saja. Aku cuma penasaran saja, dimana letak salahku?”

 

Bram baca kembali DM dari Dru, berulang kali Bram pahami, rasanya Bram tak melakukan kesalahan, lantas apa alasan Dru bisa semarah ini, minta tidak dihubungi dengan dilengkapi emoticon setan marah pula.

 

“Dru, aku minta maaf. Walaupun aku tidak salahku apa, tapi tolong Dru jangan begini caranya, kamu meluapkan segala emosi, meletup-letup hingga membuat aku bingung.”

 

Satu menit, dua menit tidak ada respon dari Dru. Bram coba telpon, rupanya nomor Bram diblok oleh Dru, semua akses media sosial sudah digunakan Bram, tidak ada satupun jawaban dari Dru.

 

Dengan sedikit malas Bram siap-siap mandi. Seharusnya sabtu pagi adalah schedule Bram jemput Dru, lalu cari sarapan sekitar kostan Dru, tak jarang Dru sering ajak Bram lari pagi.

Lari paginya sepuluh menit, makannya yang banyak. Bubur ayam, lontong kari, mie ayam untuk dibawa pulang tak pernah luput dari perhatian Dru. Dengan alasan sudah berolahraga, kebiasaan Dru untuk menambah berat lemak di perutnya selalu bikin Bram senyum-senyum sendiri.

 

Selesai mandi, Bram berharap ada respon dari DM yang sudah Bram kirim. Lagi-lagi nihil.

Akhirnya dengan berat hati, Bram putuskan untuk langsung menjemput Dru. Ini bukan kebiasaan Bram, Bram bukan tipe laki-laki romatis yang tiba-tiba hadir di depan Dru untuk sekadar memberikan surprise atau tiba-tiba membuat senang hatinya Dru.

 

“Assalamualaikum…”

 

Kamar Dru sepi. Tapi lampu kamarnya masih belum Dru matikan. Ini artinya Dru ada di dalam.

 

“Dru, sayang…”
 

Masih tidak ada panggilan. Tiba-tiba ada perasaan cemas. Dan ini bukan kebiasaan Dru. Sebawelnya Dru, selalu izin jika akan bepergian. Atau karena sedang marah maka Dru sengaja pergi tanpa izin?

 

“Mas Bram, ngapain di situ?”
“Eh kamu Met, ini apa itu…”
“Apa sih Mas, cari Dru?”

“Hmm iya, cari Dru hehe.”
“Loh memang Mas Bram tidak berkabar dengan Dru?”
“Berkabar soal apa ya?”
“Kan semalam pindahan Mas.”
“Jangan bercanda Meti, Dru kan baru bayar kost minggu lalu, masa Dru tiba-tiba pindah.”
“Loh bukannya Dru pindah diminta oleh Mas?”

 

Bram mulai panik, artinya apa yang disampaikan Dru adalah bukan gertakan. Dru pergi dari kehidupan Bram.

 

No, no way…

Aku tidak mau kehilangan Dru. Ya Tuhan, beri aku petunjuk.

 

“Hei Mas, kok melamun?”
“Met, aku ikut dulu di sini ya, pinjam kursi boleh tidak?”
“Masuk kamar Dru aja Mas, kayanya tidak dikunci deh!”

 

Bram masuk kamar Dru, kamarnya masih seperti kamar Dru, boneka, pernak-pernik, hiasan dinding dan foto masih terpajang di sini.

 

“Ah Dru, kamu kemana? Aku yakin kamu kembali, mungkin bukan buat aku tapi setidaknya kamu akan kembali untuk bawa semua barang-barangmu kan Dru. Apa kamu semalam terlalu buru-buru karena marah padaku Dru?”

“Iya, aku marah.”
 

Bram terdiam, suara Dru terdengar jelas.


“Ya Tuhan, saking kangennya aku hingga kudengar suara Dru.”
“Heh, ini aku. Jangan mengada-ada deh.”
“Dru…?”
“Apa?”
“Dru…?”
“Ih apa sih?. Ngapain kamu di sini?”
“Kamu ngapain di sini? Katanya pindah?”

“Oh jadi kamu maunya aku pindah? Kamu maunya ga ketemu aku lagi? Maunya kamu aku pergi begitu saja biar kamu bebas begitu?”
“Lah…tadi itu kata Meti. Ya salam salah lagi gue.”

“Sudahlah Bram, pergi sana kamu. Aku benci sama kamu.”
“Salah apa sih aku Dru? Sebenci itu kamu sama aku?”

“Aku malas untuk bicara sama kamu.”
“Ya harus bicara Dru, aku tidak bisa dan tidak paham. Jika memang kamu sudah tidak mau denganku ya terserah, tapi aku akan tetap di dekatmu.”
“Maksa ya kamu. Aku bilang tidak ya tidak.”
“Iya tapi apa alasannya?”

 

Dru membanting tasnya. Tepatnya paper bagnya.

“Kok kamu banting?”
“Iya biar kamu tahu, aku bisa beli sendiri.”
“Hah, maksudnya apa sih?”
“Kamu itu keterlaluan memang. Lihat aku beli apa?”
“Hmm, kue.”
“Udah Cuma hmm saja?”
“Astagfirullah…kamu beli cheesecake?”

“Masih tanya juga?”

“Kamu marah karena aku tidak beli cheesecake?”
“Masih tanya juga?”

“Ya Allah, kenapa tidak bilang sih.”
“Kamu itu ya, cuek banget. Aku sudah pajang profil cheesecake masih tidak paham?”

 

Bram bengong dan bingung. Cuma karena cheesecake yang belum dibeli sampai membuat Dru semarah itu. Padahal hari ini Bram akan ajak Dru ke tempat kue Harpis.

 

“Dru, aku bukan lupa, aku tidak paham harus beli di mana.”
“Terus?”
“Aku bukan membela diri, tapi memang hari ini aku akan ajak kamu ke tempat kue terus kamu pilih kue yang kamu mau.”
“Telat, aku udah beli.”

 

Bram tambah bingung.
“Sayang lihat aku, apa sayangmu padaku cuma sebatas cheesecake?”
“Maksudmu? Apa menurutmu aku terlalu miskin untuk beli cheesecake?”
“No Dru, jika hanya cheesecake kamu pergi tinggalkan aku, artinya kamu tidak tulus denganku?”
“Hey Bram, aku sayang sama kamu tapi aku tidak suka kamu terlalu cuek.”
“Loh bukan cuek sayang, aku hanya ingin melihat kamu bebas pilih kue sesukamu, itu saja.”
“Kenapa kamu tidak bilang, kan bisa kamu sampaikan.”
“Sampaikan apa?”
“Sampaikan apa yang tadi kamu bilang.”
“Baiklah, aku minta maaf karena aku tidak bilang sebelumnya, tapi tidak lantas bikin kamu semarah ini bukan?”

 

Bram tatap Dru dengan senyum manisnya.

“Ah kamu, aku nyerah kalau kamu sudah senyum seperti itu.”
“Peluk aku mau?”

 

Tak sampai satu detik, Dru sudah peluk erat Bram.

“Dru sayang, jangan marah seperti ini lagi ya, kan tinggal ngomong kalau tidak suka. Kamu harus tahu, aku tak pandai berkata-kata, tak pandai untuk manjakan kamu, tapi kamu harus tahu, aku sayang sama kamu.”

 

“Hey Dru, mana kueku? Aku sudah berhasil bikin Bram khawatir”
“Ssst Metiiiiiiii..”

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.