[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #21

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #21

 

Dua Puluh Satu

Menyusuri

Jalinan Kenangan

 

 

Para ajak sudah kembali berkumpul, menyebar di segala penjuru tepi danau, ketika Alma dan Kresna muncul bersama Janggo sekeluarga. Dengan riang mereka berfoto bersama dalam berbagai angle. Bersama Alma dan Kresna dalam satu kesatuan besar, bersama kelompok masing-masing, bersama kesatuan keluarga, dan berbagai gaya lainnya. Mereka bercakap dalam hening sejenak sebelum Alma dan Kresna meneruskan perjalanan ke padang bunga, dan para ajak beristirahat setelah bertugas di daerah masing-masing. Lolongan para ajak itu terdengar bersahutan saat mereka saling mengucapkan selamat tinggal.

 

Kresna menyandang ransel dan meraih keranjang rotan yang dibawa Alma ketika keduanya berjalan meninggalkan danau. Alma sempat menahan keranjang itu, tapi Kresna berhasil merebutnya.

 

“Bawaanmu sudah banyak begitu, Mas.” Alma memprotes dengan halus.

 

“Ah, cuma ransel ini saja, Yang,” senyum Kresna. “Malah keranjang rotan ini lebih berat karena isinya bekal kita.”

 

Alma hanya bisa menggeleng samar dan mengedikkan bahu.

 

‘Bu, boleh aku ikut Bibi dan Paman?’

 

Tiba-tiba suara kecil Cenil menyeruak ke dalam benak mereka. Seketika Alma dan Kresna menoleh ke belakang, ke arah keluarga Janggo yang mengiringi mereka.

 

’Kamu harus tidur, Cenil,’ jawab Pinasti sabar.

 

‘Aku juga ingin ikut, Bu,’ sahut Lopis.

 

Begitu pula Klepon, ikut merengek. Janggo dan Pinasti bertatapan sejenak.

 

‘Tak apa-apa,’ ujar Alma, menengahi. ‘Tapi nanti kalian bobok di padang bunga, ya? Janji?’

 

‘Iya, Bibi, iya!’

 

Jawaban serempak dalam nada riang itu membuat Alma dan Kresna tersenyum lebar.

 

‘Baiklah,’ ucap Janggo, akhirnya. Ajak itu menatap Alma. ‘Kalau sudah mau pulang dari padang bunga, panggil saja aku.’

 

Alma mengangguk sambil mengangkat jempol tangan kanannya. Jadilah ketiga ajak kecil itu berlari-lari gembira mengikuti langkah Alma dan Kresna.

 

‘Kalian tahu jalan ke padang bunga?’ tanya Kresna.

 

‘Tahu, Paman! Tahu!’

 

‘Nah, sekarang kalian jalan di depan, ya? Tunjukkan jalannya pada Bibi dan Paman.’

 

Ajak-ajak kecil itu segera berebutan berjalan di depan pasangan pengantin baru itu. Diam-diam Alma tersenyum dalam hati. Taktik Kresna agar lebih mudah mengawasi ketiga ajak kecil yang sangat lasak itu boleh juga.

 

Setelah melewati bagian samping pondok Paitun dan melewati jalan setapak, sampailah mereka di tepi sungai. Setelah berbelok ke kanan di sebelah bilik mandi, dan sejenak menyusuri sungai, mereka pun menyeberang melalui jembatan kecil.

 

Hutan bambu kuning itu masih sama seperti yang pernah mereka ingat. Pun gua di tengah-tengahnya. Mereka melangkah dalam hening menyusuri lorong gua hingga sampai di dasar cerobong.

 

‘Hayo, siapa yang bisa membawa kita semua ke atas?’ Alma tersenyum lebar.

 

Ketiga ajak kecil yang bersama mereka itu berebutan menjawab, ‘Aku bisa, Bibi! Aku bisa!’

 

‘Coba, bagaimana caranya?’

 

‘Ayo, kita berdiri di daun yang lebar itu, Bibi! Ayo, Paman!’

 

Alma dan Kresna pun sambil tertawa geli menuruti seruan ketiga ajak kecil itu. Mereka berlima kemudian berdiri berdekatan di tengah sebuah daun teratai yang paling lebar.

 

Suara ajak-ajak kecil itu mendadak berubah menjadi bernada khidmat ketika berucap serempak dalam hening, ‘Nyai Padma yang baik, tolong, bawa kami ke atas.’

 

Dan, perlahan mereka pun terangkat ke atas, hingga mencapai bibir cerobong. Kresna-lah yang pertama kali meloncati bibir cerobong. Ia kemudian mengulurkan tangan untuk mengeluarkan Lopis, Klepon, dan Cenil. Terakhir, ia membantu Alma meloncati bibir cerobong.

 

Padang luas itu pun menyambut mereka dengan aneka warna bunga mekar yang teramat indah. Kresna tak pernah berhenti merasa takjub akan keindahan tempat itu, walaupun sudah melukisnya dengan nyaris sempurna. Segera saja ia sibuk mengabadikan berbagai objek menarik di sekitarnya dengan kameranya. Tak lupa ia mengabadikan pula tingkah jenaka tiga ajak bersaudara yang asyik bergulingan di rerumputan.

 

Sementara itu, Alma menebarkan sehelai kain untuk alas duduk mereka di bawah pohon beringin, di dekat gundukan tanah berlapis rumput yang pernah ia dan Kresna duduki di masa lalu. Dengan cekatan, ia mengeluarkan semua bekal makanan dan minuman yang tadi sudah disiapkan Kriswo untuk mereka. Setelah puas mengabadikan keindahan itu, Kresna pun duduk di samping Alma.

 

Matahari bersinar sangat cerah. Tak secuil pun mega tampak di langit biru. Walau begitu, udara di padang bunga itu tetap sejuk. Keduanya tertawa melihat tingkah lucu Lopis, Klepon, dan Cenil, yang disertai dengan dengking-dengking bernada riang.

 

Berada di tengah padang bunga yang sedemikian indah, Kresna pun teringat sesuatu, Setelah menyesap minumannya sedikit, ia pun kembali bangkit dan mendekati rumpun bunga terdekat. Dengan teliti, dipilihnya bunga-bunga indah aneka warna dan ukuran untuk dipetik. Tak lama kemudian ia kembali lagi ke samping Alma, dan mulai merangkai bunga-bunga itu. Dalam waktu yang cukup singkat, ia sudah selesai membuat tiga buah mahkota bunga. Satu berukuran mungil, dan dua lagi berukuran besar. Salah satu mahkota berukuran besar itu diletakkannya dengan hati-hati di puncak kepala Alma.

 

“Oh, terima kasih,” bisik Alma dengan mata berbinar indah.

 

Kresna pun membalas ucapan itu dengan kecupan hangat di kening Alma. Diberikannya mahkota besar yang lain pada Alma.

 

“Simpan dulu ini,” ujarnya. “Buat Pinasti.”

 

Alma mengangguk dan menyimpan mahkota bunga itu baik-baik di dalam keranjang rotan. Kemudian, satu demi satu ketiga ajak kecil itu mendekat, dan duduk manis di sekitar mereka. Kresna segera memasang mahkota bunga berukuran kecil yang dibuatnya di antara kedua telinga Cenil. Ajak betina mungil itu mendengking kegirangan.

 

‘Ini untukku, Paman?’

 

Kresna mengangguk sambil mengelus tengkuk Cenil. Ajak itu mengucapkan terima kasih dengan dengkingan bernada riang.

 

‘Lapar?’ tanya Alma, menatap bergantian ketiga ajak di dekatnya dan Kresna.

 

Ketiga ajak kecil itu serentak mengangguk. Alma kemudian membuka bungkusan tiga buah arem-arem dan memberi mereka satu-satu. Ketiganya pun menyantap makanan itu dengan lahap. Lopis, yang badannya paling besar, tak segan meminta tambah satu lagi. Sedangkan Klepon dan Cenil meminta satu lagi, untuk dibagi berdua.

 

“Ini mangkuk buat apa?” tanya Kresna sambil mengangkat sebuah mangkuk kecil yang diambilnya dari dalam keranjang rotan.

 

“Oh, itu untuk menampung air buat cuci tangan,” jawab Alma.

 

“Buat tempat minum anak-anak saja, ya?”

 

Alma mengangguk. Kresna mengisi mangkuk itu dengan air segar yang dituangkannya dari dalam kendi.

 

‘Ini minuman kalian,’ ujarnya lembut sembari menyodorkan mangkuk itu ke depan para ajak kecil. ‘Mangkuknya cuma satu. Kalian minumnya bergiliran, ya.’

 

‘Ya, Paman.’ Ketiga ajak kecil itu serempak menjawab dengan nada patuh.

 

Sebelum ketiga anak ajak itu mengantuk dan tertidur setelah makan dan minum, Kresna mengajak mereka berfoto bersama dalam berbagai gaya. Ketiga ajak kecil itu menyambutnya dengan dengking riang. Mereka berlima tertawa-tawa melihat hasilnya di layar kamera Kresna. Setelah puas, satu demi satu ajak-ajak kecil itu mulai menguap. Ketiganya kemudian duduk berdekatan, dan melingkarkan tubuh masing-masing sambil memejamkan mata. Alma dan Kresna sibuk mengelus-elus ketiganya hingga terdengar dengkur lembut. Kresna tak lupa mengabadikan ketiga ajak lucu itu saat tertidur.

 

“Ingin rasanya aku bawa pulang mereka,” gumam Alma. “Mereka menggemaskan sekali!”

 

“Dan, bakal langsung viral karena kita punya peliharaan tiga ekor ajak dalam warna tak umum di apartemen,” sambung Kresna, tersenyum lebar.

 

Alma tergelak mendengarnya. Tapi sejurus kemudian, wajahnya tampak serius. Ditatapnya Kresna yang tengah asyik menyesap minumannya.

 

“Mm..., Mas...,” ucapnya ragu-ragu.

 

“Ya?” sekilas, Kresna balas menatap Alma.

 

“Mm..... Sebelum pulang ke Margiageng setelah kita di-undhuh mantu, Ayah sempat bilang padaku, sudah menyiapkan rumah baru buat kita di daerah dekat kampusmu dan kantorku. Di kompleks yang baru saja selesai dibangun Ayah. Aku belum tahu lokasi pasti cluster-nya, sih.”

 

“Wah....” Kresna sempat kehilangan kata. Ditatapnya Alma kembali. “Suatu saat nanti, kita pasti butuh rumah juga. Saat kita sudah tak lagi berdua. Sebetulnya aku sudah memikirkannya. Aku sudah punya tanah di daerah dekat kampus juga. Sedang mengumpulkan uang untuk membangunnya. Sudah mulai terkumpul, sih, uangnya. Lumayan, Yang, luasnya sekitar dua ribu meter persegi.”

 

Seketika Alma ternganga. Mereka bisa membuat apa saja di tanah seluas dua ribu meter persegi! Tiba-tiba saja sebuah pikiran jahil melintas dalam benaknya.

 

Bagaimana kalau aku minta ‘mentahan’-nya saja dari Ayah?

 

‘Yang....’ tiba-tiba saja Kresna menegurnya dengan nada sangat halus.

 

Alma menoleh cepat. Sedikit menyesal karena ia lupa menutup pikirannya.

 

“Saat kita sudah memutuskan berani untuk menikah,” lanjut Kresna, tetap dengan nada halus, “saat itu juga kita seharusnya sudah berani lepas dari orang tua secara penuh. Soal rumah, salah satunya. Saat ini kita masih bisa bernaung dengan aman di apartemen kita. Sementara waktu sudah lebih dari cukup. Sambil jalan, kita siapkan juga lainnya, termasuk rumah yang menapak tanah.

 

“Sudah beberapa tahun ini, sejak Ayah mengalihkan pengelolaan perusahaan pada Seta, tiap akhir tahun aku selalu dapat pembagian keuntungan. Tidak sebanyak yang didapat Seta, tapi lebih dari cukup untuk ditabung. Aku belikan tanah, dan juga untuk pembangunan rumah kita nanti. Sudah aku perhitungkan, akhir tahun ini kita sudah bisa mulai. Desainnya terserah kamu. Kamu lebih tahu, karena itu wilayahmu,” Kresna merengkuh bahu istri tercintanya.

 

Alma hanya bisa mengangguk-angguk. Berusaha menyelami pemikiran Kresna yang sudah begitu jauh di depan demi kenyamanan kehidupan mereka kelak. Dalam benaknya, sudah terbayang rumah asri yang bagian dalamnya hangat bermandikan cahaya matahari, yang dikelilingi halaman hijau nan luas tempat anak-anak mereka bisa berlarian dengan bebas kelak. Ia tersenyum lebar. Kresna yang bisa menangkap gambaran itu pun ikut tersenyum lebar, dan mengeratkan rengkuhannya di sekeliling bahu Alma.

 

Dengan pasti, matahari makin naik ke puncak pentasnya. Lopis, Klepon, dan Cenil terlihat masih bergulung dalam lelap mereka. Alma pun memutuskan untuk memanggil Janggo dengan pikirannya. Ajak raksasa itu muncul tak lama kemudian, bersama Pinasti.

 

Setelah meringkas semua bawaan mereka, Kresna kemudian mengangkat Lopis dan meletakkannya dengan hati-hati di punggung Janggo. Berikutnya Klepon di punggung Pinasti. Sedangkan Cenil, Alma sudah menggendongnya.

 

‘Sekalian saja taruh dia di punggungku,’ ujar Janggo, menatap Alma.

 

‘Tak usah, biar aku menggendongnya.’

 

‘Baiklah.’ Janggo mengalah.

 

Mereka kemudian berjalan ke arah cerobong. Dengan lincah Janggo dan Pinasti meloncat ke dalam helaian daun teratai besar di dalam cerobong. Alma dan Kresna sempat khawatir Lopis dan Klepon akan meluncur jatuh dari punggung ayah-ibu mereka. Tapi ternyata tidak. Kedua ajak kecil itu tetap menempel erat seolah badan mereka berperekat. Berikutnya adalah Alma yang menggendong Cenil, dan terakhir adalah Kresna.

 

“Nyai Padma yang baik, bolehkah kami turun sekarang?” suara Alma kemudian menggema lembut dalam cerobong.

 

Perlahan, mereka melayang turun dengan bertumpu pada daun teratai. Setelah sampai di dasar cerobong, tak lupa mereka mengucapkan terima kasih. Sebelum pulang ke pondok, Alma membaringkan Cenil di tempat tidur ajak mungil itu, di tengah Lopis dan Klepon. Ketiga ajak kecil itu sempat menggeliat dengan mata tetap terpejam, sebelum kembali meringkuk dan mendengkur halus.

 

‘Makan siang hari ini ada di rumah Bibi Kriswo,’ ujar Pinasti pada saat Alma dan Kresna berpamitan. ‘Bibi bilang nanti malam sekalian juga makan di sana. Bibi mau buatkan nasi goreng gongso paling enak buat kalian.’

 

Alma tertawa ringan mendengarnya. Ia dan Kresna kemudian mengangguk. Keduanya sempat mampir ke pondok Paitun untuk menyimpan ransel berisi kamera yang disandang Kresna.

 

”Setelah makan siang, kita ke mana?” Kresna meraih tangan Alma, menggandengnya sambil berjalan ke pondok Kriswo dan Randu.

 

“Di sini saja dulu, ya?” Alma menoleh sekilas. “Kita ngobrol saja sama Nini, Nyai, Bibi, dan Paman.”

 

Kresna pun mengangguk.

 

* * *

 

Keesokan paginya, seusai sarapan, Alma segera mengajak Kresna untuk berpamitan pada Paitun dan Sentini. Tujuan mereka kali ini adalah padang rumput Bawono Kinayung. Paitun sudah menyiapkan bekal untuk mereka dalam keranjang rotan seperti biasanya.

 

Ketika keluar dari pondok Sentini, mereka berjumpa Janggo sekeluarga yang baru pulang dari patroli. Kali ini tidak ada rengekan dari para ajak kecil untuk ikut ‘Bibi dan Paman’, karena ketiganya terlihat sangat lelah dan mengantuk.

 

‘Nanti kalau Bibi dan Paman belum pulang dari padang rumput sementara kalian sudah bangun, kita susul mereka,’ ujar Pinasti sambil menggiring anak-anaknya masuk ke dalam pondok.

 

‘Kami tunggu sampai kalian datang,’ sahut Alma. ‘Nanti kita foto-foto lagi.’

 

Janggo yang berada di belakang Pinasti mendengking pendek, tanda setuju. Alma dan Kresna pun menyusuri jalan setapak berpasir hingga sampai di depan sekumpulan pakis raksasa. Kresna menyibakkan rumpun pakis, dan lorong itu masih ada di sana, seolah menunggu mereka.

 

Tak lama menyusuri lorong, mereka sampai di dermaga mini. Sejenak Alma terlihat ragu-ragu. Ia terdiam sejenak menatap sampan yang terikat pada salah satu tiang dermaga.

 

“Kenapa, Yang?” Kresna menyentuh lembut bahu Alma.

 

“Mm....” Alma menoleh. “Apakah laju sampan kecil ini masih sama seperti dulu?”

 

Kresna mengangkat alisnya. “Kenapa tidak mencoba saja?”

 

Alma pun menyetujuinya. Dengan hati-hati ia naik ke sampan itu, diikuti Kresna. Ketika mereka berdua sudah duduk dengan nyaman di dalamnya, sampan itu pun mulai meluncur sendiri ke jalur yang mengarah ke padang rumput.

 

Ketika hampir sampai di pecahan lorong, dengan ragu-ragu Alma mengulurkan tangan kanan ke permukaan air, dan menepuknya dengan lembut sekali. Arah sampan itu berubah serong sedikit ke kanan. Alma mendesah lega, dan kembali menepuk lembut permukaan air sebanyak dua kali. Sampan itu pun mengarah ke mulut lorong yang paling kanan.

 

“Ternyata aku masih cukup sakti,” gurau Alma.

 

Kresna tergelak ringan mendengarnya.

 

“Cuma berkurang setrumnya saja,” timpal Kresna, membuat Alma tertawa lebar.

 

Setelah beberapa saat, mereka pun sampai di luar lorong dan makin mendekati dermaga mini di tepi padang rumput. Tanpa sadar, keduanya mendesah lega.

 

Padang rumput itu masih sama seperti ketika mereka tinggalkan bertahun-tahun lalu. Masih terlihat sangat indah dan tetap dihiasi sisa butiran embun yang menempel di tepi-tepi rerumputan. Kilaunya tetap indah untuk dinikmati dan diabadikan.

 

Setelah Kresna puas memotret padang rumput berembun, ia kemudian duduk di sebelah Alma, di bawah rimbunnya sebuah pohon besar. Kresna pun membaringkan tubuhnya di rerumputan. Terasa sejuk dan masih sedikit basah. Alma membentangkan alas dan menyuruh Kresna pindah, tapi laki-laki itu tidak mau.

 

Sejenak kemudian ia bangun lagi dan meraih kameranya. Alma setuju ketika Kresna mengajaknya berswafoto. Setelah puas mengambil foto diri mereka dalam berbagai gaya dengan latar belakang padang rumput indah itu, Kresna pun menggeletakkan kameranya di atas alas. Tak lupa ia mengambil beberapa bunga rumput yang ada di dekatnya, dan mulai merangkai tangkai-tangkai panjang bunga rumput itu menjadi dua mahkota, besar dan kecil.

 

Alma menatapnya dengan mata berbinar ketika Kresna meletakkan mahkota yang besar di puncak kepalanya. Kresna meraih kembali kameranya, dan mengabadikan kebahagiaan Alma itu dalam beberapa kali jepretan. Tak lupa mereka berswafoto berdua lagi.

 

“Kamu tahu,” gumam Kresna, menatap Alma dalam-dalam, “di padang rumput ini aku menemukan bahwa aku mencintaimu. Walaupun saat itu setahuku kamu adalah adik kandungku. Dan, aku senang bahwa rasa itu tak salah.”

 

Alma balas menatap Kresna, dengan sedikit semburat merah mewarnai wajahnya.

 

“Dan, Mas harus tahu,” bisiknya, mengalihkan tatapan tersipunya dari wajah Kresna, “aku mendapati jantungku berdebar tak seperti biasanya saat pertama kali melihat Mas dibaringkan oleh Paman Tirto di balai-balai bilik depan.”

 

“Oh, ya?” Kresna tersenyum lebar, membuat Alma makin tersipu.

 

Selama ini, Alma memang belum pernah mengakui hal itu pada siapa pun, walaupun sudah ada yang mengetahui dan memahami apa yang ia rasakan.

 

“Janggo sampai menegurku.” Alma tertawa kecil, menutupi rasa tersipunya. “Katanya, ia terganggu dengan suara detak jantungku yang berantakan.”

 

Kresna tergelak seketika. Diraihnya tubuh Alma, diberinya pelukan yang paling hangat. Dengan lembut, diciumnya puncak kepala Alma.

 

“Aku bersyukur sekali, ternyata kamu cuma anak pungut Ibu,” bisiknya dengan nada menggoda.

 

“Aaah....” Alma berlagak merajuk sambil mencubit lembut pinggang Kresna, membuat laki-laki itu kembali tertawa.

 

Keduanya kemudian berbaring berdampingan di atas alas. Menatap langit biru dengan sedikit semburat mega putih bagai kapas di luar tajuk pohon yang menaungi mereka. Sesekali keduanya bercakap, tapi lebih banyak menikmati keindahan itu dalam hening saja.

 

Kresna kemudian menatap kejauhan. Pada sebuah jalur nun jauh di sana, jalur Pegunungan Pedut yang sudah diwarnai dengan kesibukan hilir mudik aneka kendaraan, yang tampak seperti benda mainan. Teringat lagi bagaimana ia pernah harus kehilangan sang ibu selama belasan tahun lamanya. Juga teringat pada dunia teduh lain di dalam Pegunungan Pedut. Bawono Sayekti. Teringat pula bahwa mereka juga diundang untuk datang ke Bawono Sayekti.

 

“Hmm.... Jadi nanti menjelang sore kita berangkat ke Bawono Sayekti?” gumam Kresna.

 

“Ya.” Alma mengangguk. “Tadi Nini sudah mengingatkanku.”

 

Suasana hening dan sangat damai itu membuat keduanya mengantuk. Alma dan Kresna sama-sama menguap. Mereka kemudian menejamkan mata. Alma meringkuk nyaman dalam pelukan Kresna. Berdua terbang menembus alam mimpi yang sama. Memutar memori saat Kresna untuk pertama kalinya membuat rangkaian mahkota bunga untuk seorang perawan sunti cantik dari Bawono Kinayung.

 

* * *

 

Alma terjaga ketika mendengar dengking-dengking lirih dan pendek tak jauh darinya. Ia menoleh dan mendapati Janggo dan Pinasti sedang sibuk mengingatkan ketiga junior mereka agar tidak terlalu ribut. Setelah menguap, ia tersenyum lebar. Segera dibangunkannya Kresna.

 

‘Nah! Apa Ibu bilang?’ Suara Pinasti bernada omelan. ‘Bibi dan Paman jadi bangun, kan?’

 

Ketiga ajak kecil itu seketika terlihat mengerut dan mendekatkan diri pada tubuh sang ayah. Tampak sedikit ketakutan ketika melihat Alma benar-benar bangun, pun Kresna. Alma jadi kasihan melihatnya.

 

‘Tak apa-apa,’ ujarnya sambil mengulurkan tangan. ‘Memang kami sudah waktunya bangun. Sini!’

 

Ketiga ajak kecil itu berpandangan satu sama lain sebelum mendekati Alma dan Kresna dengan sikap masih terlihat takut-takut.

 

‘Sudah, tidak apa-apa.’ Kresna ikut menenangkan. ‘Ayo, sini!’

 

Barulah ketiganya berlari kecil menyerbu Alma dan Kresna. Lopis mewakili saudara-saudaranya meminta maaf atas keberisikan mereka tadi. Alma dan Kresna menanggapinya dengan pelukan hangat. Tak lupa Kresna memasang mahkota bunga berukuran kecil yang tadi dibuatnya di kepala Cenil. Ajak betina imut itu mendengking kegirangan dan mengucapkan terima kasih dengan manisnya.

 

‘Bibi Kriswo menitipkan ini.’ Janggo menyorongkan sebuah keranjang rotan pada Alma dengan hidungnya. ‘Makan siang kalian. Nini bilang, setelah itu aku boleh membawa kalian keliling Bawono Kinayung lewat sungai dengan sampan.’

 

Setelah mengucapkan terima kasih, Alma pun membuka keranjang yang tadi dibawakan Janggo. Air liurnya segera terbit melihat makanan yang ada dalam keranjang. Sebakul kecil nasi merah panas yang ditutup daun pisang segar, semangkuk urap sayur, semangkuk sayur nangka muda dan telur rebus dengan kuah yang sudah meresap, ikan asin tipis yang digoreng kering, dan tak lupa sambal. Kresna yang ikut melongokkan kepala mengintip isi keranjang pun perutnya langsung keroncongan.

 

Sambil menata makanan ke atas alas, Alma menengok ke arah Pinasti, ‘Kalian sudah makan atau belum? Kalau belum, ayo, makan sekalian.’

 

‘Sudah, kami semua sudah makan. Paman Tirto tak membiarkan kami pergi sebelum kenyang. Silakan kalian makan, Nikmati saja. Kami akan bawa anak-anak bermain dulu di sebelah sana biar tidak mengganggu kalian.’

 

Sebelum mulai makan, Kresna tak lupa mengabadikan jajaran menu makan siang mereka yang terhampar di atas alas dengan kameranya. Setelah itu, dengan lahap Alma dan Kresna menyantap makan siang mereka. Di samping masakan Kriswo memang enak, suasana padang rumput yang indah itu pantas membuat keduanya sedikit lupa diri. Baru tersadar setelah nasi di bakul habis dan mangkuk-mangkuk sudah kosong.

 

Keduanya saling menatap. Tertawa geli menyadari betapa kalapnya mereka siang ini.

 

* * *

 

Mereka tak kembali ke Bawono Kinayung melalui lorong. Aliran sungai tidak berbalik seperti dulu saat pertama kali Kresna ke padang rumput. Sampan kecil yang ia tumpangi bersama Alma kini berada persis di belakang sampan lebih besar yang membawa Janggo sekeluarga. Meluncur mengikuti arus sepanjang tepian padang rumput. Kresna tak lupa mengabadikan perjalanan mereka kali ini melalui rekaman video. Alma sendiri sudah menyiapkan kamera poket mereka untuk mengambil gambar objek-objek yang menarik.

 

Aliran sungai itu membawa mereka mendekati sebuah tebing yang menjulang di ujung sungai. Setelah makin dekat, terlihat bahwa aliran sungai tak berujung di dinding tebing itu, melainkan berbelok ke kiri, masuk ke sebuah lorong terbuka di antara dua tebing. Jalur itu berkelok-kelok dengan arus sedikit deras, tapi kedua sampan itu tetap kokoh meluncur mulus membelah aliran sungai.

 

Kresna sejenak ternganga ketika mereka mulai memasuki jalur itu. Dinding tebing yang menjulang di sebelah kiri dan kanan mereka penuh dengan aneka anggrek bermacam rupa dan warna. Semuanya mekar dan melambai, seolah menyambut kehadiran mereka. Desau angin sesekali menyapa, ditimpali gema kicau burung-burung yang bertengger pada pepohonan jauh di atas tebing, dan nyanyian serangga yang entah bersembunyi di mana. Benar-benar simfoni alam yang sungguh mengagumkan.

 

Sesudah membelah tebing, sungai itu kini mengalir di antara dua dataran yang cukup luas. Dataran itu penuh dengan aneka tanaman yang tertata rapi pada kelompok masing-masing. Pepohonan dengan tajuk yang rimbun di sepanjang tepi sungai menaungi perjalanan mereka.

 

“Ini ladang tanaman obat Bawono Kinayung,” bisik Alma. “Banyak tanaman obat langka dibudidayakan di sini dengan perawatan khusus. Sebagian disetorkan pada Pak Saijan. Sebagian lagi disetorkan ke Bawono Murni. Mereka ahli mengekstrak tanaman obat.”

 

“Oh....” Kresna menanggapi tanpa suara, sambil terus merekam perjalanan mereka.

 

“Di sebelah kiri itu,” tunjuk Alma, “ada petak khusus untuk tanaman sarsaparilla. Yang biasa dipakai minuman itu, lho, Mas. Hasil panen sarsaparilla dari sini seluruhnya disetorkan ke Bawono Sayekti. Mereka ahli membuat sari sarsaparilla yang rasanya tak ada duanya.”

 

Kresna ternganga. Sisi lain Bawono Kinayung yang sama sekali belum pernah ia lihat itu benar-benar membuatnya terpesona.

 

Sesudah melewati ladang tanaman obat dan semak sarsaparilla, mereka masuk ke dalam tajuk hutan yang rapat di sisi kiri-kanan sungai. Kresna sempat terperanjat ketika Janggo tiba-tiba saja melolong panjang beberapa kali. Lolongan Janggo itu disahuti oleh lolongan-lolongan lain yang berasal dari dalam hutan. Terdengar menggetarkan hati dan membuat bulu kuduk meremang.

 

“Kita masuk ke wilayah gerombolan ajak lain.” Alma menjelaskan dengan suara rendah. “Janggo semacam mengucapkan permisi untuk memasuki wilayah mereka, meskipun dia sendiri merupakan ajak dengan kedudukan tertinggi di Bawono Kinayung.”

 

“Oh....” Kembali Kresna menanggapi tanpa suara.

 

Sampan mereka terus meluncur mengikuti aliran sungai, berkelok-kelok menembus dasar hutan Gunung Nawonggo. Sesekali mereka menjumpai tebing yang menjulang sangat tinggi dihiasi aneka semak. Kresna mendongak, menaksir ketinggian tebing yang mereka lewati. Seketika ia teringat pada jurang-jurang sedalam puluhan bahkan ratusan meter yang ada di Gunung Nawonggo.

 

Wow! Jadi seperti ini dasar jurang yang tak pernah terlihat dari atas? Menakjubkan!

 

Mereka kini mulai memasuki sebuah lorong gelap yang hening. Hanya ada bunyi kecipak air menggema lembut melalui dinding-dinding lorong. Beberapa kali mereka berbelok, keluar dari satu lorong untuk masuk ke lorong lainnya.

 

Akhirnya Kresna dapat melihat cahaya di ujung suatu lorong. Cahaya itu makin dekat dan makin besar. Rupanya ada udara terbuka di ujung lorong. Dan, Kresna kembali ternganga ketika mereka keluar dari lorong. Mereka kini berada di tengah-tengah padang bunga. Ia menengok ke arah Alma.

 

“Ini padang bunga yang kita datangi itu?”

 

Alma mengangguk. Kresna kembali menatap berkeliling. Seingatnya, ia tak melihat satu pun aliran sungai di padang bunga. Alma tersenyum simpul.

 

“Dari tempat kita biasa duduk, sungai ini tertutup rumpun-rumpun bunga, Mas,” ujarnya halus. “Kita tidak lewat sungai ini karena jalur tercepat untuk ke sini dari pondok Nini adalah cerobong Nyai Padma.”

 

“Oh....” Untuk kesekian kalinya, Kresna memberi tanggapan tanpa suara.

 

“Lagipula,” lanjut Alma, “ini adalah jalur untuk memanen madu. Coba Mas lihat ke sana.” Alma menunjuk ke satu arah di sebelah kanan.

 

Kresna melihat ada kotak-kotak kayu yang berjajar rapi di kejauhan, di tengah padang bunga. Dan, di depan sana ada dermaga kecil dengan jalan setapak yang menembus padang bunga, menuju ke deretan kotak kayu itu. Ia pun mengarahkan kamera perekamnya ke semua objek itu.

 

“Itu rumah-rumah bagi koloni lebah peliharaan Bawono Kinayung.” Alma menjelaskan. “Lebih ke dalam lagi di sebelah sana, ada rumah-rumah lebah yang lebih banyak lagi jumlahnya. Seluruh supply madu dan jelly lebah untuk semua bawono berasal dari Bawono Kinayung. Sebagian lagi dijual kepada Pak Saijan. Khasiatnya sama dengan madu yang diambil dari lebah hutan. Bahkan jauh lebih bagus karena mutunya selalu diperhatikan. Paman Tirto yang mengurusnya. Dia orangnya sangat teliti.”

 

Kresna hanya bisa manggut-manggut dengan wajah terlihat sangat takjub.

 

Ujung jalur padang bunga adalah lorong gelap lagi, yang entah berkelok berapa kali. Bebas lagi dari lorong, mereka kemudian melewati hutan bambu kuning di sisi kanan, dan rimbunnya aneka tumbuhan – terutama aneka umbi-umbian – di sisi kiri. Di kejauhan, terlihat jembatan kecil yang menghubungkan sisi kanan dan kiri sungai. Kresna mengenalinya sebagai jembatan yang ada di belakang pondok Paitun. Ternyata benar. Pelan-pelan, kedua sampan mereka menepi, dan berhenti di sebuah dermaga kecil di dekat jembatan. Kresna pun mematikan kameranya.

 

Mereka pun turun dari sampan. Dengan cekatan, Alma menambatkan kedua sampan itu pada dua buah tiang dermaga. Beriringan mereka kemudian berjalan menuju ke pondok Paitun.

 

Perempuan tua itu sudah duduk menunggu di beranda belakang pondoknya. Ia menyambut kedatangan rombongan kecil itu dengan senyum teduhnya.

 

“Bagaimana? Puas hari ini?” tanyanya.

 

“Saya nggak bisa ngomong apa-apa, Ni,” jawab Kresna. “Semuanya terlalu indah.”

 

“Tapi kamu tak lupa mengabadikannya, kan?” Paitun menunjuk kamera yang masih dipegang Kresna.

 

“Ya, Ni.” Kresna mengangguk. “Terima kasih atas semua ini.”

 

“Hanya Gusti yang patut menerima semua ucapan terima kasihmu.” Paitun menepuk lembut bahu Kresna. “Sekarang, kalian istirahatlah dulu. Sebelum matahari terbenam nanti, kita sudah harus berangkat ke Bawono Sayekti.”

 

Baik Alma maupun Kresna mengangguk dengan patuh dan menuruti ucapan Paitun.

 

* * *

 

(Bersambung)

 

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.