Ujangku malang, Ujangku sayang

UJANG KU SAYANG, UJANG KU MALANG
Aku tidak ingat berapa anak tangga yang harus aku lalui sampai ke lantai tiga ini. Kemarin anak tangga ini masih polos, namun sekarang ada stiker - stiker motivasi yang menempel, namun tetap saja aku malas untuk membacanya.
"Bodo amaaat, aku ga butuh motivasi, aku cuma butuh ceepettt, " gumamku dalam hati sambil mengikat rambut sebahuku dengan poni yang mulai mengganggu.
Tetapi, dengan sedikit melompat, dengan tubuhku yang kecil ini, aku mampu melalui dua sekaligus anak tangga dengan penuh ketidaksabaran. Rok panjang hitam yang aku pakai, tidak menghalangi langkahku. Untung saja sepatu boot ku ini sangat bersahabat di saat seperti ini.
"Eh, Ibu balik lagi, tadi kan sudah turun ?, " sapa Pak Atmo yang sudah mau pulang menyapaku di anak tangga terakhir.
"Iya Pak, si Ujang masih di atas."
Aku melihat wajah pak Atmo keheranan di balik seragam securitynya, namun hanya terdiam tidak berani bertanya lagi.
"Gubrakk, " kataku membuka pintu kaca yang agak berat itu.
"Aaaahh..Ujanggg...kamu masih di sini ternyata! "
Kulihat Ujang masih diam di mejaku. Tubuh kecilnya kaku sepertinya kedinginan. Wajah merahnya tampak mencolok diantara buku - buku ku yang tersusun di atas meja.
"Aduuuh Ujang, kamu disini. ayo kita pulang, maaf ya tadi aku ninggalin kamu, " kataku sambil merajuknya.
Aku bawa Ujang keluar kantor segera, mengendarai mobil putih ku untuk pulang. Namun, sepanjang perjalanan, Ujang hanya membisu, mungkin dia marah. Sepanjang perjalanan yang penuh keheningan diantara kami berdua, namun aku yakin, Ujang memahamiku.
.***
Sampai di rumah, aku segera aku bawa Ujang ke kamar. Namun, tetap saja dia masih diam. Biasanya Ujang akan tampak bersemangat bermain denganku, mendengarkan curhatanku, ataupun menenemaniku menonton film. Tapi sudahlah, mungkin Ujang masih ingin diam. Aku nyalakan musik. sambil tiduran di kasur empukku, memandang Ujang yang diam menatapku.
" Ah, Ujang, besok kamu ga usah ikut ke kantor deh, nanti kamu pasti jadi bete, kantor ku memang kantor advertising, harusnya asik kan, tapi, kalau tentang kamu, mereka pasti akan ga asik deh, santai aja Ujang, yang penting mah aku padamu...atauuu..kita mau nonton film besok? Kebetulan Marvel ada film baru "
Aku lihat matanya seperti menyetujui ucapanku tadi. Kantor ku sepertinya bukan tempat yang nyaman buat Ujangku. Bagaimana mau nyaman? saat orang semua memandang Ujang dengan pandangan aneh, ada yang menertawai, ada yang bisik - bisik dibelakang kami. Biar saja, orang memang tidak mengerti bagaimana Ujang dan aku.
***
Ku tutup jendela kamar, ku dengar adzan magrib sudah berkumandang. Tirai kuturunkan. Pendingin ku nyalakan, dan ku lihat Ujang duduk di sudut meja riasku. Aku tersenyum melihatnya, bahkan setengah merayu menyapanya.
" Ujang, jangan marah ya, janji ga akan bawa ke kantor lagi...eeh...sini aku mau cerita, eh kamu tahu kan Anna? ihhhh..tambah nyebelin loh dia hari ini. Di meeting tadi, dia mengacak - acak semua program kerja ku, hmmmmmm, aku harus bagaimana ini Ujang? "
Ujang masih setia di sudut ruangan, mendengarkan semua curhatan ku tentang suasana kantor yang memang kadang penuh intrik, tentang makan siang yang dikirim oleh Mas Andi, sampai curhat lipstik baru yang aku beli daring.
Ujang memang pendengar setiaku, menemaniku tanpa menuntut. Tidak seperti Mas Andi. Mas Andi, yang aku yakin kebaikannya pasti penuh siasat. Seperti kemarin saat dia mengajakku makan malam, ternyata, dia mengajakku hanya untuk mengisi malam sepinya, karena istrinya yang sedang ke luar kota. Sedangkan saat aku ingin ditemani, Mas Andi akan menolak dengan penuh rayuan meminta aku untuk memahami keadaannya . Lelaki memang begitu, mereka memang pada dasarnya tidak akan setia pada satu wanita. Dengan indahnya mereka melayangkan rayuan, setelah mengenai hati, mereka akan pergi begitu saja, ada yang dengan alasan, adapula yang tanpa alasan.
" Ah Ujang, aku tu kok ga bisa nolak Mas Andi ya..masih saja mengiyakan ajakan makan malamnya, masih saja terbayang kaca mata dan cardigannya, apalagi senyumnya, padahal kan aku tahu kalau aku hanya pelampiasannya saat sepi uhhhhghhh...," ceritaku kepada Ujang. Sedangkan kulihat Ujang diam seperti biasa, namun aku yakin, Ujang mengertiku.
"Brrrrrrrgggbrrggggg, " teleponku bergetar., tanda pesan masuk.
Andi : Dee, trust me that this feeling is the best one for me. We should make it more. Meet me tomorrow at 7
"Tuh, kan, Mas Andi mengirim pesan...hhmmmmm, duuuh Ujang, semakin aku menghindarinya, semakin susah ini maaaah Ujangg....ghhhhhhhh "
Aku terus saja bercerita tentang laki - laki itu, tentang betapa sebenarnya aku mengharap telepon ajakan makan siangnya, memimpikan makan malam romantis lagi bersamanya, menikmati film favorit bersamanya, tentang cemburuku saat istrinya menelpon, tentang tentang rasa bersalahku saat aku bersamanya, tentang beberapa wanita yang dekat dengannya.
Ujang dengan tenang mendengarkanku, tanpa menyalahkanku, tanpa menghakimiku, sampai akhirnya aku tertidur. Ujang tidak akan pernah menyebutku pelakor, atau pesellingkuh,atau apapun itu. Ujang hanya akan selalu menyediakan telinganya untukku.
Seisi dunia juga tahu kalau aku salah, jika tetap bersama Mas Andi. Cepat atau lambat kalau aku masih dengannya, seisi kantor akan tahu, dan aku tidak mau istrinya juga tahu. Mas Andi bukan orang yang setia, aku tahu dan sangat sadar. Tapi, bagaimana aku bisa menolak perasaan ini? Hanya Ujang yang tahu bagaimana perasaanku.
***
"Dee?, " Ucap Mas Andi sambil menggenggam tanganku.
“Iya Mas, ? “
“ Dee, kita perlu bicara “
“Apa yang mau dibicarakan Mas?, “ kataku memandang sorot mata di balik kacamata bulat itu. Sementara ruangan ini tambah dingin aku rasa. Cardigan abu – abu milik Mas Andi yang aku pakaipun tidak bisa memberikan rasa hangat. Aku semakin tidak tahu, apa memang hatiku juga sudah dingin sepertinya
Sementara, Ujang di sebelahku dengan diam saja, entah berpura – pura tidak mendengarkan percakapanku dengan Mas Andi, atau memag dia ingin mendengarkan live music yang sedang mengalun pelan di restoran ini. Restoran ini sering aku datangi bersama Mas Andy, saat dia bisa bersembunyi sebentar untuku, atau terkadang hanya Ujang yang menemaniku. Sekali lagi, Ujang lah yang akan setia untukku.
“Dee, I’ ve decided something important, ” ujarnya serius. Aku tidak pernah melihat Mas Andi seserius ini sebelumnya.
“Aaaapa? “
“Iya, aku sudah memutuskan untuk meninggalkan Fitri “
“ Apaa Mas? Kamu ga asal ngomong kan yaaaa? Kamu mau berpisah dengan Fitri? Kamu yakin dengan keadaannya?, kaa....” Belum selesai aku berbicara, Mas Andi sudah memakaikan cincin di jari manisku dengan lembut. Aku ingin teriak meminta tolong Ujang, namun badanku tidak bisa menolak Mas Andi dan cincin itu. Sedangkan, ku lihat Ujang juga hanya tetap diam saja di tempatnya.
“Mas..sebentar, “ kataku mendorong pelan dadanya menjauh akhirnya setelah aku bisa menyadarkan pikiranku dalam seper sekian detik.
“Kenapa? “
“Sepertinya aku tidak bisa menerima lamaranmu, “ sambil ku lepas cincin itu.
“Mas, aku tidak mau menyakiti Fitri, istrimu itu “
“Bukannya kita yang sembunyi ini juga menyakitinya, aku memilihmu ! “
“Mas, aku ingin kita selesai, sampai di sini saja, it’s better for us to end it up ! Fitri lebih membutuhkanmu , “ tegasku.
“Ga bisa, aku ga mau, pokoknya engga Dee! “
“Mas, inget..Fitri lagi sakit, ” aku mencoba mengingatkan Mas Andi akan kanker yang diderita Fitri.
“Engga, aku ga peduli, “ katanya meradang. Wajahnya memerah memendam amarah karena penolakanku.
“Mas, sudah, kalau kita nekat bersama, itu sudah bukan cinta namanya,aku sudah memikirkan baik– baik, dan memang sudah seharusnya kita tidak bersama, kita sangat salah “
“Tiiiiidaaakkkkkk Dee.. sekali lagi tidaaakkk..” teriak Mas Andy penuh marah, dilemparkanya cincin yang tadi diberika kepadaku dan tiba – tiba tanganya meraih Ujang yang sedang diam di sebelahku. Digenggamnya kencang tubuh Ujang yang kecil dengan segala marahnya, sedang aku mencoba mengatur detak jantungku dan nafasku yang semakin kencang menahan tangis.
“Gubrakk...” Suara kencang terdengar dan semua pengujung meihat ke arah kami. Dengan marah mas Andi melempar Ujang yang besarnya hanya satu genggaman dia itu, ke meja penuh makanan ini. Pandangan ku mulai nanar saat melihat badan merah Ujang hancur berkeping di meja. Tenggorokanku terkecat dan jantungku seperti ingin berhenti.
“Maaaas... Ujang kamu hancurkan? tidaaakk Mas...tidaakkkkk ...Ujaaaaaaangggggg...“ teriakku tercekat menahan tangisku sambil berusaha memungut kepingan tubuh Ujang.
“Puas kan? Aku ga ada artinya di depanmu “
“Mas, kamu tegaaa... Ujang satu – satunya yang mengerti aku, menemaniku, sekarang kamu hancurkan juga.“
Aku terus menangis keras, dan Mas Andi terdiam di sebelahku masih dengan amarahnya. Aku tidak peduli dengan semua orang yang melihatku dengan pandangan aneh, iya, aku seorang wanita dewasa yang menangisi robot kesayanganku, Ujang.
Karawang 2019
Dedicated to My Ujang somewhere
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.