THE CINNAMON

THE CINNAMON
Sumber : 90.co

Laki-laki berperut buncit yang rambutnya menipis di bagian depan mengamati penampilan Tiara dari  kepala sampai ke kaki. Keheranan tergambar jelas di wajahnya. Ekspresinya seperti  sedang melihat alien yang terdampar di bumi. Sosok yang tidak mudah dikenali jenis kelaminnya dengan rambut sebahu  yang agak acak-acakan di bagian belakang.  Ransel hitam membebani  punggungnya. Membuatnya berjalan terbungkuk-bungkuk. Langkahnya ringan dengan sneaker warna merah bata yang menyembunyikan sepasang kakiknya. Kemeja kotak-kotak merah hitam lengannya digulung sampai siku. Jam tangan besar bertali merah melingkar di pergelangan tangan kanannya.

Kedatangan Viola dan Ben kemudian menyelamatkannya. Setidaknya mampu menghapus keheranan di wajah lelaki itu. Tiara tidak perlu memperkenalkan diri setelah dua petinggi Departemen Kreatif dari tempat kerjanya itu menyebut dirinya sebagai Copywriter yang menangani iklan produk perusahaan kliennya ini. Mungkin salahnya juga karena tadi pagi dia tidak mau berangkat bersama mereka. Sebenarnya bukan karena tidak mau. Tiara baru saja menghabiskan akhir pekan di rumah teman lamanya di Bogor. Pagi-pagi sekali tadi dia naik kereta kembali ke Jakarta. Lebih cepat kalau dia langsung ke kantor klien dari pada harus ke  Image Advertising dulu untuk berangkat bersama mereka.

Tangan lelaki itu menjabatnya sambil memaksakan diri membentuk senyuman yang khusus ditujukan untuk Tiara. Setelah itu dia lebih banyak berbicara dengan Viola yang menjadi Creative Director  untuk pekerjaan ini. Sementara Ben yang berperan sebagai Art Director sesekali saja dilibatkan dalam pembicaraan keduanya.

“Ada tiga agency yang  ikut pitching,” jelasnya seperti ingin menegaskan kalau Image Advertising harus beradu dengan dua biro iklan lain agar bisa menangani iklan TV  kipas angin yang diproduksi perusahaan ini.

Mereka dibawa menuju ruangan presentasi di lantai dua. LCD telah disiapkan di atas meja yang dikelilingi kursi. Sudah ada empat orang yang duduk di sisi kiri meja. Dua laki-laki dan dua perempuan. Nampaknya mereka adalah advertising agency yang menjadi saingan dalam memperebutkan pekerjaan ini.

Ketika Viola duduk  diikuti oleh Tiara dan Ben, dari arah pintu terlihat tiga orang lelaki memasuki ruangan itu. Si Buncit tadi segera mempersilakan mereka untuk bergabung bersama. Acara akan segera dimulai.

“Kita tunggu sebentar kedatangan Marketing  Manager dan Product Manager,” kalimat si Buncit itu membuat mereka harus bersabar beberapa saat. Air mineral dan snack box yang disediakan di meja sejenak bisa mengusir bayangan para petinggi yang sering datang terlambat.

“Seharusnya jam sembilan sudah mulai, “ gerutu Viola sambil sesekali melihat ke arah pintu. Berharap mereka yang disebutkan tadi segera muncul di hadapannya.

“Kita maju nomor berapa?” Ben bertanya ingin memastikan kesiapannya. Lap topnya dihidupkan lalu mulai melihat-lihat story board  iklan kipas angin yang dibuat dalam tiga versi.

“Kita yang terakhir,” ucapan Viola membuat wajah Ben berubah muram.

“Kita malah  untung  bisa melihat kelemahan mereka,” bisik Viola menenangkan.

“Tapi percuma juga Vi, kita nggak mungkin bisa revisi di sini.”

“ Siapa bilang? Bisa kok.”

“Gimana Tia?” Ben minta dukungan.

“Tenang aja Ben. Rasanya kita udah habis-habisan kerjanya. Feeling-ku sih kita menang pitching kali ini.”

I hope so,” Viola menyahut dengan  mata berbinar-binar.

Tiara dan Ben memang harus berjuang meyakinkan klien pada konsep dan strategi kreatif iklan TV yang mereka buat.  Jika dua rival mereka mengusung strategi slice of life untuk menampilkan produk dengan menunjukkan kapan dan bagaimana produk dipakai oleh sebuah keluarga. Agency yang maju pertama menunjukkan frame story board tentang seorang anak Balita yang menangis karena ngantuk tapi tidak bisa tidur karena kegerahan. Agency ke dua membuat eksekusi iklan dengan menampilkan rapat yang diikuti oleh para pegawai yang kegerahan  Tiara dengan percaya diri mengangkat pendekatan humor. Alasannya karena produk ini ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah. Humor terbukti membuat iklan lebih get attention dan memorable. Iklan yang ditawarkan menampilkan si gemuk dan si kurus yang berebut kipas angin lalu diikuti jingle iklan tentang manfaat dan keunggulan produk.

“Kelihatannya mereka tertarik dengan iklan kita,” ujar Viola ketika mereka meninggalkan ruang presentasi.

“Kita tunggu tiga hari lagi,” sambung Ben dengan wajah berseri-seri.

“Gimana menurutmu Tia?” Viola meminta pendapat.

“Mudah-mudahan kita yang menang.”

“Tos dulu !” ajak Ben lalu ketiganya saling menepukkan telapak tangannya disertai senyum terkembang lama.

Viola seperti teringat sesuatu. Senyumnya masih belum hilang ketika dia mulai membujuk  Tiara “Eh, Tia, Kreatif nanti mau ke D’marco Café. Ikut ya !”

“Ayo, nggak boleh nolak!”

“Aku  ada  potluck  dinner.”

“Aduh..kamu.. potluck melulu. Nggak seru lagi.  Kita ada free party malah kamu nolak.”

“Sori, Vi. Aku udah janji datang.”

“Itu acaranya bule-bule kan?” tebak Ben.

“Jangan-jangan kamu lagi PDKT sama bule?”Viola mulai curiga.

Tiara tak menyahut. Roman mukanya tak berubah. Biasa saja. Apapun yang dilontarkan teman-teman tak mempengaruhi kehidupannya. Mereka bebas berkomentar dan menduga apa saja.

“Emang kamu lebih tertarik sama bule ?” Ben menimpali.

“Masalah buat lo?” ledek Tiara.

Viola tertawa kecil menyaksikan  keduanya saling meledek. Langkah mereka kian mendekati basement tempat parkir mobil. Ben yang akan menyopir membawa mereka kembali ke kantor Image Advertising. Deadline pekerjaan lain sudah menunggu mereka. Syuting iklan snack untuk anak, recording iklan radio  dan casting  model iklan shampoo.

Kalau Viola dan Ben sibuk membuat list pekerjaan yang harus ditangani minggu ini, Tiara menata hatinya yang gelisah menunggu potluck dinner di rumah

Jeanny, temannya yang berasal dari Amerika dan berprofesi sebagai pelukis batik. Sudah beberapa kali para ekpatriats diundang  datang pada acara potluck dinner di rumahnya.

David selalu datang ke rumah Jeanny setiap acara itu diadakan. Sama seperti Tiara. Dia selalu membawa makanan yang dibuatnya sendiri di rumah. Selalu berbahan dasar kentang, keju dan daging yang ditambah vegetable mix. Sedangkan Tiara sering membawa makanan berbahan pasta meskipun kadang-kadang diganti dengan kue-kue tradisional dari tepung beras. Tapi ada satu yang tidak pernah dilupakan. Membawa wedang sereh  yang dicampur sedikit kayu manis.

Lemon grass and cinnamon beverage?” David mencoba meyakinkan setelah mencicipi beberapa teguk dengan gelas kecil.

“Ya. Bagaimana?”

“ Enak.”

“Ini teh pakai cinnamon ?” Jeanny bertanya setelah menghabiskan satu gelas.

David menerangkan komposisi bahan untuk membuat minuman itu. Sama persis seperti yang dijelaskan Tiara sebelumnya. Beberapa tamu lain ikut mencoba dan segera menyukai minuman tradisional buatan Tiara  yang kemudian oleh David dinamakan “The Cinnamon

“Lemon grass and cinnamon beverage?” Tiara mengingatkan.

Too long ,” katanya

Demi  David dan The cinnamon, Tiara rela kehilangan kesempatan untuk menikmati kebersamaan dengan teman-teman Tim Kreatif di kafe D’Marco. Tapi gathering, party , hang out atau apapun namanya sudah sering dilakukan bersama mereka. Ada saatnya dia menikmati kesenangannya sendiri.  Senang bertemu dan berbicara dengan David sambil menatap matanya yang biru. Selain enak dipandang, lelaki muda itu pun enak diajak ngobrol tentang apa saja.

“Dia IT Consultant dan asalnya dari Belgia,” begitu Jeanny memperkenalkan David kepada Tiara ketika pertama kali bertemu dulu.

Sambil membayangkan wajah David, Tiara menyiapkan The cinnamon  yang telah menjadi trade mark-nya selama ini. Sebagai tambahannya dia juga membuat macaroni schotel yang diberi topping keju  cukup banyak. Sebenarnya komposisi yang aneh. Memadukan wedang sereh dengan macaroni schotel. Tapi tak apalah. Di sana nanti akan ada berbagai macam makanan lainnya. Terserah mereka akan makan dan minum yang mana saja sesukanya.

Sehabis mandi barulah Tiara berpikir tentang pakaian. Sesuatu yang tidak pernah diperhatikan sebelumnya. Acara itu pun bukanlah acara formal seperti jamuan makan di restoran mahal atau di hotel berbintang. Bisa datang dengan pakaian seperti ketika kita ingin main ke rumah teman dekat. Rata-rata memakai pakaian casual. Agak aneh kalau tiba-tiba sekarang Tiara ingin tampil beda supaya mendapat perhatian David.

Di kamarnya , dia  masih berbalut baju mandi sambil membuka isi lemari pakaiannya ketika  Jeanny menelpon mengingatkan agar dia datang dengan The cinnamon.  Sejenak lamanya dia masih bingung harus mengubah penampilannya seperti apa. Satu-satunya yang menampakkan sisi kewanitaannya adalah sackdress biru donker yang sudah lama tidak dipakainya. Setelah dikeluarkan dari lemari kemudian dipikirkan tentang alas kaki. Bukan sneaker atau sepatu boots yang lebih sering menemaninya selama ini. Lantas apa? High heels ? Ah, terlalu menyolok. Lagipula dia  tidak punya. Ada flat shoes model gladiator warna hitam yang nampaknya matching  dengan sackdress-nya.Tapi kalau nanti masuk ke rumah Jeanny, sepatu itu dilepas. Sebenarnya tidak ada bedanya mau pakai sepatu sandal atau telanjang kaki.

Sebenarnya Tiara menyimpan nomor HP David tetapi tak punya keberanian untuk menghubunginya lebih dulu. Menunggu saja. Sialnya yang ditunggu tidak pernah tergerak untuk menghubunginya. Kadang-kadang saja Tiara menyapa lewat Line , Whatsapp atau Facebook. David selalu membalasnya tapi pembicaraan mereka tak pernah berlangsung lama.

Apakah aku harus dandan? Tiba-tiba dia teringat dengan pandangan aneh si Buncit tadi pagi. Sungguh tak ingin David memandangnya seperti itu nanti. Dia haruslah mengagumi penampilan Tiara yang beda nanti malam. Aduh, dia sama sekali tidak  tahu cara memakai make up . Kalau mau bisa saja lihat di youtube ah tapi diurungkan. Tidak mau terlihat menyolok di antara para tamu yang datang nanti. Mereka semuanya tampil polos tanpa make up kecuali bedak dan ada yang juga memakai lipstick.

Cukup pakai sackdress dan flat shoes gladiator  dengan sedikit polesan lipstick merah maroon sudah cukup mengubah penampilannya menjadi berbeda dari biasanya. Alisnya sedikit diperjelas dengan pensil alis dan matanya ditambahkan eye liner  untuk memperindahnya. Kalau ditambahkan eye shadow akan memperindah binar matanya. Sayangnya dia tidak memiliki benda ajaib itu.

Siap untuk pergi setelah semuanya dirasa sempurna.  Makanan dan minuman yang akan dibawa dimasukkan ke dalam  Tupperware yang kemudian ditaruh di tas canvas yang dijinjingnya. Kakinya terasa ada yang menabrak ketika dia berjalan ke luar dapur. Kimci menggesekkan tubuhnya ke kakinya beberapa kali sehingga menghalangi langkahnya.

“Minggir dulu kalau mau makan!”

Makanan kucing dalam kaleng di pojok dapur dituangkan  dua sendok ke tempat makanan Kimci. Segera kucing  coklat itu menghampirinya lalu makan dengan cepat. Tiara mengelus kepalanya sambil berpamitan pergi. Pada saat itu HP-nya berbunyi. Mama menelponnya.

“Kamu sedang sibuk Tia kok lama nggak nelpon ?”

"Ya biasa aja Ma. “

“Sudah makan belum? Jangan sampai telat makan. Banyak minum air putih. Konsumsi buah dan sayur harus rutin tiap hari ya?”

“Iya, Ma.”

Tiara  tersenyum sendiri mendengar semua petunjuk Mama. Barangkali dia lupa kalau anak gadisnya sebentar lagi sudah umur dua lima.  Masih selalu dianggap anak kecil.  Hampir  setiap Ibu nampaknya akan berbuat seperti Mama. Karena itu dia tidak menceritakan potluck di rumah Jeanny. Pergi malam-malam akan membuat Mama khawatir meskipun Mama tahu  Jakarta tidaklah seperti Salatiga , kota asalnya . Di sana di atas  jam sembilan jalanan  sudah  mulai sepi. 

Jalanan di Jakarta tak pernah sepi selama dua puluh empat jam.       

 Menunggu taksi di depan pavilliun tempat tinggalnya makan waktu beberapa lama. Satu dua taksi yang lewat selalu sudah ada penumpangnya. Kalau dalam lima menit ke depan tidak ada taksi kosong yang melintas, Tiara akan menelpon taksi yang mau menjemputnya. Taksi langganan yang biasa dipakai untuk urusan kerja. Namun niat itu tak jadi dilakukan karena sebuah taksi berwarna biru muda lampu atasnya menyala. Taksi itu menepi melihat lambaian tangannya.

Perjalanan ke rumah Jeanny biasanya sekitar setengah jam kalau tidak macet. Tiara berharap malam ini perjalanan akan lancar sehingga dia bisa tiba di sana lebih cepat. Sudah tak sabar ingin segera bertemu David. Beberapa kali dia melihat Facebooknya tidak  menemukan kabar apapun tentang David. Sudah hampir seminggu ini  si mata biru itu tidak update status. Keinginan untuk menghubungi lewat Whatsapp dan Line juga selalu diurungkan. Entah kenapa dirinya harus begitu rupa menyembunyikan perasaannya kepada lelaki bule itu.

 Jakarta tidak pernah benar-benar bisa mengubahnya. Pergaulan dengan teman-teman baru di tempat kerja tidak mampu membuatnya menjadi gadis metropolis. Tiara tidak terpengaruh untuk ikut clubbing atau hang out .  Kadang-kadang saja dia ikut menonton bersama di movie book atau  menghabiskan malam-malamnya di café. Waktu luangnya lebih banyak digunakan untuk melakukan aktivitas out door yang lebih memacu adrenalin.  Panjat tebing dan  arung jeram adalah olah raga kesukaannya selain diving dan caving.

Taksi berhenti tepat di depan pagar rumah  Jeanny . Pintu belum dibuka tapi sudah terdengar percakapan-percakapan dalam bahasa Inggris dari dalam rumahnya. Pagar didorongnya supaya dia bisa masuk. Langkahnya dipercepat karena sudah tidak sabar ingin segera bertemu komunitas ekspatriat di Jakarta . Kehadirannya sebagai minoritas dalam komunitas itu tidak pernah mengganggunya. Beberapa tamu adalah orang Indonesia yang menjadi  suami atau istri  dari ekspatriat. Ada juga yang masih berstatus sebagai pacar atau teman dekat.  Semuanya menyatu dan tidak melihatnya sebagai perbedaan.

 “Hello Tiara, I miss you so much,” Jeanny memeluknya erat.

 “The cinnamon. How are you ?” Stephany menyambutnya juga.

Semua yang datang meletakkan makanan dan minuman yang dibawanya di atas meja panjang di ruang tengah. Tiara mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari-cari David di antara para tamu yang datang.

 “You look so beautiful !” seru seorang perempuan berbadan tinggi langsing.  Tiara agak lupa tapi segera mengenali setelah melihat lelaki botak yang menyusul di belakangnya. Dia  berasal dari Marseille. Aksen Perancisnya begitu kental ketika mengucapkan kalimat berbahasa Inggris. Suaminya berasal dari Semarang.

 Berbasa-basi dengan semua tamu. Tersenyum dan menyambut uluran tangan. Mendekap dan didekap. Mencium dan dicium. Sudah dilakukan dengan hampir semua yang hadir di situ. Namun si mata biru yang dinantinya belum juga kelihatan.  Sudah hampir satu jam. Waktu mencicipi semua makanan akan segera dimulai. Semua akan berdiri untuk mengambil apa saja yang disukai  diselingi ngobrol dan bercanda.

"David tidak datang?”  Tiara memberanikan diri bertanya kepada Jeanny.

“Ah, don’t  you know? David  comeback to Belgium.”

“Kontrak kerjanya sudah habis,” kata si Botak menambahkan.

  Tiara menatap sackdress-nya sambil menggigit bibir. Stephany dan Jeanny yang mengobrol di dekatnya tak menarik minatnya. Si Botak menawarkan martabak telur tapi disambutnya dengan gelengan kepala. Suara-suara obrolan dalam bahasa Inggris di sekelilingnya terdengar seperti dengungan lebah yang beterbangan dari sarang.   

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.