Satu menit saja

Satu menit saja

SATU MENIT SAJA 

pixabay.com

Angin danau berhembus lembut menampar wajahku. Enggan rasanya diriku beranjak dari batu besar tempat kami duduk. Lena terus memandangi perahu yang tertambat di batang pohon kelapa. 

"Perahu itu sepertinya memanggil kita untuk mengarungi danau ini." kata Lena sambil menggayutkan tangannya di lenganku. 

"Uda tidak mau mencobanya? Ayolah Uda Manan, Udaku sayang. Kita belum pernah berduaan saja ke tengah danau dengan sampan." bujuk Lena. 

"Anginnya sedang bersahabat ya. Memang enak kalau kita main ke tengah danau dengan perahu. Tapi itu perahu siapa? Kita musti minta izin dulu pada pemiliknya." kataku setelah agak lama diam, berharap sang empunya perahu tidak memperbolehkan kami meminjamnya meskipun untuk sejenak. 

"Itu punya Mamak Afdhil, adik ibuku. Jadi tidak akan ada masalah" jelas Lena. 

Kugulung pipa celanaku agar tidak basah saat berjalan masuk ke tepian danau untuk mengambil perahu yang terbuat dari batang kayu tersebut. Ada dua dayung bercat kuning dengan corak-corak biru di ujungnya. Gambar yang tidak jelas, namun setelah aku perhatikan bentuknya menyerupai makhluk alien di film E.T. Atau itu hanya khayalanku saja. 

Lena yang berjalan di sampingku lebih sigap dan tampak sudah terbiasa menaiki perahu itu. 

"Uda belum pernah naik perahu ya?" Lena menggodaku. 

"Sudah pernah koq. Tapi perahu karet, waktu rumahku kebanjiran." aku membalas candanya. 

"Aku saja yang mendayung, Uda. Uda nikmati saja pemandangannya." Perintah yang tidak mungkin kutolak. 

Dalam sekejap kami telah berada di tengah danau. Memandang danau ini dari tengahnya ternyata jauh lebih indah daripada dari tepinya. 

"Bagaimana, Uda? Lebih keren kan pemandangan dari sini? Tidak percaya sih padaku." 
"Iyaa... Aku percaya sekarang. Tidak heran kalau lengan kamu lebih berotot daripada lenganku. Hobbynya mendayung ke tengah danau tiap hari." godaku sambil memandang lurus ke tubuh Lena yang padat berisi. Tidak kurus dan tidak juga gemuk. Sintal mungkin kata yang lebih tepat. 

"Kita berenang yuk!" ajak Lena dengan mimik yang serius tapi lucu di mataku. 

"Yaaa...mau berenang pakai apa? Aku kan tidak bawa celana renang. Masak pakai celana dalam?" tanyaku terkekeh-kekeh. 

"Tidak pakai apa-apa." jawaban yang menampar pikiranku. Pendengaranku serasa disambar petir. 

"APAAA?" 
"Kamu juga tidak pakai apa-apa?"  Kupandangi wajah gadis belia yang baru saja memulai kuliahnya di almamaterku. 

"Iya...iya..." tegasnya dengan mengangguk-anggukkan kepala sambil bibirnya menyeringai. 

Aku memang senang telanjang dan ketelanjangan. Tidur pun aku telanjang. Tapi aku tidak pernah telanjang di depan orang. Apalagi telanjang di depan perempuan, kecuali di depan ibuku semasa aku bayi dan balita. 

Membayangkan telanjang di depan gadis idamanku telah meluluhlantakkan impian tentang masa depanku bersamanya. Mimpi. Hanya bunga tidur. 

Terpampang di hadapanku saat ini adalah Lena yang telah menanggalkan semua pakaiannya. Siap untuk terjun berenang. 

Kemolekan tubuhnya membangkitkan darah kelaki-lakianku. Kutahan diriku untuk tidak memperlihatkannya di hadapan Lena.
"Aku sudah sering berenang telanjang di sini. Aman koq. Tidak ada yang melihat." jelas Lena. 

"Kecuali orang iseng yang pakai teropong." Lena masih bisa bergurau di depanku yang galau. 

"Itu rezeki buat mereka."
"Ayolah, Uda. Tidak usah malu padaku. Aku sudah sering melihat ayahku mandi telanjang di sumur belakang rumah kami. Jadi, aku sudah terbiasa koq." Lena berusaha membujukku untuk melepas pakaianku. 

"Kapan lagi, Uda?"
"Ya sudah, aku berenang duluan saja. Uda bisa buka pakaian ketika aku menyelam."
Tubuh montok nan menawan itu langsung terjun ke air. Meninggalkan aku yang masih risau. 

"Baiklah. Kesempatan tidak akan datang dua kali." kataku dalam hati. 

Satu per satu pakaian yang melekat di badanku aku letakkan di dasar perahu. Dengan perlahan dan hati-hati, aku mulai menceburkan diriku ke danau. Di dalam air ternyata lebih hangat daripada di atas perahu. 

"Lena... jangan jauh-jauh dari aku ya. Jujur, aku agak takut-takut juga nih berenang di tengah danau begini." 

"Hi...hi...bukannya Uda jago berenang?" 

"Itu kan di kolam renang. Dasarnya jelas kelihatan. Paling hanya 2-3 meter saja kedalamannya." Kucoba membela diri sambil melawan ketakutanku sendiri. 

"Kita lomba menyelam mau ngga, Uda?" tantang Lena setelah melihatku mulai terbiasa dengan berenang mengapung di tengah danau. 

"Tidak usah lama-lama. Satu menit saja. Siapa yang muncul duluan ke permukaan, dia harus mentraktir. Bagaimana?" 

Merasa tidak nyaman ditantang oleh seorang perempuan, Manan tidak kuasa menolaknya. 

"Siapa takut, duyung danau?" jawabku membalas tantangannya. 

"Hitungan ketiga ya. Satu...dua...tiga." 

Kutarik napas dalam-dalam sebelum menyelam dan meluncur perlahan ke arah dasar danau. Cahaya matahari masih mampu menembus dan menyinari lingkungan bawah danau. Lumayan indah ternyata pemandangan di bawah sini. Hijau di mana-mana berkat rumput-rumput yang memanjang ke atas. Bergoyang meliuk-liuk bagai tarian penyanyi dangdut. Ikan-ikan kecil berenang berkelompok. Hitam adalah warna yang dominan. Tidak kulihat adanya warna lain. Berbeda dari yang pernah kuamati ketika menyelam di pantai Gili Trawangan dan Pangandaran. Ikan-ikannya beraneka warna. Mungkin itu perbedaan penghuni laut dan danau. 

Tidak mau berlama-lama di kedalaman danau, kuputuskan untuk segera naik ke permukaan. 
"Biar aku saja yang traktir Lena." kataku membatin. 

Dasar perahu kami terlihat samar dari bawah ini. Tampaknya lumayan jauh juga aku menyelam. Tiba-tiba manuverku tertahan. Aku tidak bisa melaju berenang. Ada yang menahan kaki kiriku. Setan danau kah itu? Aku tidak berani menoleh ke belakang untuk memeriksa siapa, atau apa, yang telah memegang kakiku. 

Aku terus berusaha untuk bergerak berenang. Tapi, makin keras aku berupaya melepaskan diri, makin kuat juga pegangan di kakiku. 

"Ya Allah. Inikah akhir hidupku? Di dalam ketelanjangan di bawah danau ini?"
"Papa...Mama...maafkan aku. Anak satu-satunya yang tidak sempat memberikan cucu di hari tua Papa dan Mama." 

Waktu terus berjalan. Aku mulai kehabisan napas. Tetap takut untuk menengok ke belakang. Tenagaku pun mulai berkurang. Antara pasrah dan putus asa, kuberanikan diriku untuk melihat ke belakang. 

Lena berenang mengapung di permukaan danau dengan bergelayut di pinggiran perahu. Ia ingin sekali mentraktir Uda Manan yang selama ini selalu membelikannya makanan dan minuman setiap kali mereka bertemu. Lena pun tidak mau berlama-lama di bawah air. Mungkin hanya sekitar 30 detik, ia telah bergerak kembali ke atas air. 

"Uda Manan kuat juga menyelamnya. Tapi koq perasaanku tidak enak ya?" Lena bertanya-tanya dalam hatinya mengapa  Manan belum naik juga ke permukaan. 

"Sebaiknya aku cek saja deh. Daripada penasaran" 

Lena mulai menyelam lagi. Sejurus dilihatnya Manan sedang berusaha berenang tapi ada sesuatu di kakinya yang menahannya. 

Apa yang aku lihat membuatku terhenyak. Rumput-rumput danau melilit sebelah kakiku. Bukan setan seperti yang aku takutkan. Aku berusaha bergerak untuk melepaskan jalinan rumput di kaki kiriku. Apa dayaku? Energiku sudah habis saat tadi aku berupaya mendorong diriku untuk berenang ke permukaan. 

Lena datang tepat pada waktunya. Dengan tenaga dan napas yang masih segar, Lena mulai melepaskan ikatan rumput-rumput itu di kaki kiri Manan. Cukup cekatan Lena membebaskan kaki yang penuh bulu mengeriting milik Manan yang mulai terkulai lemas kehabisan napas. 

"Bebaas. Ayo, Uda. Tahan nafasmu. Tahan. Jangan pergi dulu." Lena memeluk Manan dan membawanya ke permukaan. Sesampainya di pinggiran perahu, Lena mulai menguncang-guncangkan badan Manan. 

Manan mulai batuk-batuk dan membuka matanya. Samar-samar dipandanginya Lena yang masih menampakkan wajah khawatir. 

"Terima kasih, Lena."
"Alhamdulillah..., Uda. Uda selamat dari jeratan rumput danau". Syukur Lena tiada henti. 

"Iya...alhamdulillah. Kupikir aku bakalan tidak melihatmu lagi." 

"Kita naik ke perahu saja ya, Uda. Mohon maaf, aku dorong Uda dari bawah ya. Mohon maaf sangat." Sekuat tenaga Lena membantu Manan naik ke atas perahu. 

Lena juga mengikuti Manan. Dengan sigap, Lena mengambil pakaian Manan dan menutupi bagian bawah tubuh Manan terlebih dahulu. Lena pun segera mengenakan pakaiannya sebelum pandangan Manan kembali normal. Entah kenapa dia tidak seberani sebelumnya, bertelanjang bulat di hadapan Manan. 

Kesadaran Manan berangsur pulih dan mengembalikan pikiran dan pandangannya ke keadaan normal. 

"Aku berhutang nyawa padamu, Lena."
"Uda Manan tidak berhutang apapun padaku."
"Bagaimana aku harus membayarnya?"
"Tidak ada yang perlu dibayar di sini, Uda."
"Aku sayang sama kamu, Lena. Aku mencintaimu." 

Lena terdiam dan membisu sesaat. Perlahan dia menjawab.
"Aku juga mencintaimu, Uda." Terdengar hampir menyerupai bisikan. 

"Maukah kamu menikah denganku?" 
Aku terpana sendiri dengan ucapanku. Melamar anak gadis orang dengan cara yang tidak biasa. Di atas perahu tua yang terayun oleh ombak kecil siang hari di tengah danau terluas di Sumatera Barat, dan dalam keadaan nyaris telanjang aku meminang perempuan idaman hatiku. 

"Aku akan menjadikanmu perempuan yang paling bahagia di muka bumi ini, Lena."
"Maukah kamu menikah denganku?" 

"Uda, tolong jangan membuat janji yang mungkin tidak dapat Uda tepati." Lena mulai mengutarakan perasaannya. 

"Aku akan berusaha dan berupaya untuk selalu membuatmu bahagia, dalam susah dan duka." 

Lena mengernyitkan dahinya.
"Dalam susah dan duka? Maksud Uda?
"Ya, aku tidak bisa berjanji apakah aku akan kaya dan berkelimpahan harta nanti agar dapat membahagiakan Lena. Rezeki kan urusan Tuhan. Tugas kita hanya berusaha dan berupaya." 

"Iya ya. Uda benar juga." 

"Bagaimana, Lena?"
"Maukah Lena menikah denganku?" 
Untuk ketiga kalinya aku mengajukan pertanyaan yang sama. 

"Iya, Uda. Aku mau menikah denganmu, Uda." 

Manan hendak bergerak maju untuk menghampiri Lena, bermaksud hendak mencium kening Lena. Seketika pakaian yang menutupi kejantanannya pun terjatuh. 

Lena segera memalingkan wajahnya dari penampakan indah tersebut.
"Tolong kenakan dulu pakaian Uda. Biarkan kering sendiri di badan." pinta Lena. 

Manan pun segera memakai pakaiannya. 

"Aku akan segera menemui ayahmu untuk melamarmu. Begitu ayahmu setuju. Aku akan atur pertemuan antara dua keluarga kita. Ayah ibuku pasti bahagia sekali dengan berita ini." Kegirangan Manan membahana. 

Lena memandang Manan dengan kebahagiaan yang tiada terperi. Terbayang kehidupan yang akan diarunginya bersama Manan. Bahagia dalam susah dan duka. 

Kembali ke tepi danau, Manan dan Lena hanyut dalam pikiran masing-masing. Diam dan hening. Lena mendayung perahu secara perlahan. Dalam sunyi, Lena mengucap syukur kepada Tuhan. 

"Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mendengarkan dan mengabulkan doa-doaku." 

Lena akan terbebas dari ketakutan terhadap ayahnya sendiri. Sejak ibunya wafat enam bulan yang lalu, ayahnya gemar bertelanjang ria saat mandi di sumur. Ayahnya tidak lagi memakai kain basahan. Dinding bambu yang selama ini berdiri tegak menutupi area sumur telah rubuh dimakan usia dan ayah Lena tampak sengaja membiarkannya tanpa ada usaha untuk memperbaikinya. 

Kakek dan Nenek Lena sudah menawarkan ayah Lena untuk menikahi putri bungsu mereka. Turun ranjang. Namun, entah mengapa ayah Lena masih belum memberikan keputusan. 

Beberapa kali Lena memergoki ayahnya berusaha memasuki kamarnya dan berbaring di sisinya ketika dia tidur. Hal ini diketahuinya karena saat itu dia sebenarnya tidak benar-benar tertidur. Lena tahu bahwa ayahnya berusaha tidur di sampingnya. Lena tetap menghormati ayahnya dengan tetap berpura-pura tidur. Namun, begitu dia merasakan gejala bahwa gejolak darah ayahnya kian meningkat, ia pun bangun dan seolah-olah terkejut dengan keberadaan ayahnya di atas ranjangnya. 

"Eeeehh...ada Ayah. Kirain siapa?" 

"Iya, Ayah kangen sama Lena." ujar Ayah Lena sambil bangkit dari ranjang. 

Setan yang tadi menguasai ayah Lena berhasil diusirnya.
"Tapi...sampai kapan? Wajah Lena yang sangat mirip dengan ibunya membuatku sering lupa diri bahwa Lena adalah anak gadisku, bukan istriku." 

"Ayah kenapa?"
"Ayah tidak apa-apa? 

"Ayah tidak apa-apa, Lena. Ayah cuma teringat pada almarhumah ibumu." Ujar ayah Lena yang berusaha menenangkan Lena meski sebenarnya ia sedang menenangkan dirinya sendiri. 

"Mungkin aku memang harus menikahi adik iparku sebelum setan merusak dan menghancurkan kehidupanku dan putriku." Ayah Lena mulai mencerna kembali tawaran dari bapak dan emak mertuanya. 

Lena terus mendayung perahu. 
"Begitu besar cinta ayahku pada ibuku. Semoga sebesar itu pula cinta Manan padaku." Harapan Lena mulai terbentuk. 

"Uda, aku tunggu kedatangan ayah dan ibu Uda dari Jakarta untuk melamarku secara resmi kepada ayahku." Lena mengingatkan Manan. 

"Jangan kuatir, Lena sayangku. Aku pun tidak sabar menculik Papa dan Mamaku dari kesibukan mereka untuk segera menemui ayahmu." 

"Mereka juga sudah tidak sabar untuk dapat segera menimang cucu." 

"Percayalah padaku, Lena." Manan meyakinkan Lena. 

"Aku percaya, Uda. Sama percayanya bahwa perahu ini akan segera sampai di tepi danau." 

Mereka percaya bahwa ombak di tepian danau masih lebih tenang daripada di tengahnya. Kekuatan saling percaya akan membawa mereka pada kebahagiaan yang sejati. 

Citeureup, 17 Maret 2021

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.