SALJU ABADI DI PUNCAK GUNUNG TITLIS

Sejak dimaki-maki oleh Torro, Ibu Ratna tidak pernah sekalipun mau berbicara lagi dengan saya. Bahkan ketika mengantar seluruh rombongan ke tujuan terakhir, yaitu Gunung Titlis, dia masih saja berkeras untuk tetap mendiamkan saya.
Di puncak gunung bersalju tersebut udaranya cukup dingin dan berangin. Perlu diketahui bahwa yang membuat kita kedinginan adalah angin. Meskipun suhu udara mencapai nol derajat, kalau tidak ada angin, kita tidak akan tersiksa oleh rasa dingin. Sebaliknya, ketika angin bertiup, walaupun udaranya bersuhu cuma 15 derajat, rasa dingin lumayan menyiksa bagi orang Indonesia.
Ibu Ratna sudah memakai jaket yang tebal tapi dia tampak menggigil diserang angin yang bermuatan hawa dingin. Karena iba, saya membuka jaket saya dan menyerahkan padanya. Biarlah saya cuma memakai T-shirt tipis saja. Saya memang terbiasa menikmati udara dingin.
“Ibu Ratna kedinginan? Ini silakan pakai jaket saya?”
Namun apa reaksinya? Dia membuang muka dan langsung pergi tanpa sepatah kata. Saya cuma bisa menghela napas dengan sedih. Sejak kecil saya selalu gampang sedih kalau ada yang marah atau membenci saya, sekali pun orang tersebut sama sekali tidak dekat dengan saya.
Sambil mengenakan jaket lagi, saya berjalan-jalan seorang diri menapaki tanah yang dilapisi salju setebal 10 Cm. Karena waktu itu musim panas, butiran-butiran salju itu tidak terlalu padat sehingga setiap menapakkan kaki, sepatu dan kaos kaki menjadi basah dan lembab. Saya berjalan tanpa tujuan menikmati keindahan yang Tuhan anugerahkan pada umat manusia. Sepanjang mata memandang yang tampak hanya hamparan salju yang putih dan suci.
Titlis adalah sebuah gunung yang terkenal dengan salju abadinya. Letaknya di Kota Engelberg, Swiss dengan ketinggian sekitar 3020 meter dari permukaan laut. Dari kota besar terdekat, Lucerne, tempat ini bisa kita capai dalam waktu kurang lebih 50 menit dengan bus. Perjalanan selama itu sama sekali tidak terasa karena pemandangannya luar biasa indah seperti yang biasa kita lihat dalam kartu pos atau kalender.
Untuk menuju ke puncaknya, kita harus menggunakan kereta gantung sebanyak dua kali. Kereta gantung pertama untuk mencapai pos 1, lalu kita berganti kereta gantung untuk menuju pos 2. Dari pos 2 kita akan menumpang sebuah lift gantung berbentuk serupa kapsul yang mampu mengangkut lebih dari 50 penumpang.
Bulan apapun berkunjung ke sana, Anda akan menemukan salju di puncaknya. Itu sebabnya Gunung Titlis selalu ramai sepanjang tahun. Ketika musim dingin, wisatawan dari berbagai penjuru Eropa berdatangan untuk bermain ski. Sedangkan di musim panas, orang Asia datang berbondong-bondong untuk melihat salju. Dan lagi-lagi orang Asia yang paling banyak datang ke sini adalah orang Indonesia. Hal ini ditandai dengan beberapa tanda penunjuk dan ucapan selamat datang yang salah satunya berbahasa Indonesia.
Sayangnya, predikat Titlis sebagai puncak salju abadi tidak selalu tepat. Pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini pernah membuat salju di sana menghilang. Itu adalah pengalaman yang paling buruk buat saya. Kenapa? Karena saat itu saya sedang membawa 18 orang turis ke puncak Titlis.
Semua turis telah bersedia dengan jaket dan kameranya, siap mengabadikan diri bersama salju. Namun setibanya di puncak, tak ada salju sama sekali. Semua peserta tour marah dan memaki-maki saya. Saya sampai menangis karena sedih telah mengecewakan mereka. Saya tidak berdaya karena itu adalah peristiwa alam yang terjadi di luar kekuasaan manusia.
Puas menikmati salju, acara tour pun selesai. Saya mengantarkan rombongan kembali ke Amsterdam. Di Bandara Schiphol, semua orang berpamitan pada saya, kecuali Ibu Ratna.
Karena hari ini hari terakhir, saya menghampiri Ibu DPR itu dan berkata, “Ibu Ratna, saya minta maaf kalau telah membuat Ibu marah dan…”
Belum selesai saya bicara, dia kembali memalingkan muka dan berjalan pergi. Terus terang situasi itu membuat saya tidak nyaman. Sikap Ibu Ratna membuat saya merasa gagal sebagai tour leader untuk memberi kepuasan pada para tamu.
Sampai waktu boarding, saya masih menatap semua rombongan. Beberapa di antaranya membalikkan tubuh dan melambaikan tangan ke saya. Saya pun membalas lambaian mereka sambil berdoa, ‘Ya Tuhanku, lindungilah mereka semua dalam perjalanan. Biarkan mereka sampai di rumah masing-masing tanpa kurang suatu apa dan tanpa masalah. Amin.’
Saya memang memutuskan untuk tidak pulang bersama mereka. Saya memperpanjang kepergian saya selama seminggu untuk melakukan perjalanan sendirian di Eropa. Jangan tanya saya mau ke mana. Saya memang mempunyai kebiasaan untuk jalan-jalan sendirian tanpa tujuan untuk menetralisir kegalauan hati.
Dulu Papa saya sering berkata, “Be a traveler, not a tourist!” Awalnya saya kurang mengerti apa beda kedua istilah tersebut. Setelah menjadi tour leader, perlahan-lahan saya mulai memahami apa yang dimaksud Papa.
Menurut beliau, banyak orang yang mengaku-ngaku bahwa dia telah pergi keliling dunia. Ucapan orang tersebut dibuktikan dengan foto-foto dirinya di berbagai negara. Misalnya di depan Menara Eiffel, di kota terlarang Cina, di Gondola, Italia, di pyramid, Mesir, di Patung Liberty, pokoknya di seluruh pelosok dunia. Namun ternyata orang tersebut bepergian menggunakan jasa travel dan selalu diantar oleh tour guide. Menurut Papa, orang seperti itu sebenarnya tidak pernah pergi kemana-mana. Foto-foto tersebut sama sekali tidak membuktikan apa-apa. Kita bisa membuat foto-foto seperti itu di studio foto. Dan hasilnya hampir pasti tak ada bedanya.
Sewaktu muda, Papa memang seorang pengembara. Hidupnya selalu diisi dengan melakukan perjalanan. Pernah dia bepergian selama 3 tahun menjelajahi Benua Eropa, Amerika dan Eropa sendirian sebagai backpacker. Saya dan A Koh selalu takjub mendengar cerita Papa tentang sebuah negeri yang dia datangi dan tinggal di sana beberapa bulan. Dia menjalin persahabatan dengan penduduk setempat dengan bahasa Tarzan karena memang tidak mengerti bahasanya.
“Memangnya Papa nggak takut kesasar pergi sendirian ke mana-mana?” tanya saya.
“Jangan pernah tergantung pada orang lain. Sesekali bepergianlah sendiri, karena kesasar itu adalah petualangan yang menyenangkan.” jawaban Papa begitu membekas di hati dan tidak akan pernah saya lupakan.
“Jadi persisnya apa perbedaan tourist dan traveler, Pa?” A Koh yang memang agak bebal ini masih bertanya.
“Turis ke mana-mana selalu mengandalkan perusahaan travel dan jasa guide. Sedangkan traveler adalah orang yang mengurus dirinya sendiri saat melakukan perjalanan,” sahut Papa.
A Koh dan saya terdiam berusaha mencerna kalimat Papa lebih dalam.
Melihat reaksi kami, Papa melanjutkan, “Traveler tinggal di suatu tempat cukup lama. Dia berbaur dengan orang setempat. Dia berpakaian seperti orang setempat. Dia makan makanan orang setempat. Dia berbicara dengan bahasa orang setempat. Dia melakukan ritual yang dilakukan oleh orang setempat.”
Omongan Papa di atas mengingatkan pada sebuah quote yang saya temukan di internet. Bunyinya begini ‘Become friend with people who aren’t your age. Hang out with people whose first language isn’t the same as yours. Get to know someone who doesn’t come from your social class. This is how you see the world. This is how you grow.’
Sayangnya sejak 10 tahun yang lalu, Papa tidak bisa lagi melakukan perjalanan. Ada beberapa penyumbatan di pembuluh jantungnya. Dia jadi gampang letih. Setiap berjalan lebih dari 10 menit dadanya langsung sakit dan napasnya sesak. Untuk membantu kondisinya, dokter telah memasang 4 ring di tubuhnya.
Rupanya saya mewarisi bakat Papa untuk menjadi pengembara. Saya sering sekali berjalan sendirian berhari-hari, berminggu-minggu bahkan kadang berbulan-bulan tanpa tujuan. Dan sepulang melakukan perjalanan, biasanya hati saya kembali semangat seperti baterai handphone yang baru di-charge. Kalau kita ingin hidup bahagia, bebaskanlah hati untuk melakukan hal-hal yang kita sukai. Doing what you like is freedom. Liking what you do is happiness.
Deru suara pesawat mengagetkan dan membangunkankan saya dari lamunan tentang Papa. Pesawat Garuda Air Bus GA-786 yang membawa rombongan tour baru saja take off menuju Jakarta. Saya memandang pesawat tersebut sampai akhirnya menghilang di balik awan.
Bersambung...
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.