PELANGI DI RUMAHNYA
Menikmati pelangi dan secangkir kopi
![PELANGI DI RUMAHNYA](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_60cef28cda2ce.jpg)
Sudah 3 bulan ini, selalu ada pelangi di rumah gadis itu. Katanya oleh-oleh dari sang pacar yang kuliah di luar negeri. Warnanya cerah dan sangat menggugah hati. Setiap pagi pelangi itu dipasang di halaman rumah, dan menjelang sore pelangi itu dilipat dengan rapi, dan dimasukkan dalam garasi. Seminggu sekali pelangi itu dicuci, biasanya Sabtu malam direndam dulu pakai deterjen, paginya dibilas dan diperas. Cukup panjang dan agak melelahkan. Setelah itu dijemur di atas tali jemuran samping rumah dan dijepit atasnya supaya tidak terbang terbawa angin. Pelangi itu dicuci terpisah dengan pakaian lain, agar warnanya tidak luntur, dan pada bilasan terakhir dicampurkan pelembut dengan aroma framboos. Senin pagi, pelangi itu sudah dipasang lagi di depan rumah. Warnanya sungguh indah sekali. Aku sering berlama-lama memandangnya sambil minum kopi dan sarapan roti. Memandang pelangi itu, bukan gadisnya.
Orang-orang mulai berdatangan ke halaman rumah itu untuk sekedar berfoto selfie. Si gadis pemilik rumah tak pernah marah, dan tak pernah melarang orang datang untuk menikmati pelanginya. Hari berikutnya datang serombongan anak TK berdharmawisata di halaman rumah itu. Mereka datang mengendarai 2 buah bus tingkat. Anak-anak sibuk memegang dan meremas-remas pelangi itu, bahkan ada yang mencoba menggigitnya karena dia pikir itu permen lolipop. Pelangi itu kenyal dan melendut-lendut, seperti terbuat dari bahan karet tetapi sangat lembut dan tidak mudah kusut.
Pada suatu kesempatan video call si Gadis bertanya pada pacarnya.
“Dimana kau beli pelangi itu ?”
“Aku membelinya lewat situs belanja online. Murah kok, harganya cuma 1 juta. Pengirimannya cepat lagi, beli pagi, siang sudah sampai.”
“Siapa penjualnya ?”
“Tuhan.”
“Jadi kau sempat ngobrol dengan Tuhan ?”
“Sempet sih, cuma chatting saja lewat room chat.”
“Terus apa yang kamu omongin ?”
“Mmm… kira-kira masih boleh turun nggak harganya.”
“Kamu diberi kesempatan chatting dengan Tuhan, dan cuma itu yang kamu omongin ?”
“Lha iya lah… kita kan lagi bicara bisnis. Tuhan ya Tuhan, bisnis ya bisnis… jangan dicampuradukkan.”
“Terus kamu dapat diskon ?”
“Dapet… 20%. Diskon akhir tahun. Lumayan.”
“Gila kamu. Masak sama Tuhan kamu masih nawar ?”
“Kan sudah kubilang… ini urusan bisnis.”
“Terus uangnya ditransfer ke mana ? “
“Ah… gaptek kamu. Pakai paypal dong. “
“Oh…”
“Gimana… bagus nggak pelanginya, Sayang ?”
“Bagus banget, makasih ya Say… Eh tetangga pada nanyain, bisa nggak nitip dibeliin satu buat ditaruh juga di rumah mereka ?”
“Waduh… itu cuma satu-satunya pelangi yang dijual. Katanya karena Tuhan lagi butuh modal, untuk investasi kebaikan.”
Gadis itu menelan saja kata-kata pacarnya yang kuliah di luar negri itu.
“Ah, aku lupa bilang ke kamu.”
“Apa ?”
“Di dalam kotak penyimpanan pelangi itu ada kompartemen lagi dibawahnya.”
“Ah… kenapa ndak bilang. Isinya apa ?”
“Sparepart pelangi kalau ada yang rusak, atau kamu mau mengganti-ganti warnanya biar tidak bosan.”
Si gadis segera berlari meninggalkan pacarnya yang di luar negeri itu sendirian bengong menatap layar tablet.
“Ah, benar juga. Ada kotak kecil lagi dibawahnya.”
Dan benarlah, ada 24 gulungan warna pelangi di dalamnya. Segera saja si Gadis mengganti warna ungu di baris terbawah lengkungan pelanginya dengan warna hitam. Ungu warna janda katanya, ganti saja dengan hitam biar gagah. Kemudian pelangi itu dipasangnya lagi di halaman rumahnya.
“Permisi”
“Ya… ada yang bisa saya bantu ?”
“Nona yang punya pelangi di depan itu ?”
“Iya… ada apa ya ?”
“Anu… saya mau minta tolong… bisa ndak warna ungunya dikembalikan lagi. Saya guru SD, bagaimana saya mesti menjelaskan ke anak didik saya kalau warna pelangi itu sekarang mejikuhibinitam bukan mejikuhibiningu lagi ? Semua buku cetak menyebutkan begitu. Apalagi kalau susunannya dibolak-balik juga, yang paling atas biru misalnya, singkatannya apa malah ndak jadi binimukuhitamkan ? Tolonglah nona, ini menyangkut masa depan dan kelangsungan hidup umat manusia.“
Akhirnya dengan alasan kemanusiaan dan kelangsungan masa depan umat manusia, warna ungu itu dikembalikan lagi.
Keesokan harinya, datang lagi dua bus yang mengangkut penumpang yang semuanya paranormal.
“Ijinkan kami berkemah disini.”
“Kenapa ?”
“Kami ingin menunggu turunnya bidadari di ujung pelangi ini.”
“Silakan saja…”
Rombongan paranormal itu berkemah sebulan lamanya, menunggu turunnya bidadari. Mengingat kalau malam pelangi itu disimpan di garasi, mereka mulai membuka praktek sambil menunggu datangnya pagi. Mulai dari stand ramalan nasib, jualan tuyul, sampai semburan pengobatan.
Dan setelah sebulan mereka bubar karena tak kunjung juga turun bidadari yang dinanti.
Suatu hari, pacar si Gadis pulang dari luar negeri.
“Hai sayang…”
“Hai juga sayang… cepat sekali kau pulang.”
“Iya… papaku bangkrut.”
“Lalu ?”
“Aku tidak kaya lagi.”
“Lalu ?”
“Tidak bisa kuliah di luar negeri lagi.”
“Lalu ?”
“Aku butuh uang…”
“Lalu ?”
“Bisakah kupinjam sebentar pelangi itu ?”
“Buat apa ?”
“Mau kujaminkan ke bank. Buat modal usaha jual kebab. Boleh ya sayang ?”
“Boleh… itu kan cuma pelangi. Sedangkan bagiku… kamu lebih berarti.”
Akhirnya, tanpa ditutup dengan adegan roman yang penuh ciuman, pelangi itu dilipat dan dijaminkan ke bank. Sejak saat itu sampai sekarang, aku tak bisa lagi minum kopi di pagi hari sambil menikmati indahnya pelangi di samping rumah. Terakhir kudengar pelangi itu dijual lelang karena si pacar tak bisa melunasi kreditnya.
Dan konon pemenang lelangnya adalah… Tuhan.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.