Satu sore di Perth, dalam perjalanan untuk bertemu dengan seseorang, mobil kami terhenti di sebuah lampu merah. Dari arah deretan mobil di depan kami, tampak seorang laki-laki, yang kami duga ia seorang homeless, datang mendekat. Tangannya memegang kain lap, cairan pembersih kaca, dan karet pembersih kaca. Kelihatan bahwa dia menawar-nawarkan jasa membersihkan kaca mobil ke mobil-mobil di depan kami. Sepertinya semua menolak.
Kami bertiga di dalam mobill—Kak Drup dan adiknya Ami yang menyetir, serta aku. Melihat pemandangan itu, seperti otomatis saja bahwa kami langsung tegang. Sampai-sampai Kak Drup pun memformasikan tangannya layaknya berdoa.
"Jauh, jauh, jauh. Pergi, pergi, pergi...," gumam Kak Drup.
Wow, doa Kak Drup terkabul! Sebab, tampak laki-laki itu balik badan menjauh ke arah dari mana tadi dia datang.
"Wah, doa kakak manjur," kata Ami sambil tertawa.
“Iya, tuh,” seruku dengan penuh kelegaan.
"Sempet difoto, Nin?" Ami bertanya dengan masih tertawa.
"Nggak, sudah tegang duluan," sahutku dengan tertawa juga.
Sebab kenapa kami menjadi sangat tegang adalah, pertama, karena umumnya mereka yang homeless –kita menyebutnya gelandangan—seperti itu kadang bisa menjadi sangat kasar. Tak jarang mereka bisa menjadi sangat marah apabila jasa membersihkannya, atau apapun yang mereka tawarkan atau minta, ditolak. Hal yang bisa terjadi di mana saja di dunia. Di Jakarta pun demikian pula. Maafkan bila menjadi sangat prejudis,
Kami sendiri, terutama saya, sejak berangkat dari rumah Ami, memang sudah tegang seperti kabel yang ditarik terlalu kencang. Ini berhubungan dengan soal menghadapi pertemuan yang akan kami datangi. Padahal, bukan pertemuan serius urusan pekerjaan, politik, atau kenegaraan lho! Saya sendiri semula tak berminat untuk ikut. Mungkin, keengganan saya ini yang menyebabkan Kak Drup dan Ami jadi ikut-ikutan tegang.
Pertemuan ini adalah pertemuan kami dengan teman Ami, sebut saja Mawar—ya, bukan nama asli. Sebuah pertemuan makan malam bersama yang santai belaka padahal.
"Perpisahan dengan kakak dan sepupumu," dalih Mawar ke Ami ketika mengusulkan pertemuan makan-makan ini.
Mawar ini aslinya orang Malaysia, yang pada suatu waktu beremigrasi ke Australia. Mendengar potongan-potongan cerita tentang dia, aku berkesimpulan bahwa Mawar itu sungguh gigih dalam menjalani kehidupannya, di tempat yang baru seperti Perth. Daya survival-nya kelihatannya memang tinggi, dan memang itulah senjatanya untuk bertahan hidup. Meski upaya-upayanya itu antara lain dengan cara menipu di kiri ngibul di kanan, yang menurutku itulah caranya bertahan hidup.
Di sebuah pengkolan jalan kehidupan, di Perth ini Mawar bertemu dan lalu berteman dengan Ami sepupuku. Persahabatan mereka cukup unik. Mendengar cerita-cerita tentangnya dan interaksi antarmereka kadang terasa lucu. Tapi, tak jarang pula aku jadi ikut gemas akan kelakuan Mawar.
Seminggu sebelum makan malam ini sebenarnya kami sudah bertemu. Mawar mengundang Kami—Ami dengan kakaknya dan dua sepupunya—untuk makan siang di sebuah restoran masakan Cina di daerah Northbrodge, Perth. Bukan makan besar, tapi kecil-kecil namun banyak sehingga cukuplah sebagai makan siang. Hidangannya berupa dimsum dan sejenisnya. Sebagian besar berbahan udang.
Awalnya semua baik-baik saja. Apalagi, udang adalah makanan laut kesukaanku. Setelah mengudap beberapa potong dimsum dan lainnya, perlahan aku mulai merasa aneh. Pandanganku menjadi dobel, apa yang kulihat seperti menari-nari di depan mataku. Aku jadi pusing karena mata out of focus, sehingga terpaksa melepas kacamata. Mulut, lidah, dan bibir terasa kering. Kening kencang, seperti ditarik ke sisi kiri dan kanan secara bersamaan. Dan, sejumlah sensasi tak asik lainnya.
Aku segera sadar bahwa aku keracunan MSG. Bukan kali pertama aku keracunan bumbu penyedap makanan ini. Tapi, yang terberat. Biasanya, sensasinya tak menumpuk seperti saat ini. Paling-paling hanya lidah dan mulut yang terasa kering atau menjadi sangat haus saja. Beberapa kali kening terasa seperti ditarik, atau mata yang memberat. Itu saja. Satu-satu, tidak semua. Dalam kondisi begini, biasanya aku akan duduk diam beberapa saat. Sambil minum jus buah atau air untuk menetralkan dengan cepat.
Untung, acara makan siang ini telah selesai. Aku memang sudah sangat ingin cepat-cepat keluar dari restoran tersebut. Ingin cepat-cepat duduk di mobil dan pulang, padahal mobil berada di parkiran yang cukup jauh—bukan di Jakarta nih, yang bisa parkir sembarang. Jalanku yang selalu pelan, menjadi semakin pelan. Meski merasa melayang, aku tak khawatir, Karena, semua menjagaku yang berjalan oleng seperti kapal hendak karam.
Di rumah tempatku menginap, akhirnya perlahan-lahan fisikku pulih. Dengan bantuan minum air putih dan makan es krim.
Beberapa hari sesudahnya, datang kabar bahwa Mawar hendak mengajak kami makan bersama lagi. Kali ini makam malam, sebelum kami para turis Jabodetabek pulang. Katanya, sebagai acara perpisahan.
"Saya nggak ikut ya," sergahku dengan cepat karena didorong rasa cemas.
Apalagi, ketika mendengar bahwa tempat yang dia ajukan adalah sebuah restoran di mana Syarisa, anak dari Ami, pernah keracunan makanan setelah makan di situ. Kalau tak salah, sejenis restoran makanan laut. Makin seram dan kelam saja hatiku.
Sampai datangnya hari untuk pertemuan perpisahan itu, aku terus menerus bimbang. Antara kemauan pergi dan tidak terasa seperti saling tarik menarik. Maafkan, tapi kan aku ada trauma keracunan MSG dari minggu sebelumnya.
"Jadinya di restoran makanan Jepang deket rumah Mawar, Nin," jelas Ami satu saat
Akhirnya, aku pun ikut juga. Dengan tegang, dan aku yakin Kak Drup dan Ami juga merasakan enerji keteganganku. Sampai tertular.
Akibatnya, ketika si pembersih kaca jendela yang sangar itu mendekati mobil kami, kami bertiga langsung menjadi seperti berada di bawah ancaman besar. Aduh... =^.^=