MENDAKI PUNCAK KETAKUTAN

MENDAKI PUNCAK KETAKUTAN

Tanpa bermaksud sombong, saya ingin mengatakan bahwa saya ini anak pintar. Sejak SD, boleh dibilang saya nggak pernah belajar. Meskipun begitu, nilai-nilai yang saya peroleh selalu cemerlang. Bukan jarang saya mendapat juara kelas. Baik itu juara 1, juara 2 atau juara 3.

Orang tua saya nggak pernah memaksa saya belajar. Pokoknya begitu ngeliat nilai saya hampir selalu di atas 8, mereka sudah merasa lega. Buat saya, pelajaran di sekolah dasar terlalu gampang. Cukup dengerin guru mengoceh di kelas, semua materi langsung nempel di kepala. Jadi biar ada test, ulangan atau ujian, saya cuma bolak-balik buku sekilas terus taruh lagi di meja, langsung main lagi. Hasilnya? Semua soal saya lalap dengan mudah.

Naik ke SMP situasinya sama saja. Saya tetap ogah buat belajar. Walaupun nggak segampang pelajaran SD, saya masih mampu mengerjakan semua soal yang dikasih sama para guru. Bedanya adalah, saya sudah nggak pernah lagi dapat juara 1, juara 2 atau juara 3. Paling hebat saya cuma sampai juara harapan 2 atau harapan 3.

Sampai di tingkat SMA barulah saya mulai merasa ada yang salah. Pelajaran di SMA makin lama makin susah. Bukan buat saya saja tapi teman-teman lain juga berpendapat sama. Untuk mengantisipasi masalah itu, semua teman mempergiat belajarnya. Bahkan banyak yang ikutan bimbel yang mulai bertebaran. Salah satu yang paling happening adalah Siky Mulyono.

Di titik ini saya mulai memahami, gara-gara kebiasaan masa kecil, saya jadi nggak bisa belajar dengan baik. Saya sudah mencoba bergabung dengan teman-teman yang bikin study group. Namun semua pada terganggu dengan kehadiran saya. Katanya saya bercanda melulu sampai-sampai yang lainnya pada nggak bisa konsentrasi. Akhirnya saya mengalah lalu keluar sendiri. Saya mencoba belajar sendiri di rumah, hasilnya tetap nol besar. Belum sampai 5 menit saya sudah ngantuk lalu ngorok di meja belajar.

Saya mulai menyadari bahwa bukan nilai yang harus dikejar tapi kebiasaan belajarnya yang harus ditanamkan. Sejak kecil, belajar itu harus dijadikan acara rutin kayak makan atau shalat. Belajar itu harus menjadi ritual sehari-hari. Sayangnya nasi udah menjadi lontong.

Harapan saya tinggal Tuhan. Saat itu saya berdoa sambil mengucapkan nazar, “Ya, Allah. Bila Kau mengizinkan aku untuk lulus, aku akan naik gunung sendirian dan melakukan sujud syukur saat matahari terbit di puncak Gunung Gede.”

Kenapa saya berani mengucapkan nazar itu? Karena saya yakin 99 % pasti saya nggak akan lulus. Untuk mendapatkan kelulusan, setiap murid harus memperoleh nilai minimal 245. Angka itu adalah penjumlahan dari ujian sekolah dan ujian negara.

Namun Tuhan itu memang maha humor. Tau nggak? Saya memperoleh angka 245. Persis dengan angka minimal sebuah kelulusan. Alhamdulillah. Walaupun dengan angka pas-pasan, akhirnya saya bisa lulus.

Eits, tunggu dulu! Bagaimana dengan nazar saya? Seumur hidup saya belum pernah naik gunung sendirian. Apalagi untuk mendapatkan sunrise, saya harus berangkat jam 12 malem. Hadoh! Bener kata orang; berkah dan bencana selalu datang berpasangan. Hahahahaha....apes!

Promise is a promise. Manusia bermartabat adalah manusia yang selalu memegang janjinya. Setelah menyiapkan perbekalan, saya memulai perjalanan menuju Gunung Gede. Dari Bogor saya naik angkot dan turun di Cimacan. Letaknya kra-kira di kilometer 100, jalan raya Puncak. Dari Cimacan saya jalan kaki sekitar 7 km, ke arah Cibodas. Saat itu area Gede Pangrango belum menjadi Taman Nasional, sehingga kita bisa naik kapan saja tanpa minta surat izin.

Karena bukan hari libur dan bukan week end, suasana di kaki gunung sepi banget, Cuma ada dua warung yang buka. Saya mampir ke salah satu warung, Isi perut dulu dan beristirahat sejenak. Suasana kurang bersahabat. Bulan pun bersembunyi membuat gelap semakin gulita, Tepat jam 12 malam, saya pun berangkat.

Gunung Gede letaknya saling bertumpu dengan gunung Pangrango. Ketinggiannya kira-kira sekitar 2900 mdpl. Sementara Pangrango tingginya lebih dari 3000 mdpl. Dalam kegelapan malam, jalur pendakian terasa lebih menantang. Dengan senter di tangan, saya melangkah pelan, diiringi suara alam yang mengalun tenang. Pepohonan besar menjulang di kedua sisi, menyambut kedatangan saya ke dalam pelukan alam.

Nggak lama kemudian, saya tiba di Danau Biru. Airnya berkilau dalam gelap. Kalau naik di siang hari dan sedang beruntung, kita bisa melihat pelangi yang sangat besar dengan warna-warna yang kinclong. Indah sekali. Hadeuh! Saya mulai menyesali nazar ini. Namun waktu tak menunggu. Saya harus melanjutkan perjalanan.

Kurang dari 45 menit, saya sampai di Air Terjun Cibeureum. Di sana ada 3 air terjun yang lumayan besar. Suara air yang mengalir deras di kegelapan malam menambah rasa seram. Angin dingin yang menerpa wajah membuat bulu kuduk saya berdiri tegak. Hiiiiii.....

Di pos Kandang Batu, saya istirahat sejenak. Di Pos Kandang Batu ini kita bisa membuat tenda kalau mau. Titik ini sering dimanfaatkan para pendaki untuk beristirahat sebelum melanjutkan ke puncak. Setelah meregangkan otot, saya melanjutkan perjalanan ke Kandang Badak. Perjalanan semakin horor. Suasana di sekitar mulai terasa mencekam. Saya mulai mengalami halusinasi. Bayangan-bayangan aneh muncul di antara pepohonan, seolah-olah ada sosok yang mengawasi di setiap langkah. Suara-suara bisikan datang dan pergi, membuat jantung saya berdebar.

Saat mendekati air terjun air panas, tiba-tiba saya tersandung akar yang menjalar dan terpelanting ke tanah. Sialnya senter terjatuh dan baterainya terlepas dari badan senter karena cahayanya menghilang entah ke mana. Saya mencoba meraba-raba di jalan setapak tapi senter itu tidak juga ditemukan. Aduh, gimana, nih? Jika saya berjalan tanpa senter, saya takut jatuh ke jurang. Dengan tubuh gemetar, saya memutuskan untuk duduk diam.

Mungkin lebih dari 1 jam saya duduk di atas batu. Suara-suara aneh semakin jelas. Di dalam kegelapan, rasa panik semakin melanda. Saya tidak bisa melihat apa pun. Bahkan tidak bisa melihat jari-jari saya sendiri. Sempat saya dikagetkan oleh suara aneh yang entah dari mana datangnya. Setelah berkonsentrasi baru saya menyadari bahwa suara itu adalah suara detak jantung saya sendiri. Untuk pertama kali dalam hidup saya merasa sendirian, ketakutan dan tidak berdaya.

“Toloooong!” Saya berteriak sekeras-kerasnya

Namun apa yang terjadi? Teriakan saya menggema panjang sekali membuat saya semakin ketakutan. Dedaunan berbunyi kerosak-kerosak. Sepertinya ada binatang malam yang pindah tempat karena terganggu dengan pekikan saya di tengah malam. Akhirnya saya kembali berdiam diri. Mengatur napas untuk mengontrol diri.

Setelah beberapa saat dalam kegelapan, terdengar langkah kaki dari kejauhan. Sorotan senter terlihat dari kejauhan. Saya bisa mendengar mereka bercakap-cakap satu sama lain. Suara mereka terdengar semakin dekat dan semakin dekat.

Saya pun kembali berteriak, “Tolong!”

“Whoaaaa!! Setan...setan!!!” terdengar suara dari mereka menjerit dengan suara panik.

Astagfirullah! Maksud hati mau minta tolong, eh, malahan mereka jadi ketakutan. Ya, bisa dimengerti, sih. Mana ada orang di tengah gunung yang gelap tanpa senter kecuali setan. Mereka mengira saya adalah hantu di malam kelam.

“Bukan! Gue bukan setan. Senter gue jatoh...” kata saya lagi.

Beberapa lampu senter menyoroti muka dan tubuh saya. Ketakutan mereka pun mereda. Mereka berjalan perlahan ke tempat saya duduk. Ternyata mereka adalah pendaki dari Untar. Semuanya bertujuh, dua cewek dan lima cowok. Begitu saya jelasin kondisi saya, mereka mulai tenang. Dengan hati-hati, mereka membantu saya mencari senter sialan itu. Dan yang lebih menjengkelkan ternyata senter itu ada di dekat kaki saya. Baterai senter pun hanya berjarak satu meter dari tempat saya jatuh. Kampret! Rasanya semua sudut udah saya raba-raba tadi.

“Yuk, Mas, kita bareng aja ke puncak,” kata ketua rombongan.

“Kalian duluan aja. Nazar saya, kan, naik gunung sendirian Kalo barengan nggak aci nazarnya,” kata saya tersenyum.

“Oh, okay. Kalo ada apa-apa, teriak aja. Nanti kita turun lagi bantuin elo,” sahutnya.

Bertemu dengan orang lain dan menemukan senter kembali, membuat kepercayaan diri saya tumbuh besar. Saya melanjutkan perjalanan dengan langkah mantap. Di Kandang Badak, saya melihat rombongan tadi sedang beristirahat. Kami pun kembali saling menyapa.

“Guys, gue duluan, ya. Sampe ketemu di kawah.” Saya melangkah meninggalkan mereka.

Sayup-sayup, saya masih mendengar salah seorang berkata pada temannya, “Itu anak gila, ya. Kurang kerjaan banget malem-malem naik sendirian."

Saya berjalan dengan cepat dan sampai di Padang Surya Kencana. Padang ini luasnya sekitar 50 hektar. Sebuah area yang terkenal dengan hamparan bunga Edelweiss dan sering digunakan sebagai tempat berkemah. Namun kita harus berhati-hati kalau mau bangun tenda di sini. Soalnya banyak pendaki yang suka memasang ranjau dengan membuang hajat di sela-sela bunga Edelweiss.

Karena takut kehilangan sunrise, saya tidak berlama-lama di alun-alun Edelweiss ini. Dengan langkah lebar saya terus berjalan tanpa istirahat. Tepat saat matahari terbit, saya sampai di Puncak. Di sana saya menikmati keindahan dari Sang Maha Pencipta.

Tepat di samping kawah yang masih mengepulkan asap, saya membentangkan sajadah dan mendirikan shalat subuh. Selesai subuhan, saya menadahkan tangan dan mengucapkan syukur pada Allah.

“Terima kasih, ya, Allah, atas berkahmu. Dengan ini maka nazar sudah saya tunaikan. Aamiin.”

Sehabis mengusap muka tanda mengakhiri doa, saya mendongak. Langit mulai cerah. Matahari merangkak ke atas lebih awal, menghiasi langit dengan nuansa jingga yang indah.

Setelah beristirahat sejenak, saya memasukkan semua barang ke dalam ransel dan berniat langsung pulang. Setengah berlari, saya melesat turun melalui jalur gunung Putri. Lewat jalur ini kita bisa lebih cepat sampai di bawah. Bismillah...

Moral of the story: Kalau mau nazar sebaiknya dipikirin dulu ya...

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.