[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #15
![[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #15](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_5e6db0a8abec0.jpg)
Lima Belas
Rangkaian Mahkota Bunga
Satu hal selalu dilakukan Kresna sejak Pinasti lahir. Merangkai mahkota bunga yang dipetiknya dari taman belakang rumah, khusus untuk Pinasti. Ya, untuk Pinasti, adik kesayangannya dan Seta.
Beberapa minggu setelah Mahesa dan Wilujeng pulang dari acara liburan mereka, Wilujeng jatuh sakit. Mual dan muntah sepanjang hari, nyaris tanpa henti. Pada hari kedua, tanpa pikir panjang Mahesa melarikan Wilujeng ke rumah sakit. Tapi di akhir serangkaian pemeriksaan setelah sehari semalam Wilujeng dirawat, dokter justru tersenyum lebar sambil memberinya selamat.
“Pak, mau punya bayi lagi, nih!” ucap dokter itu sambil mengulurkan tangan. “Sudah sembilan minggu. Selamat, ya!”
Mahesa sempat ternganga sejadi-jadinya. Punya bayi lagi di usia empat puluhan? Wilujeng baru saja seminggu sebelumnya merayakan ulang tahun ke-44, dan usianya sendiri sudah hampir menyentuh angka 48. Yang membuatnya kemudian tersadar adalah sorakan Seta dan Kresna yang ada di sampingnya. Ia menoleh dengan kaget, mendapati si kembar itu berpelukan dengan riang.
“Lho, kok, malah bengong, sih, Pak?” Dokter itu mengubah senyumnya jadi tawa kecil.
Mahesa tersentak. Setelah tersadar seutuhnya, barulah ia ikut larut dalam kegembiraan itu. Ketika ketiganya mengabarkan hal itu pada Wilujeng, perempuan itu langsung terpekik dan menerima pelukan erat dari suami dan kedua anak kembarnya. Cahaya dan rona bahagia seketika memenuhi wajahnya, mengusir pergi roman pucat yang selama beberapa waktu menghias tanpa diundang.
“Busset, dah, Kres!” seru Seta. “Umur segini kita bakalan punya adik bayi!”
Kresna menyambutnya dengan tawa keras.
“Semoga perempuan,” timpalnya kemudian.
Semua menyetujuinya. Satu lagi bayi perempuan, dan kehidupan mereka akan makin lengkap.
“Namanya harus Pinasti.”
Seketika Kresna dan Wilujeng saling menatap begitu kalimat itu selesai mereka ucapkan secara tepat bersamaan.
“Kok, bisa sama?” Wilujeng mengerutkan kening.
“Nggak tahu, Bu,” Kresna menggeleng. “Terpikir begitu saja olehku.”
“Sama...,” gumam Wilujeng.
Mahesa kemudian mencairkan suasana itu dengan mengajak kedua anak kembarnya berkemas. Siang itu juga, Wilujeng sudah boleh meninggalkan rumah sakit dengan berbekal obat anti mual dari dokter.
* * *
Dan, si kecil Pinasti lahir sekitar tujuh setengah bulan kemudian, tepat pada hari ulang tahun ke-22 kedua abangnya, seminggu sebelum kedua abangnya diwisuda sebagai sarjana. Seorang bayi perempuan montok yang sangat cantik dan menggemaskan. Ketika Seta menggendongnya untuk pertama kali, Kresna duduk di dekatnya dan menyusupkan telunjuk dalam genggaman tangan Pinasti. Segera saja ada sambutan erat dan hangat melingkari telunjuk itu.
“Cantik banget, ya, Kres?” bisik Seta, mengamati adik bayi mereka.
“Nggak nyangka kita bisa punya saudara kembar yang beda umur 22 tahun,” sahut Kresna.
Keduanya tertawa lirih.
Sejak Pinasti dibawa pulang ke rumah itulah Kresna mulai merangkai mahkota bunga mungil untuk sang adik sebelum berangkat beraktivitas. Di sela-sela waktu kosong selama mempersiapkan kuliah S-2-nya, ia membantu Seta di perusahaan yang mulai dilepaskan Mahesa agar dikelola Seta secara utuh.
Kresna kukuh ingin menjadi dosen. Dengan senang hati Mahesa dan Wilujeng merestui cita-cita itu. Sedangkan Seta benar-benar serius dan sepenuh hati memenuhi keinginan Mahesa agar ada anaknya yang menggantikannya mengelola perusahaan yang ia dirikan bertahun-tahun lalu.
Pensiun sebelum usia lima puluh tahun adalah salah satu keinginan terbesar Mahesa. Tampaknya Tuhan mengabulkan keinginan itu walaupun tak sepenuhnya. Ia kini punya ‘mainan’ baru yang harus diurus dan dicintainya sepenuh hati bersama Wilujeng. Seorang bayi perempuan cantik yang mereka beri nama Mahaputri Pinasti Prabangkara.
* * *
“Kres, nanti bisa jemput Pinpin?” tanya Mahesa saat Kresna datang untuk sarapan bersama.
Sudah sekitar dua tahun ini, baik Kresna maupun Seta menempati apartemen masing-masing tak jauh dari rumah orang tua mereka. Tapi, masih tetap mampir ke rumah untuk menikmati sarapan dan makan malam hampir tiap hari.
Kresna berpikir sejenak sebelum mengangguk. Ada waktu senggang di tengah-tengah jadwal mengajarnya hari ini, hari dimulainya awal perkuliahan semester ganjil. Waktunya sekitar pukul sembilan pagi hingga pukul satu siang.
“Kalau lo sibuk, nanti gue jemput Pinpin ke kampus setengah satu,” sahut Seta. “Gue selesai meeting jam dua belas.”
“Iya,” angguk Kresna. “Gue ada jadwal jam satu.”
Pagi ini juga, Mahesa dan Wilujeng bersama klub sosial mereka akan meninjau sebuah panti asuhan baru di tepi kota. Dijadwalkan acaranya sampai sore. Harus ada yang mengurusi Pinasti.
Saat itu si putri kecil muncul di ruang makan, dituntun Wilujeng. Sudah cantik dan rapi mengenakan seragam TK-nya. Beberapa bulan lalu usianya sudah genap empat tahun. Kresna segera meraih mahkota bunga yang ada di dekat piringnya, kemudian meletakkannya di puncak kepala Pinasti.
“Makasih, Mas,” ucap Pinasti manis.
Kresna menghadiahinya sebuah kecupan di pipi. Pun Seta, dengan seluruh rasa gemasnya. Mereka berlima menikmati sarapan sambil bercakap. Pusat perhatian tentu saja nyaris seluruhnya jatuh pada si putri mahkota kecil, yang celotehnya membuat suasana sekeliling meja di taman belakang itu hangat dan ceria. Ketika tiba waktunya bagi mereka untuk beraktivitas, mereka pun membubarkan diri.
Kresna menawarkan diri untuk mengantarkan Pinasti ke sekolah karena jalurnya searah dengan kampus tempatnya mengajar. Wilujeng dan Mahesa pun menyambut tawaran itu dengan senang hati. Kresna segera menggandeng tangan Pinasti untuk masuk ke dalam mobil. Dalam hitungan belasan detik mobil itu pun mulai meluncur, diiringi lambaian tangan Wilujeng dan Mahesa.
* * *
Hari pertama kuliah....
Alma menatap pantulan wajahnya dalam cermin. Wajah cantik seorang gadis yang baru beberapa minggu melepaskan seragam SMA-nya dan selesai menjalani masa orientasi kampus. Seorang gadis yang dilepaskan untuk mulai mandiri dengan indekos dan kulian di luar kota.
Tapi ia tak sendirian. Ada Riska, sahabatnya sejak TK, bersamanya. Satu kampus, satu fakultas, satu kelas, satu indekos pula. Di samping itu ada juga Binno dan Gamaliel yang berkuliah di kampus yang sama, tapi lain fakultas. Indekos mereka pun berdekatan tempatnya.
“Wil! Lu sudah siap belum?”
Ia sedikit tersentak ketika didengarnya pintu diketuk sekaligus ada panggilan dan pertanyaan untuknya. Suara Riska.
“Masuk, Ris!” serunya. “Nggak dikunci, kok!”
Kepala Riska pun menyembul dari sela pintu yang dibukanya dari luar. Tampaknya Alma sudah siap untuk berangkat. Mereka ada jadwal kuliah pukul tujuh pagi hari ini.
Beberapa menit kemudian, Riska sudah meluncurkan motornya keluar dari area parkir rumah indekos besar itu, dengan Alma duduk manis di boncengan.
“Habis kuliah kita ke kantin, ya!” seru Riska di tengah deru aneka kendaraan di sekeliling mereka.
“Lu belum sarapan?” Alma balas berseru.
“Cuma roti doang sebiji. Mana cukup, Wil? Kita, kan, lagi masa pertumbuhan.”
Seketika Alma tergelak mendengar ucapan Riska. Sesungguhnya ia pun merasa sarapannya masih kurang. Hanya sebuah roti isi selai kacang dan sekotak kecil susu coklat.
Ketika mereka melewati sebuah komplek sekolah, laju motor Riska sedikit terhambat. Dalam kondisi itu, tatapan Alma tertumbuk pada seorang gadis kecil berseragam lucu, berupa kaos oblong merah yang luarnya dilapisi jumpsuit (celana kodok / celana monyet) pendek bermotif kotak-kotak merah-putih-biru-hitam, sedang dituntun keluar dari mobil oleh seorang laki-laki. Di puncak kepala gadis kecil itu ada mahkota bunga. Alma tertegun seketika.
Mahkota bunga....
Tapi ketika ia selesai mengerjapkan mata, gadis kecil itu sudah melepaskan mahkota bunganya dan makin masuk ke kompleks sekolah. Di samping itu, lalu lintas yang kembali lancar membuat Riska mulai memacu motornya lebih kencang lagi. Mereka makin jauh.
Saat itu juga jantung Alma berdebar kencang nyaris tak terkendali. Penampakan mahkota bunga itu sungguh membuatnya terguncang. Membuatnya teringat kembali pada mimpi-mimpi yang kerap kali menghiasi tidurnya bertahun-tahun ini.
Ah, mahkota bunga itu....
* * *
“Mas....” Pinasti melepaskan mahkota bunga dari kepalanya sambil terus melangkah masuk ke arah lokal TK.
Gadis kecil itu menyerahkan mahkota bunganya pada sang abang. Kresna menerimanya sambil tersenyum.
“Ini disimpan di mobil saja, ya,” celoteh itu berlanjut. “Nanti pulang aku pakai lagi.”
“Kalau layu, bagaimana?”
“Ng....” Pinasti berpikir sejenak. “Mas bikinin lagi, ya?”
Kresna tertawa. “Oke, princess!”
Pinasti pun tertawa riang. Sebelum menyerahkan si kecil pada gurunya yang sudah berdiri menunggu di lobi, Kresna menyempatkan diri berlutut sejenak untuk merapikan poni Pinasti yang pagi itu rambut bagian belakangnya diikat tinggi model ekor kuda.
“Jadi anak manis, ya?” pesan Kresna lembut. “Sun Mas Kresna dulu.”
Sebuah kecupan ringan segera saja mendarat di pipi kanan Kresna. Laki-laki itu tertawa seraya berdiri kembali. Kemudian diserahkannya Pinasti pada gurunya.
“Wah, Pinpin diantar Mas, ya?” sambut guru perempuan seusia Wilujeng itu. “Senangnya....”
Si gadis kecil tersenyum manis sambil mencium punggung tangan gurunya. Kresna pun berpamitan pada guru itu. Sempat melambaikan tangan pada Pinasti sebelum berbalik, kembali ke mobil.
Kresna menatap sejenak mahkota bunga mungil di tangannya sebelum meletakkannya di jok sebelah kiri. Ia tersenyum simpul. Agaknya mahkota bunga itu akan layu nanti pada saat ia menjemput Pinasti. Tapi, ia sudah punya rencana.
* * *
Suasana ruang kuliah sudah cukup meriah ketika Alma dan Riska masuk ke dalam. Padahal jam kuliah masih akan dimulai sekitar setengah jam lagi. Rupanya para muda-mudi dalam ruangan itu masih dilanda aroma kemaruk ingin mencicipi status baru sebagai mahasiswa. Setelah menghempaskan tubuhnya ke sebuah kursi, Riska segera terlibat obrolan asyik dengan teman-teman di sekelilingnya. Sementara, Alma masih menyimpan suaranya.
Entahlah, rasa-rasanya ia hanya ingin melambungkan lamunannya saja saat itu. Apalagi ketika beberapa saat lalu, secara nyata ia melihat mahkota bunga bertengger di kepala seorang gadis cilik usia TK. Ia ingin melamunkan mahkota bunganya, pangerannya, dan suasana teduh yang selalu melingkupi mereka dalam mimpi.
Kapan aku bisa bertemu dengannya?
Samar, Alma menghela napas panjang.
Saat masih duduk di SMP dan SMA, tentu saja ia banyak berteman dengan para cowok. Bersahabat dengan Dondit, Binno, dan Gamaliel. Selain tiga orang itu, hanya sekadar teman. Tapi coba dicarinya juga sosok pangeran dalam mimpinya di antara para sahabat dan teman lelakinya. Hasilnya? Nihil. Senihil-nihilnya. Walaupun beberapa mencoba nekad mendekatinya dengan segala cara.
Siapa pangeran itu, ia tak pernah tahu. Hanya bisa berharap hatinya akan menuntun nanti, saat mereka benar-benar bertemu. Walaupun pertemuan itu pun masih berupa angan tinggi di awang-awang baginya.
Ia tersentak ketika mendadak saja telinganya menangkap ada yang menyebut namanya. Ia menoleh sedikit. Mendapati Sadewa nyengir sambil menatapnya. Cengiran itu menampakkan gigi putih rata bagaikan bintang iklan pasta gigi.
“Huuu....”
Teman-teman mereka segera menyahut entah apa yang diucapkan pemuda itu, dengan cemoohan panjang.
Sadewa cengegesan, sementara Alma, yang namanya disebut-sebut, hanya menanggapi dengan wajah datar. Itu karena Alma benar-benar tak tahu apa yang tengah mereka bicarakan. Ia terlalu tenggelam dalam lamunannya.
“Lu doyan, Alma ogah.” Riska menyergah tiba-tiba, menatap Sadewa.
Mereka masih akan menyambung tawa dan obrolan itu ketika seorang laki-laki melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Alma tak seberapa memperhatikannya. Ia justru menoleh ke arah Riska.
“Tadi ngomongin apa, sih?” bisiknya.
“Ssst....” Tatapan Riska lurus ke depan.
Alma mengerucutkan bibir. Sedikit gondok karena Riska tidak mengacuhkan pertanyaannya. Bersamaan dengan itu, sebuah map tersodor ke depannya. Cepat-cepat ia menggoreskan tanda tangan pada lembar presensi itu, kemudian menggesernya ke arah Riska. Setelah itu ia pun menegakkan punggung, menatap lurus ke depan. Dan....
Rasa-rasanya ia tak lagi mampu berkedip saat menatap laki-laki yang berdiri di depan kelas itu.
Laki-laki itu bertubuh tinggi tegap, dibalut setelan kemeja lengan pendek dan celana panjang berpotongan klasik berwarna hitam. Warna yang membuat kulit sawo matangnya terlihat jadi lebih bersih dan cerah. Wajahnya yang dihiasi kacamata berbingkai titanium tampak segar dan tampan. Ada wibawa sekaligus semangat memancar dari sorot mata dan bahasa tubuhnya.
Alma tercekat. Sesuatu menyentakkan hatinya. Orang itu....
Pangeranku! Ya, Tuhan.... Itu pangeranku!
* * *
Sebelum mematikan mesin mobil, Kresna menatap sejenak deretan gedung yang menjulang di seberang area parkir. Gedung-gedung yang seolah punya magnet kuat dan menariknya agar tetap berada di sana setelah menamatkan jenjang sarjana dan magisternya. Tahun ini adalah awal tahun ketiga Kresna mulai mengajar secara penuh di almamaternya.
Semoga nanti bisa sampai doktoral, doanya dalam hati.
Dengan wajah cerah ia kemudian keluar dari mobil dan mampir sejenak ke ruangannya di Gedung C lantai tiga. Sebuah ruangan bercat coklat susu muda berukuran 3 x 12 meter yang ditempatinya bersama dua orang dosen lain. Ruangan itu masih sepi ketika ia menyelinap masuk dan duduk di depan mejanya. Meja yang masih bersih, bebas dari berkas-berkas. Disempatkannya untuk kembali memeriksa jadwal. Benar, ia ada kelas pukul tujuh pagi ini.
Sejenak ia tercenung.
Ini adalah kali kedua ia mengajar kelas baru dengan harapan menggunung di hati. Selama ini, ia hanya mampu tersenyum simpul ketika digoda rekan-rekan dosen yang juga mantan dosen-dosennya dulu. Apalagi kalau bukan soal ‘gandengan’?
Mereka mengenalnya sebagai sosok laki-laki muda yang adem ayem tanpa banyak tingkah. Ramah pada semua orang. Tapi gadis yang istimewa? Setidaknya mereka belum pernah mendengar Kresna punya pacar.
Satu-satunya gadis yang pernah sedemikian dekat dengan Kresna hanya seorang saja. Alexandra. Sahabatnya. Tapi gadis itu sudah lama pergi dengan meninggalkan tragedi yang dibumbui aneka desas-desus. Hanya mampu bertahan dua bulan saja setelah kecelakaan hebat yang dialaminya, kemudian berpulang tanpa pernah sadar kembali. Sedangkan ada apa di balik kesendiriannya, hanya Kresna seorang yang tahu.
“Ngajar pagi, Mas?”
Kresna tersentak. Ia menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan berusia lima puluhan dengan dandanan apik menyembulkan diri dari sela-sela pintu. Tersenyum lebar. Kresna segera berdiri dan mendekati perempuan itu.
“Iya, Bu Hetty,” jawabnya sembari menyalami perempuan itu, dosen yang dulu jadi pembimbing skripsinya. “Ibu juga?”
“Nanti, jam sembilan.”
Setelah berbasa-basi sejenak, Hetty kembali melangkah. Menuju ke ruang kantornya yang berada tepat di sebelah ruangan Kresna. Sekilas Kresna melihat arlojinya. Pukul tujuh kurang sepuluh menit lagi. Ia harus mengajar di lantai tiga Gedung D. Maka, ia pun segera kembali ke meja untuk meraih tas.
Dengan langkah cepat ia menyusuri koridor lengang di antara ruang-ruang dosen. Tujuannya adalah sayap selatan Gedung C. Ada jembatan yang menghubungkan lantai tiga Gedung C dan D.
Sembari melangkah, ia kembali membebaskan lamunannya. Lamunan yang entah kenapa kali ini seolah membuat jantungnya serasa terhentak-hentak.
Sejak tahun lalu ia sudah menghitung. Seharusnya ‘dia’ sudah berusia sekitar 17 tahun. Harapannya adalah menemukan ‘dia’ di antara mahasiswi baru yang akan diajarnya. Tempat lain? Ia menggeleng samar. Hatinya mengatakan bahwa kampus tempatnya mengajar adalah tempat yang tepat untuk menemukan ‘dia’. Tahun lalu meleset. ‘Dia’ belum juga ditemukannya.
Semoga tahun ini.... Kalau tahun depan?
Ia meringis sekilas. Bisa jadi hitungannya memang tidak tepat, alias meleset.
Semua berawal dari mimpi-mimpi yang nyaris tiap malam menghampirinya sejak ia kembali ke rumah, setelah sempat beberapa hari menghilang seusai diterjunkan ke jurang oleh Alex. Mimpi tentang padang rumput yang mengesankan. Mimpi tentang padang bunga yang indah. Mimpi tentang hutan bambu kuning. Mimpi tentang danau bening dengan ribuan ikan di dalamnya. Mimpi tentang matahari terbenam yang ditatapnya dari puncak sebuah bukit.
Ia sudah mengabadikan semua mimpi itu ke dalam beberapa lukisan yang kini menghiasi rumah orang tuanya. Lukisan-lukisan yang membuat ibunya betah berlama-lama menatap dan menikmati setiap milimeter warna yang bersemburat di sana.
Tapi ada satu mimpi yang tak pernah diabadikannya dalam lukisan. Mimpi yang hingga detik ini masih ia simpan untuk dirinya sendiri. Mimpi tentang seorang gadis muda yang setiap saat selalu dihadiahinya mahkota bunga aneka warna. Gadis muda yang masih berusia awal belasan dan baru mekar.
Makin ia menolak mimpi tentang gadis itu karena dianggapnya masih terlalu muda baginya, makin sering juga mimpi itu menghiasi tidurnya. Hingga pada satu titik ia sadar, bahwa seluruh hatinya sudah tertambat pada gadis itu. Gadis bermata coklat bening yang mampu membuatnya tenggelam dalam kedamaian. Gadis dengan senyum samar dan malu-malu yang mampu menggetarkan hati. Gadis yang, sayangnya, ia tak tahu siapa dia. Bahkan wajahnya pun hanya serupa bayang-bayang baur dalam ingatan. Hanya mata bening dan senyum samarnya saja yang melekat begitu kuat dalam benak dan hati.
Diembuskannya napas panjang ketika kakinya sudah menapak ke selasar lantai tiga Gedung D. Ruang kelas yang ditujunya tak jauh lagi. Pada waktu yang tersisa itu, dicobanya untuk meraih setiap ketenangan yang saat itu seolah berhamburan secara acak di sekitarnya. Sekali lagi, ia mengembuskan napas panjang ketika pintu ruang yang ditujunya sudah ada di depan mata.
Beberapa detik kemudian, ia melangkah masuk ke dalam kelas dengan langkah tegak dan yakin. Tanpa menyadari bahwa pada detik itu juga, proses perubahan kehidupannya telah dimulai.
* * *.
Kresna masuk tanpa suara, dan menutup pintu di belakang punggungnya. Suasana penuh dengung bak gumaman ribuan lebah dalam ruangan itu berangsur senyap. Sekilas menatap seisi kelas sambil mengucapkan salam, yang segera disambut kor balasan dari seluruh mahasiswa-mahasiswi baru dalam kelas.
“Presensinya sudah sampai di mana?” tanyanya dengan suara bersahabat, seraya bibirnya mengulas senyum
Seorang mahasiswa yang duduk di posisi tengah mengangkat tangan kanannya.
Kresna meraih boardmarker, seraya berucap, “Boleh saya pinjam sebentar?”
Sambil menunggu map presensi sampai di tangan, dituliskannya sesuatu pada whiteboard. Nama yang selama ini disandangnya dengan kebanggaan penuh.
Mahakresna Prabangkara, S.E., M.M. (Kresna)
Tulisannya sangat rapi dan terbaca dengan mudah, bahkan dari deretan paling belakang. Lalu ia berbalik, bersamaan dengan map presensi mendarat di atas meja.
“Seperti Anda lihat di papan, perkenalkan, saya Kresna, dosen pengampu mata kuliah Pengantar Bisnis untuk semester gasal ini,” ia mulai memperkenalkan diri. “Saya ucapkan selamat bergabung di sini, di kampus kita tercinta. Semoga hingga semester berakhir nanti, kita bisa bekerja sama dengan baik. Oke, sebelum kuliah dimulai, saya ingin mengenal Anda satu per satu.”
Tanggapan berupa dengung-dengung tak jelas diabaikannya dengan meraih map di atas meja. Satu demi satu, nama-nama yang tertera pada lembar presensi dibacanya. Ada wawancara sekejap dengan sang pemilik nama. Semua itu disertai keramahan dan senyum yang tak lekang dari bibir sang dosen.
Terakhir....
“Zervia Almandine Garnet Purbowiyakso?”
Seorang gadis manis berambut hitam kriwil, yang menjuntai indah membingkai wajahnya, mengangkat tangan. Kresna menjatuhkan tatapan padanya. Gadis itu pun balas menatap. Seketika ia terkesiap. Terlebih ketika bibir gadis itu mengulas senyum samar. Entah bagaimana, Kresna bisa menangkap senyum itu secara utuh. Senyum yang masih sama.
Mata bening itu.... Senyum samar itu....
Lalu, waktu pun membeku.
* * *
Tanpa bisa dicegah, Paitun, Nyai Sentini, Tirto, Kriswo, dan Randu bersorak girang ketika adegan pertemuan Kresna dan Alma terpampang pada salah satu dinding pondok Nyai Sentini. Pinasti dan Janggo yang duduk manis di dekat Tirto pun mendengking riang.
Tepat ketika Kresna dan Alma terlihat bertatapan di ‘layar’, Nyai Sentini menjentikkan jari tengah dan ibu jarinya.
* * *
‘Kamu?’
Tanpa kedip Kresna menatap gadis itu di tengah bekuan waktu. Gadis itu menyingkirkan senyum samarnya. Menggantinya dengan seulas senyum yang lebih lebar. Melanjutkan percakapan dalam hening itu.
‘Nama saya Alma. Senang sekali bertemu dengan Anda, Pak Kresna.’
‘Oh, jadi namamu Alma?’
‘Ya. Dan, apakah... Bapak juga mengalami mimpi yang sama?’
Kresna mengangguk. ‘Nyaris tiap malam sejak beberapa tahun lalu.’
‘Oh....’
‘Kamu juga?’
‘Ya. Apakah... Bapak tahu sesuatu tentang rangkaian mahkota bunga?’
‘Ya! Aku selalu membuatkannya untuk gadis dalam mimpiku itu! Jadi, kamu melihat juga hal yang sama?’
Alma mengangguk dengan binar memenuhi matanya. Debar-debar liar makin memenuhi dada Kresna.
‘Jadi... benar, kamu gadis itu. Yang sudah kutunggu selama beberapa tahun ini. Senang sekali bertemu denganmu!’
Keduanya tersentak ketika mendengar bunyi guntur di kejauhan. Seketika keduanya memahami bahwa suara guntur sayup-sayup itu adalah alarm bagi mereka. Kresna buru-buru meraih tasnya dan menyobek kertas dari dalam notes di tasnya. Dengan cepat, ia menuliskan sesuatu. Lalu, diulurkannya kertas itu pada Alma.
“Ini nomor kontakku,” ucapnya dengan suara biasa. “Rasanya kesempatan kita makin sempit sebelum waktu mencair kembali.”
Secepatnya Alma menerima dan menyelipkan kertas itu ke dalam saku celana jinsnya sambil menggumamkan terima kasih. Kemudian ia kembali menegakkan tubuh. Kresna pun menatap kembali lembaran presensi di tangannya.
Dan, begitu saja waktu kembali mencair. Atmosfer di sekitar mereka kembali bergerak secara bebas.
“Nama panggilanmu?”
“Alma, Pak.”
“Hm.... Almandine garnet itu setahu saya sejenis batu permata,” gumam Kresna.
“Betul, Pak.” Alma mengangguk.
"Nama yang bagus," senyum Kresna, membuat Alma sedikit tersipu.
Laki-laki itu pun menutup map presensi di tangannya. Sejenak ia mengedarkan tatapan ke seluruh penjuru kelas.
“Oke, silakan presensi diedarkan kembali. Sekarang kita perkenalan mata kuliah dulu, ya.”
Selanjutnya Kresna mulai membahas garis besar mata kuliah yang diampunya, termasuk buku dan literatur yang akan mereka gunakan, bentuk tugas yang biasa ia berikan, serta sistem kuis dan tes yang biasa ia pakai untuk menguji kemampuan para mahasiswanya. Seisi kelas menyimak dengan baik. Sebagian karena menikmati cara penyampaian Kresna yang menarik dan cukup mudah untuk dimengerti, sebagian lagi karena terpesona pada sosoknya yang memang cukup ‘mengguncang dunia’. Apalagi diselingi dengan tanya-jawab yang sebagian besar terdengar ‘kurang bermutu’, yang tetap dijawab oleh sang dosen dengan sangat sabar. Waktu dua jam kuliah yang panjangnya 100 menit pun tak terasa berlalu.
“Oke, kuliah hari ini kita akhiri sampai di sini.” Kresna mengakhiri pertemuan itu. “Sampai bertemu lagi Senin depan.”
“Pak Kresna.” Arian, sang ketua kelas, mengangkat tangan.
“Ya?”
“Maaf, Pak, bisakah kami mendapatkan nomor kontak Bapak? Barangkali sewaktu-waktu kami perlukan untuk kepentingan mata kuliah yang Bapak ajarkan.”
“Sudah ada di papan daftar dosen. Ada di lobi Gedung C.”
“Oh, baik, Pak. Terima kasih.”
“Tapi saya cuma terima kontakan untuk kepentingan kuliah saja, ya,” senyum Kresna melebar. “Tidak untuk hal lain.”
Seketika dengung bagai suara sekompi lebah memenuhi ruangan itu. Kresna tersenyum simpul. Sekali lagi ia mengucapkan salam, kemudian berlalu.
* * *
Kantin Fakultas Ekonomi yang luas dan masih sedikit sepi itu nyaris setengahnya dijejali mahasiswa baru yang sibuk mencari cemilan. Seperti biasa, para mahasiswa lama masih ogah-ogahan masuk kuliah pada minggu-minggu pertama seperti ini. Pun beberapa dosen, walaupun dosen yang rajin juga tetap ada.
“Setelah lihat Pak Kresna, langsung lewat, deh, Sadewa,” bisik Riska sambil menyedot minuman ringannya.
Bersama Alma, gadis itu ‘mojok’ di depan meja untuk berdua di sebuah sudut. Alma sendiri, dengan sikap acuh tak acuh, asyik menikmati roti bakar isi telur dan tuna dengan segala pelengkapnya, ditemani segelas besar es teh.
“Ish! Lu, Wil, kayaknya susaaah banget diajak ngerumpi soal cowok!” gerutu Riska.
Alma menoleh sekilas.
“Terus, gue harus koprol sambil sorak-sorak cihui, gitu?” Gadis berambut ikal kriwil itu nyengir.
Riska mencibir. Sebetulnya, sejak dimulainya masa orientasi beberapa minggu lalu, ia sudah merasa tertarik pada Sadewa. Pemuda berkulit cokelat gelap itu tidak terlalu tampan, tapi manis sekali. Senyumnya selalu semringah. Menampakkan deretan gigi putih rata bak bintang iklan pasta gigi. Sikapnya pun ramah dan cukup sopan. Pendeknya, lumayan menarik. Sayangnya, dilihat dari sisi manapun, sudah terlihat sekali bahwa Sadewa gencar menggebet Alma.
Padahal....
“Lu tahu, nggak? Sadewa itu suka sama lu!”
Kalimat yang diucapkan Alma dengan nada lirih itu seketika membuat Riska, yang tengah asyik menyedot minumannya, tersedak. Gadis manis itu melotot ke arah sang sahabat setelah terbatuk beberapa kali.
“Gila, lu, Wil! Nggak kira-kira lu ngerjain gue!” gerutunya.
“Siapa yang ngerjain?” timpal Alma, tetap dengan sikap santai. “Tanya Binno kalau nggak percaya.”
“Kok, Binno, sih?” Riska terlihat masih tidak terima.
“Ya, iyalah! Dia, kan, satu indekos sama Binno.”
Bibir Riska membundar seketika. Jadi....
“Tapi beneran dia suka sama gue?” selidiknya.
“Ya, iyalah!” Alma meyakinkan lagi. “Dia, kan, deketin gue cuma niat mau bikin lu jealous.”
“Terus, lu bilang, gitu, sama dia, kalau gue juga suka sama dia?” mata Riska membundar lagi.
“Ya, enggaklah....” Alma mengibaskan tangan kanannya. “Gini-gini, gue mana tega, sih, jatuhin sohib sendiri?”
Riska terdiam. Jadi Sadewa? Aw.... Sebersit kehangatan bersemburat menjalari pipi Riska.
“Terus, gue harus gimana, Wil?”
Hening.
“Wil?”
Tetap hening. Seketika Riska mengalihkan tatapan dari mangkuk mi ayam yang sedari tadi ditekuninya. Didapatinya sang sahabat tengah terpaku menatap ke satu titik. Ia pun mengikuti arah tatapan Alma. Detik itu pula, ia ikut terpaku.
Di depan meja untuk berdua yang letaknya agak di sudut tengah kantin, Kresna duduk bersama seorang gadis kecil berbaju lucu yang mengenakan mahkota bunga di puncak kepalanya. Keduanya tampak mengobrol sambil tertawa-tawa. Terlihat sangat akrab. Sekaligus indah.
* * *
Mahkota bunga warna-warni itu jelas layu karena tersekap selama sekian puluh menit dalam mobil Kresna. Tapi si kecil Pinasti tak jadi cemberut, karena setelah Pinasti berpamitan dan menyalami ibu gurunya, Kresna menyambutnya dengan sebentuk mahkota bunga segar yang baru.
Seketika mata Pinasti berbinar ketika melihat rangkaian bunga alyssum putih mungil beraroma manis di tangan Kresna, sebelum rangkaian berbentuk lingkaran penuh itu hinggap di puncak kepalanya. Dengan manis diucapkannya terima kasih. Kresna pun menggandeng adiknya masuk ke mobil.
“Kita ke kampus Mas dulu, ya, Pin,” ucap Kresna sembari menghidupkan mesin mobil. “Nanti setengah satu kamu dijemput Mas Seta, soalnya Mas Kresna mau ngajar lagi jam satu.”
“He eh,” sahut Pinasti dengan patuhnya.
Sambil tersenyum, Kresna mulai melajukan mobilnya.
“Mas, Mas....”
“Ya?” Kresna menoleh sekilas.
“Nanti boleh maem pisang keju, nggak?”
“Di mana?”
“Itu.... Yang Mas Seta sama Mas Kresna pernah ajak aku ituuu.”
“Oh, di kantin kampus?”
“He eh.”
“Lho, bukannya tadi dibawain bekal sama Ibu?” Kresna kembali menoleh sekilas.
“Tadi itu, Mas, bekal Noni ketinggalan di mobil jemputan. Jadi aku bagi bekalku sama dia.”
“Oh....” Kresna tertawa ringan. “Ya, deh, kalau begitu boleh.”
“Asyik!”
Sorakan dalam suara kecil dan lucu itu seketika membuat senyum Kresna melebar. Dengan tangan kiri, diusapnya sekilas kepala Pinasti.
Dalam waktu beberapa belas menit, Kresna sudah memarkir kembali mobilnya di tempat semula dalam area parkir Fakultas Ekonomi. Sebelum mereka keluar, Kresna sempat merapikan ikatan ekor kuda rambut adiknya. Mahkota bunga itu tetap bertengger apik di puncak kepala Pinasti.
Saat bergandengan tangan menuju ke kantin di sayap utara, beberapa kali mereka berdua berpapasan dengan dosen-dosen, mahasiswa-mahasiswi, dan juga teman-teman Kresna, baik yang masih jadi ‘mahasiswa abadi’ maupun yang sedang menempuh jenjang S-2. Colekan-colekan gemas pun sempat mampir ke pipi bulat Pinasti, membuat gadis kecil itu mulai cemberut, sehingga sang abang tertawa dan buru-buru menyeretnya ke kantin.
“Nah, kamu mau pisang keju saus cokelat atau karamel?” tanya Kresna begitu mereka duduk di sebuah meja kecil untuk berdua.
“Yang karamel saja. Minumnya susu cokelat, pakai es,” jawab Pinasti, tegas.
“Susu cokelat atau stroberi?” senyum Kresna, setengah menggoda, karena ia tahu betul kesukaan adik kecilnya.
“Mm... stroberi saja, deh!”
“Yang benar? Stroberi atau cokelat?”
“Stroberi!”
“Cokelat atau stroberi?” goda Kresna lagi.
“Ah... Mas Kresna, ah...,” rajuk Pinasti. “Stroberiii.”
Kresna tergelak karenanya. Pramusaji kantin pun ikut tertawa melihat tingkah Pinasti yang memang lucu dan menggemaskan.
“Pisang keju karamel dua, strawberry milkshake satu, cappuccino satu, ya, Mbak. Terima kasih,” pesan Kresna pada pramusaji. “Eh, tambah mi ayam pangsit goreng satu, deh!”
“Aku juga mau!” sahut Pinasti seketika.
“Iya, nanti sama Mas makannya,” bujuk Kresna sabar. “Kalau kurang, kita pesan lagi.”
“Oh, ya, ya.” Si gadis kecil mengangguk-angguk.
“Hih! Adiknya gemesin banget, sih, Mas Kresna,” ujar pramusaji dalam senyum lebarnya sebelum berlalu.
Lagi-lagi Kresna tergelak. Setelah itu Pinasti kembali berceloteh. Dengan sangat sabar, Kresna mendengarkan dan menanggapi. Sesekali mereka tertawa dan terkikik berdua ketika Pinasti menceritakan ulah lucu teman-teman TK-nya.
Pada saat seperti itu, Kresna sungguh bersyukur karena masih diizinkan untuk punya adik perempuan yang sangat cerdas, pandai berceloteh secara runtut dan jelas, lucu, dan menggemaskan seperti Pinasti. Walaupun mungkin agak terlalu terlambat karena usia mereka berjarak cukup jauh.
Obrolan itu terjeda ketika pramusaji datang membawakan pesanan mereka. Dengan mata berbinar, Pinasti menatap piring berisi pisang panggang yang ditaburi keju parut dan disiram saus karamel. Aroma sedapnya sungguh menggelitik hidung. Kresna memotong-motong lebih dulu pisang di piring Pinasti.
“Hati-hati, masih agak panas ini, Pin,” ujarnya lembut.
Sambil menggumamkan terima kasih, Pinasti mulai menancapkan garpu pada potongan pertama. Tapi asap yang masih mengepul membuatnya ragu-ragu. Maka, ia pun menunda keinginannya untuk menikmati pisang keju itu. Sebagai gantinya, ia meraih gelas milkshake-nya dan menyedotnya pelan-pelan.
“Mau makan mi ayam dulu?” tawar Kresna sambil mengaduk mi ayam dalam mangkuk di depannya.
“Masih panas juga, Mas?”
“Iya, sih.”
“Ng....”
“Mas tiupin, deh!”
Pinasti menyambut tawaran itu dengan wajah riang. Sekejap kemudian, satu demi satu suapan kecil gulungan mi ayam hangat pada ujung garpu masuk ke dalam mulutnya, diikuti dengan gigitan pada pangsit goreng.
“Enak?” Kresna tersenyum lebar. “Kamu lapar banget, ya?”
Pinasti mengangguk-angguk tanpa suara. Mulutnya masih penuh. Pada suapan kesekian, ia menggeleng ketika Kresna menyodorkan kembali suapannya.
“Sudah?” Kresna memastikan.
Pinasti mengangguk. “Nanti pisangnya nggak habis, gimana?”
“Kan, bisa dibungkus.”
“”Oh....”
Maka, Pinasti pun kembali membuka mulutnya. Membuat Kresna tergelak untuk kesekian kalinya.
* * *
Semua yang dilihatnya menjelang siang tadi di kantin menancap kuat dalam benak Alma. Pun ketika ia menemukan ingatan bahwa gadis kecil yang bersama Kresna itu adalah gadis kecil dengan rangkaian mahkota bunga di puncak kepala, yang dilihatnya masuk ke sebuah kompleks sekolah pada pagi harinya.
Anak Pak Kresna-kah?
Ia menggeleng samar. Berusaha menepis pikiran itu.
Sepertinya Pak Kresna masih muda walaupun sudah jadi dosen. Mungkin keponakannya.
Lalu ia sedikit tersentak. Begitu saja teringat kejadian aneh di ruang kuliah pagi tadi. Saat waktu benar-benar membeku di sekelilingnya dan Kresna.
Pembicaraan dalam hening itu.... Kemudian alarm berupa suara sayup-sayup guntur di kejauhan.
Ia kembali menggeleng samar. Seperti apa sebenarnya hubungannya dengan Kresna? Tiba-tiba ia teringat pula sesuatu.
Kertas itu!
Ia meloncat dari ranjang dan setengah berlari memburu gantungan baju di belakang pintu kamar indekosnya. Celana jins yang dipakainya tadi tergantung di sana. Tangannya segera menemukan lipatan kertas yang tersimpan dalam saku celana. Sederet nomor ponsel tertera rapi pada kertas itu.
Sembari duduk kembali di ranjang, Alma meraih ponselnya. Tapi, sebelum mulai menyentuh layar, ia tercenung sejenak.
Bila pembicaraan dalam hening itu tadi bisa terjadi, kenapa tidak....
Maka ia mulai mencobanya. Berkonsentrasi pada satu sosok dimaksud.
‘Pak Kresna, selamat malam. Ini Alma. Bapak bisa mendengar saya?’
Tak perlu menunggu sepuluh detik berlalu, sebuah jawaban sudah menggema dalam benaknya.
‘Ya, Alma, aku bisa mendengarmu. Mencoba telepatikah? Ayo!’
Dan, gadis berambut ikal kriwil itu hampir saja melakukan salto berjumpalitan sembari berteriak kegirangan, seandainya tak ingat bahwa ia ada dalam suatu rumah indekos bersama teman-teman lainnya.
* * *
(Bersambung hari Kamis)
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.