Bola-bola cinta dalam Pohon Telur
Siapakah yang paling berperan dalam pendidikan seorang anak? Saya beruntung mendapatkan pendidikan dari banyak pihak: orang tua saya, nenek, bibi serta paman saya

“Anak-anak, sebentar lagi kita merayakan Paskah. Nah tugas dari bu guru kali ini adalah kerjakan Prakarya dengan tema Paskah,” begitu kata Bu Lastri di suatu siang. “Sebelum libur, Prakarya sudah harus dikumpulkan ya,” lanjut ibu guru kelas saya.
Sebagai minoritas di SD Katolik di Salatiga, saya langsung stress. Bagaimana pula membuat Prakarya dengan tema Paskah dalam waktu kurang dari satu minggu? Saya hanya tahu telur paskah, tapi bagaimana caranya membikin telur paskah menjadi Prakarya yang indah, menarik dan membuat Bu Lastri tersenyum? Dengan perasaan galau saya berjalan pulang menuju rumah.
Ketika saya sampai, rumah masih terlihat sepi. Hanya ada Mbah Putri. Tante Retno dan Oom, Yanto, serta kakak saya belum sampai. Di akhir tahun 60-an itu, Mbah Putri, Tante Retno dan Oom Yanto adalah orang tua saya dan kakak. Kami berdua dititipkan oleh orang tua kami karena ayah saya mendapatkan bea siswa ke Amerika. Jumlah bea siswa tidak cukup untuk membawa seluruh anggota keluarga, sehingga kami berdua tinggal di Salatiga. Ibu dan 3 orang adik menemani Ayah ke Amerika.
Bagi saya yang saat itu masih berusia 10 tahun, tidak lah mudah berpindah rumah dan berganti orang tua. Pertama, meski pun kami keluarga Jawa – ayah saya dari Yogya dan ibu saya dari Pekalongan – kami semua lahir di Bandung yang menyebabkan kami cukup mengerti Bahasa Sunda dan juga bisa bercakap-cakap dalam bahasa itu. Namun kami sama sekali tidak fasih berbahasa Jawa, baik lisan mau pun tulisan.
Kedua, saya khawatir sekali pindah ke kota kecil seperti Salatiga. Saya membayangkan betapa sepinya Salatiga, kota kecil di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah itu. Meninggalkan Bandung bagi saya sungguh berat. Bandung adalah kota besar, dengan penerangan listrik yang kencar-kencar, ada pesawat telpon di rumah kami, ada toko-toko besar, ada Taman Lalu Lintas, Braga. Sedangkan Salatiga? Salatiga tidak memiliki listrik yang terang benderang, toko-toko ataupun fasilitas bermain yang keren seperti Taman Lalu Lintas di Bandung atau pun pesawat telpon di rumah di penghujung tahun 60 an. Jadi saya sungguh khawatir bermigrasi ke Salatiga, apalagi saya belum pernah bertemu dengan Tante Retno. Tante Retno dan Oom Yanto menikah belum lama. Di tambah lagi, saya meninggalkan semua teman dan sahabat saya di Bandung. Singkat kata pindah lah saya ke Salatiga.
***
Dengan canggung saya berkenalan dengan Tante Retno, perempuan berperawakan sedang dengan rambut dipotong pendek dibawah telinga. Tante Retno menyambut kami dengan gembira. Pelukannya hangat dan kuat, seakan membisikkan bahwa kami akan selalu dalam perlindungannya. Saya merasa tenang, sekilas saya lupa akan kesedihan saya: berpisah dengan orang tua dan adik-adik saya, serta meninggalkan kota Bandung yang saya cintai.
Mbah Putri, yang saat itu sudah sendiri, karena Mbah Kakung sudah berpulang beberapa tahun lalu, juga terlihat gembira melihat kami, 2 orang cucunya. Sambutan yang hangat dan penuh kasih sayang ini membuat saya merasa aman dan nyaman. Apalagi rumah Mbah Putri kelihatan sangat asri. Saya melihat banyak sekali sentuhan Tante Retno di rumah ini: halamannya yang asri penuh bunga warna warni, di atas hamparan rumput hijau dan tebal. Ruang tamu, ruang keluarga sangat bersih dengan lantai kinclong. Kursi dan sofa rotan tampak cantik dengan bantal-bantal yang dibungkus sarung berhiaskan sulaman tangan. “Tante Retno menjahit sarung-sarung bantal itu sendiri,” bisik Mbah Putri dengan wajah gembira. Saya mengalihkan pandangan saya ke tembok, ahh catnya sudah ganti: dari cat putih, sekarang berganti dengan warna-warna pastel: pink yang sangat muda di ruang tamu, biru muda di kamar tidur. Dinding yang dahulu kosong, sekarang digantungi beragam hiasan dinding sulaman hasil karya Tante Retno yang ditata dengan penuh selera.
Meskipun sudah mulai ada perasaan nyaman, saya tetap merasa canggung. Bulan-bulan pertama adalah bulan yang penuh air mata. Hampir tiap hari saya menangis karena kangen dengan Ayah-Ibu dan adik-adik saya. Semua bergantian membujuk saya: kakak, Tante Retno, Mbah Putri dan Oom Yanto. Tante Retno dengan sabar mengelus rambut saya sambil mencoba mengalihkan perhatian saya: “Tari rambutnya bagus, tebal. Mau dipanjangkan saja?”saya masih terisak-isak. Namun Tante Retno terus mencoba mengajak bicara: “temanmu banyak ya di Bandung? Siapa yang paling akrab? Di sini anak-anak juga baik-baik, Tari akan dapat sahabat lagi,” lanjutnya dengan lembut. Meskipun saya tidak selalu menjawab, Tante Retnoi tidak pernah berhenti membujuk dan menenangkan saya.
Saya sudah tidak ingat lagi berapa lama keadaan seperti ini terjadi. Dua bulan? Tiga bulan? Entahlah…. Yang saya ingat adalah saya mulai terbiasa dan mulai senang tinggal di Salatiga. Diasuh oleh Mbah Putri, Oom dan Tante, ada sensasi tersendiri. Kalau Mbah Putri cenderung memanjakan, tapi juga sering ngomel karena saya selalu bangun siang, malas membereskan tempat tidur. Tante Retno jarang mengomel, dia akan menegur dan menasehati, bila dia melihat ada tindakan saya yang tidak pas.
Lambat laun saya merasa dekat dengan Tante Retno. Tante Retno memperlakukan kami, saya dan kakak, sebagai anaknya sendiri. Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan kami menjadi perhatian beliau: sekolah, pakaian, makanan, ketrampilan mengurus rumah tangga serta pemahaman mengenai nila-nilai kehidupan. Beliau mengajarkan bagaimana memiliki empati pada orang lain, sikap untuk selalu bersyukur, tidak mudah iri hati pada teman, terlebih iri akan barang-barang mahal atau pun rumah mewah yang dimiliki teman.
“Ibaratnya jalan kaki, jalanlah dengan kepala menunduk, maka akan terasa teduh. Kalau kita menengadah ke atas terus , maka mata kita akan silau kena matahari, kaki pun bisa terantuk batu dan kita bisa jatuh,” kata Tante Retno, suatu hari ketika ia menangkap saya ingin sekali memiliki sepeda jengki seperti, Eni, teman sekelas saya. Saya cemberut dang ngambek karena kakak saya langsung menghalau impian saya saat saya menceritakan keinginan ini “husss sepeda itu mahal tau? Bapak kita sekarang mahasiswa, nggak punya uang !” katanya setengah menghardik. Selama beberapa hari saya mogok bicara, sampai akhirnya Tante Retno mengetahui masalahnya. Nasehat yang disampaikan dengan sederhana, terasa menancap ke dalam jantung saya. “Apakah kita ini nggak boleh punya keinginan Tante? Masak ingin sepeda aja nggak boleh?” Tante Retno tersenyum, mengelus rambut saya, “Tentu saja boleh. Tetapi kita juga harus bisa membatasi keinginan kita. Kalau saat ini belum mampu, kita harus bisa menerima dan kemudian mengupayakan agar kita bisa mewujudkannya.”
Tante Retno juga selalu siap membantu saya menyelesaikan pekerjaan rumah dan tugas-tugas sekolah lainnya seperti Prakarya atau bahasa sekarangnya kerajinan tangan. Tante Retno sangat terampil dan kreatif, sehingga Prakarya saya, dengan supervisi Tante Retno tidak jarang mendapatkan nilai 8. Jadi hari itu saya sungguh berharap Tante Retno bisa membantu saya menghasilkan Prakarya bertema Paskah.
*****
“Ayo ganti baju dulu, cuci tangan dan cuci kaki, terus makan dulu,” kata Mbah Putri melihat saya masih duduk termangu dalam pakaian sekolah di ruang tengah. “Mau tunggu kakak sama Tante Retno dulu Mbah, “ kata saya. “Udah sekarang aja, anak kecil harus cepat makan,” kata Mbah Putri. Ya sudah, manut lah. Hidangan siang itu adalah nasi putih, sayur lodeh, bandeng goreng, tempe goreng dan pisang susu sebagai penutupnya. Setelah makan siang, saya tidak mau tidur siang, saya mau segera menyampaikan beban Prakarya ini. Saya menunggu sambil membaca majalah Si Kuncung (waktu itu ejaannya masih Si Kuntjung). Ah ada cerita menarik, kisah paceklik di Gunung Kidul. Slamet, tokohnya membantu ayahnya menebang pisang, sebagai pengganti nasi. Saya segera tenggelam dalam kisah Slamet ketika saya mendengar pintu depan dibuka. “Pasti Tante Retno,” pikir saya, dari langkahnya saja sudah kentara. Tidak lama kemudian terdengar langkah-langkah lain yang terdengar tegap, ini langkahnya Oom Yanto, dan di belakangnya langkah-langkah kecil seperti berjalan cepat, pasti langkah kakak. Kakak saya memang selalu berjalan cepat dengan langkah ringan.
Ruang makan yang tadinya lengang sekarang ramai. “Ibu sudah dahar?” tanya Tante Retno. “Sudah, tadi sebelum jam 12.00 sama Tari,” jawab Mbah Putri sambil menunjuk ke arah saya. “Ayo duduk sini, Tante mau dengar cerita kamu, hari ini apa saja kegiatan di sekolah.” Ini lah momen yang saya tunggu: berbagi beban tentang PR Prakarya. “Sekolah hampir libur Tante,” kata saya memulai cerita, sambil memperhatikan ekspresi Tante Retno. Kalau ekpresinya datar saja, berarti tante capai, jadi obrolan Prakarya harus geser ke sore hari. Tapi kalau kalimat pembuka ini bersambut, bisa langsung menyampaikan masalah saya. “Oh ya? Libur apa ya Tari? Sekolah Tante belum libur,” kata Tante Retno yang mengajar di SMA Negri 1 Salatiga.
“Libur Paskah tante, 1 minggu kata bu guru,” saya meneruskan dengan semangat, karena Tante Retno menanggapi celotehan saya. “Oh iya, kamu kan di SD Xaverius. Libur seminggu boleh main-main aja atau ada PR?” Waaah pucuk dicinta ulam tiba, “Kata Bu Guru, boleh main setelah PRnya selesai. Ada PR Berhitung, Ilmu Bumi, Bahasa Indonesia,” saya menyahut. Tante Retno mendengarkan sembari menyelesaikan santapan makan siangnya. “Ooh itu sih biasa. Kalau tiap hari belajar pasti PRnya bisa kamu kerjakan,” kata Tante Retno. “Kamu harus atur waktumu dengan baik ya. Jangan sampai liburannya selesai PRnya belum diapa-apain, ingat ya.” Saya mengangguk dan cepat-cepat menambahkan “tapi sebelum liburan ada PR lain juga. Saya bingung mengerjakan PR ini.” Tante Retno terkejut sejenak, namun langsung tertawa: “ Pasti Prakarya?” Saya mengangguk dan sudah ancang-ancang mau menghiba ketika tiba-tiba Mbah Putri ikut bicara “Tari, Tante Retno sedang makan, kan Tante Retno juga baru datang, capai seharian kerja. Ceritanya diteruskan nanti saja ya, biar Tante Retno makan dulu dan istirahat,” lanjut Mbah Putri dengan nada tegas.” Saya hanya bisa melongo dengan mulut terbuka, yaaah apa boleh buat. Terpaksa nunggu sore hari.
Tante Retno tidak lupa dengan percakapan itu, sambil menghirup teh di sore hari yang ditemani beberapa kudapan, Tante Retno langsung membuka percakapan. “Jadi apa tugas Prakaryamu kali ini Tari?” Dengan malu-malu tapi berharap, saya menjawab: “Bu Lastri minta kami bikin Prakarya dengan tema Paskah. Saya bingung tante.” “Kenapa bingung?,” tanya Tante Retno. “Saya hanya tahu kalau Paskah, teman-teman ke gereja, lalu mencari telur di halaman gereja. Bagaimana membuat telur itu jadi Prakarya yang menarik?”
Tante Retno tersenyum dan bertanya lebih lanjut: “teman-temanmnu senang tidak kalau mendapatkan telur?” “Senang sih tante, karena carinya kan susah, disembunyikan dan telurnya katanya warna-warni,” kata saya. “Nah itu dia, kita bikin telur yang kita hias lalu kita taruh di atas pohon kecil, jadinya pohon telur,” kata tante. “Bisa ya Tante, telurnya gak busuk?” “Isinya kita keluarkan dulu, nah kulitnya yang kita hias,” kata Tante Retno dengan suara meyakinkan. Saya sungguh tidak bisa membayangkan seperti apa wujud dan bentuk pohon telur ini. Tetapi suara Tante Retno yang mantap, membuat saya tenang. “Ini Prakaryamu lho Tari, jadi Tante akan kasih tahu caranya membuat, selanjutnya kamu kerjakan ya,” saya mengangguk.
Proyek Pohon Telur dimulai sore itu. Tante Retno mengajak saya ke halaman, mencari ranting di pohon Jeruk Bali. “Nah ini pohon kita, “ Tante Retno berguman sambil memotong ranting dengan pisau dapur. Dengan lap basah, ranting tersebut dibersihkan. “Sekarang kamu ambil pot kecil, langsung bersihkan ya. Kalau sudah, kamu bawa ke dapur, kita tanam pohonnya sore ini juga. Oh ya, sekalian ambilkan beberapa lilin di laci meja depan,” lanjutnya.
Di dapur, Tante Retno sudah menyiapkan panci kecil, saya mengulurkan lilin yang dimintanya. “Untuk apa lilinnya Tante?” “Sabar ya, kamu perhatikan.” Kompor segera dinyalakan, lilin dimasukkan ke dalam panci kecil, kemudian dijerang di atas kompor dengan api kecil. Cairan putih kental, lelehan lilin, lambat laun mulai memenuhi panci. “Siapkan pot dan letakkan ranting di tengah pot,” instruksi Tante Retno. Cairan lilin pelan-pelan dituangkan ke dalam pot, menimbun ranting dan membuatnya tegak berdiri di tengah pot. Saya melihat hasilnya dengan kagum, ranting pohon berwarna coklat kehitaman berdiri tegak di dalam pot gerabah berwarna terakota ditutupi oleh warna putih cairan lilin yang mulai mengental. “Nah, sekarang kita mulai siapkan telurnya ya. Ambil 2 butir telur, mangkuk dan jarum,” kata Tante Retno.
“Ini tante kasih contoh ya menyiapkan telurnya.” Tante Retno mengambil sebutir telur yang telah dicuci, kemudian membuat lubang di kedua ujung telur, dan meniupnya, sampai isi telur kuning dan putih jatuh ke mangkuk. “Ayo Tari, sekarang kamu coba,” katanya. Dengan gemetaran saya melubangi telur, lalu meniup, meski tersendat-sendat akhirnya keluar juga isi telur. “Nah kulit telur ini nanti kita gambar, kemudian kita warnai dengan cat. Setelah kita masukkan benang lalu kita gantung di pohon kita, gimana?” “Wah kayaknya bagus tante,” kata saya bersemangat. “Kita teruskan besok ya, siapkan cat airmu dan pensil. Tugasmu menyiapkan telurnya, tapi isinya tidak boleh dibuang, harus dimakan. Terserah mau didadar, atau telur orak -arik atau kasih ke mbak Nem untuk dicampur masakan,” tandas Tante Retno
Selama 3 hari berikutnya saya selalu sibuk meniup telur, menampung isinya di mangkuk, lalu sore hari mengecat telur bersama Tante Retno. Tante Retno membiarkan saya menggambar kulit telur sesuka saya dengan warna yang saya pilih sendiri. Tugas Prakarya pun tidak terasa sebagai PR yang berat, tetapi menjadi kegiatan yang menyenangkan di sore hari. Ketika semua cangkang telur sudah dicat, dengan memasukkan benang, kami menggantungkannya di pohon dalam pot.
Tepat sehari sebelum libur Paskah, saya membawa pohon telur ke sekolah. Pohon telur ini langsung mendapatkan perhatian dari teman-teman sekelas, warna-warni telur yang cerah: merah, hijau, ungu, jingga berpadu dengan pohon berwarna hitam dalam pot terakota, sungguh menarik. “Bagus sekali Prakaryamu Tari,” kata Bu Lastri. “Kamu bikin sendiri?” “Saya dibantu Tante Retno Ibu. Tante Retno memberikan ide dan mengajari saya bagaimana membuatnya,” jawab saya apa adanya. “Wah senang sekali ya menyelesaikan tugas dibimbing tante. Taruh dimeja Ibu ya, nilainya nanti setelah libur Paskah,” kata Bu Lastri
Hari itu saya pulang ke rumah dengan perasaan gembira, bangga dan terima kasih mendalam kepada Tante Retno. Ia sudah mengajari saya bagaimana membuat tugas Prakarya yang awalnya terasa susah, menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan. Berapa nilai yang akan diberikan Bu Lastri sudah tidak penting bagi saya. Yang penting adalah bahwa saya sudah menyelesaikan tugas dengan kesungguhan dan ditemani oleh orang yang mencintai saya. Terima kasih Tante Retno, telah membesarkan dan mendidik kami.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.