Jaring Asmara

Jaring Asmara
Image by <a

 

Sebagai caleg DPR RI dengan nomor urut 1, dari sebuah Partai Politik yang cukup besar, namun dengan   modal finansial yang kecil, maka  andalan saya adalah membangun jaringan di masyarakat  untuk memperkenalkan diri serta memahami berbagai isu yang menjadi perhatian penduduk setempat. Iya dong,  kan teorinya: politics is local, kata para pakar di berbagai pelatihan yang saya ikuti.

Jadi,  dengan keyakinan bahwa semakin cepat saya memahami masalah-masalah setempat, semakin besar kemungkinan saya terpilih, saya pun rajin berkeliling.  Di pesta demokrasi tahun 2014 itu, Partai menempatkan saya di Daerah Pemilhan Jatim VII yang terdiri dari 5 kabupaten yaitu: Ponorogo,  Trenggalek,  Ngawi,  Pacitan,  Magetan.  Ke lima kabupaten ini berdekatan, kalau di lihat di peta, hehehe, tetapi pada realitanya jaraknya lumayan jauh antara 1 kabupaten dengan kabupaten lainnya. Kualitas jalan raya nya juga bervariasi.

 

Dengan niatan memperkuat modal sosial ini lah, maka saya --  dengan arahan tim kampanye -- berkeliling ke berbagai tempat, memperkenalkan diri.  Setelah beberapa minggu berkeliling di Ponorogo, Magetan dan Trenggalek, maka tibalah saatnya berkunjung ke Pacitan, yang letaknya paling jauh dari base-camp saya, yaitu Ponorogo. Sebelum  berangkat ke Pacitan, kami diberitahu bahwa sebagian jalan terkena longsor sehingga dilakukan buka -tutup masing-masing 2 jam . “Tapi jangan khawatir bu, di sepanjang jala penuh dengan warung kopi yang menjual berbagai makanan,” kata salah satu anggota tim. Ya sudah, dijalani saja. Saya pikir itu kesempatan baik untuk ngobrol-ngobrol dengan para pengendara kendaraan bermotor.

Kurang lebih 60 menit setelah meninggalkan Ponorogo, tiba lah kami di jalan yang sedang diperbaiki. Para petugas jalan raya memberi tanda agar kami menepi. Kami pun mencari warung kopi yang tidak terlalu ramai, tapi juga tidak terlalu sepi.  Pilihan jatuh pada warung yang terlihat bersih, dan ada sekitar 5-6 orang tamu lainnya, kebetulan kebanyakan mengenakan baju seragam Aparatur Sipil Negara berwarna khaki.

Setelah memesan minuman kepada ibu pemilik warung, saya pun duduk, dan sambil memasang wajah penuh senyum, sayapun mendekati salah satu tamu. “ Ikut duduk di sini nggih Pak, panas ya hari ini,” kata saya. Bapak dengan seragam khaki menganggukkan kepala dan membalas tersenyum “ Monggo bu… iya masih lama ini kita di sini.” Kami pun berkenalan.

Namanya Pak Imam, berdinas di instansi Pendidikan di Pacitan.  Saya memperkenalkan, diri, namun saya tidak menyampaikan bahwa saya caleg, karena saya khawatir Pak Imam akan merasa kurang nyaman, karena sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), beliau harus netral.  Jadi saya mencoba mengarahkan diskusi tentang masalah pendidikan. “Bagaimana fasilitas pendidikan Pak?”, tanya saya. “ Yah beragam bu, ada sekolah-sekolah yang sudah lengkap dengan laboartorium, tempat olah raga, ada juga yang kelas nya harus dibagi, masuk pagi dan masuk sore,” jawab Pak Imam. Saya pun ancang-ancang ingin melanjutkan tentang guru, tentang masalah putus sekolah, tetapi sebelum saya sempat bertanya, Pak Imam sudah mendahului:

“Ini dari Ponorogo ya bu? Tadi liwat mana?” tanya Pak Imam. Teman saya pun menjelaskan rute yang diambil. “Wah untung njenengan jalannya siang, kalau sore menjelang maghrib, daerah itu angker lho,” katanya. Dan beralih lah diskusi ke cerita cerita berbau alam ghaib. “Pernah ada orang liwat daerah itu, tiba-tiba ada lemari menggelinding di tengah jalan,” jelas Pak Imam. “Nggih to pak? Masak lemari di tengah jalan?” tanya teman saya . “Lha ini mesti nggak percaya, yang lebih aneh lagi, lemari itu penuh uang, tapi uangnya nggak bisa diambil..” lanjut Pak Imam.  “ Di sini memang begitu, banyak kejadian yang aneh-aneh. Tapi kalau niat kita bersih, Insha Allah aman, “ katanya.

Kami manggut manggut, saya mendengarkan sambil terus mencari celah mengembalikan arah pembicaraak ke masalah guru. Namun kesempatan tidak kunjung tiba. Pak Imam makin asyik menceritakan berbagai kejadian yang menakjubkan  dan sekaligus membuat saya merinding. “Pacitan ini,” katanya  “tempat yang istimewa. Pantainya, dan gua-guanya  indah-indah tetapi juga keramat. Ia pun bercerita dengan semangat tentang pengalamannya memasuki Gua Luweng. Gua ini letaknya vertical, di bawah tanah. Untuk memasuki gua ini harus melalui tangga, dan masuknya lumayan dalam. “ Saya agak takut, karena ini pertama kali masuk gua. Saya terus berdoa dan dzikir, semoga semuanya selamat,” katanya. Begitu sampai di bawah, Pak Imam bersama teman-temannya dipandu oleh pemandu, untuk terus berjalan beberapa puluh meter. “Tiba-tiba ada sinar terang bu, dan di tengah-tengah terlihat dampar kencana, singgasana raja-raja Mataraman…,” lanjut Pak Imam. “Tidak semua orang bisa melihat dampar kencana bu…” tuntasnya dengan nada bangga.  Nah sudah selesai nih ceritanya, saya pun siap-siap mau melanjutkan topik guru-guru.

Baru saja saya siaps-siap membuka pembicaraan, tiba-tiba kendaraan dari arah Ponorogo mulai bergerak, dan kami pun berpisah dengan Pak Imam. Jadi gagal lah agenda saya siang itu. Jadi bukan JARING ASMARA ( Menjaring Aspirasi Masyarakat) yang saya dapatkan tetapi beragam cerita mistis. Oooh nasib….

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.