Sate Kambing
Renungan terkadang dipicu oleh sesuatu yang tak terduga. Misalnya, makanan. Semacam jentikan jari yang didorong oleh sesuatu yang sangat tiba-tiba.

Sahabat baik yang duduk di sebelah kiri saya bilang bahwa sekarang-sekarang ini, alih-alih orang berdoa sebelum makan, yang ada malahan mengaktifkan mode kamera di gawai canggihnya dan lalu memotret Si Hidangan. Entah hanya disimpan di kartu memori, entah kemudian diunggahnya saat daring di akun media sosial. Kami berempat tertawa garing mentertawakan diri kami sendiri karena begitulah kenyataan jamaknya. Tapi kami tak lupa berdoa sih sebelum makan. Setidaknya saya membaca bismillahirrahmanirahim.
Hasil jepretan saya menggunakan mode live focus baru saya lihat setelah sesaat sebelum waktu tidur. Bukan hidangan saya. Itu santapan Da Am yang duduk berjeda seorang di sebelah kanan saya. Sate kambing bumbu kecap dengan lontong. Sudah tidak seasli saat terhidang karena Mas Aif dengan kejamnya merusak pemandangan dengan cara mencomot setusuk sate sedetik sebelum Da Am menyetuh tombol jepret di gawainya. Lelehan kecap jejak setusuk sate pun membekas di bibir piring. Benar-benar diambilnya saat seporsi sate itu tengah dalam kondisi siap dijepret. Estetika keaslian hidangan pun buyar. Ambyar, kalau kata 'anak sekarang'.
Tak bisa saya gambarkan di tulisan ini bagaimana Da Am ngomel dari Utara ke Selatan belok ke Timur lalu ke Barat lalu ke Utara lagi. Kata Da Am, Mas Aif merusak kesejatian pemandangan hidangan sate kambingnya. Aku dan Dek Ai ketawa ngakak melihat tingkah mereka berdua yang jika ketemu sering banget terjadi hal-hal ajaib sekelas pertengkaran tak berujung pangkal yang sengaja dipicu oleh Mas Aif. Seperti anjing dan kucing. Seperti air dan daun talas.
Saat memandangi lelehan kecap di tepian piring, setelah dua harian ini melalui perjalanan kehidupan yang tak kalah ajaibnya, saya justru melihat foto hidangan itu bukan sebagai hidangan yang menggiurkan untuk disantap. Saya melihatnya sebagai sebuah analogi peran manusia dalam kehidupan. Di piring itu, ada 9 tusuk sate kambing, sekian iris bawang merah, sekian mililiter kecap manis, sekian butir debu merica, sekian iris jeruk nipis. Di piring yang lain, ada sekian potongan lontong. Bisa jadi peran kita analoginya adalah irisan daging kambing. Bisa jadi kita adalah piring. Bisa jadi kita adalah irisan bawang, atau tusuk sate, atau irisan lontong, atau gosong pada irisan daging kambing. Atau bahkan hanya seuprit lelehan kecap di tepian piring.
Jika peran kita memang hanyalah seuprit lelehan kecap di tepian piring, maka tidak mungkin peran kita tertukar dengan peran tusuk sate. Demikian pula sebaliknya.
Leluhur Jawa mengajarkan prinsip 'nrima ing pandum'. Arti harfiahnya adalah 'menerima pemberian'. Dari siapa? Dari Yang Maha Pemberi, tentunya. Terjemahan bebasnya adalah 'rela menerima bagian atau jatah dari Yang Maha Kuass'. Bahasa kekiniannya 'rela menerima kuota'. Ajaran ini bukan mengajak manusia untuk pasif dan malas, melainkan untuk sadar akan cetak biru setiap pribadi. (Suwung, Setyo Hajar Dewantoro, 2017).
Boleh jadi, kita terlalu sombong, dengan menahbiskan diri kita bahwa cetak biru kita adalah sebagai irisan daging kambing, padahal sejatinya kita hanyalah butir debu merica. Dua peran yang sangat berbeda 'kan? Menganggap diri secara keterlaluan dalam menterjemahkan cetak biru. Padahal, sebutir nasi, jika memang tidak diizinkan oleh Yang Maha Kuasa untuk sampai ke bibir saya, maka ia tak akan mencapai bibir saya. Apalagi masuk ke mulut dan mengenyangkan perut, serta menghilangkan lapar.
Jadi, ini semua rupanya tentang cetak biru. Blue print. Kemana gerangan mencari tahu cetak biru pribadi masing-masing?
Barangkali harus diam-diam dalam kesabaran berdiam mengamati sepiring sate kambing.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.