Sakti

Cerita cinta yang terlambat

Sakti

Sakti

 

Anak muda itu masih disana. Rambutnya setengah basah, dan wajahnya terlihat segar.

Tatapan matanya yang teduh tertuju tepat ke arahku. Alisnya yang tebal berbaris rapi seakan menaungi rongga matanya yang dalam dengan sorot mata yang kini terlihat redup. Ah, kemana perginya tatap mata yang ceria dan menggoda khas anak muda yang dulu aku lihat pertama kali ?

Yah, pertama kali..tepatnya tiga tahun lalu, saat aku masih menjadi anak baru di kantor kami. Aku sedang duduk di kubikelku waktu itu, seperti biasa melakukan pekerjaanku sebagai analis di sebuah lembaga analisis. TIba-tiba sebuah suara yang lembut memanggilku dari belakang punggungku.

"Mbak Nina, kita dipanggil Pak Irvan, “katanya.

Aku membalikkan badanku, dan kulihat disana, seorang pemuda, dengan rambut setengah basah, wajah yang segar seperti habis terbasuh air, tersenyum dengan sangat manis. Matanya yang dalam menyorotkan sinar yang ramah, ceria, menggoda namun tetap santun. Kurasa dia beberapa tahun lebih muda dariku.

"Yuk mba, katanya lagi.

"Ah ya….,” kataku agak tersipu, ternyata cukup lama aku terdiam menatapnya. Antara bingung karena belum pernah mengenalnya atau karena terpesona ? Ah , aku jadi malu sendiri. Norak amat sih aku.

Aku bergegas menyamakan langkah dengannya yang sampai sekarang ku tak tahu namanya. Selama seminggu aku ditempatkan di kantor ini, rasanya aku belum pernah melihatnya. Bagaimana dia bisa mengenalku ?

Cukup jauh kami berjalan ke ruangan Pak Irvan, Direktur Utama di lembaga kami. Aku agak terburu-buru menyamakan langkah dengan pemuda ini. Langkahnya lebar dan energik karena tubuhnya yang tinggi dan atletis. Mungkin dia termasuk penggila olahraga di alam bebas, ‘‘pikirku.

"Maaf mbak, aku terlalu cepat ya…,” langkahnya tiba-tiba terhenti. Tampaknya dia menyadari bahwa aku melangkah dua kali lebih cepat untuk menyamakan langkahnya, terdengar dari suara high heelsku yang setengah berlari.

"Hahahaa..gak papa kok…aku masih bisa menyamaimu kan…,”kataku sedikit kaget. Jantungku berdegup kencang namun aku berusaha terlihat santai.

"Kasian ah, ntar mbak Nina capek, “katanya sambil berusaha memperlambat langkahnya. Dan kami pun berjalan berdampingan menuju ruang rapat.

Di ruang rapat ternyata telah berkumpul para Board of Director, Supervisor dan Anggota Tim yang belum seluruhnya aku kenal, karena kantor ini memang cukup besar dan terdiri dari beberapa lantai, sehingga sulit bagiku untuk mengenal semuanya dalam waktu satu minggu. Namun paling tidak aku pernah melihat wajah mereka semua pada waktu meeting perkenalanku. Tapi anak muda ini, rasanya aku belum pernah melihatnya. Apakah dia baru mutasi juga ke kantor ini sepertiku ? Tapi dia kok terlihat familiar ketika berdiskusi dengan Pak Irvan ?,”tanyaku dalam  hati.

"Nina..., Nina…,”Pak Irvan memanggil namaku.

"Nin, Pak Irvan manggil kamu tuh, “kata Lily yang duduk di sebelahku. Suara Lily yang sedikit judes mengagetkan aku yang masih sibuk dengan pikiranku sendiri.

"Ah, ya Pak, “jawabku terbata.

Nina, untuk project ini, kamu satu tim dengan Sakti ya. Nanti Sakti akan menjelaskan ke kamu lebih detail tentang project yang akan berjalan.

"Sakti… ??, “tanyaku.

"Iya..., Sakti, yang tadi datang bersamamu kesini. Sakti, kamu belum berkenalan ya ? Kebangetan kamu Sakti. Pikirmu  semua orang pasti kenal kamu karena kamu populer ya ?, “goda Pak Irvan memecah suasana yang formal.

"Hahahaha….,’’serentak semua yang hadir tertawa mendengar candaan Pak Irvan.

"Sakti memang baru masuk hari ini Nina. Dia barusan pulang dari pendidikan di UK,”jelas Pak Irvan.

"Oh ya, siap Pak. Saya dan Pak Sakti pasti bisa bekerja sama dengan baik, “kataku cepat dan setenang mungkin. Mukaku terasa panas, duh pasti memerah ini mukaku. Duh, kenapa aku yang jadi malu ya..?

 

Begitulah mula ceritanya mengapa sekarang aku begitu dekat dengan Sakti. Anak muda yang saat ini sedang menyanyikan sebuah lagu untukku. Lagu yang kutahu itu bukan dia banget. Kukagumi usahanya untuk menyenangkan hatiku. Dia tau aku suka sekali  lagu ini. Aku suka menyanyikannya sambil main piano di kafe ini ketika sang penyanyi memberi kesempatan pengunjung untuk ikut bernyanyi. Pemain musik kafe ini pun dengan sigap langsung mengikuti chord-chord yang kumainkan dengan gitarnya. Tapi malam ini aku benar-benar salut, sang penyanyi yang merupakan penggemar Sheila on Seven ini mau  menyanyikannya untukku tanpa teks, Pasti butuh effort yang lebih baginya untuk mempelajari lagu ini. Dia bener-benar berusaha keras untuk mempelajari lagu ini. Oh ya, salah satu yang aku suka darinya adalah karena kami memiliki kesamaan hobi dalam musik. Kami tergabung dalam band yang sama di kantor. Aku memainkan keyboard atau menyanyi tapi Sakti lah yang memimpin grup band kami. Dia bisa memainkan semua alat musik, selain itu suaranya pun sangat berkarakter dan sexy.

Itulah sebabnya kami seperti tak terpisahkan. Di dalam pekerjaan kami satu tim. Di luar pekerjaan kami juga satu tim. Contohnya ya di grup band kantor kami.

Dan bukan itu saja, ketika aku memutuskan untuk mengambil kuliah S2, dia pun menemaniku.

"Kamu mau kuliah S2 ?, “tanyanya waktu itu.

"Iya , ”jawabku. Kenapa ?

Aku akan menemanimu.

"Hahaha….kamu mau nemani aku ? kamu kan udah S2 ?

"Yah, pokoknya aku mau menemanimu, “katanya di hadapanku dengan tatapan misterius.

Aku masih belum memahami apa maksud Sakti namun aku tak terlalu memikirkannya. Terbukti sampai dengan saat aku mendaftarkan diri, Sakti tidak terlihat mendaftarkan diri juga.

Hari-hari kuliah pun kulalui sendiri. Setiap malam sepulang kantor aku pergi ke kampus. Namun sebelum ke kampus aku selalu menyempatkan diri mampir ke kafe yang cukup cozy di dekat kampus. Di situ aku bisa menikmati secangkir hot cappuccino kesukaanku dan sepotong butter croissant sambil mengerjakan tugas kuliah. Aku tidak pernah mampir ke kost dulu karena cukup jauh perjalanan dari kost ke kampus. Biasanya di kantor aku menyempatkan diri mandi dan mengganti blus dan mini skirtku dengan skinny jins dan kemeja, baru kemudian aku mampir ke kafe ini sebelum ke kampus.

Hingga suatu hari, ketika aku sedang asyik dengan laptop di depanku, terdengar alunan suara live music di kafe ini, Wah kebetuan sekali, aku suka musik.  Rasanya aku akan lebih fokus kalau mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik.  Lagu-lagunya pun aku suka. Beberapa kali lagu Sheila on Seven dilantunkan. Ah, ini sih lagunya Sakti. Pasti dia senang banget kalau ada disini. Aku menyempatkan diri untuk melihat ke arah band yang sedang  memainkan lagu tersebut. Tiba-tiba aku melihat sebuah wajah yang sangat kukenal.

"Astaga..Sakti ?? Kucubit tanganku. Terasa sakit.

Ternyata memang Sakti. Dia terlihat keren dan macho dengan kemeja kasual motif kotak-kotak hitam dan merah dipadukan dengan celana jins belel. Kacamata bingkai hitam yang dikenakannya tidak menutupi sorot mata lembutnya yang selalu tertuju kepadaku. Senyumnya yang tipis tersungging di bibirnya yang menggemaskan.

"Hahaha…,”aku menunduk dan tertawa dalam hati.

Hmm…, jadi ini yang dia maksud menemaniku kuliah. Sakti…,Sakti… Kamu selalu bisa aja mencari jalan untuk kita bertemu.  Kubalas senyumnya  sebagai tanda terimakasihku kepadanya.

Namun aku tak mau terlalu lama larut dengan suasana hatiku yang berbunga-bunga. Aku kembali menekuni tugas yang harus kukumpulkan nanti. Tapi tak lama kemudian sosok gagah itu mendekat padaku, duduk tepat di hadapanku.

"Hai, “sapanya..

"Mmm,, siapa ya , “candaku seolah-olah gak kenal.

"Hahaha…, “tertawanya terdengar penuh kemenangan..

"Hai kamu, ngapain kamu main band disini Sak ?, “kataku.

"Nona…,”begitu Sakti biasa memanggilku.

"Aku sudah pernah bilang, aku mau menemanimu kuliah kan.. Tapi kamu gak pernah mau aku antar. Jadi karena aku tau kamu suka mampir ke kafe ini dan kebetulan pemilik kafe ini temanku, akhirnya aku kerja paruh waktu ngeband disini. Mulai sekarang, aku akan menemanimu di kafe ini,”ujarnya mantap.

"Sakti…,kamu tu ya…,”kataku terharu.

"Kamu tau kan, aku cukup sibuk mengerjakan tugasku disini. Kalau kamu menemaniku, aku khawatir kamu kesepian,”jelasku selembut mungkin agar tak membuatnya kecewa.

"Jangan kuatir soal itu Nona, aku akan sibuk ngeband sementara kamu sibuk mengerjakan tugasmu. Ok ?"

"Aku akan mainkan lagu-lagu kesukaanmu selama kamu disini, deal ?,"desaknya sambil tersenyum penuh kemenangan.

Ah, senyum itu, ..tak pernah gagal membuatku mengiyakan apa saja yang dia minta, kecuali beberapa hal yang sangat kujaga. Dan dia benar-benar seorang pemuda yang sangat bijaksana dan santun. Sakti sangat tahu batasan-batasanku, tapi dia selalu mencari cara untuk dapat menyenangkan dan melindungiku. Meski Sakti jauh lebih muda dariku, namun cara berpikir dan sikapnya yang matang membuatku merasa lebih muda darinya. Aku memandang Sakti sebagai sosok yang jauh lebih dewasa dan mampu melindungiku. Bersamanya aku merasa aman.

 

Dan sejak hari itu hingga 2 tahun sesudahnya Sakti selalu menemaniku di kafe ini, hingga saat aku berangkat kuliah. Namun saat pulang kuliah aku bersikeras tidak ingin dijemput. Apalagi aku sudah membawa mobil sendiri untuk pergi dan pulang kantor serta kuliah.

 

Hingga hari ini, menginjak tahun ketigaku bekerja di kantor ini, Aku sudah menyelesaikan pendidikan S2 ku. Malam ini aku dan Sakti berada di kafe ini. Tak kulihat lagi sorot matanya yang ceria dan menggoda. Sorot matanya tampak redup dan gelisah.

Beberapa hari yang lalu, aku telah menerima surat keputusan penugasanku yang baru di kota lain. Aku senang  karena akhirnya aku bisa bertugas di kota dimana aku tinggal, sehingga aku tak perlu lagi kost dan jauh dari keluargaku,

Namun entah kenapa ada rasa sedih yang begitu menyesakkan di dalam hatiku. Aku  tahu Sakti pun  begitu. Memang Sakti tak pernah mengatakan apa-apa tentang perasaannya, apalagi aku tidak memberi kesempatan untuk itu. Hari-hari lebih banyak kami isi dengan canda dan tawa di antara tenggat pekerjaan yang begitu rapat. Semua terasa ringan bekerja bersama Sakti dalam satu tim. Sakti sangat cerdas, analisanya tajam dan bijaksana dalam membuat keputusan. Darah mudanya membuatku juga merasa muda.  Sakti 7 tahun lebih muda dariku. Saat ini Sakti berumur 28, masih sangat muda ya ?

Seringkali aku menjodohkannya dengan adik-adik di kantor yang lebih muda darinya, tapi Sakti selalu mengalihkan pembicaran ketika aku mencoba untuk membicarakannya.

Kamu tau gak Non, cewek cantik menurutku ada 3 tingkatan, “katanya waktu itu, lagi-lagi berusaha mengalihkan pembicaraan ketika aku mulai menggodanya dengan salah satu pegawai yang cantik dan muda di kantor kami.

"Oh ya? Cewek cantik ada 3 tingkatan ?,”tanyaku ingin tahu.

"Iya. Kamu mau tau ?

Level pertama cewek manis, contohnya,  Chelsea Island..

Level kedua cewek cantik misalnya Luna Maya..

Level ketiga dan yang paling tinggi adalah cewek yang menggemaskan, contohnya Sophia Latjuba dan Nadia Hutagalung,” ujarnya dengan senyum menggoda.

"Hahahaha,  Sakti..Sakti..kamu lucu banget sih, kenapa makin tinggi levelnya makin senior juga ya ?,”kataku tak sanggup lagi menahan tawa.

"Kamu tau gak , kamu termasuk yang mana ?, “lanjut Sakti tanpa peduli responku.

"Hmm, kurasa kalau contohnya artis-artis cantik gitu, aku gak masuk diantara ketiganya,”jawabku meringis.

"Kamu termasuk yang menggemaskan,” katanya dengan pandangan yang lekat kepadaku.

Aku terdiam. Bukan karena rayuannya, tapi karena tatap mata itu. Aku selalu merasa waktuku berhenti kalau dia sudah memandangku seperti itu.

Sekalipun selama tiga tahun ini kami menghabiskan separuh hari  kami bersama, rasanya masih sama ketika dia pertama kali menyapaku. Sorot matanya selalu membuatku terpana dan seperti hilang kesadaran. Menyadari bahwa aku mungkin tak kan tahan di depannya, aku pun membatasi pertemuanku dengannya. Tak kubiarkan kami hanya berdua. Kami hanya bertemu di tempat-tempat umum, di kantor, di kafe atau di kampus kalau suatu waktu aku tak mampir ke kafenya.

Tapi bukan Sakti namanya kalau gak punya cara untuk membuat suasana menjadi romantis setiap ada kesempatan. Pernah suatu ketika dia mengajariku menyeduh kopi di kafe itu yang ternyata kemudian kutahu bahwa Saktilah pemilik kafe tersebut, bukan sekedar pemain band seperti yang dia katakan waktu itu.

Sakti mengajarkanku cara menyeduh kopi arabica dengan metode V60. Sebelumnya tak lupa dia memakaikan apron sebelum aku menyeduh kopi.

"Kamu harus pakai ini Nona, supaya kemeja putihmu itu gak terkena cipratan kopi, “katanya sambil memakaikan apron di tubuhku, Aku pasrah dan tak sempat lagi menolak. Tindakannya begitu gesit dan setiap katanya gak mungkin kutolak.

Dengan gesit Sakti menyiapkan untukku V60 dripper, yaitu alat serupa kerucut dengan sudut 60 derajat yang memiliki lubang di bagian bawah, disertai dengan alur tertentu pada bagian dalam alat tersebut, paper filter untuk menyaring ampas  kopi yang diseduh, air panas dengan temperature tertentu dan server atau gelas.

Setelah membasuh paper filter dengan air panas, aku menuangkan kopi arabica yang baru saja digiling dengan grinder tersebut dengan rasio 1 gram kopi berbanding dengan 15 gram air. Rasio ini menentkan rasa pada kopi, bisa menjadi lebih tebal, lebih kental atau lebih ringan. Demikian yang diajarkan master brewer Sakti kepadaku. Kemudian aku menuangkan air dari dalam sebuah ketel berbentuk leher angsa dengan gerakan memutar secara konstan dan perlahan. Eits, tiba-tiba master brewer yang ternyata sedari tadi di belakangku memegang tanganku yang sedang menuangkan air ke atas bubuk kopi.

"Hati-hati Nona, “katanya, pelan-pelan dan jangan terlalu cepat. Tangannya yang besar memegang tanganku dan mengarahkan gerakannya dengan lebih lambat. Aroma wangi yang khas dan kehangatan dari tubuhnya yang berada dekat sekali di belakangku membuat aku lemas tak berdaya selain mengikuti gerakan tangan yang kokoh itu. Sejenak momen itu menjadi momen yang romantis. Kami sama-sama terdiam dan tampaknya Sakti pun tersadar hampir melampaui batasnya.

"Ehhm, ok. Itu tadi adalah proses blooming untuk mengeluarkan karbondioksidanya. Sekarang kita tunggu 45 detik lagi, baru nanti tuang lagi airnya,” katanya berusaha menetralkan suasana.

"Iya, “kataku serak. Aku melanjutkan pelajaran menyeduh kopi tersebut hingga selesai. Tuangan kedua, ketiga dan keempat aku selesaikan dengan baik hingga menghasilkan rasa kopi yang sempurna seperti yang biasa dibuat Sakti. Aku suka aroma dan rasa buah-buahan yang dihasilkan dari metode penyeduhan kopi seperti ini. Metode V60 benar-benar menghasilkan rasa yang sangat kaya dan berbeda-beda, seperti yang kurasakan setiap kali aku dan Sakti bersama.

 

Dan malam ini aku mengalami satu rasa lagi yang lain daripada malam-malam sebelumnya.

Kafe tampak sepi pengunjung karena hujan deras. Aku mengunjungi kafe ini bukan untuk mengerjakan tugas kuliah. Aku sudah berjanji akan menghabiskan waktuku bersama Sakti di kafe malam ini. Dan Sakti sungguh-sungguh all out malam ini, Semua lagu yang dinyanyikan adalah lagu kesukaanku. Terkadang lagu jazz yang romantis, terkadang lagu mellow Marcel, Glenn Fredly, Al Jerrau dan yang terakhir adalah lagu korea yang sangat kusukai ini.

Aku berdiri menyambutnya ketika dia selesai memainkan lagu terakhirnya. "Terimakasih, “kataku. Kamu membuatku puas malam ini dengan lagu-lagu yang kamu nyanyikan tadi.

"Kamu suka ?,”tanyanya

"Gak, “sahutku cepat.

"Aku cinta, “kataku sambil tertawa

"Hahahaha…,”Sakti pun tertawa lega.

Namun sejurus kemudian tawanya hilang lenyap. Wajahnya kembali syahdu.

"Nona…, “katanya setelah kami kembali duduk berhadapan.

"Ya Sakti…,” kataku dengan senyum berusaha membuatnya tak tegang.

"Jangan pergi, “katanya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku. Sorot matanya memohon penuh harap.

Aku tersenyum lembut.

"Kamu tau itu gak mungkin kan  Sak.."

Wajahnya kembali muram..

Kami terdiam dan saling bertatapan. Detik berganti menit, menit berganti jam, seakan kami saling mengungkapkan perasaan yang tak terkatakan hingga hujan akhirnya berhenti dan aku tersadar malam sudah semakin larut.

"Sakti…., sudah terlalu larut. Besok aku harus ke bandara pagi-pagi sekali. Aku pulang sekarang ya …"

"Aku antar ya , “katanya.

"Boleh…, antar sampai parkiran aja ya..,”kataku menggoda.

Sakti menghela nafas dalam..

"Rasanya aku gak punya pilihan ya Non, meski  kamu udah pergi besok, kamu tetep aja keukeuh gak mau diantar pulang. Ya udah yuk , “katanya sambil menggandeng tanganku, tapi aku melepasnya lagi.

Akhirnya seperti biasa kami jalan berdua. Mungkin ini terakhir kalinya kami berjalan berdampingan. Aku menikmati saat-saat jalan berdua malam ini, meski hanya sebentar. Kebetulan parkiran kafe ini sangat luas karena menjadi satu dengan pusat resto dan kafe.  Aku sengaja memarkir HRV merahku agak jauh, supaya aku bisa menikmati kebersamaan dengannya sedikit lebih lama.

"Nona….,” katanya ketika aku sudah hampir mendekati mobilku.

Aku berbalilk menghadapnya. Jarak kami berdua hanya sekitar 1 meter.

Kami terdiam dan saling berpandangan beberapa detik.

"Maafkan aku terlambat mencintaimu…, “katanya serak.

Waktu terasa berhenti saat itu. Ingin rasanya aku berada di momen itu untuk selamanya.

"Untuk apa minta maaf ? Kamu gak salah..,”kataku kelu.

Sakti semakin mendekatiku hingga jarak kami tinggal 30 cm. Aku terpaksa sedikit mendongakkan wajahku untuk bisa melihat wajahnya karena dia begitu tinggi di jarak sedekat ini.

"Aku akan menemuimu, “katanya

"Ke tempat kemana aku pergi, kamu gak akan  bisa menemuiku , “kataku tegas.

"Aku janji, “katanya. Aku akan menemukanmu.

Aku tersenyum. Jemariku meneluri lekuk-lekuk di wajahnya. Alisnya yang lebat, matanya yang dalam, hidungnya yang mancung, bibirnya yang menggemaskan, dagu dan rahangnya yang macho..,  seakan aku ingin melukis wajahnya di memoriku. Sakti membiarkan jemariku menelusuri lekuk wajahnya sambil matanya tak lepas menatapku penuh rasa sayang.

"Jangan berjanji sesuatu yang tidak mungkin kamu tepati, “kataku lembut. Berjanjilah kamu akan baik-baik saja.

"Aku akan menunggumu, “katanya tak menghiraukanku. Diraihnya tanganku dan diciuminya jemariku dengan dalam dan penuh perasaan.

Aku merasakan tubuhku menggigil. Hawa hangat mengalir dari jemariku, seluruh tubuhku hingga puncak kepalaku. Ingin rasanya aku memeluknya sekali saja dalam hidupku.

"Boleh aku peluk kamu ?, “tanya Sakti seakan membaca bahasa tubuhku yang sekian lama menahan rindu.

 "Ya,”sahutku dalam hati, tapi ternyata yang keluar dari mulutku adalah kata “Tidak”.

"Sudah mulai gerimis lagi. Masuklah ke kafe, aku takut kamu kehujanan lalu sakit. Nanti siapa yang akan merawatmu ?,”kataku berusaha keluar dari suasana yang begitu memerangkapku.

Sakti tersenyum. Tangannya yang kuat memayungiku agar aku tidak kehujanan. "Kamu yang gak boleh kehujanan. Aku tau kamu gampang banget sakit, “katanya.

Secepat kilat tanpa aku bisa menolaknya lagi Sakti meraih pinggangku dan membimbingku ke mobil. Aku segera memasuki kabin mobilku. Kubuka kaca jendela mobil untuk mengucapkan selamat tinggal. "Jangan ucapkan selamat tinggal,”katanya seakan sudah membaca apa yang aku pikirkan.

"Berjanjilah, kita akan berjumpa lagi, “katanya memohon.

Aku tak kuasa lagi untuk mengatakan sesuatu yang lebih nyata untuknya.

"Sakti.., terimakasih buat semuanya. See you… ,”kataku ragu.

Hujan semakin deras. Kuputuskan untuk segera menjalankan mobilku.

"Cepatlah masuk kafe,” pintaku.  Tapi Sakti tak bergeming. Matanya masih lekat menatapku.

Ah, aku tak tahan lagi. Kujalankan HRV merahku pelan-pelan. Dari kaca spion mobilku masih kulihat Sakti disana, berdiri menatap kepergianku di tengah derasnya hujan. Melihatnya begitu, ingin rasanya aku kembali, dan memeluknya.

Tapi hati malaikatku lagi-lagi melarangku.

Aku harus tegar. Sakti masih muda. Ia punya masa depan yang cerah. Aku pun sudah mempunyai jalanku sendiri.

Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk merasakan semua kehilangan ini begitu menyakitkan sebenarnya. Tapi aku adalah aku, dengan segala predikat baik yang melekat kepadaku. Apa kata orang kalau aku mengikuti sebebas-bebasnya perasaanku ? Selain itu Sakti masih sangat muda dan punya masa depan yang cerah. Aku tak mau merusak masa depannya.

Terimakasih Sakti untuk tiga tahun yang sangat indah namun juga paling menyiksa di dalam hidupku. Bersama kamu aku merasakan kebahagiaan dan kegairahan hidup sekaligus juga kesedihan karena menyadari suatu saat aku harus meninggalkanmu untuk selamanya.

Sakti..apakah aku mencintaimu? Kurasa kali ini aku harus mengakuinya. Ya, aku mencintaimu, sama seperti kamu mencintaiku. Tapi kamu terlambat, ya ..kamu memang terlambat. 

 

Aku memutar lagi lagu kesukaanku yang tadi dinyanyikan Sakti khusus buatku. Because My Steps Are Slow.

goreumi neuryoso ne mami neuryoso

daheul deut geudein gol cham molli dorawatjyo

geureso apeugo geureso geuriun

usodo nunmul-laneun ne sarangijyo

 

Karena langkahku lambat, karena hatiku lambat

Meskipun terasa sakit, meskipun merindukanmu

Ketika aku ingin menyentuhmu, aku sudah berbalik (pergi) terlalu jauh

Cintaku, kau orang yang membuatku tertawa dalam tangisanku

 

Aku tak kuasa lagi menahan tangisku. Perasaanku, hujan dan lagu ini benar-benar perpaduan sempurna yang menyakitkan mengiringi keputusanku meninggalkan Sakti. Lampu jalanan dan mobil mulai menjadi satu garis sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas. Jalanan terasa buram tergenang air mataku yang membanjir. Dan sekelebat bayangan itu hadir lagi. Senyum ceria dua anakku dan suamiku yang selalu setia menyambutku di bandara setiap akhir minggu ketika aku pulang kembali ke rumah. Dengan merekalah hidupku yang sesungguhnya. Dan mulai besok, aku akan kembali bersama mereka setiap hari dan menjalani hari-hariku sebagai ibu, istri dan pegawai di kantorku yang baru. Aku sudah memiliki jalanku sendiri.

Perasaan bukanlah sesuatu yang harus aku perjuangkan sekarang. Biarlah kenangan akan senyummu yang memikat, tatapan matamu yang teduh dan dalam yang membuatku seakan ingin tenggelam di dalamnya akan kuhapus perlahan. Aku harus bisa dan kamu pun harus bisa Sakti. Carilah jalanmu sendiri, temukan seseorang yang sepadan denganmu. Temukanlah kebahagiaanmu bersama orang yang kamu cintai.

Tapi itu bukan aku.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.