Pulih Seperti Semula
Sepenggal kisah tentang Padma, seorang perempuan kesayangan keluarganya, tetapi sejatinya justru keluarganyalah yang membutuhkan ketulusan cinta dan pengorbanannya.

Sabtu ini, 29 Februari 2020, tepat sewindu Homestay Kencana. Hanya saja, kali ini perayaan dibuat sangat sederhana. Tidak ada tamu yang perlu diundang. Tamu-tamu homestay sudah kembali ke negara masing-masing. Lima kamar telah kosong. Para wisatawan itu memutuskan segera pulang, ketika mendengar berita tentang virus Corona mulai mengganas. Kemarin, Padma mendapat kabar bahwa Kanya, kakak sepupunya, batal datang Sabtu. Jadi, praktis hanya ada Padma dan Mbok Nah.
Kanya mengurungkan kedatangannya bersama keluarga karena suaminya ada rapat mendadak. Mereka berjanji akan datang hari Minggu. Dengan jarak Pekalongan–Yogyakarta yang biasa mereka tempuh dalam waktu lima jam, mereka akan berangkat Minggu pagi-pagi supaya jam makan siang sudah sampai di homestay.
“Iya, Mbak, rapapa. Nanging slametane tetep Setu awan, ya? Aku wis nyuwun tulung Pak Drajat kanggo ndonga,”[1] jawab Padma ketika Kanya meneleponnya.
Sabtu pukul sebelas siang, tumpeng beserta ubarampe[2]nya sudah tertata di meja makan. Nasi kuning berbentuk tumpeng berdiri gagah di tengah tampah beralaskan daun pisang. Lauk pauk dan sayur tertata cantik di kaki tumpeng, yaitu sambel goreng ati, telur pindang, ayam goreng, kering tempe, sayur urap, perkedel kentang, rempeyek teri, dan ketimun iris. Meskipun Padma meminta tumpeng berukuran kecil, tetapi Mbok Nah seakan tidak memedulikan instruksi Padma. Tumpeng setidaknya cukup untuk sepuluh orang.
“Sapa sing arep ngentekake iki, Mbok Nah?”[3] tanya Padma ketika melihat Mbok Nah menata tumpeng. Padma sudah necis dengan kebaya bordir putih dipadu kain batik berwarna indigo bercorak bunga seroja, yang dibatiknya sendiri.
“Mangkih menawi wonten tamu mindhak kirang,”[4] jawab Mbok Nah kalem ketika Padma mempertanyakan ukuran tumpeng dan lauk pauk yang disiapkannya.
“Tamu sapa? Tamu homestay wis balik kabeh nang negarane,”[5] sahut Padma lirih.
“Lha, nika prenjak kok pating cruwet teng wit sawo ngajeng niku? Badhe wonten tamu, to?”[6] Kicauan burung prenjak sering diartikan sebagai tanda bakal kedatangan tamu. Mbok Nah mencoba membesarkan hati Padma. Sejak usia remaja, Mbok Nah telah bekerja di keluarga besar Padma. Bisa dibilang, Mbok Nahlah yang mengasuh Padma, dan dua kakak sepupu Padma, yaitu Kanya dan Janu. Oleh karenanya, Mbok Nah hapal dengan tabiat Padma. Mbok Nah juga bisa merasakan kegelisahan hati Padma akan kelangsungan Homestay Kencana.
Sebentar kemudian Drajat datang bersama seorang temannya. Mereka berdua biasa diundang untuk acara slametan. Padma segera memastikan acara dengan Drajat, yang adalah sahabat pakdenya, untuk memimpin doa. Selain doa untuk keberlangsungan Homestay Kencana, juga doa untuk Janu yang berulang tahun di tanggal dan bulan yang sama.
Tiba-tiba Mbok Nah tergopoh-gopoh mendatangi Padma. Napasnya tersengal karena berlari-lari kecil dari halaman depan rumah.
"Mbak Pad, wonten ingkang rawuh," begitu lapornya sambil terengah. Sebelum Padma merespons, Mbok Nah sudah melanjutkan bicaranya, "Mas Janu!"
Padma menuju pintu depan, membuka dan menyambut. Jantungnya seketika berdetak tak karuan. Tidak salah, itu Janu yang datang. Pulang tepatnya. Setelah sekian tahun tinggal di Belanda tanpa pernah pulang satu kali pun. Selama tiga belas tahun!
Padma langsung mengenali sosok kakak sepupunya itu, yang berjalan menggeret koper. Ia mengenakan jaket cargo warna khaki. Rambutnya dibiarkan gondrong, kulitnya menjadi putih, dan tubuhnya lebih kurus. Melihat pintu depan dibuka, seketika Janu melayangkan pandangannya ke arah rumah. Bersirobok dengan Padma.
“Mata itu .... Mata Mas Janu terlihat … lelah dan redup. Duh Gusti ... Apa yang terjadi?” ratap Padma dalam hati sambil memandangi Janu.
***
Janu adalah sosok laki-laki yang ramah dan baik hati. Penampilannya cool. Janu punya banyak teman karena ia tidak pernah marah, bahkan bersifat mudah menolong. Padma merasa dekat dan terlindungi oleh Janu, yang umurnya dua tahun lebih tua. Di masa kecil, Padma terbebas dari keusilan banyak teman laki-laki, karena dia adiknya Janu. Banyak yang berteman dengan Padma juga karenanya. Sebaliknya, Janu sangat perhatian dan memperlakukan Padma seperti adiknya sendiri.
Perubahan hubungan Janu dan Padma terjadi sejak Padma berulang tahun ke-17. Terbiasa hidup sederhana, Padma tidak pernah merayakan ulang tahunnya. Hanya saja, pada Selasa 1 Juli 2003, sepulang sekolah, Padma disambut tumpeng nasi kuning untuk makan bersama para perempuan kelompok pembatik ibunya. Diam-diam ibunya juga mengundang dua perempuan sahabat Padma di kelas untuk datang. Doa-doa tulus diucapkan oleh ibu-ibu pembatik itu. Padma tersipu saat beberapa ibu mendoakannya supaya enteng jodoh.
“Saweg pitulas, kok pun didongani enteng jodho?”[7] tanya Padma berusaha protes.
“Eh, dhasar bocah saiki tukang ngeyel! Jenenge donga ki lak isih nunggu diparingi Gusti. Nyuwun saiki, olehe diparingi yo mengko, nunggu giliran,”[8] seorang ibu yang paling terampil nyungging[9] batik, memberikan argumennya. Ibu-ibu yang lain tertawa karenanya. Padma tersenyum kecut dan memilih tidak meladeni percakapan lebih lanjut.
Ternyata yang namanya enteng jodoh terbukti hanya beberapa jam setelahnya. Tepatnya, malam harinya Wignyo dan isterinya datang berkunjung. Wignyo adalah kakak ibu Padma, yang berarti adalah pakde dari Padma. Usai memberi salam dan membuatkan minum, Padma pamit belajar di kamar. Sebenarnya ia tidak belajar, melainkan menggambar manga. Ia sedang membuat komik manga untuk diikutkan lomba. Sudah beberapa kali Padma menjuarai lomba menggambar dan membuat komik manga. Ketika Padma sedang asyik menggambar, ibunya mengetuk kamar dan menyuruhnya ke ruang tamu, karena ada hal penting yang akan disampaikan.
“Maksud Pakde?” Padma tidak mengerti ucapan pakdenya. Padma bengong dan tak yakin dengan yang didengarnya.
Jelas saja Padma bengong. Ia yang sebelumnya berkonsentrasi penuh menggambar manga, tiba-tiba diberitahu bahwa ia dijodohkan dengan Janu!
“APA???” teriak Padma dalam hati.
Dalam budaya masyarakat Jawa, ada kebiasaan menjodohkan anak-anak antar sepupu. Biasanya anak-anak dari kakak adik yang berbeda jenis kelamin. Seperti Wignyo yang laki-laki, menjodohkan anaknya dengan anak adik perempuannya. Pertimbangan perjodohan semacam ini antara lain agar tali persaudaraan tidak putus, sudah saling mengenal sehingga jika ada masalah mudah penyelesaiannya, serta warisan tidak jatuh ke tangan orang lain.
Entah pertimbangan apa yang mendasari niat Wignyo menjodohkan anaknya dengan keponakannya. Wignyo tidak menjelaskan secara eksplisit kepada Padma. Padma tidak berani menanyakan hal itu kepada pakdenya.
“Pakde sampun ngendika kaliyan Mas Janu?”[10] Justru pertanyaan ini yang meluncur dari bibir Padma. Lirih.
Sekiranya pakdenya tidak menjawab pun, Padma bisa menebak bahwa Janu, seperti juga dirinya, tidak akan pernah membantah kata orang tua. Namun Padma ingin tahu reaksi Janu. Padma ingin tahu perasaan Janu. Ingin memastikan.
“Aja sumelang, Pad. Masmu wis sendhika dhawuh,” jawab Wignyo. “Sakjane iki mau tak kon melu mrene, nanging deweke ana jadwal nglatih neng sanggar.”[11]
Mendengar penjelasan pakdenya, Padma diam membisu. Oleh orang tua, diamnya anak sering diterjemahkan dengan persetujuan. Dalam diam, pikiran Padma berkelana ke mana-mana. “Mas Janu kok milih nglatih nari, ora melu mrene?”[12] Padma bertanya pada dirinya.
Janu sangat suka menari, terutama tarian tradisional Jawa. Sejak kecil ia belajar menari dan sering ikut dalam pertunjukan-pertunjukan. Janu remaja meluaskan panggung menarinya ke acara mantenan atau acara-acara di hotel dan senang mendapatkan tambahan uang saku darinya. Menari menjadi lebih dari sekadar kegemaran. Menari menjelma menjadi hidup Janu. Setelah dewasa, Janu meluangkan waktu melatih tari di sanggar yang berjasa mengenalkan dunia tari padanya. Tanpa ragu, selepas SMA Janu mendaftar dan diterima kuliah di ISI Yogyakarta program studi seni tari. Prestasi Janu makin melejit. Banyak peluang baginya untuk belajar sekaligus menunjukkan keprigelannya menari. Janu berperan aktif dalam berbagai pertunjukan, baik di kampus maupun di luar kampus.
Setiap Janu menari di pentas, Padma adalah penonton setianya. Diawali dari panggung kecil seperti panggung 17 Agustusan di kampung, hingga panggung besar dan mewah di hajatan pernikahan atau event besar lain. Kadang Padma menonton bersama Kanya, namun lebih sering ia pergi sendirian. Padma selalu menikmati setiap pertunjukan tari Janu. Meskipun bukan penari, Padma akhirnya fasih mengenal berbagai tarian akibat terbiasa menonton dan menjadi jeli karenanya. Perlahan Padma menjelma jadi lawan bicara yang asyik bagi Janu, terutama membantu memberikan pengamatan tiap pentas. Makin dekatlah hubungan keduanya. Beberapa kali Padma menjadi manajer dadakan bagi Janu ketika harus berhadapan dengan pihak lain, karena Janu biasanya memilih fokus pada tariannya.
Sejak Padma dan Janu mengetahui bahwa keduanya dijodohkan, ada sesuatu yang berubah. Memang Janu tetap baik seperti biasa. Padma juga tetap menjadi penonton tariannya dengan setia. Tetapi seperti ada seutas benang tak kasat mata yang menempel pada keduanya. Mengganggu, tetapi tidak terlihat. Mengganggu, tetapi Janu dan Padma memilih tidak membicarakannya, apalagi bertindak sesuatu. Mengganggu, tetapi dianggap tidak ada. Lama-kelamaan, gangguan pun mengendap. Mengendap jauh ke dasar relung perasaan terdalam.
***
Setelah undangan diperiksa panitia, Padma dan Maulina dipersilakan masuk ke ballroom. Tampak kursi-kursi yang berderet berselubungkan linen halus warna broken white dengan pita sutera warna senada di bagian punggung kursi. Udara sejuk mengalir dari mesin pendingin ruangan, terasa lembut membelai kulit para tamu undangan. Kristal berkilauan berpadu dengan cahaya lampu lembut berpendar. Wewangian lembut melati dan kenanga mengantarkan suasana serasa di tengah taman. Musik gamelan mengalun lembut menenangkan. Sebuah atmosfer venue yang dirancang sangat matang.
“Keren banget, ya, Pad?” bisik Maulina takjub ketika mereka masuk ruangan.
Maulina, sahabat Padma di kampus, langsung terpekik girang ketika Padma mengajaknya menonton pertunjukan tari Janu. Awalnya Janu memberikan tiga lembar undangan, karena ia berharap bapak ibunya hadir di pementasan kali ini bersama Padma. Sayangnya, sang ibu mengeluh sakit kepala dan bapak memilih menemani ibu di rumah. Akhirnya Janu menyarankan Padma mengajak Maulina.
Pertunjukan tari ini bekerja sama dengan sebuah organisasi seni dari Belanda bernama Stichting Oekel Asta. Pertunjukan yang semula direncanakan sederhana di tahun sebelumnya, terpaksa diundur karena bencana gempa di Yogyakarta. Konsep pertunjukan akhirnya diubah, menjadi sebuah penggalangan dana. Acara yang mendapat sambutan positif banyak pihak, termasuk hotel yang memberikan fasilitas ruangan untuk dipakai free of charge. Dana yang dikumpulkan akan dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan seni di daerah yang terkena musibah. Pertimbangannya adalah kegiatan seni biasanya luput mendapat bantuan.
Persiapan pertunjukan ini membuat Janu intensif bertemu dan berkomunikasi dengan staf Stichting Oekel Asta. Sophie adalah salah satu di antaranya. Ia perempuan muda asal Belanda yang kuliah di Leiden dan bekerja paruh waktu di yayasan itu. Berbagai kegiatan persiapan yang dilakukan membuat Sophie mengenal Janu lebih dekat, mengagumi dan jatuh cinta kepadanya. Witing tresna jalaran saka kulina, begitu ungkapan dalam budaya Jawa, yang artinya kurang lebih: Cinta yang muncul karena terbiasa.
“Itu siapa, sih, Pad? Pacarnya Mas Janu, ya?” selidik Maulina melihat Sophie selalu menempel pada Janu.
Padma dan Maulina menyempatkan diri bertemu Janu di balik panggung usai pertunjukan. Malam dengan pertunjukan luar biasa!
“Namanya Sophie. Entahlah, Mas Janu ga pernah cerita,” jawab Padma.
“Kamu, tuh, ya … punya sepupu ganteng ga dikenalin dari kemaren-kemaren. Timbang karo bule, mending Mas Janu karo aku wae,”[13] kata Maulina. Meskipun berasal dari Lombok, begitu menginjakkan kaki di Yogyakarta, Maulina segera fasih berbahasa Jawa bercampur dengan bahasa Indonesia. Kadang Maulina mengolok Padma dengan menirukan logat medoknya.
Padma hanya tersenyum tipis. Ia telah terbiasa menghadapi hebohnya para perempuan yang tergila-gila pada Janu. Kadar dan caranya berbeda-beda, tergantung umur dan zaman. Saat remaja, perempuan sekadar menitipkan salam, atau menitipkan surat untuk Janu. Tanpa ada yang dibalas satu pun oleh Janu. Ada yang berteman dengan Padma hanya demi bertemu Janu. Setelah dewasa, ada banyak perempuan yang minta Padma mengenalkan kepada Janu, bahkan bilang to the point ke Janu.
Sedangkan Padma? Ia tak yakin dengan perasaannya terhadap Janu. Padma tahu ia sayang pada Janu. Itu jelas. Tetapi cinta? Entahlah. Tidak ada rasa cemburu ia rasakan ketika Janu dikerubuti perempuan usai pentas. Bahkan ia tak cemburu kepada Sophie. Tidak juga terpengaruh ketika Maulina, sahabatnya sendiri, terpesona dengan Janu. “Apa merga wis dijodhoake?”[14] tanya Padma pada dirinya sendiri.
Perjodohan antara Padma dan Janu berdasar ikatan kata-kata orang tua keduanya. Tidak ada sepasang cincin melingkar. Tidak ada sebutan atau perlakuan khusus. Padma dan Janu, tidak pernah saling mengenalkan sebagai pacar, apalagi tunangan kepada orang lain. Tidak ada acara khusus malam mingguan. Tidak ada tindakan romantis yang dilakukan Janu untuk Padma. Tidak ada tindakan atau permintaan manja dari Padma. Keduanya terlihat dekat sebagai kakak adik, sebagai sepupu, sebagai saudara. Itu saja. Keduanya berpegang pada prinsip: Urip iku mung saderma nglakoni, atau hidup itu hanya sekadar menjalani.
***
Acara penggalangan dana itu sukses! Publisitas media makin membuat Janu beken. Sayangnya, selang sekitar seminggu setelahnya, mendadak ibu Janu stroke. Hipertensi menahun yang dideritanya ternyata memburuk berakhir komplikasi. Karena Kanya sudah berkeluarga dan menetap di Pekalongan, Padmalah yang paling sibuk. Pagi sampai sore ia menggantikan budenya mengurus kios batik di Pasar Beringharjo. Sore ia langsung ke rumah sakit nungguin budenya sampai malam. Janu mengambil giliran menemani ibunya dari malam hingga pagi, karena ia masih sibuk menyelesaikan laporan-laporan usai acara.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Menur, ibu Janu, tidak mampu bertahan setelah tiga hari di ruang perawatan intensif di rumah sakit. Wignyo menggenggam tangan isterinya hingga isterinya mengembuskan napas terakhir. Kematian Menur diterima dengan ikhlas oleh suami dan kedua anaknya. Justru Padma yang syok. Beberapa bulan sebelum serangan stroke, Menur berkali-kali minta Padma membantu di kios batiknya, yaitu kios Batik Kencana.
“Pad, mengko nek aku wis ra ana, kowe sing neruske kios batik iki, ya?”[15] begitu pinta Menur tiap kali Padma membantu di kios.
“Bude sampun ngendika mekaten, ah.”[16] Begitu selalu jawaban Padma.
“Sisan kowe ngrumat Pakde lan Janu,”[17] Menur selalu menambah permintaannya. Permintaan yang selalu membuat Padma terdiam menunduk. Gundah.
“Nggih, Bude.”[18] Padma tidak punya jawaban lain selain mengiyakan. Padma selalu sedih mendengar permintaan Menur, karena mengingatkannya pada pesan terakhir ibunya. Ibunya meninggal dunia ketika Padma duduk di kelas terakhir SMA.
“Nduk, kowe mengko sing ngrumat Pakdemu lan Mas Janu, ya?”[19] begitu amanat ibunya. Wasiat yang membuat Padma kembali menekuni batik dan meletakkan impian terhebatnya: Hidup di Jepang sebagai komikus manga. Setelah setahun sempat berhenti membatik dan menggeluti manga, Padma kembali membatik. Membatik menjadi caranya merasakan sang ibu tetap berada di sampingnya.
***
Homestay Kencana diresmikan pada 29 Februari 2012. Tahun itu, Wignyo, memasuki usia pensiun. Ia ingin memiliki kesibukan selepas dari pekerjaannya di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Ia merenovasi rumahnya demi menambah kamar untuk tamu menginap. Dengan lima kamar yang disewakan, cukup memberikan kesibukan bagi Wignyo. Tamu yang menginap menjadi temannya berbincang. Bahkan Wignyo dengan senang hati menjadi pemandu wisata berkeliling Yogyakarta. Ia dipanggil Mister Wig di kalangan para turis asing.
Berdasar pengalaman kerjanya, Wignyo memahami bahwa homestaynya harus memiliki keunikan supaya memenangkan hati para wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Tahun 2012, ada dua juta wisatawan datang ke Yogyakarta. Itu jumlah yang sungguh fantastis! Angka statistik yang ada menunjukkan bahwa seni budaya adalah salah satu aspek yang menarik minat wisatawan terutama dari mancanegara ke Yogyakarta. Pertimbangan itulah yang menjadikan Wignyo meminta Padma tinggal di Homestay Kencana, sekaligus membuka kelas batik.
“Padma gawe kelas mbatik nggo tamune Pakde, ya?”[20] begitu permintaan Wignyo kepada Padma. “Sisan Padma manggon nang homestay, ngancani Pakde. Omahmu kanggo omah produksi batik wae.”[21]
“Nggih, Pakde.”[22] Padma hampir selalu mengiyakan apa kata pakdenya.
Sejak ibunya meninggal dunia, otomatis pakdenya menjadi pengganti orangtuanya. Apalagi ayahnya telah meninggal dunia ketika Padma masih kecil. Apalagi kini pakdenya tinggal sendirian di rumah yang dijadikan homestay. Padma ingat amanat ibunya dan budenya, bahwa ia diharapkan merawat pakde. Ya, siapa lagi jika bukan Padma? Kanya tinggal bersama suami dan anaknya di Pekalongan. Janu? Sejak 2007 Janu menetap ke Belanda.
Usai peringatan 40 hari meninggal ibunya, Janu pamit kepada ayahnya untuk mengejar karir tarinya di Belanda. Kesuksesan acara penggalangan dana ternyata membuat para pendiri Stichiting Oekel Asta puas dengan kerja sama itu. Rekomendasi yang bagus dari para tokoh kunci itu membuat Janu mendapat tawaran bekerja di Belanda. Wignyo, tidak bisa tidak, mengizinkan anak lelakinya pergi. Meskipun itu artinya ia harus hidup sendiri di rumah. Untung Padma akhirnya pindah menemaninya di Homestay Kencana, sehingga ia tidak kesepian.
Di bagian tengah Homestay Kencana yang cukup luas, Wignyo menempatkan peralatan membatik milik Padma. Di ruangan yang sama, diletakkannya gender kesayangannya dan rebab milik Drajat, sahabatnya. Di waktu-waktu senggang, keduanya menghibur diri dengan memainkan kedua alat musik tersebut. Meskipun alat musik hanya dua, alias tidak lengkap dalam komposisi seperangkat gamelan, permainan musik keduanya selalu dinantikan oleh para tamu homestay. Kadang, Wignyo sendirian menabuh gendernya sambil menyenandungkan tembang-tembang Jawa. Terutama jika ia rindu kepada anak lelakinya.
Datan pegat nyuwun ngarsaning Hyang Agung
Mamala kang mbilaheni
Mugi enggal sirna larut
Pulih kadya duking wuni
Krana karsaning Hyang Manon[23]
Padma selalu meneteskan air mata setiap mendengar tembang Megatruh yang disenandungkan pakdenya. Pilu dan nelangsa. Hatinya serasa ditarik-tarik oleh dengung gender lirih yang mengiringinya. Bunyi treble menggema tidak hanya di ruangan tengah homestay, tetapi bergetar masuk ke rongga perasaannya. Menggetarkan buluh-buluh rasa. Semedhot[24].
“Pad, wetonmu iku Selasa Wage. Janu Rebo Legi. Yen jejodhoan kudune cocok lan serasi,” [25]kata Wignyo kepada Padma.
Padma terkejut ketika Wignyo sudah duduk di sampingnya yang sedang membatik. Tembang lara itu sudah berhenti. Padma segera mengusap air mata yang membasahi pipinya. Padma menunduk, masih sibuk mengusap matanya, ketika dirasakan usapan lembut tangan pakdenya di kepala.
“Sing sabar, ya, Nduk,”[26] bisik pakdenya dengan suara tercekat.
Air mata Padma kembali menggenang dan deras menetes. Tersedu-sedu ia menangis. Elusan tangan pakdenya membuat hati Padma makin pilu.
***
"Mugi rahayu ingkang sami pinanggih."[27] Begitu Drajat menutup bicaranya. Ia mengenal baik keluarga Wignyo, sehingga merasa wajib menambahkan sedikit refleksi tentang Homestay Kencana. Setidaknya ia merasa hal itu penting untuk diketahui Janu. Kemudian Drajat mempersilakan Janu memotong tumpeng. Dengan gerakan perlahan Janu melakukannya, lalu menyerahkan kepada Klaas, seorang laki-laki yang datang bersamanya.
"Klaas Bakker," begitu dulu Klaas menyebut nama lengkapnya ketika berkenalan dengan Padma. Padma bertemu Klaas saat awal Janu berkolaborasi dengan Stichting Oekel Asta. Ia bekerja sebagai staf organisasi itu. Ibu Klaas orang Jawa dan ayahnya orang Belanda. Klaas fasih berbicara beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
"Janu sudah tidak menari lagi," kata Klaas kepada Padma.
Klaas dan Padma duduk berdua berhadapan di ruang tengah. Ruang tempat ayah Janu bersenandung lara meratapi anaknya dengan iringan gender. Gender yang membisu sejak ditinggal pemiliknya menghadap Sang Khalik. Rebab sudah tidak menemaninya, karena Drajat membawanya pulang usai peringatan 40 hari meninggalnya Wignyo.
Acara slametan sewindu Homestay Kencana sekaligus ulang tahun Janu sudah usai. Drajat dan temannya sudah pulang. Janu pamit beristirahat di kamar. Mbok Nah sigap sudah menyiapkan kamar Janu sejak kedatangan Janu yang mendadak itu.
"Janu tidak pernah menari lagi sejak tahun 2013. Sejak Bapak meninggal," Klaas melanjutkan bicaranya. Padma diam mendengarkan.
"Ia merasa bersalah kepada Bapak. Karena tidak melakukan dhawuh[28] Bapak untuk menikahimu." Klaas menghela napas, dan melanjutkan. "Ketika mendapat berita kabar darimu bahwa Bapak meninggal, ia langsung linglung. Aku memang tak mengizinkan dia pulang dengan kondisi begitu. Seharusnya waktu itu aku menemaninya pulang. Maafkan aku, Padma."
Padma mengangguk, tetap menunduk mendengarkan Klaas berbicara. Dipenjamkannya mata, supaya air mata terserap kembali. Supaya tidak menetes. Namun malah bayangan masa lalu yang berkelebat. Suasana duka pakdenya meninggal. Janu tidak pulang. Kanya marah besar karenanya.
"Bocah ora ngerti tata! Sing ngono kuwi dudu anake Bapak Ibu. Dudu adiku!"[29] Kanya ngamuk. Untung dia hanya berdua dengan Padma di kamar.
"Wis, Mbak. Sing sareh. Saru nek keprungu uwong,"[30] Padma mencoba menenangkan Kanya.
"Sakjane ngapa ta, ora gelem mulih kuwi?" Kanya mempertanyakan sikap adik kandungnya itu. "Kenapa, to, Pad? Deweke crita apa?"[31]
Padma diam tidak menjawab pertanyaan Kanya. Tidak mungkin ia menceritakan yang sesungguhnya terjadi.
"Pad, aku sudah membawa Janu ke psikiater di sana. Sarannya, Janu supaya dibawa pulang. Suasana masa kecilnya diharapkan akan membantu pemulihannya." Klaas mengambil cangkir di meja dan meminum habis kopinya.
Padma tersentak, lamunan akan masa lalunya buyar.
"Terima kasih sudah mengantar Mas Janu pulang, Klaas," akhirnya Padma bersuara. Meskipun umur Klaas sebaya Kanya, Padma memenuhi permintaan Klaas untuk memanggilnya dengan langsung menyebut nama. Seperti kebiasaan orang asing.
"Biarlah dia di sini. Ini rumahnya. Aku akan merawatnya," dengan suara bergetar Padma meneruskan bicaranya.
"Terima kasih, Pad. Jika ada yang nantinya kalian perlukan, tolong kontak aku, ya?" Klaas menyodorkan sebuah kartu.
"Sekali lagi terima kasih, Klaas. Kami akan baik-baik saja," jawab Padma sambil menerima kartu nama Klaas.
Klaas diam terpekur, menghela napas panjang, sebelum akhirnya berkata, "Aku merasa bersalah, karena aku tidak bisa merawat Janu. Dulu dia memilihku dan meninggalkanmu, tetapi kini aku mengembalikannya kepadamu, dan meninggalkan dia."
Padma mengangkat wajahnya, memandang Klaas, menguatkan dirinya lalu berkata pelan tetapi penuh keyakinan, "Tidak apa-apa Klaas. Itulah kehidupan. Kita harus belajar menerimanya. "
"Matur nuwun[32], Padma," Klaas mengulurkan tangannya, menggenggam erat tangan Padma. Ia kemudian berdiri dan pamit.
Padma tetap duduk, berdiam diri. Ia memandang cangkir kopi Klaas. Tinggal ampas. Dengan menahan tangis, Padma berusaha menegarkan dirinya. Tiba-tiba seakan ada yang mengelus kepalanya dan berkata lirih, "Sing sabar, ya, Nduk. Sumeleh marang Gusti."[33]
"Duh Hyang Maha Agung, nyuwun kekiyatan,"[34] bisik Padma disusul dengan pecahnya tangisan.
Samar-samar Padma seakan mendengar senandung pakdenya, melantunkan Megatruh dengam iringan gender kesayangannya.
….
Pulih kadya duking wuni
Krana karsaning Hyang Manon
…
Pulih seperti keadaan semula
Karena kehendak Yang Mahakuasa
*****
[1] Iya, Mbak, tidak apa-apa. Tetapi acara tetap Sabtu siang, ya? Aku sudah minta tolong Pak Drajat untuk berdoa.
[2] Pelengkap
[3] Siapa yang akan menghabiskan ini, Mbok Nah?
[4] Nanti kalau ada tamu biar tidak kurang.
[5] Tamu siapa? Tamu homestay sudah kembali semua ke negaranya.
[6] Lha, itu burung prenjak kok heboh berkicau di pohon sawo di depan itu? Akan ada tamu, kan?
[7] Baru tujuh belas, kok sudah didoakan enteng jodoh?
[8] Eh, dasar anak sekarang tukang ngeyel! Namanya doa itu kan masih tunggu diberi oleh Tuhan. Minta sekarang, diberinya, ya nanti, tunggu giliran.
[9] Membuat pola atau motif batik di kertas sebelum dipindahkan ke kain.
[10] Pakde sudah bicara dengan Mas Janu?
[11] Jangan khawatir, Pad. Kakakmu sudah setuju. Sebenarnya ini tadi kusuruh ikut ke sini, tetapi dia ada jadwal melatih nari di sanggar.
[12] Mas Janu kok memilih melatih menari, tidak ikut ke sini?
[13] Daripada dengan orang asing, lebih baik Mas Janu dengan aku saja.
[14] Apa karena sudah dijodohkan?
[15] Pad, jika nanti aku sudah tidak ada, kamu yang meneruskan kios batik ini, ya?
[16] Bude jangan berkata begitu, ah.
[17] Sekaligus kamu merawat Pakde dan Janu.
[18] Iya, Bude.
[19] Nak, kamu nanti yang merawat Pakdemu dan Mas Janu, ya?
[20] Padma bikin kelas membatik untuk tamunya Pakde, ya?
[21] Sekalian Padma tinggal di homestay, menemani Pakde. Rumahmu untuk rumah produksi batik saja.
[22] Iya, Pakde.
[23] Tiada henti memohon (pertolongan) di hadapan Yang Mahaagung
(terkait) Bencana yang membahayakan
Semoga segera sirna larut
Pulih seperti keadaan semula
Karena kehendak Yang Mahakuasa
[24] Rasa sakit seperti sesuatu yang ditarik hingga hampir putus
[25] Pad, wetonmu adalah Selasa Wage. Janu Rabu Legi. Jika menikah harusnya cocok dan serasi.
[26] Yang sabar, ya, Nak?
[27] Semoga semua selamat.
[28] Perintah
[29] Anak tidak mengerti sopan santun! Yang seperti itu bukan anaknya Bapak Ibu. Bukan adikku!
[30] Sudah, Mbak. Yang sabar. Malu jika didengar orang.
[31] Sebenarnya ada apa, sih, kok tidak mau pulang? Kenapa, sih, Pad? Dia cerita apa?
[32] Terima kasih.
[33] Yang sabar, ya, Nak. Berserahlah kepada Tuhan.
[34] Duh Yang Mahaagung, mohon kekuatan.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.