Pilih yang Nenek-Nenek, Dong!

"Ini buat anaknya, ya?" ujar si nenek penjual sambil menambahkan satu buah alpukat ekstra ke belanjaan kami. Nenek ini penjual buah di Pasar Mambal di Bali sana. Meskipun ia sedikit berbahasa Indonesia, dan lebih banyak berbahasa Bali, dan aku sebaliknya, itu tidak menghalangi lancarnya transaksi kami. Peristiwa ini terjadi sekitar sepuluh tahun lalu.
Bonus berupa alpukat, jeruk, atau buah lain, hampir selalu aku dapatkan, terutama ketika anakku ikut berbelanja. Senang? Jelas dong! Bonus sekecil apa pun itu menyenangkan hati pembeli. Itu juga sebagai afirmasi buat si Wage kecil, bahwa dia istimewa. Ga ngomong apa-apa, dapat hadiah. Wkwkwk.
Sebagai vegetarian, kami memastikan diri makan buah banyak. Yah, namanya juga sodaraan sama codot, haha. Kami lebih sering beli buah lokal, yang lagi musim. Kenapa? Nomor satu, kami berusaha mencintai bumi ini *uhuk! Pengennya sih, yang namanya taneman itu ga usah dianeh-anehin supaya berbuah sepanjang tahun, kalo memang taneman musiman. Nomor dua, yang sebenernya nomor satu (semoga tidak bingung ya), adalah harganya yang lebih murah. Nah, lebih jelas ya kalo ini. Hehe.
Cuman, harga itu seringkali jadi kewenangan mutlak yang namanya penjual. Banyak penjual punya prinsip: jual semahal mungkin. Jadi, sebagai pembeli, seakan harus punya keterampilan nawar. Itu yang aku tidak suka. Sayangnya, aku ni bukan termasuk kategori kurva normal.
Belum lagi, kalo kita membiarkan si penjual mengambilkan, hampir 90% dia menyelipkan buah jelek. Itu ngeselin tingkat dewa deh. Apa coba maksudnya? Kalo sudah ketemu dengan pedagang yang kayak begini, dijamin ga bakalan beli lagi ke tempat dia.
Ketika awal kami balik tinggal di kota kecil ini, itulah yang sering banget kualamin. Satu deretan pedagang buah di pasar, kelakuannya sebelas duabelas. Super ngeselin! Ada tempat jual buah di depan toko oleh-oleh, meskipun kualitasnya bagus, harga selalu lebih mahal. Aku berganti-ganti tempat beli buah, sambil ngapalin yang mana yang reliable. Hahaha. Persis kayak observasi buat riset, ya?
Akhirnya, setelah melakukan pengamatan cukup lama (dengan korban perasaan yang lumayan), aku ngeliat ada secercah harapan. Apa hayo? Bisa nebak?
"Lha, Njenengan kok dangu boten sadean? Kula padosi kosong terus," (1) ujarku ke mbah penjual buah tempat aku akhirnya lebih sering belanja darinya.
"Nggih, niki,"(2) jawabnya. Dia bercerita, ternyata dia sempat berminggu-minggu terkapar sakit sehingga tak bisa berjualan.
"Hayo, pasti kebanyakan gorengan, ya?" tebakku ketika mbah ini bercerita bahwa kolesterolnya meroket. Si Mbah hanya tersenyum, dan si pedagang tahu yang di sebelahnya langsung nyerocos melaporkan betapa memang si nenek ini tidak bisa lepas dari yang namanya gorengan tiap hari.
Aku akhirnya langganan di si mbah ini untuk beli buah. Alasanku, berkali-kali beli buah, selalu aman tak pernah diselipin buah jelek, dan harganya masuk akal. Aku bahkan tidak pernah nawar. Memang, aku harus menyesuaikan dikit. Ia tak punya varian buah yang lengkap. Tak masalah buatku.
Hipotesisku, pedagang buah yang perempuan dan tua (biasanya sudah nenek-nenek), lebih bisa dipercaya sebagai penjual yang 'baik'. Ia ga omong besar tentang kualitas dagangannya, ga nyelipin buah rusak (justru sebaliknya, sering ngasi bonus, atau setidaknya timbangannya 'anget'), serta harganya masuk akal.
Aku mencoba ngecek dong beli di pedagang lain, yang juga nenek-nenek. Hasilnya, hipotesis itu sepertinya sudah bisa dibilang sebagai tesis ya, alias terbukti. Pokoknya, lihat dulu si penjualnya. Ada banyak nenek-nenek baik hati yang jualan.
Sempet terlintas pertanyaan di kepala: kenapa ya? Apakah ketika orang jadi nenek-nenek berubah jadi bijak? Atau dia punya pandangan berbeda soal uang dan rejeki? Atau apa?
Eh, tapi ada satu catatan soal penjual yang nenek-nenek ini. Harus hati-hati juga. Tapi urusan lain.
"Pun, niki sekilo nem ewu mawon," (3) sahut nenek penjual mangga ketika dia tahu aku mencari mangga kopyor. Ia ga mau tahu dengan niatanku membeli beberapa biji yang kopyor dan mangga jenis lain yang sekilo. Si nenek memaksa, langsung dia nimbang dan bungkus.
Wkwkwkwk. Alasanku mo eksperimen dikit dulu ga masuk di logika dia. Ampuuun... Ga tega kan kalo sudah gini? Akhirnya pulanglah aku dengan mangga kopyor sekilo dan arum manis sekilo. Sampai di rumah, nyengir deh ngaduk-aduk mangga sekilo buat selai. Jadi korban nenek-nenek pemaksa. Haha.
Begitulah. Sekarang-sekarang ini, aku lebih memilih membeli di pedagang yang nenek-nenek. Sering akhirnya sambil ngobrol asyik tentang hal-hal biasa tapi cukup membuat senyum bisa ditarik.
"Nuwun, ya, Ngger," (4) begitu pernah seorang nenek menutup transaksi. Sebutan 'Ngger' artinya 'Nak' tapi ini Bahasa Jawa jadul, yang ketika didengar, memberi kehangatan di hati. Ini mungkin hanya berlaku buatku, yang menghabiskan masa kecil di desa dengan masyarakat berbahasa Jawa sangat kental.
"Have a nice day, Mbah," begitu kataku dalam hati karena ga ada ungkapan ini dalam Bahasa Jawa (atau mungkin ada, tapi aku tidak tahu). Aku hanya bisa menjawab, "Sami-sami, Mbah, nuwun." (5) (rase)
Catatan:
(1) Lha, Anda kok lama tidak berjualan? Saya cari ga ada terus.
(2) Iya, ini.
(3) Dah, ini sekilo enam ribu saja.
(4) Terima kasih, ya, Nak.
(5) Sama-sama, Mbah, terima kasih.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.